Thursday, February 7, 2008

>sgt-jkt

Pada 23-25 Januari 2008 aku berada di ibukota dalam rangka dinas di kantor pusat (Jalan Raya Pasar Minggu-Kalibata). Rabu, 23 Januari jam 11.30 WIB aku mendarat di Cengkareng. Langsung saja aku pesan taksi bergegas menuju kantorku. Taksi yang kupilih adalah taksi berlambang burung biru. Ya, perusahaan yang pernah aku singgahi selama empat bulan jadi MT setahun lalu. Sejatinya Selasa malam aku sudah harus tiba di jakarta, tapi berhubung aku terlambat mengurus surat dinasku alhasil Rabu pagi baru aku berangkat dari Balikpapan.

Usai urusan kantor aku check-in di sebuah hotel tak jauh dari kantorku. Mandi dan bergegas menuju Rawamangun naik bus kota yang penuh sesak buat sembahyang Galungan. Setahun tak menjejakkan Jakarta, rupanya Pura Rawamangun telah berbenah. Bangunan luar pura jadi lebih indah nan romantis. Tamannya enak buat nongkrong. Bale bengongnya tiga buah. Hiasan lampunya menawan. Cafetarianya lebih bersih dan rapi. Ada juga bangunan baru yang masih dalam tahap penyelesaian.

Di Utama Mandala aku duduk di saf belakang. Duduk hening, mencoba menenangkan diri dan pikiran. Tapi entahlah, otak kiri ini terlalu liar susah dikendalikan. Agaknya benar apa yang dikatakan Anand Krishna bahwa pikiran kita seperti monyet yang tidak bisa diam, selalu berloncatan ke sana ke mari.

Baru sesaat menuju titik konsentrasi samar-samar aku melihat sosok yang familiar sedang terbangun dari duduknya dan melangkah di depanku. Ah….ternyata duo sejoli Oming’00 dan Komang’98. Lama tak bersua kami bertanya kabar masing-masing. “Aku tadi ketemu B’Darmawan,” kata Komang sambil celingukan, “Itu dia lagi di depan.”

Oh ya. Dari posturnya yang tinggi besar mudah melacak B’Dar. Dia lagi bersila bertepekur di saf depan. Tapi eeittt.....tampaknya di sebelahnya ada sesosok perempuan. Ah....mungkin B’Dar sudah menemukan penggantinya.....Kenalin donk Bli hehehe.......

Singgah sebentar ke cafeteria menyedot sebotol teh dan membeli buku baru terbitan MH karangan Ram Das berjudul “Jalan Menuju Tuhan”. Lalu aku cabut, menyusuri kembali jalanan Jakarta dengan bus kota. Aku turun di Mampang Prapatan. Niatnya sih ingin singgah ke kantor pusat tempat kerjaku sebelumnya buat ketemu dan ngobrol ma mantan rekan kerja. Jam menunjukkan 22.30. Dari luar aku lihat banyak mobil yang keluar masuk. Para pengemudi tampak sibuk setor uang. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki. Kira2 15 menit aku berdiri terpaku menimang-nimang perlu tidaknya aku menemui mereka. Untuk apa seh ketemua mereka? Apa aku mau pamer kesuksesan pada mereka? Lalu apa dampkanya setelah aku bertemu mereka? Dan masih banyak pertanyaan yang selanjutnya mampu mengurungkan niatku untuk menemui mereka. Aku balik saja ke hotel. Sudah larut malam. Lebih baik istirahat saja, tanpa “teman”. Besok masih harus ngantor.

Urusan di kantor adalah rapat perencanaan pemboran ekplorasi dari proyek di Melak, Kutai Barat, yang aku kerjakan pada September-Oktober 2007 lalu. Ada sedikit persoalan, tapi itu bisa diatasi.

