Friday, December 5, 2008

>Imaji "Laskar Pelangi"


Akhirnya jadi juga aku nonton film “Laskar Pelangi”. Pas cuti kemarin. Penuh perjuangan dan sedikit kekonyolan. Gini dongengannya. Dari Tarakan, Kaltim, jam 4 Wita aku terbang menuju Balikpapan. Transit satu jam lalu lanjut ke Surabaya. Transit satu jam buat menuju Denpasar. Alhasil jam 22.30 WITA baru sampe bandara Ngurah Rai. Kedua orangtuaku dan kekasihku dah menanti kehadiranku….Seandainya ada penerbangan langsung Tarakan-Denpasar tentu tak sampai dua jam aku sudah mendarat di Bali. Fiuh!!!

Suatu hari usai jalan-jalan ke GWK aku mengajak pacarku nonton “Laskar Pelangi” di Galeria Mall. Baru kali pertama aku menginjakkan kaki di sana. Halaman parkirnya sangat luas kukira. Gedungnya cuma dua lantai. Yang membuatku terkesan adalah desainnya yang sangat tropis. Atapnya rendah. Dinding-dindingnya terbuka sehingga sinar matahari dan angina sepoi bisa masuk bebas. Banyak tempat duduk buat kongkow-kongkow di taman. Ada gemericik air mancur pula. Ah.....segarnya.....

Segera saja aku menuju gedung bioskop yang terpisah dari bangunan induk mall. Tampak sepi. Hanya sedikit orang yang duduk. Segera saja aku menuju loket. Ah, celaka. Ternyata tiket telah habis buat semua jam pertunjukkan hari itu! Sedih dech.

Tak bisa aku nonton di Bali akhirnya aku nonton di Semarang. Gila, kan? Ah, ga juga. Lha wong aku nemenin pacarku pulang ke rumah ortunya. Minggu, 8 November 2008 aku ngajak kekasihku nonton di sebuah bisokop di kawasan Simpang Lima. Ah...lama sekali aku tak merasakan momen berduaan seperti itu.

Kami tiba jam 13.05. Antrian sudah panjang. Sepuluh meter. Jam pertunjukkan 14.00. baru saja satu meter melangkah dari antrian. “Tiket Laskar Pelangi jam setengah dua sudah habis,” kata seorang petugas. Biarlah. Masih ada jam berikutnya. Tak sampai 15 menit aku sudah mendapatkan dua lembar tiket untuk pertunjukkan jam 16.00. Sambil menunggu jam pemutaran aku dan kekasihku menikmati waktu jalan-jalan. Lalu kami menuju food court di lantai 1. Pesan minuman dan ngobrol.

Tak terasa jam pertunjukkan hampir tiba. Segera saja aku lihat kembali lembaran tiket itu. “Quantum of Solace jam 15.30”. Film James Bond terbaru. Celaka! Aku salah beli tiket! Segera saja aku berlari menuju loket di lantai dua. Aku hendak komplain. Tapi di loket itu tertulis “Tiket yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Apes. Jelas aku sangat jengkel dengan ketololanku. Kekasihku dengan sabar menenangkanku. Bagaimanapun juga aku harus nonton hari itu. Akhirnya aku kembali antri untuk mendapatkan tiket pertunjukan jam 23.00! Dua lembar tiket yang telanjur dibeli tadi kuberikan kepada Wima, adik kekasihku. Kebetulan Wima ngebet banget pengen nonton “Quantum of Solace”. Dia nonton bareng pacarnya. Harga tiket per lembarnya Rp.20.000,00. Tiket pesawat Tarakan-Denpasar Rp. 1.146.000,00. Air port tax Rp. 20.000,00. Tiket bus eksekutif Denpasar-Semarang Rp. 250.000,00. Total jenderal Rp. Rp. 1.436.000,00 biaya untuk nonton "Laskar Pelangi"!

Semenjak kelar membaca novelnya setahun lalu aku membayangkan kalau novel itu difilmkan. Kayak apa ya jadinya? Tapi biasanya film yg diambil dari novel/ buku tak semenarik bukunya. Lihat aja: “Ayat-ayat Cinta”, “The Da Vinci Code”, “Harry Potter”, “Lupus”, “Gie”, atau “Cintaku di Kampus Biru”. Betul juga. Selama nonton “Laskar Pelangi” tak kudapati daya magis imaji yang kureguk ketika membaca novelnya. Barangkali sebuah cerita akan menjadi jauh lebih menarik bila terendapkan dalam imaji pembacanya. Rangkaian gambar bergerak dan tata suara tak mampu mengalahkan imaji yang berloncatan dalam novelnya. Bisa jadi karena itulah umat Islam tak membolehkan Nabi Muhammad digambarkan rupanya, apalagi difilmkan. Agar imaji kehebatan dan kesalehan Nabi Muhammad tetap terjaga indah dalam memori umatnya.



Terima kasih Andrea Hirata dan Riri Reza yang telah memberikan kisah inspiratif buat anak negeri.

Friday, November 28, 2008

>Karl May


Phsaw!
Ini adalah ungkapan khas Karl May. Semenjak aku membaca "Dan Damai di Bumi!" aku menjadi tergila-gila oleh Karl May. Cuti kemarin aku menyempatkan berburu buku-bukunya. Di Toga Mas Denpasar dan Toga mas Jogja aku cuma bisa mendapatkan Winnetou I, III, dan IV (aku dah punya yang seri II). Dan Kara Ben Nemsi II dan III (seri I sedangkan seri IV dan V akan terbit).

Buku-buku itu berkisah petualangan menjelajahi bumi. Sungguh membangkitan imaji. Berpetualang ke negeri-negeri seberang yang mustahil aku jelajahi. Ingin rasanya seperti Agustinus Wibowo yang ber-backpacker menjelajahi dunia lalu menuliskannya di KOMPAS. Buku-buku itu menjadi temanku dalam kesendirian di hutan. Kenapa aku suka cerita petualangan? Mungkin karakterku yang lebih suka berada di luar rumah yang menjadi alasan. Ini pula yang menyebabkan aku menyukai kerja di lapangan, selain alasan finansial, tentu saja hehe...

>Geo2000

Rekan-rekan kuliah gw di geology ugm 2000 lagi mo bikin buku angkatan. lazimnya buku angkatan pasti isinya foto n profil masing2. nah, biar ga ngebosenin buku ini diselingi beberapa tulisan. lha...ini feature yang gw bikin. versi aslinya lbih panjang dari ini...khusus buat blog ini sengaja disunting biar ga terlalu panjang....


Dan Damai di Bumi ………….!

oleh Igen Arya

Pulang ke kotamu

Ada setangkup haru dalam rindu

Masih seperti dulu

Tiap sudut menyapaku bersahabat

Penuh selaksa makna

Nukilan lagu yang dinyanyikan KLA Project itu tentu membawa kenangan tersendiri bagi siapa saja yang pernah menjalani kehidupan di Yogyakarta. Yogyakarta adalah rumah bagi semua jenis manusia yang pusparagam latar belakangnya. Berbagai suku bangsa dan agama dengan mudah bisa dijumpai. Dari Aceh hingga Papua. Itulah yang tercermin dari pluralitas para mahasiswa Teknik Geologi UGM angkatan 2000.

“Saya lahir dan besar di kota ini. Kota ini mengajarkan banyak pelajaran hidup. Keramahan dan senyum dalam menjalani hidup, sikap tepo seliro masyarakatnya sangat menginspirasi,” Fajar Setiawan (26) yang asli Yogyakarta bersaksi. Sikap berbudaya masyarakat Yogyakarta menjadi ruh bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan budaya mulai Grebeg, Festival Kesenian Yogyakarta, berbagai pameran, dan lain-lain.

