Monday, December 28, 2009

>Film Laga

Sejak perfilman nasional bangkit kembali beberapa tahun terakhir baru ada satu film bertema laga: "Merantau". Lumayan mengobati rasa rindu nonton film silat jadul yang dibintangi Barry Prima, Adven bangun, George Rudi, maupun Tanaka. Sejujurnya aku kurang puas. Kenapa film-film kita kebanyakan bertema horor, komedi horor, dan komedi dewasa. "Merantau" jadi mutiara di atas sampah. Tampaknya kita kalah jauh dengan Thailand. Ada tiga judul film negeri gajah itu yang sudah kutonton: "Ong Bak", "Tom Yum Gong", dan "Chocolate". Aku kagum dengan sineas di sana yang mau menggarap film serius macam itu. Hei sineas Endonesa,bikin film action lagi donk!

Monday, November 30, 2009

>Penciptaan Indonesia

Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan-Nya. Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?"

"Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi," kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon.


Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang."


Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.


Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar.


Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, "Lalu daerah apakah itu Tuhan?"


"O, itu," kata Tuhan, "itu Indonesia. Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku-ciptakan ramah tamah, suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna.
Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni.”


Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan.
Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu di mana letak keseimbangannya?”


Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the idiots I put in the government."

>Negeri van Oranje

Kisah kehidupan mahasiswa yang belajar di luar negeri sudah jamak kita dapati. Beberapa yang terkenal di antaranya: “Ayat-ayat Cinta” dan “Ketika Cinta Bertasbih” karya Kang Abik yang berseting Mesir, Raditya Dika berbagi cerita sebagian hidupnya di Australia lewat “Kambingjantan”, dan Andreas Hirata berbagi kisahnya ketika menjalani studi di Inggris dan Perancis lewat “Edensor”. Namun, kisah yang dijalin lima sekawan dalam novel “Negeri van Oranje” ini sungguh berbeda. Kisah yang mengajak kita tersenyum dan tertawa melihat tingkah mereka menjalani hidup di negeri Belanda: lucu, usil, kocak, gokil, norak, konyol!

Persahabatan mereka diawali dengan perjumpaan yang tak disengaja di sebuah stasiun keretaapi di Amersoft. Daus, Wicak, Banjar, Geri, dan si cantik Lintang akhirnya sepakat menjalani persahabatan. Mereka menamakan kelompoknya AAGABAN: Aliansi Amersoft GAra-gara BAdai di Netherlands. Dari penamaan AAGABAN saja sudah menggiring kita pada kejadian-kejadian lucu yang bakal mereka alami.

Lintang, satu-satunya mahkluk tercantik dalam lakon ini, mendapat hadiah istimewa dari orangtuanya untuk menempuh S2 bidang European Studies. Keahliannya menari pernah mengantarkannnya manggung di beberapa negara.

Banjar bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan rokok ternama. Ia naksir berat kepada adik seorang sahabatnya. Lantaran si sahabatnya ini tahu kelakuan luar-dalam si Banjar, ia tak rela adik tercintanya jatuh dalam pelukan Banjar. Maka ia memberi tantangan kepada Banjar untuk meninggalkan segala kemapanan dan karir yang telah ia raih. Banjar ditantang untuk hidup susah minimal setahun di negeri orang sebagai mahasiswa. Tantangan yang ampuh untuk menjauhkan adiknya dari incaran Banjar. Tak dinyana Banjar menyanggupi tantangan sahabatnya itu. Ia berangkat ke Belanda mengambil master bidang bisnis dengan biaya sendiri dan budget living cost hanya 700 euro per bulan.

Wicak bekerja pada sebuah LSM international bidang pengawasan illegal logging. Bersama seorang kawannya mereka menyamar sebagai buruh di sebuah usaha pembalakan liar di Berau, Kalimantan Timur. Mereka melakukan penyelidikan dan selanjutnya membongkar sindikat pembalakan liar yang jaringannya sampai Senayan itu. Namun, gerak-gerik keduanya terendus oleh si cukong. Sadar nyawanya terancam akhirnya mereka melarikan diri. Untuk menghilangkan jejak Wicak di tanahair maka ia dipindahkan ke kantor pusat LSM tempat dia bekerja di Belanda. Dari situ Wicak mendapat kesempatan emas menjadi mahasiswa research master di Universiteit Wageningen.

