Sunday, September 27, 2009

>Merantau, Mudik, dan Wong Ndeso




Idul Fitri adalah hari raya umat Islam, tapi libur Lebaran adalah hari raya seluruh rakyat Indonesia. Demikian status facebook seorang kawan. Setiap tahun puluhan juta manusia urban berbondong-bondong dari kota-kota besar, terutama Jakarta, pulang ke kampung halaman masing-masing dalam kurun waktu yang hampir bersamaan.

Kalau yang berombongan ada yang naik mobil pribadi (tetangga) ataupun carteran. Yang berduit (atau dipaksain punya duit) tentu terbang naik pesawat. Pastinya yang merelakan bokongnya panas karena duduk beberapa jam naik bus jumlahnya lebik banyak. Kalau yang modal nekat seraya bergaya a la Rossi bolehlah naik sepeda motor. Ga peduli belum lunas kreditannya!

Kalau mau ngerasain sensasi mudik dengan full facility layaknya “hotel bintang seribu” kereta api patutlah dirujuk. Lho kok? Kita bisa belanja apa aja tanpa harus keluar gerbong. Semua kebutuhan mulut, perut sampai di bawah perut lengkap tersedia. Hiburan dari para pengamen jalanan tak kalah asyik dari lagu-lagu di iPod atau MP4. Kalau anda “beruntung” anda akan mendapat pahala yang berlipat ganda karena telah menyumbang dengan terpaksa dompet, perhiasan, HP, ataupun barang berharga lainnya kepada “si tangan kreatif”.

Kalau pengen ngerasain sensasi a la Popeye anda bisa naik kapal laut. Tapi kalau ingin petualangan lebih seru bin dahsyat anda bisa coba naik becak. Syukur-syukur becak pribadi. Gubrak!!! Pasti gempor tuh dengkulnya si abang becak hehehe….Seenak apapun naik kendaraan itu tentunya para pembaca pasti mengamini kalau yang paling enak adalah naik gaji. Tul ga?

Mereka berharap bisa berkumpul dengan sanak saudara (bukan dengan kebo lho) untuk merayakan hari yang fitri. Bermaaf-maafan dan menjalin silaturahmi. (Iya saya maafin. Angpaonya via bank aja yach. Your bank account, please. Uhhh…maunya….).

Di kampung asal mereka membuktikan diri telah jadi “orang sukses” di ibukota dengan dandanan, gadget, dan dongengan heboh. Kalau dikumpulin dan dijadiin buku bisa jadi

"Cerita dari Jakarta”-nya Mbah Pram kalah telak.

Merantau ke ibukota telah jadi ikon dan cerita manusia udik Indonesia. Beragam lagu, novel dan film menjadi saksinya. Film-film jadul macam Warkop, atau Project-P, atau yang terbaru “Merantau” berkisah tentang manusia-manusia perantau dengan berbagai sudut.

Nun jauh di abad-abad silam nenek moyang kita juga merantau untuk mempertahankan hidup. Para pendahulu di Nusantara ini telah berlayar hinggá Madagaskar dan África. Kabarnya asal-muasal manusia berasal dari Afrika Timur kurang lebih 200.000 tahun yang lalu. Lalu mereka bermigrasi pambil singgah di Amerika Selatan (15.000 tahun lalu). Amerika Utara (15.000 tahun lalu, Siberia (30.000 tahun lalu), Eropa (20.000 tahun lalu), Timur Tengah (50.000 tahun lalu), Asia Timur (30.000 tahun lalu), Australia (50.000 tahun lalu), dan Asia Tenggara (50.000 tahun lalu). Coba deh cek májala NGI edisi September 2009 siapa tahu aku salah ngitung! Nggak kebayang deh nenek moyang kita mudiknya naik onta, jerapah, kuda, gajah, rajawali!

Manusia dan kebudayaan Indonesia adalah hasil perpaduan kebudayaan dunia: India, Cina, Arab, dan Eropa. Ini dicatat rapi oleh Dennys Lombard dalam "Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I-III".

Jadi kalau dalam perjalanan mudik anda ditanya, “Aslinya mana, Mas, Mbak?” Lantas apa jawaban Anda? Kalau saya sih asli keturunan Homo gantengicuserectusterus!.

Hutan Sebakis, Nunukan, Kaltim

Monday, August 31, 2009

>Ini Tarian Kami


Sore itu bersama istri tercinta aku sedang duduk santai menikmati sore di depan Benteng Vredeburg. Eh, tiba-tiba muncul serombongan cewek Bali berpakaian adat ringan berkendara sepeda motor berplat DK. “Ada apa ini, Dik?” tanyaku pada istriku. “Entahlah...mmmm...barangkali berkaitan ma tari pendet, Cin,” jawab istriku. Dan dugaan istrku tampak tak keliru. Sejurus kemudian muncul serombongan yang lain, baik cowok maupun cewek mulai bergerombol di trotoar di ujung Malioboro. “Aha...yuk kita ke sana, Dik.”