Obyek wisata tentu saja menjadi daya tarik yang lain. “Dari utara, Kali Adem adalah tempat yang indah untuk melihat dan mengagumi kemegahan Merapi,” kata Fajar yang penggemar berat fotografi. “Kalau malam, jalan-jalan seputar Jogja nyaman untuk dilalui. Malioboro, Jalan Solo, Jalan Kaliurang sekitar UGM terlalu menarik untuk dilewatkan. Mau berfoto atau sekadar duduk juga tidak masalah. Apalagi ditemani cewek semalaman…..hahahahahaha,” katanya berseloroh.

Fajar mengaku awalnya ia tidak tertarik belajar Geologi. Ia sebenarnya menjatuhkan pilihan hatinya pada Informatika di ITB. Namun, seiring perjalanan waktu akhirnya ia bisa menikmati belajar Geologi. Apalagi, “Aku ketemu teman dan dosen yang maniak komputer, Afnin dan Pak Wayan. Akhirnya jadi deh gabungan antara Informatika dan Geologi. Sedikit nyleneh, memang, tapi aku benar-benar menikmatinya,” tutur pria lajang yang bekerja di Micromine, sebuah perusahaan perangkat lunak pertambangan di Jakarta.

Peni Rostiarti (26) yang besar di Surabaya tetapi beribu asli Yogyakarta punya kesaksian yang menarik. “Aku pernah tinggal di Sosrowijayan,” aku Peni, sapaan akrabnya. Daerah yang sangat terkenal di kalangan wisatawan itu , ternyata, juga dekat lokalisasi. “Kukira mbak-mbak PSK punya ruang yang eksklusif dan terpisah dari orang-orang kampung sekitar. Ternyata nggak!” terang dara yang bekerja sebagai konsultan di CV. Geospasia Wahana Jaya Surabaya ini.

Menurutnya terlepas dari profesinya itu, ternyata mereka masih punya nilai kesopanan dan tatakrama. Bahkan, “Mereka menyumbang kalau ada warga yang meninggal dunia (lelayu) sampai membantu warga sekitar yang ekonominya sulit,” paparnya. “Jadi jangan menilai orang dari profesinya!” pesan Peni tegas.

Jembatan Babarsari menjadi tempat favorit bagi Peni untuk menjernihkan pikiran. Peni beralasan, Soale sungainya masih jernih, adem, dan enak buat duduk nganggur sambil ngelihat anak-anak Magmagama berlatih.” Selain itu ia juga kerap mengunjungi Benteng Vrederburgh dan menyusuri Jalan Malioboro sambil memperhatikan berbagai barang kerajinan-tangan yang dijual di lapak-lapak. Gadis yang membenci mall ini terpukau dengan eksotisme Candi Ratu Boko. ”Amazing! Tempatnya di bukit sehingga pemandangannya bagus sekali. Situsnya bikin penasaran dan agak mistis buatku,” tuturnya.

Mahasiswa bersepeda! Kenangan seperti itu yang membekas di benak Taufik Lubis (26) ketika mengunjungi Yogyakarta pada liburan panjang masa sekolah lanjutan pertamanya. ”Saat itulah aku berniat suatu saat nanti harus kembali ke Yogyakarta melanjutkan sekolahku,” kata Taufik. Selain itu kesederhanaan masyarakat Yogyakarta sungguh membuatnya terpikat. ”Di kota asalku,” kata Taufik yang berasal dari Pekanbaru, ”ketika kita melintasi suatu jalan atau gang kita akan merasa was-was karena ada pemuda yang bergerombol di sana.” Gerombolan pemuda itu acapkali meminta uang ataupun barang berharga. Nah, hal seperti itu tak pernah sekalipun dialami Taufik di Yogyakarta.

Nilai kesederhanaan masyarakat Yogyakarta sungguh membekas di hati Taufik. ”Aku jarang membeli baju atau celana baru. Uang lebih baik digunakan untuk memfotokopi buku atau membayar praktikum,” kata Taufik. Menurutnya masyarakat di Yogyakarta bebas berekspresi dan cenderung santai. ”Mau bepakaian sepeti Don Juan, atau berpakaian lusuh, kumal dan kucel tidak akan ada yang peduli,” terangnya.

”Warung burjo dan angkringan adalah tempat yang sering aku kunjungi,” aku Taufik. Biasanya ia datang malam hari bersama kawan-kawannya sembari berdiskusi ringan tentang banyak hal. Pria berkacamata yang bekerja di PT. Medco Energy E & P Jakarta ini juga kerap mengunjungi penyewaan komik di wilayah Gejayan. “Aku bisa memuaskan dunia fantasiku dengan membaca komik,” katanya beralasan.

Giri Prayoga (27) yang asli Bali menempati rumah kakeknya di daerah Samirono. Interaksinya dengan warga sekitar rumahnya terbilang intensif karena setiap ada kegiatan di sekitar rumahnya ia wajib ikut. ”Nilai kesederhanaan dan keramahtamahan adalah nilai yang saya dapat pelajari dari warga Yogyakarta dan sangat besar pengaruhnya terhadap hidup saya saat ini dan sampai kapanpun juga,” urai pemuda yang pernah menjabat Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) UGM ini. Ia begitu terpikat dengan semangat hidup kesederhanaan ala Yogyakarta yang bertolak belakang dengan konsumtifme warga di daerah asalnya.

David P. Timisela (26) yang berdarah Ambon tetapi besar di Bandung memilih kuliah di UGM demi membahagiakan orangtuanya. ”Karena selama ini kakak-kakak gue kuliah di swasta semua,” katanya beralasan. Selain itu ia ingin suasana baru. Ia merasa bosan terus-menerus hidup di Bandung. Karena itulah ia tidak memilih UNPAD maupun ITB. ”Saatnya berkelana ke Jogja sekalian mengurus mendiang nenek tercinta,” katanya, ”walaupun jarang di rumah hahaha......”

Menurut David kehidupan masyarakat Jogja penuh kesederhanaan. Mereka nerimo hidup ini dan menjalaninya apa adanya tanpa pernah mengeluh kepada Sang Pencipta. Karena itulah David yang bekerja sebagai Geologist/ Geophysicist pada PT Pertamina Geothermal Energy tak terlalu menuntut fasilitas mewah saat bekerja di lapangan. "Asal bisa makan dan tidur sudah cukuplah... hehehe,” paparnya merendah.

Gelanggang Mahasiswa UGM merupakan tempat nongkrong Wahyu Seno Aji (26). Mantan aktifis Badan Eksekutif Mahasiswa ini menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat itu: makan, tidur, nulis artikel, cari duit. ”Daripada gue kuliah Petrologi atau Ilmu Lingkungan mending gue di sini terus ikutan demonstrasi di Bunderan UGM,” kisah Seno.

Seno juga kerap mengunjungi Pasar Ngasem pun Tamansari. Baginya, itu adalah tempat paling romantis sedunia. ”Pacaran di Pasar Ngasem sambil lihat ikan, ular segede gaban, orangutan, ada juga binatang yang dilindungi yang dijual bebas,” terangnya. ”Kalo lagi suntuk biasanya gue ke sini naik ke atas Tamansari lalu nongkrong lihat Merapi, Pasar Ngasem dan Jogja dari kejauhan…wuiiihhh..rasanya mantap betul. Apalagi sambil pacaran…..hehehe....,” tambahnya.

Seno yang bekerja sebagai Geologist di CNOOC SES Ltd ini semasa mahasiswa kerap menulis artikel bebas untuk media massa lokal. Dari situ ia mendapatkan tambahan uang demi kelangsungan hidupnya. ”Dari kuliah gue mencoba menghidupi diri dengan berbagai macam hal, termasuk nulis artikel. Sampai akhirnya menjelang lulus kuliah gue ingin jadi wartwan perang dan wartawan National Geographic hehehe...,” kisah Seno. Tapi sayang cita-cita itu kandas lantaran sang kekasih tak merestui.

