Bila hari telah senja
Malam haripun tiba
Hidupku yg sendiri
Sunyi..................
Bila senja berlalu
Hati terasa pilu
Hidupku yang sendiri
Sunyi..............
Reff: Mengapa dikau bertanya
Mengapa kuharus berduka
Hidupku hanya untukmu
Sayang2x
Nukilan lagu berirama country berjudul “Hidupku Sunyi” yang dinyanyikan oleh Tantowi Yahya mungkin bisa berbicara mewakili hidup Gombrenk, Bosman, Fauzi, dan gw yang harus mengisi hari-hari di kesunyian Sangatta. Tapi beruntunglah mereka bertiga hidup di barak dengan fasilitas yang lengkap dan gaji sebulannya bisa buat hidup setahun di Jogja, jauh lebih baik daripada gw yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Nenekmoyang).
Gw harus sewa kamar di sebuah rumah kos, kira-kira 2 km dari barak KPC dan Thiess. Sebuah rumah kos berdinding tembok, berlantai keramik, berisi 17 kamar, berlantai dua. Masing-masing kamar berukuran 3x3m, dilengkapi kamar mandi dalam yang airnya belum tentu seminggu sekali ngucur. Tapi untung saja si empunya kos menyediakan tujuh tangki bervolume 1200 lt dan dua tangki bervolume 3000 lt. Cukuplah buat mandi dan cuci pakaian. Tiap lantai dilengkapi dengan dapur, alat-alat memasak, kompor gas, dan juga tabung gasnya. Kalau memasak, setidaknya masak mie instant, gw selalu pakai air mineral bermerk terkenal yang harga segalonnya Rp. 25.000,00. Bukannya sok-sokan neh, tapi kualitas air di Sangatta sungguh mengenaskan. Coba bayangin setelah mengisi bak mandi dengan air, tentu saja, maka dalam satu malam saja akan terendapkan lempung yang cukup tebal. Ampun DJ……Di lantai dasar ada ruang bersama yang dilengkapi sofa, pesawat tv, dan saluran tv kabel.
Kamar di kos gw terbilang cukup luas dan bisa ditempati dua orang dengan harga sewa yang sama bila hanya ditempati seorang. Kamar gw bernomor 217, di lantai dua. Ada sembilan kamar di sana: empat kamar dihuni enam batangan (lima buaya darat dan seorang yang berhati suci, alim, dan pendiam: gw hehehe), tiga kamar dihuni oleh empat . Dia lubang buaya eh perempuan, dan dua kamar sedang menanti buat ditiduri eh ditempati. Kamar gw paling ujung, dekat dengan dapur.
Ketika gw tempati, rumah kos gw itu belum genap sebulan. Pemiliknya orang Bugis yang kerja di KPC. Penduduk di Sangatta ini didominasi oleh kaum pendatang dari Bugis, Banjar, dan Jawa. Kebanyakan Jawa Timur dari logatnya yang agak kasar, dan sedikit dari Jawa Tengah seperti para pedagang terang bulan dan martabak yang semuanya dari Tegal dengan ciri khas bahasa ngapak-ngapak kayak Cipoet.
Bersambung...........................
Malam haripun tiba
Hidupku yg sendiri
Sunyi..................
Bila senja berlalu
Hati terasa pilu
Hidupku yang sendiri
Sunyi..............
Reff: Mengapa dikau bertanya
Mengapa kuharus berduka
Hidupku hanya untukmu
Sayang2x
Nukilan lagu berirama country berjudul “Hidupku Sunyi” yang dinyanyikan oleh Tantowi Yahya mungkin bisa berbicara mewakili hidup Gombrenk, Bosman, Fauzi, dan gw yang harus mengisi hari-hari di kesunyian Sangatta. Tapi beruntunglah mereka bertiga hidup di barak dengan fasilitas yang lengkap dan gaji sebulannya bisa buat hidup setahun di Jogja, jauh lebih baik daripada gw yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Nenekmoyang).
Gw harus sewa kamar di sebuah rumah kos, kira-kira 2 km dari barak KPC dan Thiess. Sebuah rumah kos berdinding tembok, berlantai keramik, berisi 17 kamar, berlantai dua. Masing-masing kamar berukuran 3x3m, dilengkapi kamar mandi dalam yang airnya belum tentu seminggu sekali ngucur. Tapi untung saja si empunya kos menyediakan tujuh tangki bervolume 1200 lt dan dua tangki bervolume 3000 lt. Cukuplah buat mandi dan cuci pakaian. Tiap lantai dilengkapi dengan dapur, alat-alat memasak, kompor gas, dan juga tabung gasnya. Kalau memasak, setidaknya masak mie instant, gw selalu pakai air mineral bermerk terkenal yang harga segalonnya Rp. 25.000,00. Bukannya sok-sokan neh, tapi kualitas air di Sangatta sungguh mengenaskan. Coba bayangin setelah mengisi bak mandi dengan air, tentu saja, maka dalam satu malam saja akan terendapkan lempung yang cukup tebal. Ampun DJ……Di lantai dasar ada ruang bersama yang dilengkapi sofa, pesawat tv, dan saluran tv kabel.
Kamar di kos gw terbilang cukup luas dan bisa ditempati dua orang dengan harga sewa yang sama bila hanya ditempati seorang. Kamar gw bernomor 217, di lantai dua. Ada sembilan kamar di sana: empat kamar dihuni enam batangan (lima buaya darat dan seorang yang berhati suci, alim, dan pendiam: gw hehehe), tiga kamar dihuni oleh empat . Dia lubang buaya eh perempuan, dan dua kamar sedang menanti buat ditiduri eh ditempati. Kamar gw paling ujung, dekat dengan dapur.
Ketika gw tempati, rumah kos gw itu belum genap sebulan. Pemiliknya orang Bugis yang kerja di KPC. Penduduk di Sangatta ini didominasi oleh kaum pendatang dari Bugis, Banjar, dan Jawa. Kebanyakan Jawa Timur dari logatnya yang agak kasar, dan sedikit dari Jawa Tengah seperti para pedagang terang bulan dan martabak yang semuanya dari Tegal dengan ciri khas bahasa ngapak-ngapak kayak Cipoet.
Bersambung...........................
No comments:
Post a Comment