Monday, July 20, 2009

>Bertemu Kawan di Hulu Mahakam



15 Juni 2009. Jam 13.10 Wita aku bersama dua bosku berkumpul dengan klien di sebuah hotel di Samarinda. Klien ini ádalah Adam Suherman bersaudara (ex owner Adam Air). Mereka bermaksud membuka tambang batubara di wilayah Melak, Kutai Barat.


Recananya kami berangkat naik pesawat berbadan kecil yang memakan waktu 45 menit. Senang rasanya membayangkan tak perlu berjam-jam menempuh jalan darat ke Melak seperti dulu. Ups. Aku terlalu dini berkesimpulan. Sial. Ternyata penerbangan hari itu cuma menyisakan lima tempat duduk. Alhasil, dengan pasrah aku akan menjalani perjalanan yang lama dan membosankan dari Samarinda melewati Tenggarong lalu Melak. Kunjungan kali ini berbeda dengan 1,5 tahun yang lalu. Kalau dulu aku melakukan pemetaan batubara 18.000 ha selama satu bulan, sekarang cuma menemani bos jalan-jalan hehehe….

Untungnya jalan raya sudah teraspal penuh meski di beberapa titik masih berlubang. Jadinya aku bisa terbang ke alam mimpi dengan sukses. Sekira jam 23.00 kami tiba di Melak. Menginap di sebua hotel. Esok paginya kami masih harus melanjutkan perjalanan darat kira-kira satu jam ke pelabuhan Sungai Mahakam. Dari situ perjalanan menyusuri hulu Mahakam dimulai hinggá 1,5 jam kemudian. Lalu dilanjutkan menuju camp yang butuh waktu 1 jam dengan kondisi jalan tanah yang berbukit. Fiuh capek!!!

Hari sudah gelap ketika kami tiba di camp. Lantas kami berkenalan dengan orang-orang di camp itu. Lebih dari 50 orang pekerja tinggal di camp. Mulai dari kepala teknik tambang, geologist, mine engineer hingga operator. Samar-samar aku pernah melihat sosok orang di sana.

Sambil berjabat tangan kusebutkan namaku, “Arya.”

“Agus,” jawabnya.

“Apa kita pernah ketemu sebelumnya?” tanyaku.

“Geologi UGM yo?” jawabnya.

Wah, ternyata kawan satu seperguruan tapi beda angkatan. Dia angkatan’99 sedangkan aku angkatan’00. Kamipun tertawa….Dasar dunia memang sempit bagi geologist macam kami. Di pedalaman Kalimantan bisa berjumpa kawan lama. Aku juga sering berjumpa tak sengaja dengan kawan-kawan seprofesi ketika plesir ke Samarinda ataupun di bandara Sepinggan Balikpapan.

Pekerjaanku di sana bisa dipersingkat menjadi satu hari pengambilan channel sampling. Besoknya kami kembali menempuh perjalanan panjang nan melelahkan kembali ke Samarinda. Lelah tapi dibayar dengan “amplop” yang isinya bisa membuat istriku girang bukan kepalang.

Sunday, June 14, 2009

>Kita Memilih Presiden, Bukan Kepala Suku


“Aku bukan Aborigin asli, juga bukan kulit putih. Orang kulit putih menyebutku berdarah campuran. Setengah aborigin, setengah kulit putih. Tidak hitam atau putih. Aku bukan bagian dari siapapun,” tutur Nullah, seorang bocah laki-laki, dalam film “Australia”.

Dikotomi Jawa-luar Jawa, sipil-militer, Muslim-nonmuslim, mayoritas-minoritas, atau nasionalis-religius belakangan kian santer kita dapati jelang pemilihan presiden akhir-akhir ini. Hal ini kerap dialamatkan untuk menunjuk preferensi seseorang atau kelompok tertentu untuk membedakan mereka dengan dengan dirinya sendiri atau kelompoknya. Seakan-akan yang satu bernilai tinggi atau positif sedangkan yang lainnya bernilai lebih rendah atau negatif.

Meskipun saya dibesarkan dari keluarga militer tapi belum tentu saya bakal memilih capres mantan petinggi militer. Pun meski saya berdarah Bali belum tentu pula saya pasti memilih capres yang berdarah Bali juga. Tak ada jaminan pula saya bakal memilih capres yang dari Bugis meskipun kolega saya banyak yang berasal dari sana.