Toleransi, damai, keberagaman, sederhana, dan nggak ngoyo inilah yang Seno pelajari dari ritme kehidupan warga Jogja. Seno mengakui hal itu sangat memengaruhi pandangan hidupnya. Kerinduan pada Jogja kerap membuatnya sering ke Jogja di akhir pekan. ”Bukan cuma buat menjenguk pacar, tapi juga memutar sebentar ritme hidup. Duduk lama di angkringan nasi kucing, ngobrol sama penjualnya, mendengar keluh kesahnya, duduk nangkring dengan abang becak, mahasiswa, maupun penganggur. Sambil menghentikan sebentar ritme Jakarta,” ungkap anak Jakarta ini.

Beristri orang Jogja? Ini sudah terjadi pada Mauritius Thomas Octorano Doze (27). ”Nggak nyangka gue dapat jodoh dan akan hidup di Jogja, ber-KTP Sleman pula,” ceritanya. Barangkali itu buah interaksi intensif dengan warga asli Jogja selama ia tinggal di Jogja.

Thomas yang berdarah Flores, Nusa Tenggara Timur, namun besar di Bekasi ini meski terbiasa dengan lingkungan masyarakat yang heterogen tetapi sesekali ia menemukan hambatan dalam bergaul. ”Karena itu pulalah yang membangun gue,” terangnya.

Yogyakarta laksana oasis kehidupan bagi setiap insan yang pernah menjalani proses menjadi manusia dewasa. Andai saja Karl May sempat singgah ke Bumi Mataram dalam kisah petualangannya menjelajahi dunia barangkali dia akan menulis novel dengan judul Dan Damai di Bumi Ngayogyokarto!

Phsaw...............

Ah.....pulang yuk ke Jogja.....! ■



Monday, October 27, 2008

>Sendirian

Satu lagi aku kehilangan rekan kerja karena ia mengundurkan diri. Namanya Fatkhurohman alumni geologi STTNas Yogyakarta 2001. Dua bulan sebelumnya rekan kerjaku yang lain Jerry alumni geologi Usakti 2000 juga mengundurkan diri. Mereka mengundurkan diri karena mendapat tempat persinggahan baru yang dinilai lebih baik dari tempat kerja kami sekarang. Maklum eksplorasi batubara dan base metal sedang ramai-ramainya sekarang. Dan ini berimbas pada larisnya para geologist. Alhasil sekarang aku harus sendirian untuk menangani pemboran 4600 hektar dengan menggunakan tiga mesin Jackro-175 di kondisi hutan berawa.

Terbesit juga dalam benakku untuk resign. Tapi aku harus memutuskan ini secara matang. Jangan sampai sesuatu yang tampak emas ternyata cuma loyang. Memang banyak pertimabang kalau ingin resign. Gaji biasanya yang menjadi alas an terbesar seseorang untuk meloncat dari perusahaan satu ke perusahaan lain. Tapi kedua temanku tadi punya alas an yang lebih dari sekedar soal gaji itu. Sebelum bekerja di perusahaanku yang sekarang ini aku pernah bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Tapi kedua temanku tadi ini kali pertama mereka bekerja. Kalau ada tawaran yang lebih baik dan menantang aku tak menampik bakal resign juga. Ini suatu jalan untuk menemukan lentera jiwa.

Aku perlu rehat sejenak buat menjernihkan kembali aroma kehidupanku yang nggak normal. Iringan lagu “Kangen” karya Dewa 19 membawa kerinduanku pada kampung halaman dan keluarga. Akhir Oktober sampai awal Nopember aku cuti ke Bali-Semarang-Yogyakarta. Arrrghhhh…….Aku mau berburu buku murah di Jogja!

>Nulis Lagi


Bulan ini aku mendapatkan kiriman sebuah buku bunga rampai dalam rangka 25 tahun KMHD UGM. Di buku itu ada tulisanku di halaman 95-102. Senang banget aku bisa nulis lagi. Ada kepuasan yang tertumpahkan di sana. Dan lebih senang lagi ketika temen-temen geologi ugm 2000 berencana menerbitkan buku angkatan. Aku kebagian menulis tentang kehidupan masyarakat Yogyakarta dari sudut mahasiswa pendatang. Untuk itu aku perlu responden untuk diwawancarai, tertulis tentu saja. Aku sudah bikin daftarnya. Kebetulan 70 mahasiswa geologi ugm 2000 berasal dari Aceh sampai Papua sehingga mempermudah tugasku. Judul dan kerangka tulisan aku dah buat. Yang perlu dicermati adalah tenggat waktu. Berhubung teman-teman sudah bekerja sehingga perlu komunikasi yang intensif biar rencana tak berantakan. Aku sendiri bakal menemui kesulitan lantaran tenggat pengumpulan jawaban para responden dipatok 15 Nopember 2008. Padahal tanggal segitu aku berada di lokasi dan akan melakukan flying camp drilling. Tapi semoga saja sebelum tanggal segitu banyak yang sudah terkumpul dan koneksi internet di site office sudah lancar lagi.

Friday, September 26, 2008

>"Mereka Bilang, Saya Monyet!"


“Nyet, yok po kabarmu? Awakmu ono nang endi saiki?” tanya kawan SMA-ku via Yahoo! Messenger suatu siang. Itu tadi adalah bahasa Jawa gaya jawa timuran yang terjemahan begini, “Nyet, bagaimana kabarmu? Kamu sekarang di mana?” Nyet. Ah, sapaan ini mengingatkanku pada romantika masa berseragam abu-abu sepuluh tahun yang lalu di Kot Malang. Nyet, lengkapnya monyet. Kadang temen-temenku memanggilku “thek”, lengkapnya kethek yang artinya monyet juga. Sial! Entahlah mengapa mereka memanggilku seperti itu. Padahal kalau diamati secara seksama, dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, lho kok malah jadi teks proklamasi. Maksudnya kalau diamati secara detail dengan skala 1 : 100 maka aka terlihat jelas struktur, tekstur, warna, morfologi, dan litologi bahwa aku sangat tidak tepat dipanggil monyet. Tapi lebih tepat dipanggil gorilla! Lho, kok malah lebih parah ya….hehehe…

Sekolah di SMUN 5 Malang seperti berada di kebun binatang. Ada kambing, unta, sapi, mentok, dan tikus. Temen-temen bikin julukan seenak udelnya aja. Temenku yang bernama Haris dijuluki kambing. Mungkin itu lantaran dandanannya yang memang jorok, item, dekil, dan bau. Suer aku nggak bohong kok, cuma hiperbolis hehe. Masih mending si Raditya “Kambingjantan” yang gokil lewat buku-bukunya itu. Kawanku yang bernama Abdul, keturunan Arab, mungkin karena posturnya yang tinggi nan ceking dan hidungnya yang moncong lantas dijuluki unta. Cocok. Kawanku yang lain dipanggil sapi lantaran namanya Syafii. Pernah baca komik Donal Bebek, kan? Ada tokoh yang namanya Agus angsa. Nah, kawanku yang bernama Agus jadilah dipanggil mentok (bahasa Jawa yang artinya angsa). Nah, kalau temenku yang dipanggil tikus ini mungkin lantaran mukanya yang mirip tikus hehehe….tiga rius….

Padahal rahasia ini telah aku simpan ratusan tahun supaya tidak menjadikan gempar dunia gaib sana. Tapi, sejatinya aku harus menuntut Djenar Maesa Ayu yang telah melakukan pelanggaran hak atas kekayaan intelektualku. Ia menerbitkan kumpulan cerita pendeknya yang diberi judul “Mereka bilang ,saya monyet” tanpa seizin aku. Benci aku! Sebel aku!

Tuesday, September 23, 2008

>Tolak RUU APP!


Dari seorang kawan...

Mestinya hari ini, 23 September 2008, DPR akan mensahkan sebuah Undang-undang (UU) kontroversial. Disebut kontroversial karena Rancangan UU (RUU) ini mencoba melakukan penggabungan terhadap kehidupan pribadi yang bersifat moral dan spiritual dengan kehidupan bermasyarakat yang seharusnya sekuler. Kunci kelemahan dari RUU ini adalah pada penggabungan tersebut. Moral saya tidaklah sama dengan moral anda, ukuran-ukuran moral yang saya gunakan berbeda dengan ukuran-ukuran yang orang lain gunakan dan perbedaan ini terjadi pada setiap orang apabila dibandingkan dengan orang yang lain.

