Wednesday, June 18, 2008

>wis rampung ngebor


Pengeboran 2000 meter sebanyak 39 titik bor di Simenggaris menggunakan dua unit mesin bor Jackro-200 selesai sudah. Setiap hari berjalan kaki dari camp ke lokasi rata-rata selama satu jam memang melelahkan, dicumbu terik matahari pula. Hitung-hitung ikut berpartisipasi dalam kampanye sepuluh ribu langkah sehari dari sebuah produk susu hehehe….


Ibarat perang, ada kemenangan ada kekalahan. Ada pula korban. Nah, pekerjaanku itu juga memakan “korban”. Diawali dari Eki (surveyor topografi) yang terserang malaria. Malaria juga menyerang Acok (kru driller). Selanjutnya Roy (kru driller) robek pelipis kanannya tergores potongan kayu. Jerry (geologist) harus merelakan jidatnya dihias dengan 13 jahitan. Yang terparah adalah Dinur (driller) yang harus mengucapkan selamat tinggal pada dua jari tangan kanannya. Sedangkan aku sendiri cuma berdonor darah ke seekor pacet, kena sentuhan mesra dari rengas (tanaman) yang menyebabkan tangan kananku gatal sampai berminggu-minggu, tersesar sendirian selama tiga jam tanpa kompas maupun GPS, dan terpeleset saat mandi di sungai. Seandainya terpeleset itu enak nan nikmat tentu aku mau terpeleset lagi hehehe….sayangnya tidak.

Tak Cuma manusianya yang jadi korban, peralatan kerja juga jadi korban. Radio yang menghubungkan camp dengan kantor di Nunukan rusak. Praktis komunikasi jadi pakai telepati. Sinyal ponsel kagak ada cing. Mobil satu-satunya rusak. Padahal baru enam bulam keluar dari toko. Mesin genset dan mesin bor kadang-kadang rusak membuat pekerjaan jadi terlambat. Yang paling celaka adalah logistic selalu terlambat masuk. Menu makanan sangat terbatas. Ditambah lagi tak ada kampung di ponsel tak sekitar camp. Ada she tadi jauh, harus nyeberang sungai menuju kampung terdekat yang berdampingan dengan pabrik pengolahan minyak kelapa sawit. Syukur-syukur kalau ada sayuran segar dan ikan segar. Tapi kalau itu nggak ada kami harus puas dengan makanan favorit orang Indonesia: mie instant! Biar klop ditambah ikan kaleng, telur ayam, dan ikan kering (ikan asin maksudnya). Air yang kami minum adalah air hujan. Ada sungai d samping camp, tapi terlalu asam dan keruh. Air hujan pilihan yang lebih baik. Secara tampak mata makanan dan minuman yang kusuguhkan ke tubuhku sangat tidak sehat. Tapi aku sudah mengantisipasinya dengan suplemen herbal sekaligus antioksidan: Liquid Chlorophill, K-Bio Green, dan Omegasqua.

Hidup di hutan tanpa listrik dan tak ada sinyal ponsel ternyata menyenangkan, meski sesaat. Setidaknya tubuh dan jiwaku jadi lebih segar, terbebas dari racun tv dan koran yang menyajikan bad news. Pun paru-paruku bisa diisi dengan oksigen bersih. Otot-otot tubuhku jadi lebih kuat. Menunggu cutting dan core naik ke permukaan sambil membaca “NGI”, “Intisari” atau “The 7 Habits” asyik oi…

Ah, selamat tinggal Simenggaris………

>Bumi, Manusia, dan Interaksinya


“Tiga milyar orang hidup dengan uang tak sampai dua puluh ribu rupiah sehari,” begitu laporan National Geographic Indonesia dalam edisi khusus “Tren Global”. Di ujung lain dari fakta itu bahwa pada tahun 2007 dua orang terkaya di dunia memiliki uang lebih banyak daripada gabungan PDB 45 negara-negara termiskin. Padahal bumi ini dihuni oleh 6,6 milyar manusia, sekarang. Dari jumlah tersebut, satu milyar orang tinggal di daerah kumuh di perkotaan di seluruh dunia. Celakanya, 100 juta anak usia sekolah belum mendapat pendidikan dasar.

