Sunday, December 16, 2007

>sepotong hidupku di Sangatta (3)

Kerjaan gw di office, jadi lumayan teduh, nggak kepanasan. Tapi kadang gw juga ke pelabuhan buat ngecek mechanical sampler. Kadang gw kudu berpanas-panas ria kalau dinas ke luar daerah, ngerjain proyek. Kayak mapping sebulan di Melak, Kutai Barat, lalu. Bulan depan gw harus ke Berau ada proyek topografi dan drilling. Nah, sepertinya gw harus berguru pada Fauzi dan Andec yang pernah enam bulan di Berau. Ya, info tempat-tempat yang asyik buat melepas penat hehehhe…….

Kegiatan untuk mengisi akhir pekan sangat terbatas di Sangatta. Tempat nongkrong Cuma di townhall. Mall nggak ada. Kalo mau wisata bahari bisa ke Aquatic di areal KPC dengan jalanan yang mulus bak paha Elly eh semulus paha Dian Sastro seperti yang dituturkan Gombrenk. Tapi kalau mau ke Pantai Teluk Lombok harus mau berpeluh desah eh kesah kayak posting gw beberapa bulan lalu. Kalau mau olahraga juga tersedia fasilitas. “olahraga” juga bisa, tergantung selera. Kalau gw dan rekan-rekan kantor setiap Kamis malam dan Minggu malam main badminton di lapangan badminton persis di samping kos gw. Baru-baru ini hampir tiap minggu main sepakbola dan futsal lawan marketing KPC. Nah, kalau mau membaca juga bisa. Di townhall ada perpustakaan milik KPC yang bisa diakses oleh siapa saja. Tapi sayang sampai saat ini gw belum sempat menyinggahinya. Lha wong jam bukanya itu jam kantor. Kalau Sabtu Cuma setengah hari. Minggu libur. Kalau perpustakaan di Samarinda Senin-Sabtu buka sampai jam 21.00 WITA. Gw sering ke sana sambil nongkrongin para mahasiswi hehehe......Kalau mau baca Kompas kudu ekstra sabar karena selain terlambat terbit, harganya juga mahal, seringkali malah kehabisan. Tapi kalau di barak KPC sepertinya nggak masalah. Buat ngisi weekend gw lebih sering nonton DVD, nonton tv, dan sesekali ke pura yang cuma satu-satunya di Sangatta yang ada di dalam kompleks perumahan Bumi Etam. Biar saru begini gw ini aslinye cah alim dab hehehe......

Kalau mau merasakan suasana lebih kota bisa juga melancongi Bontang, kira-kira satu jam perjalanan dari Sangatta melewati Taman Nasional Kutai yang lagi rusak oleh ulah sekelompok orang yang melakukan pembakaran hutan. Pun kenangan tak terlupakan ketika menghindari jalanan berlubang, beda kalau di Jakarta di mana banyak lubang berjalan dan tidak untuk dihindari. Di Kaltim Cuma ada empat kotamadya: Balikpapan, Samarinda, Tarakan, dan Bontang. Kota Bontang hanyalah kota kecil yang “dibesarkan” oleh dua perusahaan besar: PT Badak LNG dan PT PKT (Pupuk Kalimantan Timur). Buat ngeceng (sekali lagi ngeceng, nggak pake “A”) cuma ada Bontang Plasa (BP). Jangan dibayangkan kayak Malioboro Mall, Galeria, Saphir Square apalagi Amplaz. BP lebih mirip Matahari Plasa di Klaten. Bontang terletak di tepi laut, tepatnya rawa-rawa. Nah, ada satu tempat buat menikmati keindahannya. Lebih indah kalau malam hari Namanya Bontang Kuala. Tempat ini uenak tenan nggo selingkuh. Ada panti pijat ++, maksudnya plus kopi, teh, wedang jahe gitu…..Ok, cukup. Ini bukan catatan perjalanan ataupun jelajah khatulistiwa apalagi wisata kuliner lebih-lebih cerita cabul!

Dalam kesunyian seringkali kita bisa bercakap-cakap dengan hati nurani kita dan memikirkan kembali tentang hidup kita: kerja dan cinta. Dan tentu saja semuanya berujung pada kebahagiaan. Gw jd teringat Komarudin Hidayat (saat ini jadi Rektor UIN Sayrif Hidayattulah Jakarta) yang jadi host di acara “The Great Lecture Series” di Metrotv dua tahun lalu. Acara itu diputar tiap minggu siang, sebelum “Kick Andy”. Acaranya sungguh mencerahkan. Selama satu jam dia bercerita tentang sebuah tema tentang kebahagiaan. Dia bercerita tentang tiga macam kebahagiaan: kebahagiaan material, kebahagiaan intelektual, dan kebahagiaan spiritual. Masing-masing bisa dicapai melalui tingkat kesadaran seseorang tentang hahekat hidupnya. Dari ketiga kebahagiaan itu, kebahagian spirituallah yang tertinggi karena sifatnya yang abadi. Spiritual tidaklah sama dengan religi. Spiritual jauh melampaui dogma-dogma agama yang membuat manusia picik. Saat ini mungkin kita sedang menikmati satu atau dua atau bahkan ketiganya sekaligus. Dan bersyukurlah bila kita bisa menikmatinya. Itu berarti kita menghargai hidup. Sayang, acara yang keren itu sudah nggak tayang lagi..........
Gw teringat pesan Mbah Gandhi, “Happiness depend on what you can give, and not what you can get.” Nah, lu………


Kamar 217 ditemani KLA-Pproject dengan “Yogyakarta”-nya,
Jelang sepekan terbang ke Jogja

>sepotong hidupku di Sangatta (2)

Penghuni kos gw profesinya beraneka. Ada yang PNS, karyawan BNI, karyawan BRI, operator PAMA, operator Thiess, mekanik KPC, karyawan toko ponsel, karyawan perusahaan perkebunan, dll. Nah, penghuni kamar 215, tepat di sebelah kamar gw, adalah dua cewek Dayak yang masih SMU. Parasnya sungguh menggoda, berkulit bersih, kerap berpakain seksi, tapi rada katrok. Makanan empuk buat si kucing garong. Gw harus belajar banyak dari Fauzi soal menaklukkan perempuan. Dia ini diam-diam menghanyutkan. Tak perlu banyak kata, langsung aja hahaha... dan menyinggahi berbagai panti pijat+, ++, dan +++. Pun harus pintar berakrobat retorika dari Bosman biar terlihat meyakinkan. Tak lupa gw juga harus melatih jurus berpuitis dan memasang tampang innocent dari Gombrenk biar mahir melakukan pengeboran dangkal. Sayang, sebelum gw tuntas berguru pada ketiganya, kedua cewek itu sudah pindah kos. Sesekali gw berjumpa dengan mereka di townhall dengan senyum di bibirnya yang ough........ampun DJ........

Karena gw pekerja stady day (ngggak kena kerja shift macam Gombrenk dan Bosman yang PSK alias Pekerja Shift KPC) hampir setiap hari, Senin-Jumat, gw sudah harus stand by di tepi jalan raya, 100 m dari kos gw, buat nunggu jemputan bus karyawan jam 06.25 WITA (bus I). Tapi kalau gw lagi malas bangun pagi gw ikut bus kedua jam 07.30. Pulang kantor bus pertama jam 17.00 dan bus kedua jam 18.15. Bus yg disewa perusahaan gw berukuran sedang, tanpa AC, dan dilengkapi sabuk pengaman di tiap kursinya juga full music. Tak beda jauh dengan bus karyawan Thiess. Tapi untuk bus karyawan KPC jauh lebih nyaman. Persis busway di Jakarta. Bercat merah, berpintu otomatis, ber-AC, seat belt, dan full music. Saban Sabtu gw naik bus KPC itu, berhubung kalo Sabtu gw kerja cuma setengah hari. Jadi pulangnya bisa nebeng sampai terminal terus lanjut naik angkot (orang sini nyebutnya taksi) dengan ongkos Rp. 3.000,00 dekat-jauh.

Tiba di kantor jam 07.00 gw absensi ceklok. Terus ke ruang kerja, lihat susu, megang susu, ngremes susu, ngobok-obok susu, terus minum susu dech. Ojo ngeres sik. Tiap bulan tiap karyawan dapat jatah susu bubuk manis, ingat bukan susu kenyal manis lho…. Nah itu yang gw nikmatin ditemani dua bungkus roti yang gw beli di warung deket kos. Sesekali gw koneksikan laptop gw ke internet. Terus ke gudang sample, ngecek sample bore core hasil kerjaan Bosman, Gombrenk, dan exploration geologist KPC lainnya. Cocokin dengan worksheet, beri kode, dan ngambil fotonya bila ada yang tidak sesuai. Terus nyuruh operator preparasi buat proses lebih lanjut. Nunggu hasil analisis kualitas dari laboratorium via CCLASS yang digarap oleh para analis, ingat!!! sekali lagi analis bukan oralis. Gw ngecek dari angka-angkanya: ash, moisture, calorific value, total sulfur, volatile matter, dll. Bila kurang bagus gw bisa minta retest terhadap sample yang sama. Jam makan siang semua karyawan kumpul di ruang makan yang Cuma berukuran 3x3 m buat nyantap menu catering yang berlauk berselingan ayam-ikan. Hahahaha…..sewaktu jumpa Arief Hermawan di Samarinda dia terkejut mendapati gw dengan lahap menyantap sepotong daging ayam. Sepertinya selama 5-6 tahun kita kuliah belum ada yang lihat gw makan ayam yach? Gw dah nggak vegetarian lagi semenjak di Jakarta. Ntah lain waktu mungkin disambung lagi…….

Selanjutnya, buat laporan dan diskusi dengan technical advisor yang ekspatriat dari Venezuela, namanya Humberto. Kalo baru pertama kali lihat dia, pasti kalian nggak nyangka kalo dia itu ekspatriat. Gambaran kita tentang ekpatriat adalah bertampang bule, kulit putih, dan tinggi besar. Tapi Humberto ini lain. Posturnya cuma setinggi gw, kulitnya coklat, dan tampangnya mirip orang Asia. Suatu kali ada seorang sopir kantor yang disuruh menjemput dia di check point (pos satpam) KPC. Hampir satu jam sopir ini nunggu tapi orang yang dicari belum nongol. Lalu sopir ini nelpon ke kantor nanyain si bule yang hendak dijemput. Kata orang kantor si bule sudah ada di check point. Si sopir mendebatnya, katanya nggak ada bule yang ada cuma seseorang bertampang Asia lagi mondar-mandir daan sibuk menelpon. Orang kantor bilang memang itu orangnya. Si sopir lalu tertawa terbahak-bahak, seolah tak percaya.. Yeach, kecele dia.

Humberto ini bahasa Inggrisnya berlogat Spanyol. Susah dimengerti. Untuk membantu komunikasi seringkali bahasa tubuh yang berbicara. Siapa yang nggak bingung lha wong nyebut “problem” jadi “proling”, “sent” jadi “seng”, “HGI (hardgrove grindability index)” jadi “IYY (baca: ai yai yai)”. Capek dech........ Padahal Humberto, pria paruh baya ini, ngambil master di bidang batubara di Amerika dan lama bekerja di SGS Australia. Meski komunikasi oral agak kurang lancar, tapi kalau ngomongin cewek waduh.....jago dia.


Bersambung...................

>sepotong hidupku di Sangatta (1)

Bila hari telah senja
Malam haripun tiba
Hidupku yg sendiri
Sunyi..................

Bila senja berlalu
Hati terasa pilu
Hidupku yang sendiri
Sunyi..............

Reff: Mengapa dikau bertanya
Mengapa kuharus berduka
Hidupku hanya untukmu
Sayang2x

Nukilan lagu berirama country berjudul “Hidupku Sunyi” yang dinyanyikan oleh Tantowi Yahya mungkin bisa berbicara mewakili hidup Gombrenk, Bosman, Fauzi, dan gw yang harus mengisi hari-hari di kesunyian Sangatta. Tapi beruntunglah mereka bertiga hidup di barak dengan fasilitas yang lengkap dan gaji sebulannya bisa buat hidup setahun di Jogja, jauh lebih baik daripada gw yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Nenekmoyang).