RUU ini sangat kontroversial karena mencoba memasuki wilayah-wilayah pribadi seseorang dengan memberikan ukuran-ukuran moralitas yang seragam. Berbicara moralitas, mau tidak mau, suka tidak suka, pasti akan mengikutsertakan masalah-masalah spiritualitas, sementara ketika kita mengkaji spiritualitas dalam level masyarakat umum, yang muncul adalah pengertian-pengerti an keagamaan.

Di titik ini, ketika moral berhubungan dengan spiritualitas dan spiritualitas berhubungan dengan agama, maka RUU tersebut telah menyentuh wilayah yang paling sensitif dari masyarakat umum. Situasi menjadi makin lebih rumit ketika agama-agama sendiri, sesungguhnya tidak memiliki suatu kata sepakat tentang ukuran moralitas. Seorang Kristen Liberal memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan seorang Kristen Ortodok dalam masalah moralitas. Seorang Mutazilah mungkin memiliki pandangan moralitas yang cenderung liberal, sementara Wahabi cenderung konservatif.

Bagaimana dengan Hindu ?

Salah satu simbol utama dalam Hindu adalah Lingga – Yoni, dilihat dari sisi RUU ini, simbol ini adalah pornografi yang paling parah.

Bayangkan, lambang Tuhan dalam bentuk menyerupai Penis dan Vagina diletakkan di tempat-tempat suci dan dipuja-puja

Entah akan masuk ke Neraka macam apa orang-orang semacam ini, karena neraka paling jahaman sekalipun rasanya akan tercemar apabila menyiksa orang-orang dengan tingkat kebejatan moral seperti ini.

Bagaimana orang-orang Hindu mencoba menjelaskan hal ini ?

-. Ini adalah simbol habib

+. Simbol apa ? Membuat simbol mahluk hidup saja dilarang, apalagi membuat simbol Tuhan dalam bentuk penis dan vagina, di tanah Arab kami tidak menggunakan simbol-simbol

-. Itu simbol Siwa yang melambangkan Purusa dan Uma yang melambangkan Prakirti, konsep Purusa dan Prakirti berasal dari filsafat Samkya. Dalam agama kami, pembuatan dan penggunaan simbol tidak dilarang karena simbol adalah cara manusia mengambil jarak dari obyek pikirannya, bukankah angka serta huruf juga adalah simbol, bukan begitu habib?

+. Apa itu Samkya, apa itu Purusa dan Prakirti ?

-. Samkya adalah salah satu aliran filsafat Hindu, sedangkan Purusa dan Prakirti secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kekuatan positif dan negatif yang membentuk alam semesta dan seluruh isinya. Model Samkya dapat habib bandingkan dengan model Aristoteles tentang predetermining factor.

+. Susah amat ? kenapa tidak disebut alam semesta saja ?

-. Kami memisahkan antara konsep sebelum penciptaan alam semesta, yang kami sebut dengan Nirguna Brahman, dengan konsep alam semesta yang telah berjalan seperti sekarang yang kami sebut dengan Saguna Brahman atau Hiranyagarba, konsep proses pembentukan alam semesta hingga menjadi bentuknya sekarang juga kami percayai sebagai konsep yang berbeda dan kami sebut dengan konsep Siwa Nataraja (Siwa the cosmic dancer). Konsep Hiranyagarba dapat habib bandingkan dengan konsep Immanuel Kant tentang reflectif judgement.

+. Di tanah Arab, kami percaya bahwa Tuhan tidak serumit itu dalam membentuk alam semesta, cukup bilang ”jadi” maka jadilah, ente kok suka bertele-tele sih ?

-. Tidak sesederhana itu habib, misalnya pembentukan waktu. Kita semua hidup dalam dimensi ruang dan waktu, seringkali orang yang berbicara tentang alam semesta hanya berbicara dari dimensi ruang dan melupakan dimensi waktu, pernahkah habib berpikir tentang waktu ? apakah habib mengetahui tentang konsep waktu yang bersifat linier atau singular ? Hindu membicarakan masalah ini habib, Hindu membahas dimensi waktu dengan simbol-simbol, misalnya salah satu kisah porno dewa Siwa dengan dewi Uma. Mereka sedang asyik masyuk di atas lembu Nandini dan saking hotnya, Siwa ndak tahan lantas crat-cret-crot diatas lautan, spermanya masuk lautan dan menjadi Batara Kala. Maaf habib, kalau cerita saya agak porno. Inti dari cerita ini sesungguhnya adalah konsep penciptaan waktu (Kala), dan bahwa waktu tercipta dari penggabungan dua unsur pembentuk alam yaitu Siwa (Purusa) dan Uma (Prakirti). Terciptanya Kala (dimensi waktu) adalah bersamaan dengan terbentuknya badan Batara Kala (dimensi ruang), rumit ya habib ?

+. Iya nih, rumit amat sih bikin konsep, pakai cerita porno pula

-. Memang sedikit rumit habib, maklum saat orang Arab masih keramas pake kencing onta dan kalau kencing ndak cebokan (karena susah air di padang pasir), leluhur Hindu kami di lembah Gangga sudah punya air berlebih dan tanah yang subur.

-. Eh, ente menghina leluhur ane ya ?

+. Bukan habib, saya hanya berbicara tentang sejarah dan fakta, saya tidak bermaksud menghina, cobalah habib baca lagi Ibnu Warraq dan Mohammed Arkoun

-. Heh, ente benar juga, hampir saja ane mengeluarkan ”pentungan arab” untuk ngepruk kepala ente

+. He, he, he, .... saya lanjutkan ya habib

-. Silahkan, silahkan, ...

+. Kalau habib tidak suka membaca kitab agama lain karena takut murtad, silahkan baca referensi lain, dalam masalah alam semesta beginian, ada buku bagus, judulnya The Brief History of Time, yang ditulis oleh seorang ahli fisika yang namanya Stephen William Hawking, CH, CBE, FRS yang biasa dipanggil Stephen Hawking, Buku ini bisa menjelaskan konsep cerita porno Hindu itu dalam logika modern. Saran saya baca buku itu aja, jangan cari jurnal ilmiahnya karena menggunakan bahasa matematika, isinya ya cuma angka-angka dan rumus-rumus saja, walaupun sesungguhnya angka dan rumus itu adalah juga simbol dari konsepsi manusia.

-. Kafir ente, kafir ente, ..., Stephen Hawking itu orang atheis, tulisannya itu najis, kalau mati dia itu ngantre di neraka jahaman. Dan lagi-lagi ente ngomong soal simbol, dari awal sudah ane bilang kalau orang arab itu tidak boleh bermain-main dengan simbol-simbol apalagi yang porno-porno

+. Ya udah kalo gitu, sepertinya habib memang ndak mau maju. Ada satu filsafat Hindu yang mendorong kemajuan, namanya Mimansa, dan jelek-jelek gini saya juga penganut Mimansa (walaupun cuma sedikit-sedikit) . Nah, kalau begitu silahkan habib tinggal disini, saya akan bergerak maju karena saya memang tidak merencanakan untuk jadi orang kolot, da,... da, ... habib, sampai jumpa di neraka jahaman

Hindu memiliki konsep-konsep Brahma Widya yang luas, dari Politheis, Monotheis, Monisme, Agnostik, sampai Carvaka yang menyerempet Atheisme pun ada. Seringkali konsep-konsep itu dibungkus dengan cerita-cerita dan simbol-simbol yang “aneh” Kenapa ini terjadi ?

Menurut saya, ini karena orang-orang bijak jaman dahulu ingin agar kita belajar menguak fakta dibalik fenomena, menemukan konsep dibalik cerita. Ini memang menuntut lebih banyak kerja keras dibandingkan cerita-cerita yang harus dipercaya secara tekstual. Orang-orang Hindu harus memiliki kecerdasan yang lebih tinggi agar mampu menemukan konsep-konsep yang disembunyikan dalam cerita dan simbol-simbol agamanya

Lalu apa tugas kita saat ini ?