Manusia yang tinggal di belahan bumi Amerika Utara, Eropa Barat, dan beberapa di Asia hidupnya jauh lebih baik daripada di belahan bumi lain. Ini bisa dilihat dari tiga hal yang berkaitan dengan kesejahteraan: kesehatan dan layanan kesehatan, akses pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Di Asia ada tiga negara yang penduduknya merasa hidupnya sangat bahagia: Malaysia, Brunei, dan Bhutan. Lha kita gimana? Bahagia, nggak? Laporan “Intisari” edisi Maret 2007 menyatakan bahwa meskipun negara kita sedang krisis multidimenasi, tetapi masyarakatnya merasa bahagia. Yakin, nih?

Salam,

Bahagia jika sepi, munafik jika ramai (di kota)

Tukang obok-obok bumi

Hiks............

>Seabad Kebangkitan Nasional, Malu Aku jadi Pemuda Indonesia


Sebanyak seratus karya tulis berupa maklumat, catatan, harian, puisi, prosa, pidato, buku fiksi dan non-fiksi, dan peta menjadi terbitan khusus “TEMPO” dalam memeringati seratus tahun kebangkitan nasional. Karya tertua adalah koran Medan Prijaji (1907-1912) yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, orang pribumi pertama yang mendirikan perusahaan pers. Sedangkan karya termuda adalah: 1) “Melawan Melalui Lelucon”, kumpulan artikel Gus Dur di “TEMPO” selama 1975-1983 yang diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo, 2) “Student Indonesia di Eropa” yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2000 yang merupakan kumpulan laporan jurnalistik Abdul Rivai selama 1926-1928 untuk koran Bintang Timoer, dan 3) “Aku ingin Jadi Peluru” sebuah kumpulan puisi Widji Thukul yang diterbitkan Indonesia Tera tahun 2000 yang jargonnya sangat terkenal pada demonstrasi massa, “Lawan!”.














Dari seratus karya tersebut beberapa di antaranya pernah kubaca semasa sekolah dan kuliah.








Ketika berstatus pelajar (karena memang ada di buku pelajaran Sejarah dan PSPB): 1) “Dekrit Presiden 5 Juli 1959”, “GBHN”, dan “Sumpah Pemuda”.








Yang “kekiri-kirian” dan kukoleksi:1) “Madilog” dan “Dari Penjara ke Penjara (I, II, III)” karya si misterius Tan Malaka, 2) Tetralogi Pulau Buru karya mbah Pramoedya Ananta Toer, 3) “Catatan Seorang Demonstran” teriakan sunyi Soe Hok Gie, 4) “Pergolakan Pemikiran Islam” oleh Ahmad Wahid, dan 5) “Burung-burung Manyar” karya Romo Mangunwijaya.








Yang sekilas kubaca dan tak kukoleksi: 1) “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia” (Koentjaraningrat), 2) “Manusia Indonesia” (Mochtar Lubis), 3) “Revolusi di Nusa Damai” (K’tut Tantri), dan 4) “Habis Manis Terbitlah Terang” ( R. A. Kartini).















Gagasan-gagasan Tan Malaka sangat menggugah rasa keindonesiaan bagiku. Pikirannya liar, membongkar kemapanan, pas betul dengan seleraku. Materialisme, dialektika, logika alias MADILOG memang sebagai seorang intelektual. Makanan enak buat otak kiri kita.Tampaknya Tan Malaka hendak membangun manusia Indonesia dengan melupakan sejarah kebesaran masa lalu. Serupa dengan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Seandainya masa lalu kejayaan Nusantara adalah komunisme atau Islam aku yakin Tan Malaka ataupun STA pasti berdarah-darah mendukung ideologinya itu. Kedigdayaan sains dan teknologi saat ini merupakan puncak dari karya materialisme. Tapi itu justru membuka mata kita bahwa kebahagiaan bukan terletak pada materialisme. Manusia-manusia pascamaterialisme beralih mencari kebahagiaan pada spiritualitas, menemukan makna filosofis dari kehidupan. Di dunia spiritual seringkali materialisme, dialektika, dan logika dikubur dala-dalam.















Karya-karya Mbah Pram diidentikkan sebagai bacaan kiri. Di masa Orde Baru bisa masuk bui bila kedapatan membawa, apalagi membaca, karya Pram. Ketika masa awal menjadi mahasiswa sering aku mendengar nama Pram disebut kalangan mahasiswa aktifis yang kucuri dengar dari obrolan mereka di warung angkringan dan burjo di Pogung Lor, Sleman. Beruntung sekali rasa penasaranku terpenuhi. Setelah berburu sekian lama menginterogasi para penjual buku di lapak-lapak Shopping Center Jogja akhirnya dapat juga aku tetralogi yang legendaris itu di pertengahan 2001. Pada perburuan pertama aku cuma dapat “Bumi Manusia” dan “Jejak Langkah”. Itupun sebagian halamannya merupakan fotokopian. Dua seri sisanya aku dapatkan seminggu kemudia, itupun pesan kepada si penjual agar jangan menjual ke ornag lain. Selanjutnya, aku berburu karya Pram yang lain. “Arus Balik” membuatku terpana!















