Dulu Jogja dikenal dengan banyaknya sepeda onthel yang digunakan warganya termasuk mahasiswa di dalamnya. Tapi sayangnya ketika aku memasuki Jogja pada 2000 romantisme itu tak kujumpai hingga kutinggalkan Jogja pada 2006. Namun, setelah dua tahun kutinggalkan slogan Jogja BERHATI NYAMAN telah berubah menjadi Jogja BERHATI HOTSPOT. Demam hotspot memang sedang melanda warga Jogja saat ini. Dari kampus, mall, café ampe warung angkringan orang-orang tenggelam dalam dunia maya. Aku pernah merasakan ber-hotpot di Amplaz Desember lalu. Kisah yang lebih berwarna bisa disimak di rubrik “Kehidupan” pada Kompas Minggu, 8 Juni 2008.
Sungguh kemajuan teknologi informasi sekarang ini membuat dunia serasa makin sempit aja. Bagaikan dunia yang dilipat seperti judul buku Yasraf Amir Pilliang, budayawan dari ITB. Aku yang berada di pedalaman hutan K
”High culture” yang dulu hanya digawangi oleh kaum elit bangsawan dan pemuka agama yang menghasilkan karya yang melangit mendapat perlawanan dari kaum awam yang cenderung r
Menurut Ono W. Purbo, pakar teknologi informasi, perkembangan internet tak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang mendukungnya. Masyarakat yang melek internet membutuhkan kebudayaan membaca dan menulis yang kuat. Masyarakat kita tengah menghadapi loncatan kebudayaan. Masyarakat kita masih berkebudayaan oral, sedikit pendokumentasian. Alhasil banyak karya nenek moyang yang lenyap tanpa bisa dinikmati anak-cucunya. Seperti yang terjadi pada kebudayaan Melayu. Tetapi untungnya ada orang-orang yang mencintai kebudayaan Melayu berusaha mengumpulkan kemb
Ber-hotspot di kantor Telkom Tarakan
No comments:
Post a Comment