Cermin Kematian
“Sungguh sia-sia mati tua. Lebih mulia mati muda. Sungguh beruntung tidak dilahirkan,” begitu kira-kira Soe Hok Gie bertutur dalam “Catatan Seorang Demonstran”. Sosok Gie memang unik dan langka. Maka tak salah bila sosoknya difilmkan dan diperankan dengan apik oleh Nicholas Saputra. Pemikiran dan tindak tanduknya sungguh berani dan berasal dari proses kontemplasi yang dalam. Tapi, agaknya, aku merasa ada sisi religiusitas yang gersang pada Gie. Tapi setidaknya ia tidak mau terjebak dalam politik praktis berkedok gerakan mahasiswa berbasis agama, kala itu.
Berbincang-bincang tentang kematian sungguh tak biasa bagi kita yang tengah larut dalam romantisme dunia yang wah. Entahlah, aku tak habis pikir, Gie berani “menyongsong” kematian selagi muda dan dalam masa produktif. Berbincang tentang kematian saja sudah bikin ngeri apalagi kematian itu sendiri. Hiiii……aku belum siap untuk itu.
“Perbincangan tentang kematian memang menakutkan karena kita tidak pernah berkenalan dan dekat dengan kematian,” kata Gede Prama, Sang Bhagawan Manajemen, dalam salah satu bukunya. Anand Krishna dan Deepak Copra pun pernah mengulas perihal kematian. Bhagawadgita yang agung lebih awal lagi mengulasnya. Pun kitab-kitab suci lainnya Kematian tak pandang bulu, kawan. Ia diprogram untuk menyertai yang hidup. Yang hidup diprogram untuk mati. Lalu siapkah kita dengan kematian, kawan? Kalau belum itu berarti sama seperti aku. Sangat manusiawi. Masih terikat dengan duniawi. Jika ada yang menjawab, “Ok. Aku sudah siap mati. Aku sudah bosan dengan duniawi,” ini baru dahsyat. Tapi kita harus tes dulu orang ini.
Kalau kita sedang asyik-asyiknya makan di restoran atau warung lesehan atau di dalam bus kota atau sedang di dalam mobil pribadi atau di tempat lain yang mengasyikkan tiba-tiba saja keasyikan kita itu “terganggu” oleh kedatangan pengamen atau pengemis. Terganggu karena kedatangan mereka memang bukan lantaran kita mengundang. Ibaratnya datang tak dijemput pulang tak diantar alias slonong boy. Tentu dengan wajah memelas mereka berusaha menarik simpati kita pada penderitaan hidupnya, bukan. Mereka berharap anda berbagi rejeki. Banyak yang tak mau memberi dengan pura-pura tak mendengar sembari memalingkan muka atau pura-pura tidur (biasanya yang sedang naik bus kota atau kereta api kalau naik pesawat jelas nggak mungkin lah yaouw) atau pura-pura tak punya receh seperti yang sering aku lakukan.
Nah, jika di dalam dompet anda ada masing-masing satu lembar uang seribu rupiah, lima ribu rupiah, sepuluh ribu rupiah, dua puluh ribu rupiah, lima puluh ribu rupiah, dan seratus ribu rupiah manakah di antara itu yang akan anda keluarkan dari dompet dan memberikannya? Atau bisa juga ketika kita ke masjid, gereja atau pura dan mendapati kotak amal, yang tentu saja, harus diisi lembaran manakah yang akan anda masukkan? Aha…..biasanya kita akan memberikan lembaran paling kecil. Berarti kita memang belum siap mati. Ini normal. Ada juga yang berdasarkan lembaran yang terambil sekenanya. Ini sama saja. Kita belum siap mati. Kalau ngasih yang lembaran Soekarno-Hatta gimana? Sudah siap mati dong? Kan yang paling gede? Sama juga karena masih berhitung duniawi. Kalau ngasih semuanya berarti sudah siap mati dong? Ikhlas kok gue, serius! Kalau ini sih namanya oranggila!
Saat kita menghirup udara pertama kali di dunia ini kita menangis, “Oek….oek….oek,” tetapi orang-orang di sekitar kita justru tertawa bahagia menyambut kelahiran kita. Mungkinkan kita bisa melakukan sebaliknya ketika kita mati kelak? Ketika orang-orang di sekitar kita menangisi kematian kita, justru kita tertawa penuh kebahagiaan melihat mereka yang kita tinggalkan. Sudahkah Anda bercermin pada kematian (muda)?