Artinya, para pemegang hak pilih, seperti saya yang ganteng ini hehehe, tak langsung menjatuhkan pilihan hati hanya semata-mata kedekatan emosional, kultural, kekerabatan, dan lain sebagainya. Kepandaian capres berdebat atau berpidato tak menjamin ia becus bekerja. Karena ada banyak contoh keturunan Homo soloensis, Homo sapiens, Homo erectus, sampai Homo beneran yang cuma bisa NATO (No Action Talk Only) bak komentator sepakbola yang cas-cis-cus.

“Lha terus kamu pengen capres kayak apa sih say?” tanya Aura Kasih suatu malam kepadaku setelah lelah “Mari Bercinta”. Yang jelas ia nggak punya sifat manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis ini: munafik, segan bertanggung jawab, berjiwa feodal, boros, dan percaya takhayul.

“Terus seperti apa dong say?” tanya Aura Kasih lagi sambil menggodaku genit. Ya, seperti kamulah kira-kira.

Mulus: keMaUannya LUruS

Seksi: SEKali janji langsung berakSI

Wangi: WibawA tiNGgI

Montok: MendorONg rakyaT Oentoek Kreatif

Hot: sederHana, Objektif, Tegas

Lagipula kita ini bakal memilih presiden bukan kepala suku. Walaupun mayoritas penduduk negeri ini orang Jawa, tak harus orang Jawa pula kan yang jadi presiden? Kalau, kiranya, harus memilih kepala suku maka aku akan memilih Winnetou, Kepala Suku Apache. Pshaw!!!

Wednesday, May 20, 2009

>Berlibur Bertiga

Bandara Internasional Ngurah Rai

Selasa, 28 April 2009, 22:35 WITA

“Mandala Airline dengan nomor penerbangan RI 384 dari Jogjakarta telah mendarat.” Sebuah pengumuman baru saja dilantangkan. Beberapa menit kemudian muncul dua manusia ajaib dari gerbang terminal kedatangan domestik. Masing-masing membawa sebuah tas punggung. Yang satu berjaket, yang lainnya berkaos. Keduanya clingak-clinguk seperti mencari seseorang. Dan ketika mata mereka melihatku wajah mereka jadi berseri. Mereka adalah Pongge dan Buris yang baru pertama kali menjejakkan kaki di Bali!!! Kedua kawan semasa kuliah ini sudah lama ngebet ingin ke Bali.

Dalam perjalanan ke rumahku di Badung kami melewati pantai Kuta dan jalan Legian. Jalanan lengang oleh lalu lalang kendaraan. Tapi lalu-lalang para pelancong berjalan kaki makin ramai. Mata Buris, terutama Pongge, tak henti-hentinya melototin bule-bule yang berpakaian minim bersliweran di sepanjang trotoar. Melewati beberapa diskotik yang saling behadapan beradu audio hasrat Pongge kian tak terkendali. Kepalanya bergoyang-goyang. Tangannya menari-nari. Dan, hampir saja ia melompat dari sampingku seandainya saja tak ku-central lock pintu mobil. Lagipula masih ada safety belt yang menahan tubuh Pongge. “Sabar, Pong. Saiki kan awake dhewe sih rekonais. Eksplorasi detaile suk wae,” kataku pada Pongge. “Tapi, aku wis ora tahan kie, Gen. Maklum bar metu saka alas,” jawabnya. Buris yang duduk di belakang terbahak-bahak hahaha…….

Tengah malam kami tiba di rumahku. Ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami beranjak tidur. Usai sarapan, kami menuju ke pantai Sanur yang sepi. Sebelumnya kami singgah ke toko kamera.”Lha, piye tho cah iki arep plesir ora nggowo Kimera,” gerutu Pongge. Setelah memilih dan membayar. Eh…yang bayar Buris. Jadi kamera itu kepunyaan Buris lho. Padahal Pongge juga pengen beli kamera yang canggih. “Wis ta cepake duit sa-tas kie saka Kalimantan,” kata Pongge ndagel.

Di seberang pantai Sanur tampak pulau Nusa Lembongan yang masih alami. Seandainya kami punya cukup waktu ingin aku mengajak mereka ke sana sekaligus ke rumah istriku. Cuma menghabiskan segelas minuman kami berlanjut ke GWK di Jimbaran.

Cuaca cukup terik tapi tak seterik langit Kalimantan. Langit tampak indah dengan warnanya. Angin semilir dengan genit mencolek-colek kulit kami yang memang tidak terawat. Ngetes kamera baru. Jepret sana jepret sini berlatar belakang patung Dewa Wisnu setengah jadi. Jepret lagi berlatar perbukitan kapur yang sudah dikeruk. “Kayaknya aku mo bikin mineplan kayak gini aja dech biar seru hehehe,” Buris nyletuk.

