Sunday, December 16, 2007

>sepotong hidupku di Sangatta (3)

Kerjaan gw di office, jadi lumayan teduh, nggak kepanasan. Tapi kadang gw juga ke pelabuhan buat ngecek mechanical sampler. Kadang gw kudu berpanas-panas ria kalau dinas ke luar daerah, ngerjain proyek. Kayak mapping sebulan di Melak, Kutai Barat, lalu. Bulan depan gw harus ke Berau ada proyek topografi dan drilling. Nah, sepertinya gw harus berguru pada Fauzi dan Andec yang pernah enam bulan di Berau. Ya, info tempat-tempat yang asyik buat melepas penat hehehhe…….

Kegiatan untuk mengisi akhir pekan sangat terbatas di Sangatta. Tempat nongkrong Cuma di townhall. Mall nggak ada. Kalo mau wisata bahari bisa ke Aquatic di areal KPC dengan jalanan yang mulus bak paha Elly eh semulus paha Dian Sastro seperti yang dituturkan Gombrenk. Tapi kalau mau ke Pantai Teluk Lombok harus mau berpeluh desah eh kesah kayak posting gw beberapa bulan lalu. Kalau mau olahraga juga tersedia fasilitas. “olahraga” juga bisa, tergantung selera. Kalau gw dan rekan-rekan kantor setiap Kamis malam dan Minggu malam main badminton di lapangan badminton persis di samping kos gw. Baru-baru ini hampir tiap minggu main sepakbola dan futsal lawan marketing KPC. Nah, kalau mau membaca juga bisa. Di townhall ada perpustakaan milik KPC yang bisa diakses oleh siapa saja. Tapi sayang sampai saat ini gw belum sempat menyinggahinya. Lha wong jam bukanya itu jam kantor. Kalau Sabtu Cuma setengah hari. Minggu libur. Kalau perpustakaan di Samarinda Senin-Sabtu buka sampai jam 21.00 WITA. Gw sering ke sana sambil nongkrongin para mahasiswi hehehe......Kalau mau baca Kompas kudu ekstra sabar karena selain terlambat terbit, harganya juga mahal, seringkali malah kehabisan. Tapi kalau di barak KPC sepertinya nggak masalah. Buat ngisi weekend gw lebih sering nonton DVD, nonton tv, dan sesekali ke pura yang cuma satu-satunya di Sangatta yang ada di dalam kompleks perumahan Bumi Etam. Biar saru begini gw ini aslinye cah alim dab hehehe......

Kalau mau merasakan suasana lebih kota bisa juga melancongi Bontang, kira-kira satu jam perjalanan dari Sangatta melewati Taman Nasional Kutai yang lagi rusak oleh ulah sekelompok orang yang melakukan pembakaran hutan. Pun kenangan tak terlupakan ketika menghindari jalanan berlubang, beda kalau di Jakarta di mana banyak lubang berjalan dan tidak untuk dihindari. Di Kaltim Cuma ada empat kotamadya: Balikpapan, Samarinda, Tarakan, dan Bontang. Kota Bontang hanyalah kota kecil yang “dibesarkan” oleh dua perusahaan besar: PT Badak LNG dan PT PKT (Pupuk Kalimantan Timur). Buat ngeceng (sekali lagi ngeceng, nggak pake “A”) cuma ada Bontang Plasa (BP). Jangan dibayangkan kayak Malioboro Mall, Galeria, Saphir Square apalagi Amplaz. BP lebih mirip Matahari Plasa di Klaten. Bontang terletak di tepi laut, tepatnya rawa-rawa. Nah, ada satu tempat buat menikmati keindahannya. Lebih indah kalau malam hari Namanya Bontang Kuala. Tempat ini uenak tenan nggo selingkuh. Ada panti pijat ++, maksudnya plus kopi, teh, wedang jahe gitu…..Ok, cukup. Ini bukan catatan perjalanan ataupun jelajah khatulistiwa apalagi wisata kuliner lebih-lebih cerita cabul!

Dalam kesunyian seringkali kita bisa bercakap-cakap dengan hati nurani kita dan memikirkan kembali tentang hidup kita: kerja dan cinta. Dan tentu saja semuanya berujung pada kebahagiaan. Gw jd teringat Komarudin Hidayat (saat ini jadi Rektor UIN Sayrif Hidayattulah Jakarta) yang jadi host di acara “The Great Lecture Series” di Metrotv dua tahun lalu. Acara itu diputar tiap minggu siang, sebelum “Kick Andy”. Acaranya sungguh mencerahkan. Selama satu jam dia bercerita tentang sebuah tema tentang kebahagiaan. Dia bercerita tentang tiga macam kebahagiaan: kebahagiaan material, kebahagiaan intelektual, dan kebahagiaan spiritual. Masing-masing bisa dicapai melalui tingkat kesadaran seseorang tentang hahekat hidupnya. Dari ketiga kebahagiaan itu, kebahagian spirituallah yang tertinggi karena sifatnya yang abadi. Spiritual tidaklah sama dengan religi. Spiritual jauh melampaui dogma-dogma agama yang membuat manusia picik. Saat ini mungkin kita sedang menikmati satu atau dua atau bahkan ketiganya sekaligus. Dan bersyukurlah bila kita bisa menikmatinya. Itu berarti kita menghargai hidup. Sayang, acara yang keren itu sudah nggak tayang lagi..........
Gw teringat pesan Mbah Gandhi, “Happiness depend on what you can give, and not what you can get.” Nah, lu………