Gw harus sewa kamar di sebuah rumah kos, kira-kira 2 km dari barak KPC dan Thiess. Sebuah rumah kos berdinding tembok, berlantai keramik, berisi 17 kamar, berlantai dua. Masing-masing kamar berukuran 3x3m, dilengkapi kamar mandi dalam yang airnya belum tentu seminggu sekali ngucur. Tapi untung saja si empunya kos menyediakan tujuh tangki bervolume 1200 lt dan dua tangki bervolume 3000 lt. Cukuplah buat mandi dan cuci pakaian. Tiap lantai dilengkapi dengan dapur, alat-alat memasak, kompor gas, dan juga tabung gasnya. Kalau memasak, setidaknya masak mie instant, gw selalu pakai air mineral bermerk terkenal yang harga segalonnya Rp. 25.000,00. Bukannya sok-sokan neh, tapi kualitas air di Sangatta sungguh mengenaskan. Coba bayangin setelah mengisi bak mandi dengan air, tentu saja, maka dalam satu malam saja akan terendapkan lempung yang cukup tebal. Ampun DJ……Di lantai dasar ada ruang bersama yang dilengkapi sofa, pesawat tv, dan saluran tv kabel.

Kamar di kos gw terbilang cukup luas dan bisa ditempati dua orang dengan harga sewa yang sama bila hanya ditempati seorang. Kamar gw bernomor 217, di lantai dua. Ada sembilan kamar di sana: empat kamar dihuni enam batangan (lima buaya darat dan seorang yang berhati suci, alim, dan pendiam: gw hehehe), tiga kamar dihuni oleh empat . Dia lubang buaya eh perempuan, dan dua kamar sedang menanti buat ditiduri eh ditempati. Kamar gw paling ujung, dekat dengan dapur.

Ketika gw tempati, rumah kos gw itu belum genap sebulan. Pemiliknya orang Bugis yang kerja di KPC. Penduduk di Sangatta ini didominasi oleh kaum pendatang dari Bugis, Banjar, dan Jawa. Kebanyakan Jawa Timur dari logatnya yang agak kasar, dan sedikit dari Jawa Tengah seperti para pedagang terang bulan dan martabak yang semuanya dari Tegal dengan ciri khas bahasa ngapak-ngapak kayak Cipoet.


Bersambung...........................

Thursday, November 29, 2007

>Saraswati di Bontang

Tepat seminggu yl, gw merayakan Saraswati sekaligus odalan Pura Buana Agung di Kota Bontang. Satu jam perjalanan harus ditempuh dari tempat gw di Sangatta “Kota Debu”. Dicumbui hujan yg cukup lebat sehingga memaksa gw dan seorang kawan yg asli Banyuwangi harus sesekali berhenti buat berteduh. Maklum sebagai kuli kami nggak dapat fasilitas mobil dari kantor. Tak ada mobil sepeda motor pun jadi.

Yang penting niat untuk meningkatkan kesucian tak luntur. Meski selama ini gw dah akrab dengan si Suci. Mulai Suci yang “berlatar belakang” bahenol, Suci yang “kutilang darat”, Suci yang “bermasa depan” menonjol, Suci yang jinak-jinak merpati hingga Suci yang sok suci. Fiuh, ini bukan cerita cabul, Bung! Kok jadi ngaco. Kembali ke haluan!

Ok, segores tentang Bontang. Di Propinsi Kalimantan Timur ada empat kotamadya: Balikpapan sebagai pusat bisnis, Samarinda sebagai pusat pemerintahan, Tarakan di ujung utara dekat perbatasan Malingsia eh Malaysia, dan Bontang. Kota Bontang hanyalah kota kecil yang “dibesarkan” oleh dua perusahaan besar: PT Badak LNG dan PT PKT (Pupuk Kalimantan Timur).

Buat ngeceng (sekali lagi ngeceng, nggak pake “A”) cuma ada Bontang Plasa (BP). Jangan dibayangkan kayak Malioboro Mall, Galeria, Saphir Square apalagi Amplaz. BP lebih mirip Matahari Plasa di Klaten. Bontang terletak di tepi laut, tepatnya rawa-rawa. Nah, ada satu tempat buat menikmati keindahannya. Namanya Bontang Kuala. Tempat ini uenak tenan nggo selingkuh. Ada panti pijat ++, maksudnya plus kopi, teh, wedang jahe gitu…..Ok, cukup. Ini bukan catatan perjalanan ataupun jelajah khatulistiwa apalagi wisata kuliner lebih-lebih cerita cabul!

Pura yg kami tuju itu bernama Pura Buana Agung. Lokasinya tak begitu jauh dari jalan besar. Yah, seperti Pura Banguntapan. Rumah-rumah di sekitar pura belum begitu padat. Pura itu dikelilingi oleh rumah-rumah umat Hindu. Suatu kondisi yg jarang dijumpai di luar bali. Di Jakarta gw pernah ke Pura Rempoa yang kondisinya mirip. Ya, seperti permukiman Hindu Ketika memasuki areal pura gw ngerasa nyaman bgt. Kebersihan sgt terjaga. Pembauran antara umat Hindu yg dari Bali dan Jawa (Banyuwangi dan Blitar) sungguh terjalin apik.

Odalan dipuput oleh seorang pinandita yg didatangkan dari Banyuwangi. Ketika pertama kali gw melihat beliau, seperti ada chemistry yg gw dpt. Wajahnya terlihat cerah. Senyumnya menyejukkan. Dan beliau sungguh ramah. Meski hujan rintik2 upacara tetap dilangsungkan. Umat sudah berduyun-duyun datang. Karena hujan itulah area jaba tengah terisi penuh oleh umat yg duduk rapi hendak menyucikan diri dan hati.

Esoknya akan diadakan dharma tula dg pemateri pinandita itu. Sejatinya gw pengen mekemit di pura (lha iyalah mekemit kan di pura masak di diskotik hehehe….). Tp karena duingin sekali gw menerima tawaran seorang umat buat numpang merebahkan badan cuma semalam, jelas nggak pake “selimut yang bisa kentut”.

“Nama saya Gatot. Gatot itu makanan tradisonal Jawa yang keras dan alot,” ucap Romo Gatot mencairkan suasana. Romo mengaku dulu pernah hidup di “kandang gembala”. “Sebelum jadi seperti ini, saya dulu pendeta Kristen Jawi Wetan,” paparnya yang sejurus kemudian membuat kami tertegun. Dalam hati kami mungkin terbersit pertanyaan ini, “Kok bisa, ya?” Romo Gatot menjadi pemeluk Hindu sejak tahun 1982. Mulai dari pendidikan dasar hingga sarjana teologi ia dibiayai oleh sebuah yayasan Kristen. Tak heran wawasannya luas namun tetap bersahaja. Ia datang bersama istri dan seorang putri tercintanya yang hitam manis. Romo Gatot suka berkelakar. Suasana selalu segar.

“Saya ini baru 25 tahun jadi Hindu. Seharusnya bapak-bapak inilah yang duduk di depan memberi dharma tula dan saya duduk di belakang menjadi pendengar,” katanya. “Bapak-bapak kan sudah memeluk Hindu sejak lahir dan saya masih baru,” sindirnya yang halus. Ia mengaku menyesal mengapa tidak sejak kecil ia memeluk Hindu.“Selama 25 tahun ini saya mempelajari Hindu kok rasanya semakin banyk yang harus dipelajari. Seandainya sejak kecil saya belajar Hindu tentu ilmu yang saya dapat semakin banyak,” lagi-lagi ia menyindir halus membuat kami mensyukuri telah diwarisi agama luhur ini.

Acara dharma tula itu berlangsung meriah. Dihadiri tak kurang dari 100 umat, mulai dari anak-anak hingga orangtua. Semuanya berbaur lesehan di madya mandala.

“Saya sama sekali tidak tertarik masuk Hindu,” aku Romo Gatot. Ia mengatakan kalau ia memeluk Hindu karena ada pawisik dari orangtuanya. “Kalau kamu ingin hidupmu bahagia, kembalilah ke agamane wong Jawa,” kata Romo Gatot menirukan pawisik itu. Sejak saat itu Romo Gatot jadi berpikir ulang tentang kekeristenannya. “Agama Jawa?” tanya romo Gatot, “setiap kali berkotbah di gereja saya selalu menggunakan bahasa Jawa. Bukankah ini agama Jawa?”

Pawisik dari orangtua Romo Gatot mengatakan kalau ingin bahagia, bukan kalau ingin kaya, kembalilah ke agama Jawa. “Memang betul setelah saya dan keluarga menjadi Hindu hidup kami lebih berbahagia. Di agama sebelumnya kami sering bertengkar,” kata Romo Gatot.

Tahun 1982 Romo Gatot memutuskan untuk menjalani upacara suddhi wadani. Namun, keputusannya itu tak diikuti oleh sang isti tercinta.
“Setelah Romo jadi Hindu,” kata istri Romo Gatot, “ saya masih Kristen. Kalau ada tamu Romo yang Hndu saya selalu suguhi dengan ala kadarnya. Tapi kalo tamu saya yang Kristen, saya selalu suguhi yang mewah-mewah.” Meski demikian sebagai ibu rumahtangga yang baik ia masih menjalankan tugas-tugas rumahtangganya. “Di rumah ada satu lemari yang isinya buku2 Hindu. Sama sekali saya nggak menyentuhnya, dan juga tidak merawatnya,” paparnya terus terang.

Hingga datanglah waranugraha itu. Pada saat hari raya Nyepi, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pawisik, padahal kala itu ia tengah tidur lelap sendirian sedangkan Romo Gatot dan putrinya tengah meditasi di ruang pamujan. Mendengar suara pawisik itu ia masih cuek aja, dan kembali ke alam mimpi. Hingga kejadian itu terulang kembali tiga kali. Ia mengatakan bahwa saat itu seperti ada sesuatu yang menarik-nariknya dari ranjang lalu menggoyang-goyangkannya seperti gempa. Ia mengira itu hanyalah mimpi, tetapi setelah ia meyakinkan diri bahwa itu nyata lantas ia bergegas menyusul suami dan anaknya ke ruang pamujan. Ia masih terngiang suara pawisik itu. “Kalau kamu ingin bahagia ikutilah agama suamimu,” katanya menirukan suara pawisik itu.

“Sama sekali saya belum pernah masuk ke ruang pamujan itu,” katanya polos. “Ketika saya masuk, suami dan anak saya sedang meditasi. Saya hanya duduk di hadapan mereka sambil menunggu mereka membuka mata,” sambungnya. Ketika membuka mata Romo Gatot terkejut mendapati sang istri sudah duduk bersimpuh di hadapannya. “Kok nyusul ke sini, kangen ya?” canda Romo Gatot kepada istrinya. Sang istri lalu menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Romo Gatot lalu mengajaknya sembahyang Tri Sandya. Sebelumnya Romo Gatot mengajari sang istri membaca Tri Sandya. Anehnya, meski sekalipun belum pernah membaca mantram Tri Sandya, hanya dengan sekali baca sang istri langsung hafal. Romo Gatot berkesimpulan inilah waranugraha dari Hyang Widhi untuk menunjukkan jalan kebahagiaan bagi keluarganya.

“Jangan mau memeluk agama yang hanya bertujuan surga,” kata Romo Gatot. “Surga, katanya, “hanyalah persinggahan sementara yang tidak langgeng. Tujuan kita adalah moksa, kebahagiaan yang jauh melampaui surga.” Romo Gatot mengaku pernah merasakan moksa tatkala ia diupacarai oleh nabenya. Kala itu, menurutnya, jiwanya melayang-layang ke angkasa meninggalkan tubuhnya. Istrinya menggerak-gerakkan tubuhnya tetapi tubuhnya tak bergerak, seperti orang mati. Lalu sang nabe berkata bahwa kalau jiwanya tidak kembali saat itu juga makanya selamanya jiwanya tak akan kembali.
Padahal, Romo Gatot sejatinya nggak ingin kembali. “Saya nggak akan cerita detil soal moksa. Nanti sampean jadi pengen semua. Lebih baik rasakan sendiri saja. Saya jadi kepengen lagi” kata Romo Gatot sambil tersenyum.
Cerita Romo Gatot ini mengingatkan gw pada kisah Syeikh Siti Jenar, Ki Kebo Kenongo, dan para pengikutnya yang dapat mencapai moksa semasih hidup dengan cara meniup tengkuk kakinya.

