Thursday, November 29, 2007

>Saraswati di Bontang

Tepat seminggu yl, gw merayakan Saraswati sekaligus odalan Pura Buana Agung di Kota Bontang. Satu jam perjalanan harus ditempuh dari tempat gw di Sangatta “Kota Debu”. Dicumbui hujan yg cukup lebat sehingga memaksa gw dan seorang kawan yg asli Banyuwangi harus sesekali berhenti buat berteduh. Maklum sebagai kuli kami nggak dapat fasilitas mobil dari kantor. Tak ada mobil sepeda motor pun jadi.

Yang penting niat untuk meningkatkan kesucian tak luntur. Meski selama ini gw dah akrab dengan si Suci. Mulai Suci yang “berlatar belakang” bahenol, Suci yang “kutilang darat”, Suci yang “bermasa depan” menonjol, Suci yang jinak-jinak merpati hingga Suci yang sok suci. Fiuh, ini bukan cerita cabul, Bung! Kok jadi ngaco. Kembali ke haluan!

Ok, segores tentang Bontang. Di Propinsi Kalimantan Timur ada empat kotamadya: Balikpapan sebagai pusat bisnis, Samarinda sebagai pusat pemerintahan, Tarakan di ujung utara dekat perbatasan Malingsia eh Malaysia, dan Bontang. Kota Bontang hanyalah kota kecil yang “dibesarkan” oleh dua perusahaan besar: PT Badak LNG dan PT PKT (Pupuk Kalimantan Timur).

Buat ngeceng (sekali lagi ngeceng, nggak pake “A”) cuma ada Bontang Plasa (BP). Jangan dibayangkan kayak Malioboro Mall, Galeria, Saphir Square apalagi Amplaz. BP lebih mirip Matahari Plasa di Klaten. Bontang terletak di tepi laut, tepatnya rawa-rawa. Nah, ada satu tempat buat menikmati keindahannya. Namanya Bontang Kuala. Tempat ini uenak tenan nggo selingkuh. Ada panti pijat ++, maksudnya plus kopi, teh, wedang jahe gitu…..Ok, cukup. Ini bukan catatan perjalanan ataupun jelajah khatulistiwa apalagi wisata kuliner lebih-lebih cerita cabul!

Pura yg kami tuju itu bernama Pura Buana Agung. Lokasinya tak begitu jauh dari jalan besar. Yah, seperti Pura Banguntapan. Rumah-rumah di sekitar pura belum begitu padat. Pura itu dikelilingi oleh rumah-rumah umat Hindu. Suatu kondisi yg jarang dijumpai di luar bali. Di Jakarta gw pernah ke Pura Rempoa yang kondisinya mirip. Ya, seperti permukiman Hindu Ketika memasuki areal pura gw ngerasa nyaman bgt. Kebersihan sgt terjaga. Pembauran antara umat Hindu yg dari Bali dan Jawa (Banyuwangi dan Blitar) sungguh terjalin apik.

Odalan dipuput oleh seorang pinandita yg didatangkan dari Banyuwangi. Ketika pertama kali gw melihat beliau, seperti ada chemistry yg gw dpt. Wajahnya terlihat cerah. Senyumnya menyejukkan. Dan beliau sungguh ramah. Meski hujan rintik2 upacara tetap dilangsungkan. Umat sudah berduyun-duyun datang. Karena hujan itulah area jaba tengah terisi penuh oleh umat yg duduk rapi hendak menyucikan diri dan hati.

Esoknya akan diadakan dharma tula dg pemateri pinandita itu. Sejatinya gw pengen mekemit di pura (lha iyalah mekemit kan di pura masak di diskotik hehehe….). Tp karena duingin sekali gw menerima tawaran seorang umat buat numpang merebahkan badan cuma semalam, jelas nggak pake “selimut yang bisa kentut”.