Daus, putra asli Betawi, adalah seorang PNS di Departemen Agama. Ia kerap dongkol ketika bertemu kawan-kawannya pada reuni tahunan almamaternya yang selalu membicarakan proyek, pencapaian, dan lain-lain. Kawan-kawan masa kuliahnya banyak yang sukses di berbagai profesi bidang hukum. Hanya dirinyalah yang nyasar ke Depag! Hal ini membuatnya bertekad berburu beasiswa S2. Akhirnya, ia dapat juga beasiswa dari STUNED untuk studi master bidang Human Right Law. Ia satu-satunya pelamar dari Depag. Para koleganya lebih suka melanjutkan studi ke Mesir. Daus bertekad pulang membawa gelar LLM dan memamerkannya pada acara reunian selanjutnya.

Geri sudah sejak S1 studi di Belanda atas biaya orangtuanya yang kaya raya. Dia tinggal di sebuah apartemen yang terbilang mewah di Den Haag. Fisik yang luar biasa indah membuat setiap perempuan yang ada di dekatnya memandangnya lekat-lekat.

Mereka berlima tinggal di kota yang berlainan. Lintang di Leiden, Wicak di Wageningen, Daus di Utrecht, Banjar di Rotterdam, dan Geri di Den Haag. Suatu ketika AAGABAN ingin bikin acara kumpul-kumpul buat ngerayain pertemanan mereka. Ngumpul doang nggak seru tanpa acara memasak dan memakan.

Alhasil, mereka mengamalkan sila ke-4 Pancasila, bermusyawarah untuk mufakat, di dunia maya via YM!Conference. Setelah lama berbagai pertimbangan akhirnya mereka memutuskan apartemen Geri sebagai saksi kebersamaan mereka. Rencana masak pun disusun. Menu, bumbu, dan alat memasak. Pertanyaan

Lintang soal tabung gas sontak membuat keempat kawannya tertawa-terbahak-bahak. Lintang belum tahu bahwasannya setiap rumah di Belanda sudah dihubungkan dengan pipa-pipa yang mensuplai kebutuhan gas. Jadi nggak perlu tabung gas dan ngisi ulang seperti di Indonesia. Setelah diberi penjelasan Gery akhirnya Lintang malah tertunduk malu menyadari kuluguannya. Sial bagi Lintang, justru kesempatan ini digunakan Daus, Wicak, dan Banjar meledeknya habis-habisan.

Keseharian mereka sebagai mahasiswa asing disibukkan dengan tugas kuliah yang seabrek: membaca buku, jurnal, membuat catatan, meriew, menulis, berdiskusi. Kecepatan akses internet yang luar biasa kencang sangat membantu mereka mencari sumber-sumber literature. Bahkan, saking kencangnya Daus enggan meninggalkan barang sejenak untuk kencing. Ia betah seharian nongkrongin laptopnya. Kesibukan mereka memang menguras waktu dan pikiran. Tapi itu tidak mengurangi pertemanan mereka. Harga pulsa yang mahal, tak semurah di tanah air, menjadikan internet sebagai sarana komunikasi mereka yang murah-meriah.

Novel ini mengajak kita traveling keliling Belanda mengunjungi tempat-tempat yang bersejarah lewat tokoh-tokohnya yang menggunakan kereta api dan sepeda sebagai sarana transportasi sehari-hari. Kisah mereka berpackpacker keliling Eropa tak kalah serunya.

Di akhir tiap bab novel ini dilengkapi tips-tips dan pernak-pernik mengatasi jet lag kehidupan di tanahair dengan di Belanda, tips mencari pondokan, tips hidup hemat, tips mencari side job, tips mensiasati belajar yang efektif, dan lain-lain.