Acara dharma tula itu mengundang umat untuk mengajukan pertanyaan. Gw mengajukan tiga pertanyaan:1) Romo Gatot menyatakan bahwa seseorang yang karmanya (dosa) belum habis harus menebusnya melalui reinkarnasi. Pertanyaan gw kenapa jumlah penduduk di negara-negara berkembang jauh lebik banyak daripada negara2 maju? Apakah ini berarti penduduk di negara2 berkembang dosanya banyak sehingga harus dilahirkan kembali? Romo Gatot menjawab sangat sederhana, “Nggak ada hubungannya antara reinkarnasi dengan perbandingan jumlah penduduk antarnegara.” Sebenarnya jawabannya belum membuat gw puas. Tp sudahlah, toh gw cuma berbasa-basi bertanya. 2) umat Hindu selalu merayakan Hari Raya Saraswati, sang dewi ilmu pengetahuan, tetapi kenapa pendidikan kita belum menghasilkan manusia-manusia yang unggul dibandingkan umat lain yang nggak memuja Dewi Saraswati? Inti jawaban Romo Gatot bahwa memuja Beliau tidak akan memberi dampak apabila tidak disertai dengan belajar yang sungguh-sungguh. Sebenarnya gw udah tahu jawabannya. Sekali lagi pertanyaan ini Cuma basa-basi. 3) Pertanyaan yg ketiga ini nggak sempat gw lontarkan karena waktu yang terbatas. Hyang Widhi maha kuasa, maha tahu, dan maha segalanya. Tetapi tanpa sadar kita justru merendahkannya. Ketika berdoa kita selalu saja membuat daftar permintaan supaya terkabulkan. Kenapa tidak seperti ini saja ketika kita berdoa, “Oh, Hyang Widhi, Kau tahu yang kumau.”



Salam hangat,
Wong edan
Bertampang preman
Berhati roman

Friday, October 12, 2007

>menembus belantara mengendus batubara







tunggu aja ceritanya yg seru yach......dr pedalaman hutan kalimantan di kutai barat












Monday, September 17, 2007

>Spiritualitas dalam Kerja


Hidup untuk kerja ataukah kerja untuk hidup? Tentunya, untuk bertahan hidup kita harus bekerja. Bekerja untuk mendapatkan uang yang kemudian kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pun memenuhi keinginan jika mungkin. Seperti itukah arti kerja? Serangkaian logika yang berujung pada kepandaian hendak mengantarkan kita pada jawaban hitam-putih yang materialis. Namun, Bhagawadgita yang agung menawarkan sebuah pemahaman yang mendewasakan tentang kerja.

Sri Krishna dalam Bhagawadgita III.3 menuturkan ada dua jalan kerja. Jalan pengetahuan (jnana yoga) bagi mereka yang suka melakukan perenungan dan jalan kerja (karma yoga) bagi mereka yang bersemangat untuk bekerja. Di zaman lampau pembagian seperti itu bisa tampak nyata. Namun, di era modern ini dikotomi seperti itu menjadi absurd seiring dengan keinginan dan kemampuan manusia mengeksplorasi potensinya untuk menggapai kesempurnaan hidup. Bisa jadi seseorang menempuh kedua jalan itu, memadukan kerja otot (karma yoga) dengan kerja otak (jnana yoga).

Pada putaran hidup masa lalu kaum brahmana (agamawan) dan ksatria (bangsawan) memegang tongkat kekuasaan yang mengendalikan segala sendi kehidupan masyarakat. Segala bentuk kerja yang dilakukan rakyat hanya untuk kemakmuran dua kelompok tadi agar hegemoni kekuasaan mereka atas mayoritas kaum awam tetap terpelihara. Dunia telah berubah. Kebutuhan-kebutuhan manusia dari zaman ke zaman kian kompleks.

Dunia material telah mengantarkan manusia untuk menilai kerja dengan deretan hasil kerja berupa angka, grafik ataupun pencapaian-pencapaian tertentu yang terukur. Bahkan, kebutuhan spiritual yang sakral tak luput dari itu. Para agamawan yang dekat dengan dunia spiritual, tampaknya, kalah bersaing memenuhi kebutuhan spiritual umatnya dengan serbuan kenikmatan duniawi yang tersaji tiap hari.


Setiap manusia adalah materialis dalam batas-batas tertentu, dan kita tidak menjadi manusia bila tidak materialis. Karena itulah manusia seringkali, tanpa sadar, merendahkan kemahakuasaan Hyang Widhi. Entah berapa panjang daftar pemintaan yang kita panjatkan tatkala kita bersembahyang di pura atau bertitra yatra. Seakan-akan Hyang Widhi tidak mengetahui apa kebutuhan kita. Tidak cukupkah kita memanjatkan doa seperti ini, “Oh, Hyang Widhi, Kau tahu yang kumau.” Lalu kita biarkan saja Ia menjalankan hukum-hukum yang telah dibuat-Nya.

Mihaly Csikszentmihalyi, seorang profesor psikologi dari Universitas Chicago, dalam bukunya “Good Business: Bisnis sebagai Jalan Kebahagiaan” berpendapat bahwa pada masa sekarang ada dua kelompok manusia yang paling berjasa dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual masyarakat modern. Mereka adalah kelompok ilmuwan dan pebisinis. Kelompok pertama memberikan harapan kelangsungan hidup yang lebih lama dan sehat serta perkembangan pengetahuan dan teknologi yang mencengangkan dalam memenuhi keingintahuan manusia tentang rahasia kehidupan. Sedangkan pebisnis menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera, nyaman, dan menggairahkan lewat pengaturan pola produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa yang lebih efisien.

Lalu apa arti kerja? Bhagawadgita mengajarkan kita bekerja tanpa keterikatan dan tak mengutamakan hasil. Sebagai lelaki seperempat abad yang belum genap satu tahun ini merasakan dunia kerja, saya sungguh dibuat bimbang. Bagaimana mungkin kita bekerja dalam dunia materialis-kapitalis ini bisa seperti itu? Item-item kerja yang terukur menuntut kita untuk membuat ikatan yang kuat dengan sistem.

Dalam ritus doa yang sakral saja kita masih bertransaksi dengan Hyang Widhi. Barangkali kedangkalan spiritual yang telah membuat saya berpikir seperti itu. Atau barangkali dengan kacamata spiritual saya yang buram saya bisa mengamini bila kerja seperti itu adalah kerja spiritual. Kerja di mana yajna sebagai basisnya mampu menggerakkan roda karma sehingga kita bisa memetik artha lalu menggunakannya untuk memenuhi kama spiritual yang berujung pada moksa. Namun, dalam yajna yang kita lakukan sehari-hari antara yang sakral dan profan tetap tak bisa dipisahkan.

Bagaimana kita bisa bekerja spiritual sekaligus bekerja material? Bhagawadgita yang agung berbicara proses kerja ketimbang hasil kerja. Tak ada jalan pintas untuk memetik buah kerja berupa kesuksesan tanpa melalui proses perjuangan medan Kurusetra.

Setiap tarikan nafas ketika kita bekerja sepatutnyalah untuk-Nya. Bukankah Ia juga bekerja menjalankan hukum-hukum-Nya yang universal? Sudahkah kita berterima kasih kepada tubuh yang dipinjamkan-Nya untuk kita bekerja ini? Seberapa kuatkah kita menjalin ikatan spiritual dengan rekan-rekan kerja di sekitar kita meski ia tak menghendaki kehadiran kita? Ketika rupiah mengalir ke rekening bank kita pada akhir atau awal bulan berapa banyakkah yang kita sisihkan untuk-Nya dan umat-Nya?

Kesempatan dilahirkan sebagai manusia sungguh anugerah tak ternilai. Untuk itulah hidup kita harus serius pun bekerja. Meskipun sepakbola hanyalah sebuah permainan, tetapi untuk sebuah permainan yang cantik diperlukan keseriusan dalam bermain, bukan?

Saturday, August 25, 2007

>Cermin Kematian


Cermin Kematian



“Sungguh sia-sia mati tua. Lebih mulia mati muda. Sungguh beruntung tidak dilahirkan,” begitu kira-kira Soe Hok Gie bertutur dalam “Catatan Seorang Demonstran”. Sosok Gie memang unik dan langka. Maka tak salah bila sosoknya difilmkan dan diperankan dengan apik oleh Nicholas Saputra. Pemikiran dan tindak tanduknya sungguh berani dan berasal dari proses kontemplasi yang dalam. Tapi, agaknya, aku merasa ada sisi religiusitas yang gersang pada Gie. Tapi setidaknya ia tidak mau terjebak dalam politik praktis berkedok gerakan mahasiswa berbasis agama, kala itu.

Berbincang-bincang tentang kematian sungguh tak biasa bagi kita yang tengah larut dalam romantisme dunia yang wah. Entahlah, aku tak habis pikir, Gie berani “menyongsong” kematian selagi muda dan dalam masa produktif. Berbincang tentang kematian saja sudah bikin ngeri apalagi kematian itu sendiri. Hiiii……aku belum siap untuk itu.

“Perbincangan tentang kematian memang menakutkan karena kita tidak pernah berkenalan dan dekat dengan kematian,” kata Gede Prama, Sang Bhagawan Manajemen, dalam salah satu bukunya. Anand Krishna dan Deepak Copra pun pernah mengulas perihal kematian. Bhagawadgita yang agung lebih awal lagi mengulasnya. Pun kitab-kitab suci lainnya Kematian tak pandang bulu, kawan. Ia diprogram untuk menyertai yang hidup. Yang hidup diprogram untuk mati. Lalu siapkah kita dengan kematian, kawan? Kalau belum itu berarti sama seperti aku. Sangat manusiawi. Masih terikat dengan duniawi. Jika ada yang menjawab, “Ok. Aku sudah siap mati. Aku sudah bosan dengan duniawi,” ini baru dahsyat. Tapi kita harus tes dulu orang ini.

Kalau kita sedang asyik-asyiknya makan di restoran atau warung lesehan atau di dalam bus kota atau sedang di dalam mobil pribadi atau di tempat lain yang mengasyikkan tiba-tiba saja keasyikan kita itu “terganggu” oleh kedatangan pengamen atau pengemis. Terganggu karena kedatangan mereka memang bukan lantaran kita mengundang. Ibaratnya datang tak dijemput pulang tak diantar alias slonong boy. Tentu dengan wajah memelas mereka berusaha menarik simpati kita pada penderitaan hidupnya, bukan. Mereka berharap anda berbagi rejeki. Banyak yang tak mau memberi dengan pura-pura tak mendengar sembari memalingkan muka atau pura-pura tidur (biasanya yang sedang naik bus kota atau kereta api kalau naik pesawat jelas nggak mungkin lah yaouw) atau pura-pura tak punya receh seperti yang sering aku lakukan.

Nah, jika di dalam dompet anda ada masing-masing satu lembar uang seribu rupiah, lima ribu rupiah, sepuluh ribu rupiah, dua puluh ribu rupiah, lima puluh ribu rupiah, dan seratus ribu rupiah manakah di antara itu yang akan anda keluarkan dari dompet dan memberikannya? Atau bisa juga ketika kita ke masjid, gereja atau pura dan mendapati kotak amal, yang tentu saja, harus diisi lembaran manakah yang akan anda masukkan? Aha…..biasanya kita akan memberikan lembaran paling kecil. Berarti kita memang belum siap mati. Ini normal. Ada juga yang berdasarkan lembaran yang terambil sekenanya. Ini sama saja. Kita belum siap mati. Kalau ngasih yang lembaran Soekarno-Hatta gimana? Sudah siap mati dong? Kan yang paling gede? Sama juga karena masih berhitung duniawi. Kalau ngasih semuanya berarti sudah siap mati dong? Ikhlas kok gue, serius! Kalau ini sih namanya oranggila!
Saat kita menghirup udara pertama kali di dunia ini kita menangis, “Oek….oek….oek,” tetapi orang-orang di sekitar kita justru tertawa bahagia menyambut kelahiran kita. Mungkinkan kita bisa melakukan sebaliknya ketika kita mati kelak? Ketika orang-orang di sekitar kita menangisi kematian kita, justru kita tertawa penuh kebahagiaan melihat mereka yang kita tinggalkan. Sudahkah Anda bercermin pada kematian (muda)?

