Monday, April 21, 2008

>Transkalimantan Kilometer Nol

Menjadi wellsite geologist adalah job deskku kali ini. Ada 70 titik bor direncanakan dibor di wilayah Simenggaris, Kalimantan Timur, dengan kedalaman 30 dan 60 meter. Simenggaris berada di kilometer nol jalan transkalimantan, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Untuk mencapai lokasi ini diperlukan waktu satu jam lima belas menit pakai speedboat dari Nunukan. Sebelumnya aku harus menempu perjalanan 2 jam lima belas menit dari Tarakan ke Nunukan.

Basecamp ada di kilometer nol tetapi wilayah kerjaku ada di kilometer sebelas (flying camp). Jalanan di sana sebagian masih tanah dan sebagian lagi aspal tipis yang menyebabkan jalan mudah rusak. Beberapa jembatan masih dibuat dari gelondongan kayu-kayu besar. Cuma ada satu-dua saja jembatan yang konstruksinya dari beton.

Hidup di sana sungguh-sungguh harus tahan uji. Bayangkan hidup tanpa jaringan listrik, hanya mengandalkan mesin jenset pada malam hari saja. Tidak ada perkampungan, hanya ada satu-dua rumah saja yang terpisah-pisah jauh. Celakanya, sinyal HP juga tak ada! Untuk mendapatkan sinyal HP aku harus menuju kilometer 24. Perjalanan yang tak mudah karena tidak setiap saat aku bisa ke sana. Tak ada angkutan umum. Jalanan rusak. Biasanya aku bersama rekan-rekan yang lain satu mobil ke sana. Itupun mobil satu-satunya fasilitas perusahaan.

Ada juga tempat lain. Tetapi harganya mahal. Dari basecamp naik speedboat tak sampai lima menit ongkosnya Rp 10.000,00 lalu sewa motor melewati pabrik pengolahan minyak kelapa sawit milik PT. Nunukan Jaya Lestari. Ongkosnya Rp 50.000,00. Sejauh mata memandang jalanan yang kulewati ditumbuhi kelapa sawit. HPku bisa menangkap sinyal di suatu titik di perbukitan tepi jalan. Meski ada sinyal, tetapi tak selalu mudah untuk berkomunikasi dengan bagus. Suara lawan bicaraku terdengar putus-putus, tetapi lain halnya bila aku yang menerima panggilan telpon. Sengatan matahari yang menusuk menambah tidak nyaman.

Pekerjaanku di sana adalah mendeskripsi serbuk bor (cutting) dan inti bor (coring) menggunakan metode touch coring, mencatatnya lalu mengambil sampelnya bila memenuhi syarat. Hasil pemboran di lima titik pertama ini menunjukkan bahwa lapisan batubara tebalnya tak sampai satu meter di kedalaman lebih dari 30 meter. Aku bekerja sama dengan para kru driller yang sudah berpengalaman. Sedangkan ini pengalaman pertamaku. Aku banyak belajar dari mereka. Ada dua tim yang diturunkan untuk pekerjaan ini, masing-masing enam orang.

Kami tinggal di flying camp, satu kilometer dari jalan transkalimantan kilo sebelas. Jalanan tanah bergelombang yang terkadang menyempit karena tergerus air membuat perjalanan menjadi menegangkan. Kalau tak mahir menyetir niscaya kami pasti terperosok. Untung saja sopirnya Pak Combat, mantan anggota Kopassus, yang bisa diandalkan untuk mengantarkan kami dengan selamat.

Flying camp kami sangat sederhana. Berbentuk panggung yang kayunya diambil dari pohon-pohon di sekitar. Beratapkan terpal. Cukuplah buat menampung 20 orang. Tetapi, langit-langit yang pendek, kalau berdiri kepalaku bisa menyentuhnya, membuat udara terasa panas pada siang hari. Jangan harap bisa tidur siang. Kami memanfaatkan kolong panggung buat bersantai di siang hari. Memang terasa jauh lebih nyaman.

Kalau urusan tidur buatku tak masalah. Yang jadi masalah ketika pasokan makanan terlambat. Alhasil, kami harus puas dengan menu mie instant, ikan sarden kalengan, dan telur untuk menu pagi, siang, dan malam. Kami sering mengeluh. Kami ingin sayuran segar, ikan segar, tahu dan tempe. Ibu tukang masak tak bisa berbuat banyak. Ia memasak berdasar bahan yang tersedia. Alhasil, seminggu di flying camp cukup membuatku terserang radang tenggorokan. Ini kiamat buatku. Apalagi persediaan Liquid Chlophyll dan Omega Squa tinggal setengah botol. Dua produk suplemen alami itu yang kuandalkan untuk melindungiku dari bahan-bahan berbahaya yang ada dalam makanan dan minuman.