Tugas kita adalah membaca, mengerti dan memahami konsep-konsep tersebut dan kalau masih punya waktu luang, ada baiknya kita membandingkan konsep-konsep tersebut dengan konsep-konsep yang lain, istilah gaulnya interfaith-comparis on.

Hanya apabila kita telah memahami konsepnya maka kita akan mengerti makna cerita dan simbol-simbol porno yang ada dalam lingkungan Hindu kita. Dan hanya dengan cara ini kita dapat menerangkan dengan baik kepada orang-orang yang berada diluar lingkungan Hindu tentang Hinduisme

Hasil akhirnya, dengan pemahaman ini, kita memiliki modal konseptual untuk melakukan penentangan atas RUU ngawur yang mencoba-coba menyeragamkan kehidupan moral masyarakat. Hanya apabila kita bergerak dengan konsep yang jelas kita akan dihargai dan didengarkan. Bergerak tanpa konsep sama seperti orang buta mencari kucing hitam di kamar yang gelap.

Inti tulisan ini

  1. Selama RUU ini masih bertendensi melakukan penyeragaman moral, tolak !
  2. Selama RUU ini tidak menghargai simbol spiritual yang berbeda, tolak !
  3. Selama RUU ini masih membuka ruang bagi massa - baca habib-habib - untuk melakukan penindakan dan aksi polisionil, tolak !
  4. Hanya apabila RUU ini sudah berkonsentrasi penuh terhadap pengendalian atau penghentian bahan-bahan pornografi dan memberikan hak penindakan secara eksklusif kepada kepolisian, baru kita akan memikirkan ulang untuk menerimanya.

Thursday, September 4, 2008

>Puasa, Upavasa, dan Shaum

“Siapa yang tahu asal kata puasa dari mana?” tanya seorang guru SMU-ku sepuluh tahun yang lalu. “Dari bahasa Arab, Bu,” Rudi, teman sebangkuku yang sekarang berprofesi sebagai dokter di Kota Malang, menjawab dengan lantang dan penuh percaya diri. Dengan senyum mengambang Bu Guru itu menjawab, “Bukan dari bahasa Arab tetapi dari bahasa Sansekerta yaitu upavasa.”

Dalam bahasa Sansekerta upavasa berarti:

a. Menetap, tetap berdiam di suatu tempat.
b. Tetap bergeming, tidak bergerak.
c. Tetap bertekun melakukan sesuatu.
d. Tetap bertekun melaksanakan sesuatu komitmen dengan segala konsekuensinya.
e. Tetap bertekun melaksanakan tuntutan/ syarat ritual dengan menyangkal nafsu-nafsu badani; tidak makan/minum dalam jangka waktu yang ditentukan oleh aturan agama (khususnya: Hindu).

“Puasa” dalam pengertian “e”, belakangan dilepaskan dari konteks keagamaan, sehingga sekarang kita mendengar orang bicara tentang “puasa” dalam berbagai konteks, misalnya:
a. Pasien harus “puasa” (tidak makan minum) dari pagi sebelum “pemeriksaan urine” di rumah sakit.
b. Para mahasiswa menjalankan “puasa ngomong, puasa makan, puasa minum” dengan menempelkan plaster di mulut mereka, sebagai tanda protes kepada pemerintah.

Sedangkan puasa dalam bahasa Arab adalah shaum atau shiyam. Sha-wa-ma = “menahan, berhenti, tidak bergerak”; sama maknanya dengan upavasa. Shaum/ shiyam = “siyam” (diserap ke dalam bahasa Jawa) = puasa; dalam agama Islam diuraikan sebagai: “menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”.


Di Indonesia, istilah “puasa” telah dilepaskan dari konteks agama Hindu, justru lebih dikaitkan dengan agama Islam, sehingga kalau kita mendengar istilah “Bulan Puasa”, langsung saja kita mengaitkannya dengan “Bulan Ramadhan”-nya umat Islam. Walaupun secara etimologis, istilah “puasa” berasal dari kata “upavasa” yang jelas-jelas dari bahasa Sanskerta (bahasa suci “Veda” dalam agama Hindu), umat Hindu patut berbesar hati “mengizinkan” umat Islam di Indonesia menyerap istilah “puasa” ke dalam khazanah istilah “islami”, bahkan sebagian masyarakat kita, seperti kawan saya tadi, sampai mengira bahwa istilah “puasa” ini berasal dari bahasa Arab (bahasa kitab suci “Alquran”). Orang Arab, tidak mengenal “Bulan Puasa”, melainkan “Ramadhan” yang berarti “Bulan terpanas” (di mana dosa-dosa umat beriman dibakar/ dilebur sampai tuntas).

Beberapa tahun yang lalu aku pernah berdiskusi lesehan dalam sebuah forum di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang puasa. Aku menjelaskan bahwa pemaknaan dan pelaksanaa puasa dalam Hindu tidak sama dengan kawan-kawan muslim.

According to the Hindu belief, fasting has a way of neutralizing or minimizing chaos in the body. Instead of focusing on food, when fasting, the whole body assists one in going towards spirituality. The word for fasting i.e. Upavasa itself means to move near (to the Supreme) and by implication to overcome helplessness.

Hindus fast in observance of a vow or holy day. Fasting can be done in many ways. A simple fast may consist of merely avoiding certain foods for a day or more, such as when nonvegetarians abstain from fish, fowl and meats. A moderate fast would involve avoiding heavier foods, or taking only juices, teas and other liquids.

Ketika aku menjalani hidup vegetarian selama lima tahun aku berpuasa untuk tidak mengkonsumsi bahan-bahan hewani tetapi aku masih menolerir susu dan telur. Seorang kawanku malah lebih ekstrim, selain nggak makan produk hewani dia juga nggak makan bawang dan bumbu-bumbu yang keras. Jadi kalau dia masak makanannya rasanya hambar, cuma dibumbui garam doank!

Dalam diskusi itu seorang kawan muslim mengkritik pelaksanaan dan pemaknaan puasa yang dijalani sebagian besar muslimin dengan cara yang dangkal dan instan. “Kita berpuasa,” katanya, “melakukan hitung-hitungan untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya.” Ia juga heran mengapa di bulan puasa masyarakat kita justru menjadi konsumtif. Pernyataannya itu kontan memicu diskusi yang kian pelik. Sebagai “orang luar” aku lebih banyak mendengar. Aku sangat mengapresiasi keinginan mereka berbagi jnana dan widya.

Ah.....selamat menjalani ibadah puasa saudara-saudaraku......

Sunday, August 10, 2008

>Sang Guru

Acara “Mario Teguh The Golden Way” yang ditayangkan MetroTV setiap Minggu pukul 19.00 sangat menginspirasi. Acara yang kutonton tadi adalah tayangan kedua. Tayangan perdananya 3 Agustus 2008. Aku sangat merindukan acara seperti itu. Sebuah acara pencerahan bagi semua manusia yang menginginkan kehidupan yang berkualitas. Acara serupa pernah pula dibawakan Komarudin Hidayat dalam acara “The Great Lecture Series” di Metro TV juga. Aku sangat tersentuh dengan materi yang disajikan. Materi yang sederhana yang ada di kehidupan sehari-hari tetapi seringkali luput dari pemaknaan kita. Materi itu disajikan dengan bahasa dan bahasan yang ringan tapi sangat bermakna. Agaknya memang inilah ciri orang pintar membuat sesuatu yang sulit sekalipun menjadi mudah sehingga orang yang paling awampun bisa mengerti. Lain halnya dengan orang yang kelihatan pintar yang membuat sesuatu yang sangat mudah menjadi sangat sulit sehingga hanya dirinya saja yang bisa mengerti.

