Dari seratus karya tersebut beberapa di antaranya pernah kubaca semasa sekolah dan kuliah.
Ketika berstatus pelajar (karena memang ada di buku pelajaran Sejarah dan PSPB): 1) “Dekrit Presiden 5 Juli 1959”, “GBHN”, dan “Sumpah Pemuda”.
Yang “kekiri-kirian” dan kukoleksi:1) “Madilog” dan “Dari Penjara ke Penjara (I, II, III)” karya si misterius Tan Malaka, 2) Tetralogi Pulau Buru karya mbah Pramoedya Ananta Toer, 3) “Catatan Seorang Demonstran” teriakan sunyi Soe Hok Gie, 4) “Pergolakan Pemikiran Islam” oleh Ahmad Wahid, dan 5) “Burung-burung Manyar” karya Romo Mangunwijaya.
Yang sekilas kubaca dan tak kukoleksi: 1) “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia” (Koentjaraningrat), 2) “Manusia Indonesia” (Mochtar Lubis), 3) “Revolusi di Nusa Damai” (K’tut Tantri), dan 4) “Habis Manis Terbitlah Terang” ( R. A. Kartini).
Gagasan-gagasan Tan Malaka sangat menggugah rasa keindonesiaan bagiku. Pikirannya liar, membongkar kemapanan, pas betul dengan seleraku. Materialisme, dialektika, logika alias MADILOG memang sebagai seorang intelektual. Makanan enak buat otak kiri kita.Tampaknya Tan Malaka hendak membangun manusia Indonesia dengan melupakan sejarah kebesaran masa lalu. Serupa dengan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Seandainya masa lalu kejayaan Nusantara adalah komunisme atau Islam aku yakin Tan Malaka ataupun STA pasti berdarah-darah mendukung ideologinya itu. Kedigdayaan sains dan teknologi saat ini merupakan puncak dari karya materialisme. Tapi itu justru membuka mata kita bahwa kebahagiaan bukan terletak pada materialisme. Manusia-manusia pascamaterialisme beralih mencari kebahagiaan pada spiritualitas, menemukan makna filosofis dari kehidupan. Di dunia spiritual seringkali materialisme, dialektika, dan logika dikubur dala-dalam.
Karya-karya Mbah Pram diidentikkan sebagai bacaan kiri. Di masa Orde Baru bisa masuk bui bila kedapatan membawa, apalagi membaca, karya Pram. Ketika masa awal menjadi mahasiswa sering aku mendengar nama Pram disebut kalangan mahasiswa aktifis yang kucuri dengar dari obrolan mereka di warung angkringan dan burjo di Pogung Lor, Sleman. Beruntung sekali rasa penasaranku terpenuhi. Setelah berburu sekian lama menginterogasi para penjual buku di lapak-lapak Shopping Center Jogja akhirnya dapat juga aku tetralogi yang legendaris itu di pertengahan 2001. Pada perburuan pertama aku cuma dapat “Bumi Manusia” dan “Jejak Langkah”. Itupun sebagian halamannya merupakan fotokopian. Dua seri sisanya aku dapatkan seminggu kemudia, itupun pesan kepada si penjual agar jangan menjual ke ornag lain. Selanjutnya, aku berburu karya Pram yang lain. “Arus Balik” membuatku terpana!
Rasa penasaran pula yang menyerangku ketika nama Soe Hok Gie dan Ahmad Wahid bersama karya mereka sering dikutip dalam diskusi maupun tulisan. Butuh tiga tahun bagiku untuk bisa mendapatkan “Catatan Seorang Demonstran”. Itupun dalam bentuk fotokopian milik seorang kawan kuliah, Bosman Batubara. Kebetulan ketika itu aku bertandang ke kamar kosnya yang sekaligus markas PMII Sleman di Sawitsari. Baru setelah film “GIE” dirilis buku itu dicetak ulang dengan gambar sampul Nicholas Saputra. Akhirnya, bisa juga kukoleksi dan kutandai kata-katanya yang menarik buatku. “Pergolakan Pemikiran Islam” aku dapatkan secara tak tak sengaja di Social Agency Gejayan. Itupun tinggal satu-satunya. Beruntungnya aku.Bagiku buku ini menarik dan menggugah. Ada semangat perlawanan terhadap kemapanan pemikiran Islam konservatif. Ada tawaran-tawaran ijtihad baru yang mencerahkan untuk menjawab kegelisahan keagamaan Ahmad Wahib. Kegelisahan yang juga kurasakan sebagai pemeluk Hindu. Kedua orang itu banyak punya persamaan: cerdas, kritis, idealis, konsisten, humanis, dan keduanya mati muda! Mereka adalah manusia pembelajar sejati. Sosok mahasiswa idealis. Karya mereka sepatutnya menjadi bacaan wajib mahasiswa supaya mereka mengerti siapa dan bagaimana mahasiswa harus bergerak.
“Burung-burung Manyar” membawaku kepada kecintaan tanah air Indonesia yang dibungkus dengan heroisme dan pengorbanan. Sangat cerdas Romo Mangun membuaiku, menuntun imaji melayang, seakan-akan aku terlibat dalam jalinan kisah novel itu sebagai anak kolong. Memang aku dilahirkan dalam keluarga tentara. Masa sekolah dasar kuhabiskan di sekolah yang murid-muridnya anak tentara semua.
Dulu ketika kita mendapati seseorang mencandui karya Eyang Pram, misalnya, selalu saja diasosiakan sebagai pemberontak, bertampang tak menarik, penampilan awu-awutan, kere, berteriak lantang, “Anti kapitalisme!” atau sederet cap tak sedap lainnya. Tapi kini, pascareformasi, imaji seperti itu kabur sudah. Bisa saja seorang cewek seksi, dengan “masa depan” yang menonjol, “latar belakang” yang menggoda, mengendarai Honda Jazz, sembari kongkow di Starbucks, asyik menikmati “Rumah Kaca”. Bisa jadi setelah itu ia juga melahap karya-karya Paolo Freire, Che Guevara, Ivan Illich, atau Umberto Eco. Tak lama kemudian dia dugem ma temen-temennya. Why not? Apa yang salah?
Ada sebuah buku yang menarik minatku karya Gerson Poyk berjudul “Perjalanan Keliling Indonesia”. Gerson mengisahkan kehidupan manusia Indonesia di berbagai pelosok dalam gaya bertutur yang ringan dan jenaka serta diperindah dengan perpektif budaya local yang khas. Gerson tergerak hatinya untuk berkeliling Indonesia setelah membaca sebuah tulisan Pram di Koran Bintang Timur tahun 1963. Pram menganjurkan kepada orang-orang yang mau menjadi penulis haruslah menjadi nasionalis dengan cara mengenali Indonesia. Lalu ia nekat meninggalkan profesinya sebagai guru di Ternate. Ah, keliling Indonesia sembari menulis dan memotret! Impian yang indah. Banyak ahli menyebut “Di Bawah Bendera Revolusi”merupakan karya puncak Bung Karno. Sepertinya patut kiranya kubaca dan kukoleksi. Aku ingin buku-buku itu menghiasi perpustakaan pribadiku.
Ah, ternyata sedikit sekali dari seratus karya itu yang aku baca. Malu aku sebagai pemuda Indonesia zaman kini. Malu aku sebagai pemuda Indonesia yang belum keliling Nusantara. Fiuh.
Tabik,
Camp Simenggaris, Malindo (Malaysia-Indonesia)