Kamar 217 ditemani KLA-Pproject dengan “Yogyakarta”-nya,
Jelang sepekan terbang ke Jogja

>sepotong hidupku di Sangatta (2)

Penghuni kos gw profesinya beraneka. Ada yang PNS, karyawan BNI, karyawan BRI, operator PAMA, operator Thiess, mekanik KPC, karyawan toko ponsel, karyawan perusahaan perkebunan, dll. Nah, penghuni kamar 215, tepat di sebelah kamar gw, adalah dua cewek Dayak yang masih SMU. Parasnya sungguh menggoda, berkulit bersih, kerap berpakain seksi, tapi rada katrok. Makanan empuk buat si kucing garong. Gw harus belajar banyak dari Fauzi soal menaklukkan perempuan. Dia ini diam-diam menghanyutkan. Tak perlu banyak kata, langsung aja hahaha... dan menyinggahi berbagai panti pijat+, ++, dan +++. Pun harus pintar berakrobat retorika dari Bosman biar terlihat meyakinkan. Tak lupa gw juga harus melatih jurus berpuitis dan memasang tampang innocent dari Gombrenk biar mahir melakukan pengeboran dangkal. Sayang, sebelum gw tuntas berguru pada ketiganya, kedua cewek itu sudah pindah kos. Sesekali gw berjumpa dengan mereka di townhall dengan senyum di bibirnya yang ough........ampun DJ........

Karena gw pekerja stady day (ngggak kena kerja shift macam Gombrenk dan Bosman yang PSK alias Pekerja Shift KPC) hampir setiap hari, Senin-Jumat, gw sudah harus stand by di tepi jalan raya, 100 m dari kos gw, buat nunggu jemputan bus karyawan jam 06.25 WITA (bus I). Tapi kalau gw lagi malas bangun pagi gw ikut bus kedua jam 07.30. Pulang kantor bus pertama jam 17.00 dan bus kedua jam 18.15. Bus yg disewa perusahaan gw berukuran sedang, tanpa AC, dan dilengkapi sabuk pengaman di tiap kursinya juga full music. Tak beda jauh dengan bus karyawan Thiess. Tapi untuk bus karyawan KPC jauh lebih nyaman. Persis busway di Jakarta. Bercat merah, berpintu otomatis, ber-AC, seat belt, dan full music. Saban Sabtu gw naik bus KPC itu, berhubung kalo Sabtu gw kerja cuma setengah hari. Jadi pulangnya bisa nebeng sampai terminal terus lanjut naik angkot (orang sini nyebutnya taksi) dengan ongkos Rp. 3.000,00 dekat-jauh.

Tiba di kantor jam 07.00 gw absensi ceklok. Terus ke ruang kerja, lihat susu, megang susu, ngremes susu, ngobok-obok susu, terus minum susu dech. Ojo ngeres sik. Tiap bulan tiap karyawan dapat jatah susu bubuk manis, ingat bukan susu kenyal manis lho…. Nah itu yang gw nikmatin ditemani dua bungkus roti yang gw beli di warung deket kos. Sesekali gw koneksikan laptop gw ke internet. Terus ke gudang sample, ngecek sample bore core hasil kerjaan Bosman, Gombrenk, dan exploration geologist KPC lainnya. Cocokin dengan worksheet, beri kode, dan ngambil fotonya bila ada yang tidak sesuai. Terus nyuruh operator preparasi buat proses lebih lanjut. Nunggu hasil analisis kualitas dari laboratorium via CCLASS yang digarap oleh para analis, ingat!!! sekali lagi analis bukan oralis. Gw ngecek dari angka-angkanya: ash, moisture, calorific value, total sulfur, volatile matter, dll. Bila kurang bagus gw bisa minta retest terhadap sample yang sama. Jam makan siang semua karyawan kumpul di ruang makan yang Cuma berukuran 3x3 m buat nyantap menu catering yang berlauk berselingan ayam-ikan. Hahahaha…..sewaktu jumpa Arief Hermawan di Samarinda dia terkejut mendapati gw dengan lahap menyantap sepotong daging ayam. Sepertinya selama 5-6 tahun kita kuliah belum ada yang lihat gw makan ayam yach? Gw dah nggak vegetarian lagi semenjak di Jakarta. Ntah lain waktu mungkin disambung lagi…….