Tuturan jernih dari Gede Prama punya daya magis dan filofosi tinggi.Aku selalu menanti tulisannya di Kompas Sabtu. Aku juga memiliki kopi tuturannya dari Telkomsel di dalam hard disk laptopku. Ia rutin hadir memberi pencerahan di Bali TV. Kita tunggu saja ia punya acara serupa Mario Teguh dan Komarudin Hidayat di Metro TV.

>“Hotspot” dan Budaya Massa


Dulu Jogja dikenal dengan banyaknya sepeda onthel yang digunakan warganya termasuk mahasiswa di dalamnya. Tapi sayangnya ketika aku memasuki Jogja pada 2000 romantisme itu tak kujumpai hingga kutinggalkan Jogja pada 2006. Namun, setelah dua tahun kutinggalkan slogan Jogja BERHATI NYAMAN telah berubah menjadi Jogja BERHATI HOTSPOT. Demam hotspot memang sedang melanda warga Jogja saat ini. Dari kampus, mall, cafĂ© ampe warung angkringan orang-orang tenggelam dalam dunia maya. Aku pernah merasakan ber-hotpot di Amplaz Desember lalu. Kisah yang lebih berwarna bisa disimak di rubrik “Kehidupan” pada Kompas Minggu, 8 Juni 2008.

Sungguh kemajuan teknologi informasi sekarang ini membuat dunia serasa makin sempit aja. Bagaikan dunia yang dilipat seperti judul buku Yasraf Amir Pilliang, budayawan dari ITB. Aku yang berada di pedalaman hutan Kalimantan bisa berinternet ria. Berburu dna mengunduh nformasi yang menarik, ngeblog, mengunjungi fs-nya temen-temen ampe ngobrol dengan teman-teman yang terpisah ratusan hingga ribuan kilometer dariku. Gile….dunia ada di ujung jari kita!

”High culture” yang dulu hanya digawangi oleh kaum elit bangsawan dan pemuka agama yang menghasilkan karya yang melangit mendapat perlawanan dari kaum awam yang cenderung ralistis dengan melahirkan “low culture”. Seiring perkembangan masyarakat kedua kebudayaan itu berbaur menghasilkan budaya pop atau budaya massa. Tampaknya budaya massa menemukan jodohnya dengan kehadiran internet. Setiap orang bisa berekspresi dan bereproduksi kebudayaan tanpa jarak, tanpa bias jender, tanpa memandang SARA. Setiap orang punya hak yang sama di dunia ini untuk menjadi apa yang dia mau. Cocok dengan bunyi sebuah iklan, “Kutahu yang kumau” bukan “Kutangmu yang kumau” lho hehehe……

Menurut Ono W. Purbo, pakar teknologi informasi, perkembangan internet tak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang mendukungnya. Masyarakat yang melek internet membutuhkan kebudayaan membaca dan menulis yang kuat. Masyarakat kita tengah menghadapi loncatan kebudayaan. Masyarakat kita masih berkebudayaan oral, sedikit pendokumentasian. Alhasil banyak karya nenek moyang yang lenyap tanpa bisa dinikmati anak-cucunya. Seperti yang terjadi pada kebudayaan Melayu. Tetapi untungnya ada orang-orang yang mencintai kebudayaan Melayu berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan kebudayaannya yang tercecer entah kemana. Mereka mendirikan www.melayuonline.com dari Yogyakarta. Bravo buat mereka!!!

Ber-hotspot di kantor Telkom Tarakan

>“Maskot” and my ex-boss

Last month I watched “Maskot”, a comedy movie. It was very funny movie which express romantic love story and family value. It made me smiling and laughing to refresh my mind from some problems in my life at this moment.

Here’s its synopsis.

A tale of family values, traditions, trust, wealth, self – worth, and love that is sometimes difficult to express. The story begins with the grandfather, Sasmita who has instilled all his faith into one chicken, after the loss of his entire chicken farm. Sasmita believes this lucky chicken has brought him good fortune as he opened a new business, selling soy sauce, which flourished over the next several years and became one of the largest

company known as Ketjap Tjap Ajam Medja.

One day, during a ceremony to hand over ownership of the company to his only son, Widjaja (El Manik), Sasmita’s playful young grandson, Dennis (Ariyo Wahab), caused an accident which ruined one of the factory’s machines and eventually led to the destruction of all of the other production machines. Witnessing the destruction of the factory which he has build over the years made him suffer a heart attack immediately. As he takes his final breath, Sasmita’s last words to Widjaja was to protect the lineage of the lucky chicken and keep the family fortune in tact.

Dissappointed in his only son for bringing such trouble to the family, Widjaja decides to punish him by sending him to a different country to further his education, in hope of Dennis returning home as a responsible and disciplined adult. A few years have passed, and Widjaja is able to rebuild the company and restore the family business under the same name jus as it was before, basing his newfound luck on the new “sacred” chicken mascot. However, disaster struck once again and brought the symbol of the lucky chicken to an end, causing Widjaja to fall ill. This is when he decides to relinquish ownership of the family business to his now mature son, Dennis. Apparently, handing over the company to his son was not as easy as Widjaja expected.

The Board of Directors of the company and its Vice – President, Misran (Butet Kertaredjasa), highly doubte the capabilities and qualifications of the young successor. Obviously, the uncertainty of Misran was clouded by his jealousy of Dennis, who has not been involved in the family business throughout most of his life. Widjaja also believed that the future of his business relied heavily on the luck that was brought to them by the symbol of the chicken. Therefore, he asks Dennis to leave in search of a new mascot chicken, in order to continue the family fortune. If he is able to achieve this, he will have earned a place in the family business, proving worthy as a deserved successor. The Board of Directors and Misran disapprove of this controversial condition.

Dennis decides to begin his journey in finding of the new family mascot, hoping there is still time to prove his self – worth to his father and the company. As he embarks on his journey, Misran generously offers to assist and accompany him. However, behind his generosity lies a hidden motive to make sure Dennis does not succeed in his mission.

The journey brings them to a small village, where Dennis believes reside the chicken he is in search for. He believes this even more so when he meets a beautiful, mature village girl by the name of Maruti (Ulie Auliani), whose open – minded thirst of life catches his attention, though it seems there is more to her than meets the eye. As their attraction grows, a local man named Sapari (Epy Kusnandar) becomes agitated after having discovered he also has feelings for Maruti.

Although having to face many obstacles from Sapari and Misran in his difficult journey to find the mascot, Dennis also discovers there is more to himself, and his one true love.

In the end of the movie, running text showed and informed all of actors, scripwritter, director, producer, and executive producer. But, I was shocked when I knew who was the executive producer: Andre Djokosoetono! I know this man. I didn’t believe with my eyes at this moment. “How can he involve in the movie project? Does he expanse his business?” I asked to myself. Andre Djokosoetono was my boss at a company I had worked before.

I had worked as Management Trainee at the biggest land transportation in Jakarta, Blue Bird Group (BBG), almost two years ago. I had been placed in head office at Mampang Prapatan Street, South Jakarta. His room was only five metres from my room. He could watching me any time from his room because the hall which apart us made from glass. Someday I got wrong number. I would like to call security number on 112 but I pressed 102. “Good afternoon. Please call Pak Soleh. Pak Sigit (one of board commissary) is waiting him,” I asked. Fifteen minutes later, Pak Sigit called me again. He asked me whether I had called Pak Soleh. And then I dialed 102. “Good afternoon. Please call Pak Soleh because Pak Sigit has been waiting him for more than fifteen minutes. Ok?” I asked. “Do you know with whom you speak right now?” somebody replyed. I think I knew his voice. Oh, no! I looked back and I found Mr. Andre was watching me and he still hold a phone in his hand. Damn! I think he was angry. But, all of my friends in our room laughed loudly. They thank that was a very funny stuff ever happened in that room. Hahaha…….I was very stupid, till now I guess.