Rasa penasaran pula yang menyerangku ketika nama Soe Hok Gie dan Ahmad Wahid bersama karya mereka sering dikutip dalam diskusi maupun tulisan. Butuh tiga tahun bagiku untuk bisa mendapatkan “Catatan Seorang Demonstran”. Itupun dalam bentuk fotokopian milik seorang kawan kuliah, Bosman Batubara. Kebetulan ketika itu aku bertandang ke kamar kosnya yang sekaligus markas PMII Sleman di Sawitsari. Baru setelah film “GIE” dirilis buku itu dicetak ulang dengan gambar sampul Nicholas Saputra. Akhirnya, bisa juga kukoleksi dan kutandai kata-katanya yang menarik buatku. “Pergolakan Pemikiran Islam” aku dapatkan secara tak tak sengaja di Social Agency Gejayan. Itupun tinggal satu-satunya. Beruntungnya aku.Bagiku buku ini menarik dan menggugah. Ada semangat perlawanan terhadap kemapanan pemikiran Islam konservatif. Ada tawaran-tawaran ijtihad baru yang mencerahkan untuk menjawab kegelisahan keagamaan Ahmad Wahib. Kegelisahan yang juga kurasakan sebagai pemeluk Hindu. Kedua orang itu banyak punya persamaan: cerdas, kritis, idealis, konsisten, humanis, dan keduanya mati muda! Mereka adalah manusia pembelajar sejati. Sosok mahasiswa idealis. Karya mereka sepatutnya menjadi bacaan wajib mahasiswa supaya mereka mengerti siapa dan bagaimana mahasiswa harus bergerak.















“Burung-burung Manyar” membawaku kepada kecintaan tanah air Indonesia yang dibungkus dengan heroisme dan pengorbanan. Sangat cerdas Romo Mangun membuaiku, menuntun imaji melayang, seakan-akan aku terlibat dalam jalinan kisah novel itu sebagai anak kolong. Memang aku dilahirkan dalam keluarga tentara. Masa sekolah dasar kuhabiskan di sekolah yang murid-muridnya anak tentara semua.















Dulu ketika kita mendapati seseorang mencandui karya Eyang Pram, misalnya, selalu saja diasosiakan sebagai pemberontak, bertampang tak menarik, penampilan awu-awutan, kere, berteriak lantang, “Anti kapitalisme!” atau sederet cap tak sedap lainnya. Tapi kini, pascareformasi, imaji seperti itu kabur sudah. Bisa saja seorang cewek seksi, dengan “masa depan” yang menonjol, “latar belakang” yang menggoda, mengendarai Honda Jazz, sembari kongkow di Starbucks, asyik menikmati “Rumah Kaca”. Bisa jadi setelah itu ia juga melahap karya-karya Paolo Freire, Che Guevara, Ivan Illich, atau Umberto Eco. Tak lama kemudian dia dugem ma temen-temennya. Why not? Apa yang salah?















Ada sebuah buku yang menarik minatku karya Gerson Poyk berjudul “Perjalanan Keliling Indonesia”. Gerson mengisahkan kehidupan manusia Indonesia di berbagai pelosok dalam gaya bertutur yang ringan dan jenaka serta diperindah dengan perpektif budaya local yang khas. Gerson tergerak hatinya untuk berkeliling Indonesia setelah membaca sebuah tulisan Pram di Koran Bintang Timur tahun 1963. Pram menganjurkan kepada orang-orang yang mau menjadi penulis haruslah menjadi nasionalis dengan cara mengenali Indonesia. Lalu ia nekat meninggalkan profesinya sebagai guru di Ternate. Ah, keliling Indonesia sembari menulis dan memotret! Impian yang indah. Banyak ahli menyebut “Di Bawah Bendera Revolusi”merupakan karya puncak Bung Karno. Sepertinya patut kiranya kubaca dan kukoleksi. Aku ingin buku-buku itu menghiasi perpustakaan pribadiku.















Ah, ternyata sedikit sekali dari seratus karya itu yang aku baca. Malu aku sebagai pemuda Indonesia zaman kini. Malu aku sebagai pemuda Indonesia yang belum keliling Nusantara. Fiuh.















Tabik,








Camp Simenggaris, Malindo (Malaysia-Indonesia)