Selanjutnya, buat laporan dan diskusi dengan technical advisor yang ekspatriat dari Venezuela, namanya Humberto. Kalo baru pertama kali lihat dia, pasti kalian nggak nyangka kalo dia itu ekspatriat. Gambaran kita tentang ekpatriat adalah bertampang bule, kulit putih, dan tinggi besar. Tapi Humberto ini lain. Posturnya cuma setinggi gw, kulitnya coklat, dan tampangnya mirip orang Asia. Suatu kali ada seorang sopir kantor yang disuruh menjemput dia di check point (pos satpam) KPC. Hampir satu jam sopir ini nunggu tapi orang yang dicari belum nongol. Lalu sopir ini nelpon ke kantor nanyain si bule yang hendak dijemput. Kata orang kantor si bule sudah ada di check point. Si sopir mendebatnya, katanya nggak ada bule yang ada cuma seseorang bertampang Asia lagi mondar-mandir daan sibuk menelpon. Orang kantor bilang memang itu orangnya. Si sopir lalu tertawa terbahak-bahak, seolah tak percaya.. Yeach, kecele dia.

Humberto ini bahasa Inggrisnya berlogat Spanyol. Susah dimengerti. Untuk membantu komunikasi seringkali bahasa tubuh yang berbicara. Siapa yang nggak bingung lha wong nyebut “problem” jadi “proling”, “sent” jadi “seng”, “HGI (hardgrove grindability index)” jadi “IYY (baca: ai yai yai)”. Capek dech........ Padahal Humberto, pria paruh baya ini, ngambil master di bidang batubara di Amerika dan lama bekerja di SGS Australia. Meski komunikasi oral agak kurang lancar, tapi kalau ngomongin cewek waduh.....jago dia.


Bersambung...................

>sepotong hidupku di Sangatta (1)

Bila hari telah senja
Malam haripun tiba
Hidupku yg sendiri
Sunyi..................

Bila senja berlalu
Hati terasa pilu
Hidupku yang sendiri
Sunyi..............

Reff: Mengapa dikau bertanya
Mengapa kuharus berduka
Hidupku hanya untukmu
Sayang2x

Nukilan lagu berirama country berjudul “Hidupku Sunyi” yang dinyanyikan oleh Tantowi Yahya mungkin bisa berbicara mewakili hidup Gombrenk, Bosman, Fauzi, dan gw yang harus mengisi hari-hari di kesunyian Sangatta. Tapi beruntunglah mereka bertiga hidup di barak dengan fasilitas yang lengkap dan gaji sebulannya bisa buat hidup setahun di Jogja, jauh lebih baik daripada gw yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Nenekmoyang).

Gw harus sewa kamar di sebuah rumah kos, kira-kira 2 km dari barak KPC dan Thiess. Sebuah rumah kos berdinding tembok, berlantai keramik, berisi 17 kamar, berlantai dua. Masing-masing kamar berukuran 3x3m, dilengkapi kamar mandi dalam yang airnya belum tentu seminggu sekali ngucur. Tapi untung saja si empunya kos menyediakan tujuh tangki bervolume 1200 lt dan dua tangki bervolume 3000 lt. Cukuplah buat mandi dan cuci pakaian. Tiap lantai dilengkapi dengan dapur, alat-alat memasak, kompor gas, dan juga tabung gasnya. Kalau memasak, setidaknya masak mie instant, gw selalu pakai air mineral bermerk terkenal yang harga segalonnya Rp. 25.000,00. Bukannya sok-sokan neh, tapi kualitas air di Sangatta sungguh mengenaskan. Coba bayangin setelah mengisi bak mandi dengan air, tentu saja, maka dalam satu malam saja akan terendapkan lempung yang cukup tebal. Ampun DJ……Di lantai dasar ada ruang bersama yang dilengkapi sofa, pesawat tv, dan saluran tv kabel.

Kamar di kos gw terbilang cukup luas dan bisa ditempati dua orang dengan harga sewa yang sama bila hanya ditempati seorang. Kamar gw bernomor 217, di lantai dua. Ada sembilan kamar di sana: empat kamar dihuni enam batangan (lima buaya darat dan seorang yang berhati suci, alim, dan pendiam: gw hehehe), tiga kamar dihuni oleh empat . Dia lubang buaya eh perempuan, dan dua kamar sedang menanti buat ditiduri eh ditempati. Kamar gw paling ujung, dekat dengan dapur.

Ketika gw tempati, rumah kos gw itu belum genap sebulan. Pemiliknya orang Bugis yang kerja di KPC. Penduduk di Sangatta ini didominasi oleh kaum pendatang dari Bugis, Banjar, dan Jawa. Kebanyakan Jawa Timur dari logatnya yang agak kasar, dan sedikit dari Jawa Tengah seperti para pedagang terang bulan dan martabak yang semuanya dari Tegal dengan ciri khas bahasa ngapak-ngapak kayak Cipoet.


Bersambung...........................