Monday, September 17, 2007

>Spiritualitas dalam Kerja


Hidup untuk kerja ataukah kerja untuk hidup? Tentunya, untuk bertahan hidup kita harus bekerja. Bekerja untuk mendapatkan uang yang kemudian kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pun memenuhi keinginan jika mungkin. Seperti itukah arti kerja? Serangkaian logika yang berujung pada kepandaian hendak mengantarkan kita pada jawaban hitam-putih yang materialis. Namun, Bhagawadgita yang agung menawarkan sebuah pemahaman yang mendewasakan tentang kerja.

Sri Krishna dalam Bhagawadgita III.3 menuturkan ada dua jalan kerja. Jalan pengetahuan (jnana yoga) bagi mereka yang suka melakukan perenungan dan jalan kerja (karma yoga) bagi mereka yang bersemangat untuk bekerja. Di zaman lampau pembagian seperti itu bisa tampak nyata. Namun, di era modern ini dikotomi seperti itu menjadi absurd seiring dengan keinginan dan kemampuan manusia mengeksplorasi potensinya untuk menggapai kesempurnaan hidup. Bisa jadi seseorang menempuh kedua jalan itu, memadukan kerja otot (karma yoga) dengan kerja otak (jnana yoga).

Pada putaran hidup masa lalu kaum brahmana (agamawan) dan ksatria (bangsawan) memegang tongkat kekuasaan yang mengendalikan segala sendi kehidupan masyarakat. Segala bentuk kerja yang dilakukan rakyat hanya untuk kemakmuran dua kelompok tadi agar hegemoni kekuasaan mereka atas mayoritas kaum awam tetap terpelihara. Dunia telah berubah. Kebutuhan-kebutuhan manusia dari zaman ke zaman kian kompleks.

Dunia material telah mengantarkan manusia untuk menilai kerja dengan deretan hasil kerja berupa angka, grafik ataupun pencapaian-pencapaian tertentu yang terukur. Bahkan, kebutuhan spiritual yang sakral tak luput dari itu. Para agamawan yang dekat dengan dunia spiritual, tampaknya, kalah bersaing memenuhi kebutuhan spiritual umatnya dengan serbuan kenikmatan duniawi yang tersaji tiap hari.


Setiap manusia adalah materialis dalam batas-batas tertentu, dan kita tidak menjadi manusia bila tidak materialis. Karena itulah manusia seringkali, tanpa sadar, merendahkan kemahakuasaan Hyang Widhi. Entah berapa panjang daftar pemintaan yang kita panjatkan tatkala kita bersembahyang di pura atau bertitra yatra. Seakan-akan Hyang Widhi tidak mengetahui apa kebutuhan kita. Tidak cukupkah kita memanjatkan doa seperti ini, “Oh, Hyang Widhi, Kau tahu yang kumau.” Lalu kita biarkan saja Ia menjalankan hukum-hukum yang telah dibuat-Nya.

Mihaly Csikszentmihalyi, seorang profesor psikologi dari Universitas Chicago, dalam bukunya “Good Business: Bisnis sebagai Jalan Kebahagiaan” berpendapat bahwa pada masa sekarang ada dua kelompok manusia yang paling berjasa dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual masyarakat modern. Mereka adalah kelompok ilmuwan dan pebisinis. Kelompok pertama memberikan harapan kelangsungan hidup yang lebih lama dan sehat serta perkembangan pengetahuan dan teknologi yang mencengangkan dalam memenuhi keingintahuan manusia tentang rahasia kehidupan. Sedangkan pebisnis menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera, nyaman, dan menggairahkan lewat pengaturan pola produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa yang lebih efisien.

Lalu apa arti kerja? Bhagawadgita mengajarkan kita bekerja tanpa keterikatan dan tak mengutamakan hasil. Sebagai lelaki seperempat abad yang belum genap satu tahun ini merasakan dunia kerja, saya sungguh dibuat bimbang. Bagaimana mungkin kita bekerja dalam dunia materialis-kapitalis ini bisa seperti itu? Item-item kerja yang terukur menuntut kita untuk membuat ikatan yang kuat dengan sistem.

Dalam ritus doa yang sakral saja kita masih bertransaksi dengan Hyang Widhi. Barangkali kedangkalan spiritual yang telah membuat saya berpikir seperti itu. Atau barangkali dengan kacamata spiritual saya yang buram saya bisa mengamini bila kerja seperti itu adalah kerja spiritual. Kerja di mana yajna sebagai basisnya mampu menggerakkan roda karma sehingga kita bisa memetik artha lalu menggunakannya untuk memenuhi kama spiritual yang berujung pada moksa. Namun, dalam yajna yang kita lakukan sehari-hari antara yang sakral dan profan tetap tak bisa dipisahkan.

Bagaimana kita bisa bekerja spiritual sekaligus bekerja material? Bhagawadgita yang agung berbicara proses kerja ketimbang hasil kerja. Tak ada jalan pintas untuk memetik buah kerja berupa kesuksesan tanpa melalui proses perjuangan medan Kurusetra.

Setiap tarikan nafas ketika kita bekerja sepatutnyalah untuk-Nya. Bukankah Ia juga bekerja menjalankan hukum-hukum-Nya yang universal? Sudahkah kita berterima kasih kepada tubuh yang dipinjamkan-Nya untuk kita bekerja ini? Seberapa kuatkah kita menjalin ikatan spiritual dengan rekan-rekan kerja di sekitar kita meski ia tak menghendaki kehadiran kita? Ketika rupiah mengalir ke rekening bank kita pada akhir atau awal bulan berapa banyakkah yang kita sisihkan untuk-Nya dan umat-Nya?

Kesempatan dilahirkan sebagai manusia sungguh anugerah tak ternilai. Untuk itulah hidup kita harus serius pun bekerja. Meskipun sepakbola hanyalah sebuah permainan, tetapi untuk sebuah permainan yang cantik diperlukan keseriusan dalam bermain, bukan?