“Nama saya Gatot. Gatot itu makanan tradisonal Jawa yang keras dan alot,” ucap Romo Gatot mencairkan suasana. Romo mengaku dulu pernah hidup di “kandang gembala”. “Sebelum jadi seperti ini, saya dulu pendeta Kristen Jawi Wetan,” paparnya yang sejurus kemudian membuat kami tertegun. Dalam hati kami mungkin terbersit pertanyaan ini, “Kok bisa, ya?” Romo Gatot menjadi pemeluk Hindu sejak tahun 1982. Mulai dari pendidikan dasar hingga sarjana teologi ia dibiayai oleh sebuah yayasan Kristen. Tak heran wawasannya luas namun tetap bersahaja. Ia datang bersama istri dan seorang putri tercintanya yang hitam manis. Romo Gatot suka berkelakar. Suasana selalu segar.

“Saya ini baru 25 tahun jadi Hindu. Seharusnya bapak-bapak inilah yang duduk di depan memberi dharma tula dan saya duduk di belakang menjadi pendengar,” katanya. “Bapak-bapak kan sudah memeluk Hindu sejak lahir dan saya masih baru,” sindirnya yang halus. Ia mengaku menyesal mengapa tidak sejak kecil ia memeluk Hindu.“Selama 25 tahun ini saya mempelajari Hindu kok rasanya semakin banyk yang harus dipelajari. Seandainya sejak kecil saya belajar Hindu tentu ilmu yang saya dapat semakin banyak,” lagi-lagi ia menyindir halus membuat kami mensyukuri telah diwarisi agama luhur ini.

Acara dharma tula itu berlangsung meriah. Dihadiri tak kurang dari 100 umat, mulai dari anak-anak hingga orangtua. Semuanya berbaur lesehan di madya mandala.

“Saya sama sekali tidak tertarik masuk Hindu,” aku Romo Gatot. Ia mengatakan kalau ia memeluk Hindu karena ada pawisik dari orangtuanya. “Kalau kamu ingin hidupmu bahagia, kembalilah ke agamane wong Jawa,” kata Romo Gatot menirukan pawisik itu. Sejak saat itu Romo Gatot jadi berpikir ulang tentang kekeristenannya. “Agama Jawa?” tanya romo Gatot, “setiap kali berkotbah di gereja saya selalu menggunakan bahasa Jawa. Bukankah ini agama Jawa?”

Pawisik dari orangtua Romo Gatot mengatakan kalau ingin bahagia, bukan kalau ingin kaya, kembalilah ke agama Jawa. “Memang betul setelah saya dan keluarga menjadi Hindu hidup kami lebih berbahagia. Di agama sebelumnya kami sering bertengkar,” kata Romo Gatot.

Tahun 1982 Romo Gatot memutuskan untuk menjalani upacara suddhi wadani. Namun, keputusannya itu tak diikuti oleh sang isti tercinta.
“Setelah Romo jadi Hindu,” kata istri Romo Gatot, “ saya masih Kristen. Kalau ada tamu Romo yang Hndu saya selalu suguhi dengan ala kadarnya. Tapi kalo tamu saya yang Kristen, saya selalu suguhi yang mewah-mewah.” Meski demikian sebagai ibu rumahtangga yang baik ia masih menjalankan tugas-tugas rumahtangganya. “Di rumah ada satu lemari yang isinya buku2 Hindu. Sama sekali saya nggak menyentuhnya, dan juga tidak merawatnya,” paparnya terus terang.

Hingga datanglah waranugraha itu. Pada saat hari raya Nyepi, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pawisik, padahal kala itu ia tengah tidur lelap sendirian sedangkan Romo Gatot dan putrinya tengah meditasi di ruang pamujan. Mendengar suara pawisik itu ia masih cuek aja, dan kembali ke alam mimpi. Hingga kejadian itu terulang kembali tiga kali. Ia mengatakan bahwa saat itu seperti ada sesuatu yang menarik-nariknya dari ranjang lalu menggoyang-goyangkannya seperti gempa. Ia mengira itu hanyalah mimpi, tetapi setelah ia meyakinkan diri bahwa itu nyata lantas ia bergegas menyusul suami dan anaknya ke ruang pamujan. Ia masih terngiang suara pawisik itu. “Kalau kamu ingin bahagia ikutilah agama suamimu,” katanya menirukan suara pawisik itu.