Monday, July 30, 2007

>jalan-jalan


Mereguk “Keindahan” Pantai Teluk Lombok


“Mau ke mana ya akhir pekan ini?” Pertanyaan ini biasanya kerap datang ketika akhir pekan menjelang. Menghabiskan akhir pekan memang mengasyikkan. Apalagi bagi kaum pekerja yang telah cukup dibuat lelah dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Berakhir pekan merupakan pilihan bijak untuk melepas penat. Menikmati biru pantai, window shopping di mall, nonton film terbaru di bioskop, wisata kuliner, nge-game seharian, standing reading di Gramedia, atau melakukan hobi lainnya pasti asyik! Namun, di kota kecil seperti Sangatta hanya sedikit pilihan untuk itu. Sangatta hanyalah sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kutai Timur Propinsi Kalimantan Timur. Kalau ditempuh dari bandara Sepinggan, Balikpapan, dibutuhkan waktu tempuh 6-7 jam dengan mobil. Atau 4-5 jam perjalanan dari Samarinda, ibukota Kalimantan Timur. Jalan utama di Sangatta hanya sepanjang delapan kilometer! Itupun berlubang dan berdebu. Fiuh! Maklum saja, jalanan itu sering dilalui kendaraan berat untuk keperluan pertambangan. Pasalnya, di sini ada perusahaan tambang batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu produsen batubara terbesar di Indonesia.
Suatu hari aku melihat spanduk yang menarik “Saksikanlah Pemilihan Putri Kutim di Pantai Teluk Lombok, Minggu, 15 Juli 2007”. “Aha….,” teriakku, “asyik neh bisa lihat yang seger-seger.” Ternyata ada teman semasa kuliah yang juga ingin ke sana. Ahmad Fauzi namanya. Dia sudah setahun di Sangatta, kerja di sebuah perusahaan kontraktor pertambangan. “Ok, kita berangkat,” katanya mantap dengan mata yang berbinar-binar dan air liur bercucuran bagai serigala menemukan mangsa. “Tapi…,” kata dia, “aku belum pernah ke sana. Jadi nggak tahu jalannya.” Ih, capek dech…….
Berhubung hanya ada sebuah sepeda motor, itulah yang kami kendarai. Pinjaman pula. Sepanjang perjalanan kami selalu melihat papan petunjuk jalan, namun lebih banyak bertanya kepada orang sekitar arah menuju Pantai Teluk Lombok. Kata pepatah, “Malu bertanya sesat di ranjang eh…jalan”. Sepanjang perjalanan kami menjumpai ruas jalan yang cukup mulus tapi sepi dilalui kendaraan. Rumah-rumah pun masih jarang. Hingga kami tiba di sebuah pertigaan. Dan ternyata kami harus melalui jalanan berbatu dan berdebu sepanjang 21 km untuk sampai Pantai Teluk Lombok di bawah terik mentari yang menyengat. Sepanjang perjalanan kami terus menutup hidung agar debu tak masuk ke saluran pernafasan. Yang paling menjengkelkan tatkala ada sepeda motor yang menyalip kami. Celakanya, bila ada mobil yang berada di depan kami maka deburan debu seperti wedhus gembel langsung menyergap. Kalau sudah begitu kami harus memberhentikan kendaraan sejenak seraya menyebut segala isi kebun binatang. “Wah, kita salah alat neh. Harusnya bawa masker,” kata Fauzi. “Walah, seharusnya mobil. Tapi nggak apa-apa. Tanggung neh. Ntar ada obatnya kok,” kataku sambil terkekeh. Tak anyal entah berapa kali kami harus mengalah, berhenti lagi. Di tengah perjalanan kami jumpai pompa-pompa angguk yang masih berfungsi menyedot minyak dari dalam perut bumi. Agaknya kami melintasi Lapangan Minyak Bumi Sangkima Pertamina yang sudah cukup tua dan sepertinya tak terurus. Kami jumpai juga red mudstone yang bertebaran di sepanjang jalan.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan plus menyiksa tiba juga kami di bibir Pantai Teluk Lombok. Ternyata sudah ribuan orang menanti kami eh…..menikmati keindahan pantai. Kami berputar-putar mencari lokasi pemilihan putri Kutim. Agaknya temenku ini sudah kagak tahan. “Nah, itu dia yang rame-rame dan ada sound systemnya,” kata Fauzi dengan semangat ’45. Ketika kami tiba acara baru saja dimulai. Namun, imaji kami yang tersedimentasi sejak beberapa hari sebelumnya tererosi sudah. Tersesarkan lagi. Imaji tentang acara pemilihan putri-putrian yang spektakuler seperti yang biasa tersaji di layar kaca ternyata tak lebih dari sekadar fashion show kaum anak baru gede. Tak ada tanya jawab untuk menguji 3B: brain, beauty, and satu lagi kok lupa yach (yang jelas bukan breast).
Acara ini dipandu oleh seorang MC balon (banci salon). Kocak juga perut ini terkocok. Sejurus kemudian para ABG itu berlenggok bak model profesional di atas panggung kayu memeragakan beberapa pose yang hmmm…..dengan busana yang hmmm….dan make up yang tebal. Melihat tontonan yang indah ini sayang kalau tak diabadikan. Lalu Fauzi mengeluarkan kamera digital dari sakunya. Ia tampak masih malu-malu. “Sini biar aku aja yang motret,” kataku seraya merebut kameranya. Baru beberapa jurus aku menjepret Fauzi malah merebut. Uh….aksinya bak fotografer profesional. “Yang baju hitam itu boleh juga,” kata Fauzi. “Minta aja nomoe HP-nya dan selanjutnya terserahlah,” saranku menyemangatinya.
Tak sampai usai kami di sana. Hanya dua jam. Usai makan dan minum kami langsung balik untuk menghindari bencana debu wedhus gembel yang lebih dahsyat lagi kalau ratusan kendaraan bermotor pulang secara bersamaan. Perasaan was-was selalu menghantui kami ketika melintasi kembali jalanan itu yang sepi. “Kalau ban bocor kita bisa celaka neh,” kataku. Dan ternyata hal itu terjadi juga. Bayangkanlah! Ah…Dewi Fortuna ternyata dekat dengan kami. Info yang kami dapat dari sesama pengendara ternyata 1 km di depan sudah jalan beraspal dan ada tukang tambal ban di sana. Fiuh!
Baru sebulan ini aku tinggal di Sangatta. Jemu rasanya. Untuk mendapatkan Kompas aku harus menuju town hall, alias taman kota. Itupun edisi yang terlambat satu-dua hari dan harganya Rp 4.000,00! Town hall merupakan satu-satunya ruang terbuka bagi segenap warga Sangatta. Town hall juga disebut sebagai Sangatta Baru. Di sana ada perumahan karyawan KPC yang dilengkapi dengan sekolah dan fasilitas olahraga: lapangan tenis, lapangan basket, lapangan sepakbola, dan kolam renang. Ada juga food court, mini market, pasar yang cuma beberapa lapak, perpustakaan, arena bermain anak-anak, ATM, dan gerai-gerai pedagang. Kalau malam minggu wuih…rame banget! Hanya ada tiga warnet di Sangatta. Itupun letoy banget, mahal lagi Rp 7.500,00 per jam.
Setiap fajar ribuan karyawan diangkut menggunakan bus dan mobil khusus. Pun sebaliknya jika senja tiba. Hanya kendaraan yang telah diberi izin khusus yang boleh masuk ke area tambang. Pengemudinya pun demikian. Hanya yang memiliki KIMPER (Kartu Izin Mengemudi Perusahaan) yang boleh mengendarai. Untuk mendapatkan KIMPER seseorang harus lulus ujian praktik mengendarai. Dan itu tidak mudah! Peraturan kerja sangat ketat. Dalam hal mengemudi, misalnya. Apabila pengemudi tidak mengenakan sabuk pengaman maka golden shake sudah menanti. Dan itu tidak pandang bulu. Jangankan pengemudi yang tidak mengenakan sabuk pengaman, penumpangnya pun bila tak mengenakan sabuk pengaman bakal kena juga. Dan pengemudinya juga dinyatakan bersalah dan dipecat!

Sangatta, 29 Juli 2007

Thursday, June 21, 2007

>cerita lucu


dompet kyai


Dalam rangka rekonstruksi Aceh pascagempa dan tsunami, FPUB berencana mengadakan beberapa program. Untuk itu saya bersama Kyai Abdul Muhaimin, Romo Yatno, Pendeta Bambang, Pdt. Up Effendi, Adi (putra Pdt. Up. Effendi), Ngatiyar, dan Rendra (baca juga “CATATAN PERJALANAN”) berangkat ke Aceh.Masing-masing mengenakan seragam FPUB berupa rompi berwarna krem dengan banyak kantong. Kami bermalan di Pastoran Gereja Katedral Medan.Para romo dan frater di sana menyambut kami dengan suka cita. Kedatangan kami mereka anggap sangat special karena sangat jarang ada rombongan tamu dari berbagai latar belakang agama berkenan singgah ke tempat mereka. Seperti kebanyakan bangunan gereja Katholik di Indonesia yang merupakan bangunan peninggalan Belanda yang berlangit-langit tinggi dan berdinding tebal, pun halnya pastoran yang kami tempati ini.Kami disediakan dua kamar berukuran single dan satu kamar berukuran besar, kira-kira 5x6 meter. Karena udara di Medan cukup menyengat, maka kami bertelanjang dada. Di samping mengemban tugas utama, kami juga ingin menikmati suasana kota Medan. Menjelang gelap saya memutuskan untuk santap malam di Belawan Square (BS). Hanya 100 meter dari pastoran.BS merupakan pusat jajanan yang khusus buka pada malam hari. Pada siang hari BS merupakan jalan raya yang cukup ramai dengan arus lalu lintas. Jelang senja jalanan sepanjang 500 meter dengan deretan toko di kiri-kanannya itupun ditutup. Gerai-gerai makanan pun digelar lengkap dengan kursi dan mejanya, pasti. Tanpa atap, alias beratapkan langit. Semakin malam semakin ramai. Penjual dan pembelinya umumnya warga keturunan China. Yang tak kalah unik, semua transaksi tidak boleh menggunakan uang, melainkan kupon. Saya pun bergegas memilih menu dan mecari tempat duduk, tentu saja, kalau bisa dekat dengan wanita cantik nan seksi. “Naluri lelaki,” kata SAMSON. Saya memilih menu vegetarian: nasi, sayur, "daging-dagingan" yang terbuat dari tepung gluten, dan jus jeruk. Lalu saya bergegas ke loket untuk menukarkan uang dengan kupon seharga uang yang saya tukarkan, Rp 25.000,00. Enjoy banget! Seandainya saya bersama kekasih saya pasti lebih romantis. Uhhh……Sambil menyantap menu para pengunjung dihibur oleh seperangkat sound system untuk berkaraoke ria. Nonton saja boleh, ikut karaoke juga bisa. Terserah kita. Yang tak kalah penting adalah kebersihan yang selalu terjaga. Piring yang digunakan hanya sekali pakai, terbuat dari kloroform. Kantong-kantong sampah selalu tersedia. Usai berjualanpun sampah langsung dibersihkan, tak ada sisa sampah untuk hari esok. Salut!!! Esoknya, Kyai Muhaimin tampak sibuk memeriksa tas, kantong celana, baju dan rompinya. Dan, ternyata, “Dompetku hilang,” katanya. Lalu iapun bergegas melapor ke kantor polisi terdekat. Terjadi sedikit ketegangan ketika polisi jaga menanyakan tempat kyai menginap. Kontan saja polisi itu terkejut. Lantas memarahi kyai. Bagi Kyai Muhaimin, yang sudah malang melintang di dunia antariman, tidur, makan dan sholat di pastoran adalah hal biasa. Tapi tidak bagi sang polisi. Ia menganggap kyai sudah nggak waras. “Kyai kok nginap di tempat orang Katholik,” begitu kira-kira pikirnya. Kami sepakat untuk memberikan sebagian uang saku kami guna meringankan musibah yang telah dialami kyai begitu kyai tiba.Untuk melupakan kejadian itu kami berwisata ke daerah dingin Berastagi. Lalu mandi airpanas di pemandian airpanas Sibayak. Esoknya kami berkemas, hendak kembali ke Jogja. Dan masing-masing mengenakan seragam rompi kembali. Ketika merogoh saku rompi, saya terkejut mendapati sebuah dompet tebal berwarna hitam. Lalu saya buka. “Lho, ini kan dompet panjenengan,” sambil saya tunjukkan kepada kyai. “Lha iya. Bener,” jawabnya. Ternyata rompi kyai tertukar dengan rompi saya. Kontan saja semua tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha……,” serempak.. Capek dech………………. (Samarinda, setelah dua tahun berselang)

>Yk, Hindu, dan Sepotong Cinta

dimuat jayapangus

Yk, Hindu, dan Sepotong Cinta

oleh SOE HOK GEN*)

Kalau bertandang ke kos teman, mata saya tak pernah lepas memerhatikan rak bukunya. Seberapa banyak buku yang berderet dan variasi temanya, bagi saya, itu bisa menggambarkan isi kepala si empunya. Ya, karena kata orang Tegal, “You are what you read.” Ya, karena dari tumpukan kertas bernama buku itulah narasi ini bermula.