Thursday, July 24, 2008

>Serasa "Jejak Petualang"


Ngebor lagi, ngebor lagi! Kayak Inul aza yach hehehe...Kali ini aku ngebor batubara di daerah rawa-rawa. Ada petualangan tersendiri. Bukan soal ngebornya, tapi perjalanan menuju lokasi pemboran. Aku harus berjalan kaki masuk ke dalam hutan yang berawa-rawa. Aku harus pandai-pandai mencari pijakan. Jika tidak, kaki bakal terjebak lumpur. Nggak dalam seh. Cuma sedengkul aza. Meski begitu tenaga bakal terkuras habis buat mencabut kaki yang terjebak itu hahaha....seperti yang aku alami. Baunya menyebat betul. Celaka lagi kalau batang pohon yang dipijak tiba-tiba patah dan membuatku jatuh. Beberapa kali aku tersesat. GPS tak banyak membantu ketika lebatnya pepohonan bisa mengacaukan GPS membaca satelit. Pita-pita yang dipatok oleh surveyor topografi di sepnajang lintasan seringkali berpndah tempat. Entah siapan yang memindahakn. Jangan-jangan....ihh....serem! Tatut!

Cukup menegangkan. Melangkah dan sesekali melompat menghindari jebakan lumpur. Tapi ga seekstrim para pemain parkour. Untungnya ga ada lumpur yang dalam kayak di film "Apocalypto"! Tapi itu semua membuatku seperi Riani Jangkaru di "Jejak Petualang" hehehe.....atau bisa juga seperti outbound.

Yang lebih seru lagi mess tempatku dan kawan-kawan serasa kebun binatang. Lha wong kambing, anjing, kucing, dan ayam saban hari nongkrongnya di depan mess. Mereka menanti jatah makan dari sisa-sisa makan kami. Kami cuma bertujuh (dua sampler, dua geologist, dan seorang marine surveyor) ditambah dua orang pekerja kapal dari perusahaan lain tapi sehari empat kali kami dapat jatah sepuluh bungkus nasi. Tak semua kami berikan ke mereka, tapi ada adik-adik tetangga yang selalu datang mengambil makanan yang berlebih. Oh ya, mess dan lokasi pemboran dekat dengan perkampungan penduduk dan dekat dekat sungai besar. Jadi ada tempat untuk mengisi ruang-ruang sosial dan refreshing

Btw, kalau dilihat dengan penuh cinta kok lama-lama kambing-kambing itu tampak seperti Luna Maya yach. Anjing-anjing itu tampak bagaikan Dian sastro. Dan ayam-ayam itu bagaikan Sandra Dewi....Ah....tidak! Aku harus segera melakukan kalibrasi peradaban ke kota.........

Wednesday, June 18, 2008

>wis rampung ngebor


Pengeboran 2000 meter sebanyak 39 titik bor di Simenggaris menggunakan dua unit mesin bor Jackro-200 selesai sudah. Setiap hari berjalan kaki dari camp ke lokasi rata-rata selama satu jam memang melelahkan, dicumbu terik matahari pula. Hitung-hitung ikut berpartisipasi dalam kampanye sepuluh ribu langkah sehari dari sebuah produk susu hehehe….


Ibarat perang, ada kemenangan ada kekalahan. Ada pula korban. Nah, pekerjaanku itu juga memakan “korban”. Diawali dari Eki (surveyor topografi) yang terserang malaria. Malaria juga menyerang Acok (kru driller). Selanjutnya Roy (kru driller) robek pelipis kanannya tergores potongan kayu. Jerry (geologist) harus merelakan jidatnya dihias dengan 13 jahitan. Yang terparah adalah Dinur (driller) yang harus mengucapkan selamat tinggal pada dua jari tangan kanannya. Sedangkan aku sendiri cuma berdonor darah ke seekor pacet, kena sentuhan mesra dari rengas (tanaman) yang menyebabkan tangan kananku gatal sampai berminggu-minggu, tersesar sendirian selama tiga jam tanpa kompas maupun GPS, dan terpeleset saat mandi di sungai. Seandainya terpeleset itu enak nan nikmat tentu aku mau terpeleset lagi hehehe….sayangnya tidak.

Tak Cuma manusianya yang jadi korban, peralatan kerja juga jadi korban. Radio yang menghubungkan camp dengan kantor di Nunukan rusak. Praktis komunikasi jadi pakai telepati. Sinyal ponsel kagak ada cing. Mobil satu-satunya rusak. Padahal baru enam bulam keluar dari toko. Mesin genset dan mesin bor kadang-kadang rusak membuat pekerjaan jadi terlambat. Yang paling celaka adalah logistic selalu terlambat masuk. Menu makanan sangat terbatas. Ditambah lagi tak ada kampung di ponsel tak sekitar camp. Ada she tadi jauh, harus nyeberang sungai menuju kampung terdekat yang berdampingan dengan pabrik pengolahan minyak kelapa sawit. Syukur-syukur kalau ada sayuran segar dan ikan segar. Tapi kalau itu nggak ada kami harus puas dengan makanan favorit orang Indonesia: mie instant! Biar klop ditambah ikan kaleng, telur ayam, dan ikan kering (ikan asin maksudnya). Air yang kami minum adalah air hujan. Ada sungai d samping camp, tapi terlalu asam dan keruh. Air hujan pilihan yang lebih baik. Secara tampak mata makanan dan minuman yang kusuguhkan ke tubuhku sangat tidak sehat. Tapi aku sudah mengantisipasinya dengan suplemen herbal sekaligus antioksidan: Liquid Chlorophill, K-Bio Green, dan Omegasqua.

Hidup di hutan tanpa listrik dan tak ada sinyal ponsel ternyata menyenangkan, meski sesaat. Setidaknya tubuh dan jiwaku jadi lebih segar, terbebas dari racun tv dan koran yang menyajikan bad news. Pun paru-paruku bisa diisi dengan oksigen bersih. Otot-otot tubuhku jadi lebih kuat. Menunggu cutting dan core naik ke permukaan sambil membaca “NGI”, “Intisari” atau “The 7 Habits” asyik oi…

Ah, selamat tinggal Simenggaris………

>Bumi, Manusia, dan Interaksinya


“Tiga milyar orang hidup dengan uang tak sampai dua puluh ribu rupiah sehari,” begitu laporan National Geographic Indonesia dalam edisi khusus “Tren Global”. Di ujung lain dari fakta itu bahwa pada tahun 2007 dua orang terkaya di dunia memiliki uang lebih banyak daripada gabungan PDB 45 negara-negara termiskin. Padahal bumi ini dihuni oleh 6,6 milyar manusia, sekarang. Dari jumlah tersebut, satu milyar orang tinggal di daerah kumuh di perkotaan di seluruh dunia. Celakanya, 100 juta anak usia sekolah belum mendapat pendidikan dasar.

Manusia yang tinggal di belahan bumi Amerika Utara, Eropa Barat, dan beberapa di Asia hidupnya jauh lebih baik daripada di belahan bumi lain. Ini bisa dilihat dari tiga hal yang berkaitan dengan kesejahteraan: kesehatan dan layanan kesehatan, akses pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Di Asia ada tiga negara yang penduduknya merasa hidupnya sangat bahagia: Malaysia, Brunei, dan Bhutan. Lha kita gimana? Bahagia, nggak? Laporan “Intisari” edisi Maret 2007 menyatakan bahwa meskipun negara kita sedang krisis multidimenasi, tetapi masyarakatnya merasa bahagia. Yakin, nih?

Salam,

Bahagia jika sepi, munafik jika ramai (di kota)

Tukang obok-obok bumi

Hiks............

>Seabad Kebangkitan Nasional, Malu Aku jadi Pemuda Indonesia


Sebanyak seratus karya tulis berupa maklumat, catatan, harian, puisi, prosa, pidato, buku fiksi dan non-fiksi, dan peta menjadi terbitan khusus “TEMPO” dalam memeringati seratus tahun kebangkitan nasional. Karya tertua adalah koran Medan Prijaji (1907-1912) yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, orang pribumi pertama yang mendirikan perusahaan pers. Sedangkan karya termuda adalah: 1) “Melawan Melalui Lelucon”, kumpulan artikel Gus Dur di “TEMPO” selama 1975-1983 yang diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo, 2) “Student Indonesia di Eropa” yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2000 yang merupakan kumpulan laporan jurnalistik Abdul Rivai selama 1926-1928 untuk koran Bintang Timoer, dan 3) “Aku ingin Jadi Peluru” sebuah kumpulan puisi Widji Thukul yang diterbitkan Indonesia Tera tahun 2000 yang jargonnya sangat terkenal pada demonstrasi massa, “Lawan!”.