“Sama sekali saya belum pernah masuk ke ruang pamujan itu,” katanya polos. “Ketika saya masuk, suami dan anak saya sedang meditasi. Saya hanya duduk di hadapan mereka sambil menunggu mereka membuka mata,” sambungnya. Ketika membuka mata Romo Gatot terkejut mendapati sang istri sudah duduk bersimpuh di hadapannya. “Kok nyusul ke sini, kangen ya?” canda Romo Gatot kepada istrinya. Sang istri lalu menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Romo Gatot lalu mengajaknya sembahyang Tri Sandya. Sebelumnya Romo Gatot mengajari sang istri membaca Tri Sandya. Anehnya, meski sekalipun belum pernah membaca mantram Tri Sandya, hanya dengan sekali baca sang istri langsung hafal. Romo Gatot berkesimpulan inilah waranugraha dari Hyang Widhi untuk menunjukkan jalan kebahagiaan bagi keluarganya.

“Jangan mau memeluk agama yang hanya bertujuan surga,” kata Romo Gatot. “Surga, katanya, “hanyalah persinggahan sementara yang tidak langgeng. Tujuan kita adalah moksa, kebahagiaan yang jauh melampaui surga.” Romo Gatot mengaku pernah merasakan moksa tatkala ia diupacarai oleh nabenya. Kala itu, menurutnya, jiwanya melayang-layang ke angkasa meninggalkan tubuhnya. Istrinya menggerak-gerakkan tubuhnya tetapi tubuhnya tak bergerak, seperti orang mati. Lalu sang nabe berkata bahwa kalau jiwanya tidak kembali saat itu juga makanya selamanya jiwanya tak akan kembali.
Padahal, Romo Gatot sejatinya nggak ingin kembali. “Saya nggak akan cerita detil soal moksa. Nanti sampean jadi pengen semua. Lebih baik rasakan sendiri saja. Saya jadi kepengen lagi” kata Romo Gatot sambil tersenyum.
Cerita Romo Gatot ini mengingatkan gw pada kisah Syeikh Siti Jenar, Ki Kebo Kenongo, dan para pengikutnya yang dapat mencapai moksa semasih hidup dengan cara meniup tengkuk kakinya.

Acara dharma tula itu mengundang umat untuk mengajukan pertanyaan. Gw mengajukan tiga pertanyaan:1) Romo Gatot menyatakan bahwa seseorang yang karmanya (dosa) belum habis harus menebusnya melalui reinkarnasi. Pertanyaan gw kenapa jumlah penduduk di negara-negara berkembang jauh lebik banyak daripada negara2 maju? Apakah ini berarti penduduk di negara2 berkembang dosanya banyak sehingga harus dilahirkan kembali? Romo Gatot menjawab sangat sederhana, “Nggak ada hubungannya antara reinkarnasi dengan perbandingan jumlah penduduk antarnegara.” Sebenarnya jawabannya belum membuat gw puas. Tp sudahlah, toh gw cuma berbasa-basi bertanya. 2) umat Hindu selalu merayakan Hari Raya Saraswati, sang dewi ilmu pengetahuan, tetapi kenapa pendidikan kita belum menghasilkan manusia-manusia yang unggul dibandingkan umat lain yang nggak memuja Dewi Saraswati? Inti jawaban Romo Gatot bahwa memuja Beliau tidak akan memberi dampak apabila tidak disertai dengan belajar yang sungguh-sungguh. Sebenarnya gw udah tahu jawabannya. Sekali lagi pertanyaan ini Cuma basa-basi. 3) Pertanyaan yg ketiga ini nggak sempat gw lontarkan karena waktu yang terbatas. Hyang Widhi maha kuasa, maha tahu, dan maha segalanya. Tetapi tanpa sadar kita justru merendahkannya. Ketika berdoa kita selalu saja membuat daftar permintaan supaya terkabulkan. Kenapa tidak seperti ini saja ketika kita berdoa, “Oh, Hyang Widhi, Kau tahu yang kumau.”



Salam hangat,
Wong edan
Bertampang preman
Berhati roman