Satu cewek. Empat cowok. Tak seru novel ini tanpa persaingan cinta. Daus, Wicak, dan Banjar bersaing keras untuk mendapatkan hati Lintang. Ketiganya menggunakan banyak jurus, dari halus hingga agak kasar. Bagusnya ga pake berantem. Padahal, Lintang sama sekali tak menaruh hati pada ketiga sahabatnya itu. Ia malah naksir si tampan Geri. Tapi hatinya hancur suatu hari ia mendapati Geri sedang bermesraan di apartemennya bersama pasangan sejenisnya! Lalu siapa yang mendapatkan cinta Lintang? Ah, ente kudu baca novel ini. Kisah mereka ga lucu kalo aku tulis di ini. Ente saya jamin akan tertawa terbahak-bahak mengikuti kisah mereka.

Friday, October 9, 2009

>Aku Traveling Maka Aku Ada



Kata orang jurnalis dan diplomat adalah jenis pekerjaan yang menjanjikan perjalanan ke pelosok negeri dan manca. Apa iya sih? Anggapan itu barangkali ada benarnya. Dulu sih! Namun, seiring waktu, sekarang hampir semua jenis pekerjaan memungkinkan kita untuk meninggalkan meja kantor berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Coba tengok cerita Mbak Trinity di naked-traveler.com atau versi bukunya “The Naked Traveler”. Si Mbak yang mengaku cuma pegawai kantoran biasa sudah bisa traveling ke berbagai belahan dunia. Obsesi Agustinus Wibowo berkeliling dunia punya kisah menarik yang rutin ditulisnya untuk rubrik travel story di KOMPAS .COM. Padahal ia cuma seorang mahasiswa asal Lamongan yang sedang kuliah di Cina.

Petualangan Andrea Hirata sebagai backpacker berkeliling Eropa dan Afrika dikisahkan secara dramatis dalam “Edensor”. Atau yang lebih seru nan kocak kisah si Lintang yang cantik dengan keempat sahabatnya (Gery, Wicak, Daus, dan Banjar) dalam novel “Negeri van Oranje” berkelana menyusuri berbagai kota di Belanda sembari menyelesaikan studi master.

Awalnya, aktifitas jalan-jalan dianggap orang sebagai kegiatan yang membuang waktu dan biaya. Nyatanya kegiatan memanfaatkan waktu luang telah berubah menjadi bisnis yang menggiurkan. Berbagai media cetak bernuansa jalan-jalan marak menjadi panduan kita bepergian. Taruhlah majalah National Geographic Traveler Indonesia, Kabare, dan Jalan-jalan. Buku “Lonely Planet” lengkap menyajikan pernak-pernak wisata a la backpacker. Belum lagi laman-laman di internet yang menyajikan informasi dan biaya traveling. Biro perjalanan dan hotel turut kebanjiran rejeki.

Berpesiar tanpa jeprat-jepret pastinya nggak afdol. Makin majunya teknologi digital memudahkan kita untuk memajang foto narsis kita di facebook, twitter, YM, maupun Friendster. Kalau nggak punya (atau nggak ada yang mau minjemin) kamera jenis SLR maka kamera saku juga nggak masalah. Kalau nggak ada juga kita masih bisa pakai kamera ponsel. Kalau masih nggak ada, panggil aja tukang foto keliling!

Kalau belum bisa jalan-jalan betulan cukuplah kita tengok tayangan di televisi. Di sana disajikan secara visual betapa nikmatnya melakukan perjalanan. Semuanya bisa disimak dalam “Jejak Petualang”, “Koper dan Ransel”, “Backpacker”, dan “Archipelago“. Nuansa petualangan dan adu cepat bisa kita tonton di “Amazing Race”. Dan yang paling popular adalah “Wisata Kuliner”. Jalan-jalan sambil makan-makan. Dibayar pula. Duh enaknya jadi Pak Bondan.

Kalau mau lebih bebas kita cukup duduk di depan computer. Sambungkan ke internet. Berselancarlah. Apalagi ada Om Google Earth. Tambah sip. Tapi senikmat apapun itu, bepergian secara fisik jauh lebih menyenangkan dan mengesankan.

Karena itu tak salah jika Karl May yang mengarang novel petualangan seri “Winnetou” dan seri “Kara Ben Nemsi” lebih dari seratus tahun lalu mampu menghipnotis jutaan orang di dunia menjadi pelancong.