Dulu, seperti kebanyakan orang Indonesia, saya malas membaca. Lebih-lebih buku agama. Alih-alih membaca satu judul buku hingga selesai, membaca beberapa lembar saja sudah membuat mata saya seperti “Gus Dur” alias ngantuk. Pun mulut saya jadi mendesah eh,…..menguap! Atau sering pula kepala ini jadi pening tujuh keliling karena ora dong apa isinya! Seperti kebanyakan umat Hindu umumnya, saya memahami Hindu hanya mengandalkan pelajaran formal di sekolah dan kampus. Celakanya, pembelajaran itu terasa “kering” di kepala dan hati. Hanya serasa nikmat ketika dapat nilai. Lain itu nyaris tak ada, bukan?

Mempelajari agama di tingkat sekolah tentu beda dengan di kampus. Tapi, celakanya, mahasiswa ikut kuliah agama cuma formalisme untuk dapat nilai! Kegairahan untuk mengeksplorasi lebih dalam, tampaknya, masih kurang. Ini terlihat dari berbagai kegiatan KMHD yang masih itu-itu saja. Salah satunya belum ada media informasi dan publikasi yang mewadahi problematika, opini, ide, kreatifitas, maupun dinamika mahasiswa dan umat Hindu. Padahal, Yogyakarta gudang kaum intelektual. Pun banyak mahasiswa Hindu yang kuliah di Jurusan Jurnalistik atau Ilmu Komunikasi. Di manakah mereka berada, ya? Tapi saya tak patah arang. Justru itulah saya gunakan sebagai tantangan.

Awalnya, saya tak percaya diri. Pasalnya, pengetahuan agama terbilang pas-pasan (kalau tidak mau disebut kurang). Jangankan mau menerbitkan media, pelatihan jurnalistik aja belum pernah ikut. Alhasil, kemampuan teknis menulis juga masih kurang. Tapi rasa cinta terhadap Hindu-lah yang menghapus keraguan itu. “Ya, learning by doing,” pikir saya.

Kalau sidang pembaca di tahun 2002-2003 sering ke pura tiap Purnama, tentu Anda pernah mendapati secarik kertas mungil yang mulanya dikira brosur iklan. Padahal, kertas mungil itu adalah media alternatif Hindu pertama di Yogyakarta yang dibagikan gratis. Lontar, namanya. Isinya sangat sederhana. Tak disangka, ternyata, sambutan umat sungguh luar biasa. Bersama beberapa teman, saya berupaya menerbitkan secara kontinyu. Tapi, apa daya. Kesibukan saya sebagai mahasiswa (yang sok sibuk) akhirnya memaksa Lontar untuk mengakhiri hidupnya, Agustus 2003.

Banyak orang yang menyayangkan kejadian itu. Ya, saya masih terngiang betapa dramatisnya mengelola Lontar kala itu. Biarpun Lontar telah almarhum, tapi semangatnya harus terus mengobar. Dan, benar saja. Akhirnya, KMHD UGM, di awal 2004, meneruskan perjuangan Lontar dengan menerbitkan Suara Anandam Lembar. Saya tak menyangka semangat Lontar, ternyata, menular kepada rekan-rekan yang lain. Alhasil, kini di Yogyakarta kian marak media alternatif Hindu. Sebut saja: Jnana (alm), Jegeg (alm), Yogya Vidya Jayanti, Sanatana Dharma, dan tentu saja JAYAPANGUS yang keren ini.

Teringat pernyataan seorang teman KMHD, “Saya datang ke Jogja ini untuk belajar di kampus. Bukan jadi penulis.” “Betul, tugas utama kita adalah belajar,” jawab saya, “tetapi, kemampuan menulis akan sangat membantu kita dalam belajar banyak hal.” Bibir merahnya membisu, wajah cantiknya tertunduk. Baru beberapa tahun kemudian saya mendapatkan jawabannya ketika dengan wajah berseri-seri dia bercerita bahwa dia telah memenangi lomba menulis esai di kampusnya, bahasa Inggris lagi. “Wow, hebat! Kamu udah bisa ngalahin saya,” kata saya.

Memiliki pengetahuan agama yang pas-pasan, tetapi berkeinginan untuk terus belajar dan menyadarkan orang lain untuk juga belajar, saya pikir, lebih baik daripada memiliki pengetahuan agama yang tinggi tetapi tidak mau berbagi dengan orang lain. Dan, jauh lebih baik daripada orang yang tidak mau belajar sama sekali. Inilah cinta. Cintalah yang menggerakkan karma untuk beryadya mencerdaskan umat. Cinta yang menuntun kita untuk mereguk Dewi Saraswati (baca: ilmu pengetahuan) agar lebih arif menyikapi hidup. Cinta pula yang menafasi saya untuk menceritakan dinamika umat Hindu Yogyakarta kepada segenap pembaca majalah Media Hindu di pelosok Nusantara. Cinta pula yang pernah menggerakkan hati saya, bersama teman-teman agama lain, untuk mengelola sebuah majalah antariman di Yogyakarta.

Saya bisa merasakan energi cinta yang mengalir deras ketika bersembahyang ke pura. Cinta yang berasal dari bhakti para penyungsung pura menyiapkan segala perangkat persembahyangan. Cinta pula yang melandasi para pemuda Pura Banguntapan menjaga sepeda motor kita selagi kita bersembahyang. Namun, dengan tanpa cinta kita justru membuat gaduh suasana pura. Dan, dengan tanpa cintalah kita membuat kotor halaman pura. Dan, dengan tanpa cinta pula kita enggan berdana punia.

Celakanya, “cinta” terhadap kekuasaan dan rupiahlah yang membuat salah seorang pejabat yang duduk di salah satu ruangan di Kanwil Departemen Agama DIY justru membuat kita bingung. Bagaimana tidak bingung, jika ucapan dan perbuatan tidak sinkron. Hanya manis di bibir. Ya, pantaslah jika kita memberinya gelar kehormatan sebagai Pembingung Masyarakat Hindu DIY. Selalu saja ada 1001 alasan untuk berdalih “tidak ada dana” untuk kegiatan umat. Dengan terang-terangan pula ia memasang tarif untuk mengisi dharwa wacana ataupun membuat tulisan. Luar biasa “cintanya” dalam “mengamankan” dana bantuan rekonstruksi pura yang rusak akibat gempabumi.

Cinta itu ikhlas memberi, bukan sebaliknya. Dengan cinta pulalah semoga kaum muda Hindu semakin giat berjuang memajukan agamanya. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Saya berharap, kelak, dunia penerbitan Hindu akan semakin marak. Patut disambut gembira bahwa dewasa ini banyak buku Hindu diterbitkan. Temanya pun beragam. Tapi, bagi saya, itu sermua masih kurang! Saya berharap lagi, kelak, ketika saya jadi ayah, saya tak kesulitan mencari VCD interaktif pembelajaran Hindu buat anak-anak saya. Atau komik-komik bernafaskan kehinduan. Atau juga buku-buku yang membahas khusus problematika para ABG Hindu. Atau buku-buku lain agar generasi mendatang jadi lebih cinta kepada agamanya. Ayo KMHD, bangun! Jangan cuma Kumpul-kumpul Makan-makan Hura-hura Dagelan!!! Jangan malas seperti saya.

*) penulis adalah wong edan

Tuesday, June 12, 2007

>geothermal


belajar nulis inggris. msh belepotan. blm diedit.tlg kasi tau klo da yg salah


GEOTHERMAL: AN ALTERNATIVE ENERGY
FOR THE BETTER FUTURE

Introduction
Indonesia’s archipelago is located among some plates tectonic. It caused many of volcanoes appear along there, that is called the ring of fire. Due to its location, Indonesia has the biggest potential geothermal resource in the world. It is approximately 40% world resource or 20,000 MW which spread out along Sumatra, Java, Bali, Nusa Tenggara, Halmahera, and Sulawesi islands. Almost half (8,000 MW) of this potential energy is located in Java and Bali, the most populous islands with the highest demand of electricity. Nevertheless, only 4% of Indonesia’s geothermal resource have been using. Research activities for geothermal resource begun on early 1900s by the Dutch colonialism. However, the first geothermal exploration activities was done in 1974 in Kamojang, West Java, and eight years later commersial power plant had done.

The Importance of Geothermal
The existence of geothermal is associated with volcanism activity. It can be understanding that, commonly, geothermal field has located on volcanic area. According to Armstead (1983) that geothermal is the energy which come from the depth of earth that can be hot steam, fluid, or mix both of them and it can be extracted to the top of earth to economical activity. There are three basic categories of geothermal resources: hydrothermal, geopressured, and hot dry rock (Blair, et. al., 1982). Hydrothermal is fluid that accumulated to magmatic with the result that hot fluid. Geopressured is the geothermal energy that comes from the earth pressure. It gives gradient temperature by different depth. Whereas, hot dry rock is geothermal energy that caused by impermeable rocks that have been heated. However, from the three of them, only hydrothermal source can be used economically.
Geotermal field can be identified by seeing the phenomena on the its surface. It can be fumarole, water hot pool, hot spring, geyser, steaming ground, etc. However, that are not enough for geologists. They need some evidence to proof the potential resource. Due to their responsible about it, they observe five components of geothermal field: heat source, fluid, fracture, reservoir, and cap rock. Heat source comes from the magma activities in the depth of earth. It is the power to produce hot fluid. Fluid comes from, mostly, the meteoric water. The water flow until some of the dept which contact with magma and change it to be hot water and steam. To flow until the earth depth, water needs a way to reach it. It is called fracture. In order to the water accumulation not to spread out anywhere, impermeable rocks needed to catch it. The rocks likes that is called reservoir. And the last component is cap rock. It function as a trap on the top of reservoir in order to keep the fluid stay flowing.
What is geothermal for? It can be used to many of human needs. Geothermal energy can be utilized as directly and indirectly. In directly utilization, such as domestic services, like the Maoris activities, in New Zealand. A man catch his trout in a cool river and drop it into a nearby pool of boiling water to cook it. A few yards away his wife administering a geothermal bath to the baby, while his daughter is doing the household laundry in a hot spring and the vegetables are cooking over a fumarole. In addition, hot water has many of minerals that very usefull to cure some of the skin disesases. Moreover, woman usually used it to their beauty treatment by swimming in the hot water pool. It can make them have more good skin because of the regeneration of their cells. Farmer also use geothermal for their products. Natural hot waters are used to heat greenhouses in which vegetables, fruits, mushrooms, and flowers. Due to many advantages of geothermal, it may invite tourists to come to the geothermal field. So, many of economic activities may be occurred.
Moreover, in indirectly utilization, geothermal energy is used to generate power plant to produce electricity. This is the most important things to do because the increasing of electricity needs day by day. Nowdays, the energy crisis faced in all of the world because the decreasing of petroleoum and gas resources. Enviromental issue push up many countries did many researches to find another alternative energy. One of them is geothermal energy. In many researches, it has proved that geothermal is clean energy. It is almost no pollution caused by the utilization as electric power plant. Futhermore, geothermal is recycle energy. Steam or hot water, which produced by geothermal wells, used to turn the turbine and after that the water, which to be cooler than before, reinjected to the wells. Then the water flowing to the depth of earth and warming up again by the hot source.
Geothermal in Yogyakarta
There is very less geothermal phenomena in Yogyakarta. We can see it in the Parangtritis beach as small hot water pool. Eventhough Mt. Merapi is very active volcano, but based on geology research, it known that bad reservoir in the stratigraphic subsurface. Due to the capacity of the hot water pool is very low, there is no power plant built.

