Friday, October 9, 2009

>Aku Traveling Maka Aku Ada



Kata orang jurnalis dan diplomat adalah jenis pekerjaan yang menjanjikan perjalanan ke pelosok negeri dan manca. Apa iya sih? Anggapan itu barangkali ada benarnya. Dulu sih! Namun, seiring waktu, sekarang hampir semua jenis pekerjaan memungkinkan kita untuk meninggalkan meja kantor berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Coba tengok cerita Mbak Trinity di naked-traveler.com atau versi bukunya “The Naked Traveler”. Si Mbak yang mengaku cuma pegawai kantoran biasa sudah bisa traveling ke berbagai belahan dunia. Obsesi Agustinus Wibowo berkeliling dunia punya kisah menarik yang rutin ditulisnya untuk rubrik travel story di KOMPAS .COM. Padahal ia cuma seorang mahasiswa asal Lamongan yang sedang kuliah di Cina.

Petualangan Andrea Hirata sebagai backpacker berkeliling Eropa dan Afrika dikisahkan secara dramatis dalam “Edensor”. Atau yang lebih seru nan kocak kisah si Lintang yang cantik dengan keempat sahabatnya (Gery, Wicak, Daus, dan Banjar) dalam novel “Negeri van Oranje” berkelana menyusuri berbagai kota di Belanda sembari menyelesaikan studi master.

Awalnya, aktifitas jalan-jalan dianggap orang sebagai kegiatan yang membuang waktu dan biaya. Nyatanya kegiatan memanfaatkan waktu luang telah berubah menjadi bisnis yang menggiurkan. Berbagai media cetak bernuansa jalan-jalan marak menjadi panduan kita bepergian. Taruhlah majalah National Geographic Traveler Indonesia, Kabare, dan Jalan-jalan. Buku “Lonely Planet” lengkap menyajikan pernak-pernak wisata a la backpacker. Belum lagi laman-laman di internet yang menyajikan informasi dan biaya traveling. Biro perjalanan dan hotel turut kebanjiran rejeki.

Berpesiar tanpa jeprat-jepret pastinya nggak afdol. Makin majunya teknologi digital memudahkan kita untuk memajang foto narsis kita di facebook, twitter, YM, maupun Friendster. Kalau nggak punya (atau nggak ada yang mau minjemin) kamera jenis SLR maka kamera saku juga nggak masalah. Kalau nggak ada juga kita masih bisa pakai kamera ponsel. Kalau masih nggak ada, panggil aja tukang foto keliling!

Kalau belum bisa jalan-jalan betulan cukuplah kita tengok tayangan di televisi. Di sana disajikan secara visual betapa nikmatnya melakukan perjalanan. Semuanya bisa disimak dalam “Jejak Petualang”, “Koper dan Ransel”, “Backpacker”, dan “Archipelago“. Nuansa petualangan dan adu cepat bisa kita tonton di “Amazing Race”. Dan yang paling popular adalah “Wisata Kuliner”. Jalan-jalan sambil makan-makan. Dibayar pula. Duh enaknya jadi Pak Bondan.

Kalau mau lebih bebas kita cukup duduk di depan computer. Sambungkan ke internet. Berselancarlah. Apalagi ada Om Google Earth. Tambah sip. Tapi senikmat apapun itu, bepergian secara fisik jauh lebih menyenangkan dan mengesankan.

Karena itu tak salah jika Karl May yang mengarang novel petualangan seri “Winnetou” dan seri “Kara Ben Nemsi” lebih dari seratus tahun lalu mampu menghipnotis jutaan orang di dunia menjadi pelancong.

Kalau aku sih, karena pekerjaan, hanya bisa berjalan-jalan di hutan mengendus batubara bagai anjing pelacak. Nasib geologist!

>Istriku Sekolah lagi

Batas akhir registrasi 21 Agustus 2009. Tapi hingga H-4 surat pemberitahuan belum diterima istriku. Katanya surat itu akan dikirim pihak universitas ke rumah di Semarang via pos ke. Ia juga melihat pengumuman di internet. Nihil.Ia juga sudah menyanyakan hal itu ke pihak jurusan via telepon. Malah ia disuruh bersabar. “Suratnya pasti datang,” kata pihak jurusan. Istriku cemas. Gelisah. “Keterima ga ya?” tanyanya.

Akhirnya, aku berinisiatif mendatangi kampus. Hari itu juga aku meluncur ke Jogja. Kebetulan juga ada acara kumpul bareng temen-temen masa kuliah. Esoknya aku mendatangi kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Sial. Aku tiba pas jam istirahat. Aku duduk menunggu. Mataku memerhatikan mahasiswa baru yang sedang menjalani OSPEK. Aku tersenyum mengenang kejadian serupa sepuluh tahun lalu di Unibraw dan sembilan tahun lalu di Kampus Biru.

Di sebelahku duduk dua perempuan. Keduanya dari Surabaya. Mereka punya maksud yang sama denganku. Pun dengan keluhan yang sama. “Administrasi yang tidak profesional,” kata mereka. Sehari sebelumnya mereka menelpon pihak jurusan dan memastikan bahwa mereka diterima. Tak lama kemudian pintu ruang administrasi akademik terbuka. Aku disambut seorang pegawai pria. Lalu kuutarakan maksudku.

“Namanya siapa, Mas?” tanyanya.

“Bukan saya. Tapi istri saya,” jawabku sembari menyebutkan nama lengkap istriku dan jurusan yang akan ditempuhnya.

“Lingustik.”

Ia mengambil sebuah map. Lalu memeriksanya.

“Kok nggak ada, Mas” ujarnya.

Aduh. Aku tak berharap jawaban itu yang kudengar.

“Salah jurusan kali,” katanya.

Aku memutar memori. “Oh, ya sori, Pak. Jurusan Sastra”

“Lha, ini baru ada. Selamat istri anda diterima sebagai calon mahasiswa pascasarjana UGM,” ujarnya.

Lalu ia memaparkan tahap registrasi selanjutnya. Sejurus kemudian aku berjalan menuju kantor bidang akademik di rektorat. Kira-kira seratus meter dari FIB.

Sampai di sana sudah banyak orang yang sibuk mengisi berkas. Aku dilayani seorang bapak. Kusebutkan nama istriku dan jurusannya. Tak lama kemudian surat resmi pemberitahuan bahwa istriku diterima sudah ada di tanganku. Kubaca seksama. Lalu kutelpon istriku.

“Gimana, Cin?” tanya istriku di seberang telepon.

“Hmmm….kayaknya ada masalah, Babe,” jawabku dengan nada pura-pura serius.

“Lho emangnya kenapa?”

“Iya, Adik harus segera ke Jogja buat bayar SPP,” kataku sambil tertawa.

Back to my alma máter,” balasnya.

Ah…sejak lulus dari S1 Satra Jepang tiga tahun lalu akhirnya istriku sekolah lagi dengan beasiswa dari suamitercinta@foundation.org!