Kalau aku sih, karena pekerjaan, hanya bisa berjalan-jalan di hutan mengendus batubara bagai anjing pelacak. Nasib geologist!

>Istriku Sekolah lagi

Batas akhir registrasi 21 Agustus 2009. Tapi hingga H-4 surat pemberitahuan belum diterima istriku. Katanya surat itu akan dikirim pihak universitas ke rumah di Semarang via pos ke. Ia juga melihat pengumuman di internet. Nihil.Ia juga sudah menyanyakan hal itu ke pihak jurusan via telepon. Malah ia disuruh bersabar. “Suratnya pasti datang,” kata pihak jurusan. Istriku cemas. Gelisah. “Keterima ga ya?” tanyanya.

Akhirnya, aku berinisiatif mendatangi kampus. Hari itu juga aku meluncur ke Jogja. Kebetulan juga ada acara kumpul bareng temen-temen masa kuliah. Esoknya aku mendatangi kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Sial. Aku tiba pas jam istirahat. Aku duduk menunggu. Mataku memerhatikan mahasiswa baru yang sedang menjalani OSPEK. Aku tersenyum mengenang kejadian serupa sepuluh tahun lalu di Unibraw dan sembilan tahun lalu di Kampus Biru.

Di sebelahku duduk dua perempuan. Keduanya dari Surabaya. Mereka punya maksud yang sama denganku. Pun dengan keluhan yang sama. “Administrasi yang tidak profesional,” kata mereka. Sehari sebelumnya mereka menelpon pihak jurusan dan memastikan bahwa mereka diterima. Tak lama kemudian pintu ruang administrasi akademik terbuka. Aku disambut seorang pegawai pria. Lalu kuutarakan maksudku.

“Namanya siapa, Mas?” tanyanya.

“Bukan saya. Tapi istri saya,” jawabku sembari menyebutkan nama lengkap istriku dan jurusan yang akan ditempuhnya.

“Lingustik.”

Ia mengambil sebuah map. Lalu memeriksanya.

“Kok nggak ada, Mas” ujarnya.

Aduh. Aku tak berharap jawaban itu yang kudengar.

“Salah jurusan kali,” katanya.

Aku memutar memori. “Oh, ya sori, Pak. Jurusan Sastra”

“Lha, ini baru ada. Selamat istri anda diterima sebagai calon mahasiswa pascasarjana UGM,” ujarnya.

Lalu ia memaparkan tahap registrasi selanjutnya. Sejurus kemudian aku berjalan menuju kantor bidang akademik di rektorat. Kira-kira seratus meter dari FIB.

Sampai di sana sudah banyak orang yang sibuk mengisi berkas. Aku dilayani seorang bapak. Kusebutkan nama istriku dan jurusannya. Tak lama kemudian surat resmi pemberitahuan bahwa istriku diterima sudah ada di tanganku. Kubaca seksama. Lalu kutelpon istriku.

“Gimana, Cin?” tanya istriku di seberang telepon.

“Hmmm….kayaknya ada masalah, Babe,” jawabku dengan nada pura-pura serius.

“Lho emangnya kenapa?”

“Iya, Adik harus segera ke Jogja buat bayar SPP,” kataku sambil tertawa.

Back to my alma máter,” balasnya.

Ah…sejak lulus dari S1 Satra Jepang tiga tahun lalu akhirnya istriku sekolah lagi dengan beasiswa dari suamitercinta@foundation.org!

Sunday, September 27, 2009

>Merantau, Mudik, dan Wong Ndeso




Idul Fitri adalah hari raya umat Islam, tapi libur Lebaran adalah hari raya seluruh rakyat Indonesia. Demikian status facebook seorang kawan. Setiap tahun puluhan juta manusia urban berbondong-bondong dari kota-kota besar, terutama Jakarta, pulang ke kampung halaman masing-masing dalam kurun waktu yang hampir bersamaan.

Kalau yang berombongan ada yang naik mobil pribadi (tetangga) ataupun carteran. Yang berduit (atau dipaksain punya duit) tentu terbang naik pesawat. Pastinya yang merelakan bokongnya panas karena duduk beberapa jam naik bus jumlahnya lebik banyak. Kalau yang modal nekat seraya bergaya a la Rossi bolehlah naik sepeda motor. Ga peduli belum lunas kreditannya!