The Future of Geothermal Energy
According to Kyoto’s Protocol Clean Development Mechanism every country expected to make greenhouse gas reduction program. The Government of Indonesia has had little success in promoting development of energy resource over the past several years. Indonesia utilizes 525 MW of geothermal energy from 787 MW of installed geothermal capacity. As a result, Indonesia saves the equivalent of some 6,300 barrels/day of oil. According the Directorate General of Oil and Gas, Indonesia produced 37.6 million tons of geothermal steam in 2000, which translates into 4,696 GwH of electricity (www.indonext.com/report/report433.html).
Eventhough Indonesia has a lot of geothermal resource, however, utilization of geothermal potential has very slowly and facing difficult challenges. Ministry of Energy and Mineral Resources statistics indicate that renewable energy utilization (hydropower, geothermal and biomass) account for only 3.4% of total potential reserves. This is caused by government’s policies. The government does not give concern seriously to expand geothermal exploration. It caused geothermal energy can not be exported like petroleoum, natural gas, or coal. On the other hand, geothermal is indigenous energy. That means it can be used only in around area that geothermal field had been located.
The abundance of geothermal energy in Indonesia makes it an important natural resource for future energy development. Until the 1997 economic crisis, the regulations enacted by the Government of Indonesia successfully promoted the rapid exploration and development of geothermal energy. Recently, the government has policy to increase petroleoum fuel prices, it may stimulates further utilization of alternative and renewable energy to make our environmental more friendly and cleaner. Moreover, developing geothermal utilization needs a legal basis. Therefore, the government issued geothermal law on 2001. It provides guidliness for geothermal investment and brings a new hoping for better future.

Conclusion
Indonesia has a lot of geothermal resource. Indirectly utilization for electricity, however, is still less. Future geothermal energy development will be dependent on action both of government and investor. Geothermal can be an alternative energy which friendly and reneweable to built better enviromental.

References
· Armstead, H. C. H., 1983, GEOTHERMAL ENERGY: Its past, present and future contributions to the energy needs of man, E. & F. N. Spon Ltd., London.
· Blair, P. D., Cassel, T. A. V., and Edelstein, R. H., 1982, GEOTHERMAL ENERGY: INVESTMENT DECISIONS & COMMERCIAL DEVELOPMENT, John Willey and Sons, Toronto.
· www.indonext.com/report/report433.html (download at March 29, 2006, 04.06 p.m)

Monday, June 11, 2007

>catatan perjalanan


suluh


Menikmati Mentari di Ujung Barat Kepulauan Nusantara


Pada 17-21 Juli 2005 lalu, FPUB berkesempatan mengunjungi dua daerah di ujung pulau Sumatera: Aceh dan Medan. Tujuan utama kunjungan tersebut berkaitan dengan program rehabilitasi pascatsunami Aceh. Program ini merupakan kerjasama tujuh organisasi masyarakat diYogyakarta, FPUB termasuk di dalamnya. Dalam perjalanan ke Aceh, kami menyempatkan diri singgah di kota yang terkenal dengan Bika Ambon-nya, Medan.
Tiba di Medan
Sore itu langit cerah. Suhu udara yang panas menyengat kulit kami. Sebuah pesawat penerbangan milik swasta mengantarkan kami tiba di bandara Polonia dengan selamat. Lelah juga menempuh perjalanan selama tiga jam dari Yogyakarta, sebelumnya transit di Jakarta. Kami berdelapan. Kyai Muhaimin, Pdt. Bambang, Rm. Yatno, Bpk. Efendi, Adi, Ngatiyar, dan saya. Kami dipandu oleh Rendra (LKiS), seorang rekan yang sudah beberapa kali ke Aceh. Lengkaplah sudah lima agama yang kami wakili.
Logat bicara orang Batak yang keras tiba-tiba begitu dekat di telinga kami. Seakan-akan menyambut kedatangan kami dengan seruannya, “Ini Medan, Bung!” Keramaian Kota Medan sebagai kota besar begitu terasa sesaat kami keluar dari bandara Polonia. Kami dijemput oleh kerabat Rm. Yatno yang tinggal di Medan. Rupa-rupanya Rm. Yatno sudah lama tak bersua dengan kerabatnya ini. Kami disambut dengan ramah dan bersahabat. Ajakan jamuan di rumah mereka tak kami tampik. Sungguh, kami terkesan.
Menjelang matahari terbenam, kami menuju ke Gereja Katedral di Kota Medan. Rencananya kami menginap di situ. Sekadar singgah sejenak untuk melepas lelah. Esok harinya baru kami melanjutkan perjalanan ke Aceh.
Kompleks bangunan Gereja Katedral itu tampak telah berumur. Maklum, peninggalan Belanda. Meski begitu masih kokoh berdiri di tengah kota Medan yang kian metropolis. Kami menempati kamar-kamar di lantai 2 yang memang diperuntukkan bagi para tamu. Para frater maupun pastor menyambut kami dengan penuh persahabatan. Apalagi ketika mereka mengatahui kami berasal dari berbagai latar agama yang berbeda. “Kesempatan ini sangat jarang,” ujar salah seorang pastor.
Suhu udara Medan yang panas benar-benar membuat kami gerah. Namun, itu tidak membuat kami enggan berbincang-bincang dengan beberapa aktivis dari Komunitas Pluralis (Komplu) Medan yang datang menghampiri. Perbincangan malam itu sungguh menarik. Namun, sayang, keterbatasan waktu memaksa kami untuk menyudahi perbicangan itu. Tapi, kami membuat janji untuk berbincang kembali dengan para aktivis Komplu lainnya ketika kami kembali dari Aceh. Tepatnya Rabu malam kami akan mengatur pertemuan.
Ke Aceh
Pagi menjelang siang kami berkemas. Bersiap menuju Aceh. Dan satu jam kemudian kami tiba di Aceh. Dari dalam pesawat kami melihat betapa dahsyatnya bencana tsunami itu. Banyak bangunan rata dengan tanah. Genangan-genangan airlaut ada di sana-sini. Sejurus kemudian, kami tiba di bandara Sultan Iskandar Muda. Bandara kecil ini tampak sibuk. Maklum sejak bencana tsunami, banyak orang asing berdatangan.
Kemudian kami disambut di kantor Rabithah Thaliban Aceh (RTA), sebuah organisasi ulama Aceh yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Aceh. Di kantor inilah, nantinya, kami berbincang merencanakan program rehabilitasi untuk korban tsunami Aceh. Meski kantor itu tergolong kecil, berukuran 3x10 m dan berlantai dua, tetapi peran RTA selama ini sangat penting dalam mengorganisasi kaum ulama. Kantor itu dikelola oleh ulama-ulama yang masih muda.
Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, dengan senang hati dua orang dari RTA mengantarkan kami melihat-lihat daerah yang terkena bencana tsunami. Akhirnya, kamipun menyusuri lokasi-lokasi yang terkena bencana. Kami sempat melewati Masjid Baiturachman di Banda Aceh. Jejak-jejak air bah masih tampak nyata. Di sekitanya banyak bangunan yang ambles ke dalam tanah.
Memasuki daerah pantai, kira-kira 10 km dari Masjid Baiturachman, jejak-jejak bencana tsunami kian terasa. Banyak bangunan rata dengan tanah. Tenda-tenda darurat tampak berada di bekas rumah-rumah yang sudah rata dengan tanah tadi. Perkampungan yang pernah sangat padat itu dipenuhi kubangan air laut di sana-sini. Bagi saya, yang baru pertama kali ini menjejakkan kaki di daerah tersebut, pemandangan itu sungguh mengerikan. Apalagi orang yang pernah, atau bahkan tinggal di situ, tentu akan sangat tahu perubahan besar yang telah terjadi dalam sekejap mata itu.
Kami pun menyusuri lokasi lain, yang tentu saja masih di sekitar pantai. Pemandangan tak sedap masih kami temui. Jalanan beraspal banyak yang rusak Rumah-rumah di sepanjang jalan yang kami lalui rusak berat. Namun masih ada satu-dua rumah yang masih tegak berdiri. Tenda-tenda pengungsi masih banyak berserakan. Geliat ekonomi belum pulih benar. Orang-orang masih trauma. Tengok saja, puluhan bahkan ratusan hektar lahan tambak dan pertanian rusak.
Lelah juga mata dan hati ini menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Untuk menetralkan pikiran, lalu kami singgah ke makam Syiah Kuala, penyebar agama Islam pertama di Aceh. Aneh! Di kompleks pemakaman itu hanya makam Syiah Kuala yang relatif utuh daripada yang lainnya. Inilah kuasa Ilahi. Di sepanjang perjalanan tadi memang banyak bangunan yang rusak. Tetapi, bangunan masjid, lagi-lagi, relatif utuh daripada rumah-rumah di sekitarnya.
Senja mulai menjulang. Kami pun berpulang. Malam ini kami hendak bermalam di sebuah pondok pesantren. Letaknya di Sibreuh. Tak jauh dari kantor RTA. Di sepanjang perjalanan, lagi-lagi, mata kami disuguhi oleh pemandangan tak sedap yang rata dengan tanah. Tiba di tujuan, kami disambut ramah oleh Tengku Faizal, pengasuh POndok Pesantren Mahyal Ulum yang bakal kami tempati.
Pesantren ini, dan umumnya di Aceh, berdiri di atas tanah yang luas. Saking luasnya cukuplah kalau dipakai arena sepakbola mini. Seperti bangunan tradisional Sumatera, bangunan di pesantren ini terbuat dari kayu. Lantai bangunan sengaja dibuat tinggi sehingga perlu tangga untuk menaikinya. Letak bangunan terpisah-pisah dengan lainnya.
Dari penuturan Tengku Faizal diperoleh keterangan bahwa sebelum tsunami, pesantren ini hanya ditinggali oleh 40-an santri. Namun, kini, setelah tsunami, pesantren dihuni oleh 150-an santri. Tentu saja hal ini menambah beban. Terutama soal penyediaan makan. Tetapi untunglah banyak pihak yang membantu. Beban jadi ringan. Dari penuturan Tengku Faizal pulalah meluncur cerita yang tak mengenakkan telinga. Pemerintah dinilai sangat lambat dalam menangani korban tsunami ini. Banyak orang Aceh yang memertanyakan kemana saja sumbangan yang mengalir begitu deras itu diperuntukkan. Cerita rebutan “kue bencana” sudah akrab di telinga orang Aceh. “Di sini banyak pesantren dadakan,” papar Tengku Faizal. “Banyak orang beramai-ramai mendirikan pesantren tanpa ada santrinya,” jelas Faizal. Mereka, kata Faizal, menyewa santri-santri untuk didatangkan ke pesantrennya ketika calon penyumbang datang. Setelah calon penyumbang itu pergi, maka santrinyapun disuruh pergi.
Cerita soal aliran dana yang tak tepat sasaran dialami oleh para murid sekolah. Dana bantuan pendidikan, selama ini, hanya disalurkan melalui sekolah-sekolah resmi, sekolah negeri. Padahal, korban tsunami yang berusia sekolah banyak ditampung di pesantren. Celakanya, pesantren luput dari peta penyaluran dana tersebut.
Obrolan kian malam kian seru. Namun, apa daya kami harus beristirahat. Kami berdelapan beristirahat di sebuah bangunan tanpa tembok. Meski hanya beralaskan tikar namun terpaan angin malam dan cahaya bintang di langit menemani mimpi indah kami.
Esoknya, pagi-pagi kami menikmati segelas kopi khas Aceh di sebuah warung, di tepi jalan raya, 100 m dari pesantren. Pemandangan perbukitan sungguh sedap di mata. Selepas makan pagi, kamipun pamit. Hari itu kami mengatur pertemuan dengan RTA untuk merancang program pelatihan bagi korban tsunami Aceh.
Tiba di kantor RTA kami bertemu dengan beberapa pengurus RTA yang lain. Berbagai ide sempat terlontarkan dalam forum itu. Akhirnya, setelah perundingan yang cukup melelahkan tercapai juga kata sepakat. Disepakati bahwa Aceh Sehati akan membantu dan membiayai pelatihan keterampilan bagi warga Aceh. Pelatihan akan dilaksanakan di Yogyakarta selama 12 hari kerja. Pelatihan keterampilan itu meliputi tata boga, tata busana (bagi putri), teknik bangunan, otomotif, dan pertukangan kayu (bagi putrra). Mengenai perekrutan peserta pelatihan dipercayakan sepenuhnya kepada RTA.
Malam ini kami menginap di Gereja Katolik Banda Aceh. Gereja ini terletak tepi di sebuah kanal sungai, tak jauh dari Masjid Baiturachman. Suster-suster di gereja ini sangat ramah. Kami disambut baik. Selama proses evakuasi, gereja ini dijadikan posko oleh tim relawan. Salah seorang suster menceritakan bahwa bencana tsunami telah mempersatukan umat yang berlatar belakang agama berbeda. Tujuannya hanya satu. Untuk kemanusiaan.
Ke Medan (lagi)
Esok siangnya, kami berkemas. Bergegas menuju bandara. Kembali ke Medan (lagi). Sembari menunggu malam untuk bertemu dengan Komplu, kami beristirahat di Gereja Katedral Medan, masih di kamar yang sama.
Tiba juga saat ketika kami berbincang dengan Komplu perihal pengalaman masing-masing bergiat di atas pluralitas agama. Pertanyaan yang kritis dilontarkan oleh seorang aktifis perempuan di Komplu. Ia menanyakan peran perempuan di FPUB. Menanggapi ini Kyai Muhaimin berpendapat bahwa selama ini FPUB sudah cukup terbuka. Namun, seleksi alam yang membuktikan. FPUB tak ingin repot-repot menyoal jender. Justru FPUB lebih memberdayakan potensi yang ada.
Menurut pengakuan aktifis Komplu, di Medan pemerintah daerah pernah membentuk Forum Pemuka Agama (FPA). Namun, hanya papan nama. Kegiatan antariman di Medan, selama ini, baru sebatas insidental dan berwacana, misalnya, ketika Interfidei mengadakan semiloka.
Seorang pegiat Komplu, yang juga seorang seniman, mengaku bahwa hubungan sosial di Medan memang kaku. Ini disebabkan minimnya ruang publik yang representatif. Keberadaan ruang publik ini dinilai penting untuk mempertemukan orang-orang yang berpikir kritis. Ia salut atas eksistensi FPUB yang sudah delapan tahun berjalan. Ia menilai bahwa eksistensi FPUB tersebut dibalut oleh budaya Jawa yang kental. Hal ini tidak terjadi di Medan. Budaya di Medan cukup majemuk. Sulit mencari formula yang tepat sebagai identitas pemersatu.
Kian malam perbincangan makin seru. Banyak hal yang didedahkan dan diimpikan. Namun apa daya ingin memeluk gunung, tapi tangan tak sampai. Kami membiarkan letupan-letupan impian itu mengendap dalam kepala kami. Menyimpannya dalam memori kami sebagai pemacu semangat untuk terus bergiat di Bumi Mataram.*