Dari seratus karya tersebut beberapa di antaranya pernah kubaca semasa sekolah dan kuliah.








Ketika berstatus pelajar (karena memang ada di buku pelajaran Sejarah dan PSPB): 1) “Dekrit Presiden 5 Juli 1959”, “GBHN”, dan “Sumpah Pemuda”.








Yang “kekiri-kirian” dan kukoleksi:1) “Madilog” dan “Dari Penjara ke Penjara (I, II, III)” karya si misterius Tan Malaka, 2) Tetralogi Pulau Buru karya mbah Pramoedya Ananta Toer, 3) “Catatan Seorang Demonstran” teriakan sunyi Soe Hok Gie, 4) “Pergolakan Pemikiran Islam” oleh Ahmad Wahid, dan 5) “Burung-burung Manyar” karya Romo Mangunwijaya.








Yang sekilas kubaca dan tak kukoleksi: 1) “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia” (Koentjaraningrat), 2) “Manusia Indonesia” (Mochtar Lubis), 3) “Revolusi di Nusa Damai” (K’tut Tantri), dan 4) “Habis Manis Terbitlah Terang” ( R. A. Kartini).















Gagasan-gagasan Tan Malaka sangat menggugah rasa keindonesiaan bagiku. Pikirannya liar, membongkar kemapanan, pas betul dengan seleraku. Materialisme, dialektika, logika alias MADILOG memang sebagai seorang intelektual. Makanan enak buat otak kiri kita.Tampaknya Tan Malaka hendak membangun manusia Indonesia dengan melupakan sejarah kebesaran masa lalu. Serupa dengan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Seandainya masa lalu kejayaan Nusantara adalah komunisme atau Islam aku yakin Tan Malaka ataupun STA pasti berdarah-darah mendukung ideologinya itu. Kedigdayaan sains dan teknologi saat ini merupakan puncak dari karya materialisme. Tapi itu justru membuka mata kita bahwa kebahagiaan bukan terletak pada materialisme. Manusia-manusia pascamaterialisme beralih mencari kebahagiaan pada spiritualitas, menemukan makna filosofis dari kehidupan. Di dunia spiritual seringkali materialisme, dialektika, dan logika dikubur dala-dalam.















Karya-karya Mbah Pram diidentikkan sebagai bacaan kiri. Di masa Orde Baru bisa masuk bui bila kedapatan membawa, apalagi membaca, karya Pram. Ketika masa awal menjadi mahasiswa sering aku mendengar nama Pram disebut kalangan mahasiswa aktifis yang kucuri dengar dari obrolan mereka di warung angkringan dan burjo di Pogung Lor, Sleman. Beruntung sekali rasa penasaranku terpenuhi. Setelah berburu sekian lama menginterogasi para penjual buku di lapak-lapak Shopping Center Jogja akhirnya dapat juga aku tetralogi yang legendaris itu di pertengahan 2001. Pada perburuan pertama aku cuma dapat “Bumi Manusia” dan “Jejak Langkah”. Itupun sebagian halamannya merupakan fotokopian. Dua seri sisanya aku dapatkan seminggu kemudia, itupun pesan kepada si penjual agar jangan menjual ke ornag lain. Selanjutnya, aku berburu karya Pram yang lain. “Arus Balik” membuatku terpana!















Rasa penasaran pula yang menyerangku ketika nama Soe Hok Gie dan Ahmad Wahid bersama karya mereka sering dikutip dalam diskusi maupun tulisan. Butuh tiga tahun bagiku untuk bisa mendapatkan “Catatan Seorang Demonstran”. Itupun dalam bentuk fotokopian milik seorang kawan kuliah, Bosman Batubara. Kebetulan ketika itu aku bertandang ke kamar kosnya yang sekaligus markas PMII Sleman di Sawitsari. Baru setelah film “GIE” dirilis buku itu dicetak ulang dengan gambar sampul Nicholas Saputra. Akhirnya, bisa juga kukoleksi dan kutandai kata-katanya yang menarik buatku. “Pergolakan Pemikiran Islam” aku dapatkan secara tak tak sengaja di Social Agency Gejayan. Itupun tinggal satu-satunya. Beruntungnya aku.Bagiku buku ini menarik dan menggugah. Ada semangat perlawanan terhadap kemapanan pemikiran Islam konservatif. Ada tawaran-tawaran ijtihad baru yang mencerahkan untuk menjawab kegelisahan keagamaan Ahmad Wahib. Kegelisahan yang juga kurasakan sebagai pemeluk Hindu. Kedua orang itu banyak punya persamaan: cerdas, kritis, idealis, konsisten, humanis, dan keduanya mati muda! Mereka adalah manusia pembelajar sejati. Sosok mahasiswa idealis. Karya mereka sepatutnya menjadi bacaan wajib mahasiswa supaya mereka mengerti siapa dan bagaimana mahasiswa harus bergerak.















“Burung-burung Manyar” membawaku kepada kecintaan tanah air Indonesia yang dibungkus dengan heroisme dan pengorbanan. Sangat cerdas Romo Mangun membuaiku, menuntun imaji melayang, seakan-akan aku terlibat dalam jalinan kisah novel itu sebagai anak kolong. Memang aku dilahirkan dalam keluarga tentara. Masa sekolah dasar kuhabiskan di sekolah yang murid-muridnya anak tentara semua.















Dulu ketika kita mendapati seseorang mencandui karya Eyang Pram, misalnya, selalu saja diasosiakan sebagai pemberontak, bertampang tak menarik, penampilan awu-awutan, kere, berteriak lantang, “Anti kapitalisme!” atau sederet cap tak sedap lainnya. Tapi kini, pascareformasi, imaji seperti itu kabur sudah. Bisa saja seorang cewek seksi, dengan “masa depan” yang menonjol, “latar belakang” yang menggoda, mengendarai Honda Jazz, sembari kongkow di Starbucks, asyik menikmati “Rumah Kaca”. Bisa jadi setelah itu ia juga melahap karya-karya Paolo Freire, Che Guevara, Ivan Illich, atau Umberto Eco. Tak lama kemudian dia dugem ma temen-temennya. Why not? Apa yang salah?















Ada sebuah buku yang menarik minatku karya Gerson Poyk berjudul “Perjalanan Keliling Indonesia”. Gerson mengisahkan kehidupan manusia Indonesia di berbagai pelosok dalam gaya bertutur yang ringan dan jenaka serta diperindah dengan perpektif budaya local yang khas. Gerson tergerak hatinya untuk berkeliling Indonesia setelah membaca sebuah tulisan Pram di Koran Bintang Timur tahun 1963. Pram menganjurkan kepada orang-orang yang mau menjadi penulis haruslah menjadi nasionalis dengan cara mengenali Indonesia. Lalu ia nekat meninggalkan profesinya sebagai guru di Ternate. Ah, keliling Indonesia sembari menulis dan memotret! Impian yang indah. Banyak ahli menyebut “Di Bawah Bendera Revolusi”merupakan karya puncak Bung Karno. Sepertinya patut kiranya kubaca dan kukoleksi. Aku ingin buku-buku itu menghiasi perpustakaan pribadiku.















Ah, ternyata sedikit sekali dari seratus karya itu yang aku baca. Malu aku sebagai pemuda Indonesia zaman kini. Malu aku sebagai pemuda Indonesia yang belum keliling Nusantara. Fiuh.















Tabik,








Camp Simenggaris, Malindo (Malaysia-Indonesia)