Kalau mau ngerasain sensasi mudik dengan full facility layaknya “hotel bintang seribu” kereta api patutlah dirujuk. Lho kok? Kita bisa belanja apa aja tanpa harus keluar gerbong. Semua kebutuhan mulut, perut sampai di bawah perut lengkap tersedia. Hiburan dari para pengamen jalanan tak kalah asyik dari lagu-lagu di iPod atau MP4. Kalau anda “beruntung” anda akan mendapat pahala yang berlipat ganda karena telah menyumbang dengan terpaksa dompet, perhiasan, HP, ataupun barang berharga lainnya kepada “si tangan kreatif”.

Kalau pengen ngerasain sensasi a la Popeye anda bisa naik kapal laut. Tapi kalau ingin petualangan lebih seru bin dahsyat anda bisa coba naik becak. Syukur-syukur becak pribadi. Gubrak!!! Pasti gempor tuh dengkulnya si abang becak hehehe….Seenak apapun naik kendaraan itu tentunya para pembaca pasti mengamini kalau yang paling enak adalah naik gaji. Tul ga?

Mereka berharap bisa berkumpul dengan sanak saudara (bukan dengan kebo lho) untuk merayakan hari yang fitri. Bermaaf-maafan dan menjalin silaturahmi. (Iya saya maafin. Angpaonya via bank aja yach. Your bank account, please. Uhhh…maunya….).

Di kampung asal mereka membuktikan diri telah jadi “orang sukses” di ibukota dengan dandanan, gadget, dan dongengan heboh. Kalau dikumpulin dan dijadiin buku bisa jadi

"Cerita dari Jakarta”-nya Mbah Pram kalah telak.

Merantau ke ibukota telah jadi ikon dan cerita manusia udik Indonesia. Beragam lagu, novel dan film menjadi saksinya. Film-film jadul macam Warkop, atau Project-P, atau yang terbaru “Merantau” berkisah tentang manusia-manusia perantau dengan berbagai sudut.

Nun jauh di abad-abad silam nenek moyang kita juga merantau untuk mempertahankan hidup. Para pendahulu di Nusantara ini telah berlayar hinggá Madagaskar dan África. Kabarnya asal-muasal manusia berasal dari Afrika Timur kurang lebih 200.000 tahun yang lalu. Lalu mereka bermigrasi pambil singgah di Amerika Selatan (15.000 tahun lalu). Amerika Utara (15.000 tahun lalu, Siberia (30.000 tahun lalu), Eropa (20.000 tahun lalu), Timur Tengah (50.000 tahun lalu), Asia Timur (30.000 tahun lalu), Australia (50.000 tahun lalu), dan Asia Tenggara (50.000 tahun lalu). Coba deh cek májala NGI edisi September 2009 siapa tahu aku salah ngitung! Nggak kebayang deh nenek moyang kita mudiknya naik onta, jerapah, kuda, gajah, rajawali!

Manusia dan kebudayaan Indonesia adalah hasil perpaduan kebudayaan dunia: India, Cina, Arab, dan Eropa. Ini dicatat rapi oleh Dennys Lombard dalam "Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I-III".

Jadi kalau dalam perjalanan mudik anda ditanya, “Aslinya mana, Mas, Mbak?” Lantas apa jawaban Anda? Kalau saya sih asli keturunan Homo gantengicuserectusterus!.

Hutan Sebakis, Nunukan, Kaltim

Monday, August 31, 2009

>Ini Tarian Kami


Sore itu bersama istri tercinta aku sedang duduk santai menikmati sore di depan Benteng Vredeburg. Eh, tiba-tiba muncul serombongan cewek Bali berpakaian adat ringan berkendara sepeda motor berplat DK. “Ada apa ini, Dik?” tanyaku pada istriku. “Entahlah...mmmm...barangkali berkaitan ma tari pendet, Cin,” jawab istriku. Dan dugaan istrku tampak tak keliru. Sejurus kemudian muncul serombongan yang lain, baik cowok maupun cewek mulai bergerombol di trotoar di ujung Malioboro. “Aha...yuk kita ke sana, Dik.”