>fosil manusia purba




Tulisan ini mengantarkanku mengikuti tes pada sebuah grup media terbesar di negeri ini. Tapi sayang, garis karmaku tak mengantarkanku jadi jurnalis.
NB: ada bagian yang hilang dari tulisan ini perihal pengujian DNA terhadap fosil-fosil ini untuk mendapatkan kisaran umur yang lebih akurat. Maaf.....


MACAM DAN PERKEMBANGAN FOSIL HOMINID DI JAWA
SELAMA KUARTER


Daerah yang selama ini banyak ditemukan fosil hominid yaitu Jawa Timur, meliputi Trinil, Ngandong dan Mojokerto, dan Jawa Tengah, meliputi Sangiran dan Sambungmacan. Penemuan hominid fosil yang diberitakan pada tahun 1930an hingga 1941, diawali dengan penemuan tujuh tengkorak dari Homo soloensis yang diperoleh dari Ngandong, Jawa Timur, pada tahun 1931, yang kemudian diikuti oleh penemuan sebuah tengkorak anak-anak dari Homo modjokertensis di Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 1936.

Dari tahun 1936 hingga 1941 beberapa fosil hominid ditemukan di kubah Sangiran, berupa dua tengkorak Pithecanthropus II dan III dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus B pada tahun 1936 hingga 1938, sebuah tengkorak Pithecanthropus IV berbadan kekar yang ditemukan pada tahun 1938 hingga 1939 (Pithecanthropus IV merupakan contoh fosil yang paling lengkap yang ditemukan dalam Formasi Pucangan), sebuah rahang bawah raksasa Meganthropus pada tahun 1941, dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus dubuis pada tahun 1939.

Spesimen Pithecanthropus, Meganthropus dan Homo modjokertensis di Jawa dan Sinanthropus dan Gigantophithecus dari Cina merupakan bukti adanya evolusi manusia dan merupakan tempat terpenting tempat kelahiran manusia.

Keadaan geologi dan stratigrafi
Secara stratigrafi, daerah Sangiran terbagi ke dalam empat formasi. Dari yang tertua hingga termuda berturut-turut adalah Formasi Kalibeng (Pliosen- Akhir Miosen), F. Pucangan (Pleistosen Awal), F. Kabuh (Pleistosen Awal-Tengah) dan F. Notopuro (Pleistosen Awal-Tengah). F. Kalibeng tersusun atas litologi lempung, lempung lanauan (tebal lebih dari 107 m), pasir lanauan (tebal 4,2-6,9 m), batugamping Balanus (tebal 1-2,5 m), lempung dan lanau (tebal 0-10,1 m). F. Pucangan tersusun atas litologi breksi vulkanik (tebal 0,7- 46 m), lempung hitam (tebal 111,3 m) dengan terutama mengandung interkalasi lanau, pasir, diatome, batupasir foraminifera, dan tuf. F. Kabuh dengan tebal 5,8-58,6 m tersusun atas litologi lempung, lanau, pasir, pasir besi dan gravel, juga tersusun oleh interkalasi batupasir konglomerat (yang dikenal sebagai Grenzbank) dan tuf. F. Notopuro dengan tebal mencapai 47 m tersusun atas litologi gravel, pasir, lanau, dan lempung. Juga terdapat interkalasi lahar, pumis dan tuf. Di bagian atasnya terendapkan lumpur vulkanik berumur Pleistosen Akhir dengan tebal 3,5 m. Di lapisan teratas terdapat endapan teras dari Sungai Cemoro, Pohjajar dan Brangkal dan endapan aluvial yang berumur Holosen

Stratigrafi daerah Sambungmacan termasuk ke dalam Formasi Kalibeng. Batuan tertua yang terkespos adalah batugamping napalan berwarna putih-kekuningan, yang mengandung fosil moluska. Juga terdapat interkalasi tipis tuf dan lapisan pasir. Terdapat pula batupasir laminasi silang siur dan lapisan gravel yang terkonsolidasi baik yang berukuran sedang hingga kasar, gravel berukuran berangkal hingga kerakal, dan lanau. Lapisan teratas terdiri dari endapan teras sungai.

Keadaan geologi dan stratigrafi daerah Trinil dan sekitarnya pertama kali diteliti oleh Carthaus (1911) dan Dozy (1911) yang turut sebagai anggota tim ekspedisi Selenka di daerah ini pada tahun 1907 hingga 1908. Kemudian van Es (1931) dan Duyfjes (1936) mempublikasikan hasil penelitian mereka. Secara geomorfologi, daerah Trinil dan sekitarnya termasuk ke dalam antiklinorium Kendeng. Di daerah ini batuan sedimen yang berumur Pliosen-Pleistosen dan batuan vulkanik hadir membentuk struktur homoklin dengan kemiringan batuan yang tak teratur. Singkapan yang baik hanya dapat dilihat di sepanjang tebing Sungai Bengawan Solo.

Batuan tertua yang tampak ke permukaan adalah lempung masif anggota Formasi Kalibeng. Di sebelah utara, di desa Pentuk, Sungai bengawan Solo mengekspos bagian teratas F. Kalibeng yang terdiri atas lempung abu-abu kekuningan yang kaya fosil foraminifera plangtonik. Juga terdapat batulanau dan batugamping dengan tebal 25-47 m.

Selanjutnya, di bagian atas F. Kalibeng terdapat unit F. Pucangan dengan tebal 22-32 m yang terdiri atas breksi vulkanik dengan interkalasi lempung dan batulanau abu-abu. Di bagian atasnya, terdapat unit dari F. Kabuh dengan tebal 45-53 m yang didominasi batupasir dan batulanau dengan interkalasi lapisan gravel (di sinilah Dubois menemukan Pithecanthropus I) . Selanjutnya di atasnya terdapat unit dari F. Notopuro dengan tebal lebih dari 10 m yang terdiri atas pasir dan gravel. Pada lapisan teratas terendapkan endapaan teras yang terdiri dari gravel dan pasir dengan tebal kurang dari 4 m.

Daerah Mojokerto, secara stratigrafi, termasuk ke dalam F. Pucangan. Di daerah ini terdapat tujuh anggota F. Pucangan (Duyfjes, 1936), dari yang tertua hingga yang termuda, yaitu : g) batupasir (kasar hingga halus) tufan dengan tebal 35 m, f) dolomit dan atau batupasir tufan dengan tebal 10 m, e) lempung kehijauan tebal 10 m, d) batupasir kasar hingga halus dengan sisipan lapisan konglomerat, pada lapisan bawah terdapat interkalasi tipis batupasir (halus) tufan, tebal keseluruhan lapisan ini 100 m, c) batupasir halus tufan dengan sedikit interkalasi lempung, tebal 10 m, b) dolomit, lempungan, batupasir tufan dengan cangkang moluska dan banyak tiang koral, tebal 15 m, a) lempungan, batupasir tufan yang mengandung lapisan tipis batupasir tufan, tebal 25 m.

Meganthropus

Fosil primitif yang pernah ditemukan di Indonesia disebut Meganthropus paleojavanicus oleh Koenigswald dan Weindenreich. Fragmen-fragmen rahang bawah dan atas ditemukan oleh von Koenigswald antara tahun 1936-1941 di Formasi Pucangan, Sangiran. Fragmen rahang bawah lain ditemukan oleh Marks pada tahun 1952 di lapisan terbawah Formasi Kabuh.

Temuan Meganthropus yang pertama adalah fragmen rahang kiri atas dengan geraham kedua dan ketiga, serta sebagian geraham pertama. Tetapi, yang pertama kali diumumkan adalah fragmen rahang bawah sebelah kanan dengan kedua geraham muka dan geraham pertama. Temuan berikutnya terdiri dari rahang bawah dengan gigi-gigi, mulai dari geraham pertama kiri sampai geraham ketiga kanan. Rahang bawah Meganthropus mempunyai batang yang tegap dan geraham yang besar. Pada permukaan kunyah tajuknya terdapat banyak kerut, tetapi bentuk giginya hominin. Otot-otot kunyahnya sangat kokoh, karena itu mukanya diperkirakan masif dengan tulang pipi tebal, tonjolan kening yang menyolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tempat pelekatan yang besar. Meganthropus tidak memiliki dagu. Perawakan tubuhnya tegap. Dilihat pada susunan giginya, diperkirakan makanannya terutama tumbuh-tumbuhan.

Pithecanthropus

Fosil manusia yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah fosil Pithecanthropus, sehingga dapat dikatakan bahwa kala Pleistosen di Indonesia didominasi oleh manusia tersebut. Pithecanthropus hidup pada Pleistosen Awal dan Tengah, dan mungkin juga hingga Pleistosen Akhir. Fosil Pithecanthropus banyak ditemukan di Perning, Kedungrubus, Trinil, Sangiran, Sambungmacan dan Ngandong.

Tinggi badan Pithecanthropus berkisar antara 165 hingga 180 cm dengan berat badan 80-100 kg. Tubuh dan anggota badan tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus. Alat-alat pengunyahnya juga tidak sehebat pada Meganthropus, demikian pula otot-otot tengkuk. Geraham besar, rahang kuat,tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis, dan tonjolan belakang kepalanya nyata. Dagu belum ada dan hidungnya lebar.

Perkembangan otaknya masih belum menyamai Homo, oleh karena perkembangan kulit otaknya masih kurang, terutama pada bagian yang berhubungan dengan fungsi-fungsi otak yang tinggi dan koordinasi otot yang cermat. Karena itu, mukanya masih menonjol, dahinya miring ke belakang, bagian terlebar pada tengkoraknya masih terdapat dekat dasar tengkorak dan belakang kepalanya belum membulat. Letak tengkorak di atas tulang belakang belum menyamai keadaan pada manusia sekarang. Isi tengkorak berkisar antara 750-1300 cc.

