Menjadi wellsite geologist adalah job deskku kali ini. Ada 70 titik bor direncanakan dibor di wilayah Simenggaris, Kalimantan Timur, dengan kedalaman 30 dan 60 meter. Simenggaris berada di kilometer nol jalan transkalimantan, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Untuk mencapai lokasi ini diperlukan waktu satu jam lima belas menit pakai speedboat dari Nunukan. Sebelumnya aku harus menempu perjalanan 2 jam lima belas menit dari Tarakan ke Nunukan.
Basecamp ada di kilometer nol tetapi wilayah kerjaku ada di kilometer sebelas (flying camp). Jalanan di sana sebagian masih tanah dan sebagian lagi aspal tipis yang menyebabkan jalan mudah rusak. Beberapa jembatan masih dibuat dari gelondongan kayu-kayu besar. Cuma ada satu-dua saja jembatan yang konstruksinya dari beton.
Hidup di sana sungguh-sungguh harus tahan uji. Bayangkan hidup tanpa jaringan listrik, hanya mengandalkan mesin jenset pada malam hari saja. Tidak ada perkampungan, hanya ada satu-dua rumah saja yang terpisah-pisah jauh. Celakanya, sinyal HP juga tak ada! Untuk mendapatkan sinyal HP aku harus menuju kilometer 24. Perjalanan yang tak mudah karena tidak setiap saat aku bisa ke sana. Tak ada angkutan umum. Jalanan rusak. Biasanya aku bersama rekan-rekan yang lain satu mobil ke sana. Itupun mobil satu-satunya fasilitas perusahaan.
Ada juga tempat lain. Tetapi harganya mahal. Dari basecamp naik speedboat tak sampai lima menit ongkosnya Rp 10.000,00 lalu sewa motor melewati pabrik pengolahan minyak kelapa sawit milik PT. Nunukan Jaya Lestari. Ongkosnya Rp 50.000,00. Sejauh mata memandang jalanan yang kulewati ditumbuhi kelapa sawit. HPku bisa menangkap sinyal di suatu titik di perbukitan tepi jalan. Meski ada sinyal, tetapi tak selalu mudah untuk berkomunikasi dengan bagus. Suara lawan bicaraku terdengar putus-putus, tetapi lain halnya bila aku yang menerima panggilan telpon. Sengatan matahari yang menusuk menambah tidak nyaman.
Pekerjaanku di sana adalah mendeskripsi serbuk bor (cutting) dan inti bor (coring) menggunakan metode touch coring, mencatatnya lalu mengambil sampelnya bila memenuhi syarat. Hasil pemboran di lima titik pertama ini menunjukkan bahwa lapisan batubara tebalnya tak sampai satu meter di kedalaman lebih dari 30 meter. Aku bekerja sama dengan para kru driller yang sudah berpengalaman. Sedangkan ini pengalaman pertamaku. Aku banyak belajar dari mereka. Ada dua tim yang diturunkan untuk pekerjaan ini, masing-masing enam orang.
Kami tinggal di flying camp, satu kilometer dari jalan transkalimantan kilo sebelas. Jalanan tanah bergelombang yang terkadang menyempit karena tergerus air membuat perjalanan menjadi menegangkan. Kalau tak mahir menyetir niscaya kami pasti terperosok. Untung saja sopirnya Pak Combat, mantan anggota Kopassus, yang bisa diandalkan untuk mengantarkan kami dengan selamat.
Flying camp kami sangat sederhana. Berbentuk panggung yang kayunya diambil dari pohon-pohon di sekitar. Beratapkan terpal. Cukuplah buat menampung 20 orang. Tetapi, langit-langit yang pendek, kalau berdiri kepalaku bisa menyentuhnya, membuat udara terasa panas pada siang hari. Jangan harap bisa tidur siang. Kami memanfaatkan kolong panggung buat bersantai di siang hari. Memang terasa jauh lebih nyaman.
Kalau urusan tidur buatku tak masalah. Yang jadi masalah ketika pasokan makanan terlambat. Alhasil, kami harus puas dengan menu mie instant, ikan sarden kalengan, dan telur untuk menu pagi, siang, dan malam. Kami sering mengeluh. Kami ingin sayuran segar, ikan segar, tahu dan tempe. Ibu tukang masak tak bisa berbuat banyak. Ia memasak berdasar bahan yang tersedia. Alhasil, seminggu di flying camp cukup membuatku terserang radang tenggorokan. Ini kiamat buatku. Apalagi persediaan Liquid Chlophyll dan Omega Squa tinggal setengah botol. Dua produk suplemen alami itu yang kuandalkan untuk melindungiku dari bahan-bahan berbahaya yang ada dalam makanan dan minuman.
Terkadang aku mengeluh berada di daerah yang “tak beradab”. Tetapi setelah kurasakan ternyata sangat menyenangkan hidup tanpa tv dan koran. Aku muak dengan sajian tv dan berita di koran yang isinya mengorek kebobrokan bangsa ini. Aku hanya ditemani Karl May dengan bukunya “Dan Damai di Bumi!”, Langit Kresna Hariadi dengan “Gajah Mada: Hamukti Palapa”, dan buku grammar untuk mengasah bahasa Inggrisku.