Siang menjelang sore kami balik ke rumah. Kebetulan ada tetangga yang meninggal dan sore itu akan diadain upacara ngaben. Pongge dan Buris pengen ngeliat acara itu. Tapi sayang keinginan mereka harus tertunda. Kami terlambat datang!

Abis mandi kami Kanjut beredar ke pantai Kuta menikmati sunset. Padahal sebenarnya pengen liat bule-bule berjemur hehehe…..Yach, udah sunset pasti ga ada bule yang “action”. Jepret-jepret lagi. Kami jalan-jalan menyusuri pantai dan trotoar. Matahari sudah sembunyi. Kami segera meluncur ke resto Jimbaran buat dinner. Berhubung sudah lama aku nggak ke sana, kami sempat kesasar. Tapi setelah tanya sana-sini sampai juga di tujuan. Gile bener…..parkiran penuh. Kami memilih meja tepat di bibir pantai. Kalau ngeliat daftae menu malah bikin pusing. Akhirnya kami langsung ke dapur. Bisa langsung pilih seafood segar. Setelah tunjuk sana tunjuk sini akhirnya 700gr kakap merah dan 400 gram udang menjadi santapan malam kami. Perut dah keburu keroncongan tapi pesanan kami belum datang juga. Untungnya welcome drink dan camilan kacang cukup menjadi penghibur kami ngobrol ngalor-ngidul. Akhirnya yang ditunggu datang juga. Si kakap dan si udang udah tergolek seksi menanti kami mencumbunya. Wajah-wajah kelaparan kami melutuhlantakkan jiwa raga mereka hahaha…..ditemani sebakul nasi putih hangat, sayur plecing, es jeruk, dan desert. Waduh Pongge nambah ampe 3x. Doyan po busung lapar kie?

Wis wareg. Kami beredar ke Legian. Ngeliat monument bom bali dan daftar korbannya. Jepret lagi dech. Kami berjalan kaki menyusuri trotoar dan gang-gang. Nonton tarian bola di depan pintu masuk sebuah diskotik dan tengah malam kami pulang.

Paginya kami beredar lagi ke sebuah toko suevenir di Denpasar. Kira-kira 30 menit perjalanan. Pongge dan Buris mengikutiku dengan sepeda motor. Sampai di toko Pongge sibuk memilih baju pantai. Buris melihat-lihat kaos. Dan aku mencari minuman brem dan brem batangan. Usai membayar kami berpisah. Karena sore itu aku harus ke Semarang naik bus malam yang kebetulan jalurnya lewat depan rumahku. Sedangkan Pongge dan Buris masih beredar menikmati Bali sampai dua hari kemudian.

Tuesday, April 28, 2009

>Undangan Resepsi Perkawinan

Undangan yang kedua ini bukanlah undangan perkawinanku yang kedua.....Pun seandainya demikian aku berharap Aura Kasih bersedia menjadi si mempelai putri hehehe.....

Dengan segala kerendahan hati kami mengundang rekan-rekan terhormat dalam acara resepsi perkawinan kami:

Egytha Chandra Dewi Sudana (Egy)
Putri tercantik dari I Made Sudana dan Tri Budi Kusriyanis

dengan

I Gusti Ngurah Arya Wijaya (Igen)
Putra terganteng dari I Gusti Made Sudana Yoga dan Ayu Kadarsih

yang akan diselenggarakan pada:
Sabtu, 9 Mei 2009
Jam 11.00 - 13.00 WIB
Bertempat di Aula USM Kampus III, Jl. (Arteri) Soekarno Hatta Semarang

Doa restu yang tulus dari rekan-rekan semua sungguh suatu kebahagiaan yang tak terkira bagi kami

Salam hangat

Egy & Igen

Thursday, April 9, 2009

>Parpol dan Caleg Pilihanku


Hari ini adalah hari bersejarah bagi pendidikan demokrasi rakyat di negeri ini. Di negeri di mana Islam, modernitas, dan demokrasi bisa berpelukan dengan mesra. Semua mata dunia tertuju pada hajatan besar ini. Segala hipotesis, keraguan, harapan, kecemasan, dan sebagainya akan menemukan jawabannya tak lama lagi.

Tapi sayang sekali, tahun ini aku tak bisa menikmati hajatan besar ini. Bukannya aku tak menghormati kerja KPU yang telah bersusah payah bekerja. Bukan pula aku hendak memboikot pemilu ini. Lantas? Partai dan caleg pilihanku ternyata tak tercantum pada lembar kertas suara.

Partai pilihanku adalah PAKSS (Partai Aura Kasih So Sexy) dengan nomor urut 69 dan caleg nomor 38B!