Pithecanthropus yang tertua adalah P. modjokertensis atau robustus, yang pertama kali ditemukan dalam Formasi Pucangan pada tahun 1936 di Kepuhklagen, sebelah utara Perning dan Mojokerto. Temuan tersebut berupa tengkorak anak-anak, berusia sekitar enam tahun, berdasarkan taju puting dan sendi rahang bawahnya. Isi tengkoraknya berkisar 650 cc, setelah dewasa diperkirakan akan menjadi 1000 cc. tonjolan kening sedikit nyata dan tulang-tulang atap tengkoraknya tidak begitu tebal.

Temuan lain yang dianggap tergolong ke dalam P. modjokertensis berasal dari Sangiran, berupa atap tengkorak, beberapa bagian dasar tengkorak, rahang atas dan bawah, serta gigi-gigi lepas. Ciri-ciri Pithecanthropus nyata terlihat. Bagian terlebar tengkoraknya terletak rendah dekat dasar tengkorak dan tulang-tulang atap tengkoraknya tebal. Tengkoraknya rendah dan kiri-kira isinya 900 cc. Tulang belakang rendah dan bersegi antara kedua bagiannya, tempat terdapatnya tonjolan belakang kepala dengan tepi bawah yang tajam. Pada rahang atas, gigi seri tengahnya lebih besar daripada yang samping dan taringnya menonjol melewati permukaan kunyah. Antara gigi seri samping dan taring terdapat ruang , suatu hal yang sangat jarang terjadi pada manusia modern. Ciri primitif yang perlu dicatat pada rahang atas P. modjokertensis ialah terdapatnya tiga buah akar geraham muka pertamanya. Pada rahang bawah, yang terbesar juga rahang kedua. P. modjokertensis diperkirakan hidup pada 2,5 hingga 1,25 juta tahun yang lalu.

Fosil Pithecanthropus yang lebih banyak keterdapatan dan penyebarannya adalah P. erectus. Pada tahun 1980, di Kedungbrubus, ditemukan sebuah fosil berupa fragmen rahang bawah seorang anak laki-laki, diperkirakan berumur sepuluh tahun. Fragmen batang kanan rahang tersebut tebal tetapi dasarnya tipis. Tidak terdapat dagu, tetapi di sebelah dalam rahang terdapat dua buah tonjolan melintang yang sangat nyata. Geraham muka pertamanya sedang muncul. Pada tahun 1891, ditemukan fosil atap tengkorak dari P. erectus di Trinil. Berdasarkan penemuan inilah Dubois memberikan nama P. erectus. Nama erectus yang diberikan berasal dari temuan tulang paha di tempat yang sama, yang menunjukkan bahwa pemiliknya berjalan tegak. Menurut Stokes, 1960, P. erectus merupakan penghubung antara manusia dengan kera. Saat ini, spesies ini dipercaya sepenuhnya sebagai mahkluk yang menyerupai manusia dan selanjutnya juga disebut Homo erectus.

Atap tengkorak P. erectus yang pertama ditemukan adalah kepunyaan seorang laki-laki dengan isi tengkorak sekitar 900 cc. Tulang paha yang pertama ditemukan pada tahun 1982 adalah tulang paha seorang perempuan, dengan tinggi badan sekitar 168 cm. Batang tulangnya lurus dengan tempat-tempat perlekatan otot yang sangat nyata. Temuan P. erectus yang pertama di Sangiran berupa sebuah atap tengkorak perempuan dewasa dengan isi tengkorak 775 cc. Juga ditemukan tengkorak laki-laki dewasa dengan kapasitas tengkoraknya 975 cc. P. erectus diperkirakan hidup pada satu juta hingga 500.000 tahun yang lalu. Menurut Stokes, 1960, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa P. erectus telah mengenal api, dan juga tidak ditemukan artefak yang berhubungan dengan penggunaan api.

Pithecanthropus yang bertahan hidup hingga akhir Pleistosen Tengah, atau lebih belakangan lagi, adalah P. soloensis. Fosil P. soloensis ditemukan dalam Formasi Kabuh di Sangiran, juga ditemukan di Sambungmacan, Sragen serta teras Ngandong, Blora. Fosil P. soloensis pertama kali ditemukan di tepi Sungai Bengawan Solo, di Ngandong, pada tahun 1931 yaitu dua buah atap tengkorak, sebuah tulang dahi dan fragmen tulang pendinding. Dalam dua tahun berikutnya, jumlahnya bertambah dengan ditemukannya tengkorak dan dua buah tulang kering.

Tengkorak yang ditemukan pada tahun 1931 merupakan tengkorak wanita berumur 35-40 tahun dengan kapasitas sebesar 1140 cc. Tengkorak yang lain milik seorang anak perempuan dan seorang laki-laki berumur 40-50 tahun. Pada tahun 1932 ditemukan empat buah tengkorak dan sebuah tulang kering. Satu diantaranya adalah milik seorang perempuan berumur 25-35 tahun. Salah satu fosil yang lainnya lagi, milik laki-laki dewasa, merupakan tengkorak terpanjang yang pernah ditemukan dengan kapasitasnya sebesar 1200 cc. Fosil yang satunya lagi milik seorang perempuan berumur 45-50 tahun dengan kapasitas tengkorak 1190 cc merupakan temuan terlengkap dan utuh diantara temuan tengkorak-tengkorak lainnya di Ngandong.

Dari temuan tersebut diperoleh informasi bahwa otot-otot tengkuknya berkembang baik, otak kecilnya sudah lebih berkembang daripada P. erectus, dan sendi tengkoraknya agak berbeda dengan manusia modern. Sedangkan tengkorak yang satunya lagi milik seorang perempuan muda. Tulang kering yang ditemukan milik seorang laki-laki dewasa. Tulangnya tegap, dengan otot-otot yang besar dan dari tulang ini diperkirakan tinggi badannya sekitar 180 cm.

Pada tahun 1933 ditemukan lagi sebuah tulang kering dan empat buah tengkorak lagi. Tulang kering tersebut merupakan bagian kanan dari tengkorak seorang perempuan dewasa dengan tinggi badan 165 cm. Sedangkan empat tengkorak tersebut, secara berturut-turut, milik seorang laki-laki berumur 25-35 tahun, atap tengkorak perempuan berumur 50 tahun, atap tengkotak perempuan berumur 40-45 tahun dan milik seorang laki-laki berumur 40-45 tahun dengan dasar tengkorak yang hamper utuh. Selanjutnya, pada tahun 1976, ditemukan bagian atas tengkorak sebelah kanan dan sebuah atap tengkorak yang rapuh. Sebuah fragmen tulang pinggul, yaitu bagian sendinya dengan tulang paha, ditemukan pada tahun 1978.

Secara umum, isi tengkorak P. soloensis berkisar antara 1000 hingga 1300 cc, tulang tengkoraknya menonjol, tebal dan masif, dengan tempat perlekatan yang menyolok. Tonjolan keningnya masih cukup nyata, tetapi mulai menyusur di tengah-tengah. Dahinya lebih terisi dan tengkoraknya lebih tinggi daripada P. erectus dan P. modjokertensis. Tempat perlekatan otot tengkuk masih cukup luas. P. soloensis memiliki akar hidung yang lebar, rongga matanya sangat panjang.

Dari ciri-ciri pada dasar tengkoraknya dapat disimpulkan bahwa letak kepalanya di atas tulang belakang belumlah seperti pada manusia modern. Tulang keringnya tegap dengan tempat perlekatan otot yang kasar. Tinggi badannya diperkirakan 165 hingga 180 cm. Walaupun P. soloensis memperlihatkan banyak persamaan dengan P. erectus dan P. modjokertensis, tetapi lebih banyak lagi persamaannya dengan P. pekinensis dari Chou-kou-tien, dekat Beijing. Perbedaan P. soloensis dengan P. erectus dan P. modjokertensis terlihat pada besar tengkoraknya, tonjolan kening dan tonjolan belakang kepala, daerah telinga dan sekitar hidung. P. soloensis diperkirakan hidup pada 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu. Menurut Stokes, 1960, P. soloensis, oleh beberapa peneliti, digolongkan ke dalam spesies antara Homo erectus dengan Homo sapiens.

Homo

Fosil manusia dari genus Homo yang ditemukan berupa rangka Wajak, Jawa Timur, dan juga beberapa tulang paha dari Trinil dan tulang-tulang tengkorak dari Sangiran. Penemuan fosil Homo yang pertama terjadi di dekat Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur, adalah H. sapiens oleh van Rietschoten pada tahun 1889. Fosil yang ditemukan tersebut kemudian diselidiki oleh Dubois dan ternyata terdiri dari tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa ruas leher. Penemuan yang kedua terjadi pada tahun berikutnya di tempat yang sama, terdiri dari fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah, serta tulang paha dan tulang kering.

Berdasarkan ciri-ciri fisik, Homo lebih maju daripada Pithecanthropus. Isi tengkorak Homo bervariasi antara 1000 hingga 2000 cc, tinggi badan 130 hingga 210 cm dan berat badannya 30 sampai 150 kg. Otak lebih berkembang, terutama kulit otaknya, sehingga bagian terlebar otaknya terletak tinggi di sisi tengkorak dan dahinya membulat serta tinggi. Bagian belakang tengkorak juga membulat dan tinggi.

Otak kecil sudah berkembang lebih jauh pula dan otot tengkuk sudah mengalami reduksi, karena sudah tidak begitu diperlukan lagi dalam ukuran yang besar. Hal ini dikarenakan alat pengunyah sudah susut lebih lanjut, gigi mengecil, begitu pula rahang serta otot pengunyah dan muka tidak begitu menonjol lagi. Letak tengkorak di atas tulang belakang sudah seimbang. Berdiri serta berjalan tegak sudah lebih sempurna dan koordinasi otot sudah jauh lebih cermat. Dari uraian tersebut, manusia Wajak memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh Mongoloid dan Australomelanesid. Diperkirakan manusia Wajak hidup pada 40.000 hingga 25.000 tahun yang lalu.

Simpson, 1966, menyebutkan bahwa H. sapiens, secara gradual muncul. Simpson memberikan ciri-ciri perbedaan anatomi manusia dengan genusnya sebagai berikut :
Manusia berkembang dari kera, juga berasal dari simpanse dan gorila, tetapi kemudian mengalami spesialisasi.

Perbedaan leluhur manusia dengan kera dicirikan oleh penggunaan kedua lengan (bipedal) dan juga tubuh bagian atas, yang sangat berhubungan dengan anatomi, kebiasaan dan kemampuan.
Perbedaan selanjutnya tampak pada evolusi susunan gigi, yang juga berpengaruh pada jenis makanan. Tidak dapat diketahui secara pasti apakah perbedaan bentuk tubuh dan susunan gigi terhadap kera terjadi secara tiba-tiba atau secara gradual.

Hanya setelah evolusi bentuk tubuh dan susunan gigi sempurna, otak manusia menjadi lebih besar dan melampaui otak kera, kecerdasan tidak hanya berhubungan dengan kapasitas otak tetapi juga dengan anatomi tengkorak.

Kesimpulan
  • Fosil hominid banyak ditemukan di daerah Sangiran, Sambungmacan (Jawa Tengah), Trinil, Ngandong dan Mojokerto (Jawa Timur).
  • Secara stratigrafi, fosil hominid banyak dijumpai dalam batuan yang termasuk ke dalam anggota Formasi Pucangan dan Kabuh.
  • Fosil hominid yang ditemukan, berdasarkan umur dari yang tertua hingga yang termuda dan tingkat kecerdasannya dari yang rendah ke yang lebih maju, berturut-turut adalah Meganthropus, Pithecanthropus modjokertensis, P. erectus, P. soloensis dan Homo sapiens.

Daftar Pustaka
  • Peter, B., 2000, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Edisi Revisi, Gramedia, Jakarta, p.525.
  • Poeponegoro, M. D., Notosusanto, N., 1993, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Edisi ke-4, Balai Pustaka, Jakarta, p.495.
  • Richard, L., 2003, Asal-usul Manusia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, p.221.
  • Simpson, G. G., 1966, The Biological Nature of Man, dalam Cloud P (ed), 1970, Adventures in Earth History, W. H. Freeman and Company, San Fransisco, p.992.
  • Stokes. W. L., 1960, Essential of Earth History : An Introduction to Historical Geology, Third Edition, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, p.532.
  • Watanabe, N., Khadar, D. (ed), 1985, Quartenary Geology of the Hominid Fossil Bearing Formation in Java, Geological Research and Development Center, Special Publication No. 4, p.378.