Terkadang aku mengeluh berada di daerah yang “tak beradab”. Tetapi setelah kurasakan ternyata sangat menyenangkan hidup tanpa tv dan koran. Aku muak dengan sajian tv dan berita di koran yang isinya mengorek kebobrokan bangsa ini. Aku hanya ditemani Karl May dengan bukunya “Dan Damai di Bumi!”, Langit Kresna Hariadi dengan “Gajah Mada: Hamukti Palapa”, dan buku grammar untuk mengasah bahasa Inggrisku.

>Kuli yang sedang Cuti

Cuti tahunanku jatuh di bulan April ini. Aku ingin rehat sejenak dan merefleksikan perjalanan hidupku. Aku ambil cuti delapan hari kerja, ditambah hari libur totalnya jadi 12 hari. 12 April aku mendarat di Jogja. Entah mengapa aku merasa hommy di Jogja, kota yang penuh kenangan. Cuma tiga hari aku di Jogja. Aku berterima kasih pada Giri, sohibku di kampus dan KMHD, yang mau menampungku di rumah kos-kosannya.

Banyak sekali yang berubah di Jogja. Kalau masa kuliah dulu aku nongkrongnya di warung angkringan dan burjo tap sekarang bolehlah di café-café yang bertebaran di jakal sembari berselancar di dunia maya pakai laptop. Minggu malam, 13 April, bersama rekan-rekan semasa kuliah Bosman yang penggagur berduit (baru sebulan ia resign dari KPC), Emen (yang lagi serius menyelesaikan skripsinya setelah beberapa tahun waktunya tersita bekerja di perusahaan minyak di Sumatera), dan Moncos (masih berstatus mahasiswa). Kami ngobrol ngalor-ngidul di MP Book Point jakal km 6,2. Banyak kisah seru dan saru yang terurai. Sesekali kali tekekeh mendengar cerita salah seorang dari kami. Kami ngobrol ditemani minuman hangat dan kudapan sedap dari jam 19 sampai café tutup jam 23.30!

Semasa kuliah tak sekalipun aku pernah naik becak. Tapi aku bisa menikmatinya kali ini. Dari Gejayan ke Malioboro aku naik becak. “Ning Malioboro pinten, Pak?” tanyaku pada tukang becak yang lagi mangkal di simpang tiga Gejayan-Jl. Solo. “Limo las, Mas,” jawabnya. Aku tawar Rp 8.000,00 dia nggak ngasih. Dia maunya Rp. 10.000,00. Dengan bersilat lidah akhirnya dia mau menurutiku. Naik becak melintasi jalan raya asyik juga. Sampai di ujung Jl. Mangkubumi, sebelum rel kereta, aku mengajak tukang becak mampir di warung makan. Kami pesan soto ayam dan teh. Untuk itu semua aku Cuma bayar Rp. 8.000,00. Sangat murah! Lalu kuminta si tukang becak mengayuh pedal becaknya lagi. Malioboro sudah di pelupuk mata. Kuberi Rp 10.000,00 dan tak kuminta kembaliannya pada si tukang becak. Sebenarnya aku tadi menawar Cuma sekadar iseng.

Belanja buku adalah wajib bagiku. Tentu saja “Toga Mas” menjadi pilihanku. Sebenarnya banyak buku yang ingin aku beli, mumpung murah. Tapi aku harus memikirkan repotnya bila membawa terlalu banyak buku ke Kaltim. Alhasil, aku harus memilih buku sesuai kebutuhanku. Untuk lima buku: kumpulan sajak “Angin pun Berbisik”, “K!ck Andy” kumpulan kisah inspiratif, “Winnetou II” karya Karl May, “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” kumpulan esai edan Prie GS, “Geologi Mineral Logam”, dan majalah “Mix” aku Cuma membayar 180an ribu rupiah. Belanja buku aku lanjutakan di “Toga Mas” Denpasar. Di sana aku membeli buku kocak karya Raditya Dika, Kelik Pelipur Lara, dan Teguh Satriono. Untuk enam buku itu aku Cuma membayar 120an ribu rupiah.

Di Jogja Cuma tiga hari. Tanggal 15 pagi aku bertolak ke Surabaya naik bus patas buat nengok adikku yang kuliah di ITS. Malamnya aku langsung ke Bali naik kereta api jam 22.30 dari Gubeng turun di Banyuwangi lalu dilanjutkan dengna bus dari PT KAI. Untuk perjalanan ke Bali aku membayar Rp. 90.000,00. Di rumah orangtuaku dan calon istriku sudah menanti.