Kamis sore aku bertandang ke kantor BATAN di Pasar Jumat. Ada sahabat lama di sana, Gde Sukadana alias De Lampung. Setelah menikah perutnya makin mirip Ganesha saja. Sebenarnya banyak hal yang mau aku curhatkan padanya, tentang pekerjaan dan kehidupan. Tetapi perbincangan di penghujung jam kantor tentu tak menyisakan ruang untuk itu. Dia menyuruhku menginap di rumahnya. “Biar bisa ngobrol,” katanya. Padahal aku hendak kembali ke hotel sore itu juga karena aku nggak bawa ganti baju dan peralatan mandi. Tapi okelah, demi sahabat lama aku sanggupi. Tapi aku ada janji dengan seseorang di Cinere Mall. Aku minta De Lampung menjemputku di sana jam 20.00.

Seseorang ini sebenarnya spesial buatku. Lama sekali aku tak jumpa dia. Kukenal dia di Jogja beberapa tahun lalu. Aku pernah beberapa kali berkencan dengannya. Sekadar nonton dan makan. Aku suka dengan kegigihannya berjuang. Parasnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya cerah, bodinya yahud, tubuhnya harum, senyumnya muanis banget. Pernah terbersit unutk memilikinya. Dasar kucing garong, sukanya kok selingkuh. Udah punya calon istri masih aja cari yang lain!!! Tapi untunglah hubunganku dengan dia hanya sebatas teman. Aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Lebih-lebih dia. Usai dinner di food court. Kami berpisah. Ntah kapan lagi kami bisa berjumpa. Aku merindukan senyumnya...........

De Lampung sudah menantiku di depan pintu masuk Cinere Mall. Rumahnya di daerah Pamulang, Depok. Kira-kira 20 menit perjalanan. Kebetulan malam itu ia sendirian. Istrinya seorang perawat yang lagi dapat shift malam. Melihat hidupnya terus terang aku merasa iri. Sebagai PNS pekerjaannya cukup santai. Tapi proyeknya banyak, mulai dari pemetaan airtanah, pemetaan geologi, geofisika, sampai pemboran batubara. Wow....banyak sekali ilmu dan pengalaman yang ditimbanya. Nggak seperti aku dan kawan-kawanku di KPC yang terjebak dalam pekerjaan dan pengetahuan yang itu-itu saja. Apalagi sebentar lagi dia akan sekolah lagi. Aduh....enak betul....

Jumat pagi aku balik ke hotel. Ganti baju dan breakfast. Lapar sekali aku. Aku cicipi semua menu. Tapi tiba-tiba mataku bertatapan dengan sesosok mahkluk manis yang duduk sendirian di seberang mejaku. Kuberanikan diri untuk mendekatinya dan duduk semeja dengannya. Setelah ngobrol ngalor-ngidul baru kutahu kalau dia di hotel itu baru dua malam bersama suaminya. “Hah, jadi kamu istri orang? Lho suami kamu mana?” tanyaku panik. “Suamiku lagi ke kantor,” jawabnya menenangkan aku. Daripada aku ntar digamparin suaminya lebih baik aku buru-buru cabut.

Pagi itu juga aku check out. Ke kantor ampe siang melanjutkan kerjaan. Trus ke Blok M beli kaos dan bleezer murah meriah buatku. Dari Blok M aku naik Transjakarta menuju Monas, tetapi kelewatan akhirnya aku turun di Harmoni lalu naik ojek ke Gambir. Di halte busway antrean calon penumpang panjang banget kayak ular. Aku mau beli tiket kereta api ke Semarang. Kebetulan aku juga ditipi tiket ma seniorku yang mo ke Semarang juga ma istrinya menjenguk mertuanya yang sakit.

Tiba di loket jam 18.00. Antrean dah panjang banget, loket belum dibuka. Maklum weekend, banyak orang yang mo keluar kota. Aku berdiri ngantri selama 10 menit. Tak sabar aku menunggu loket buka,”Aku takut kehabisan tiket duduk. Masak harus berdiri naik kereta eksekutif? Iseng-iseng aku tanya ke salah seorang pengantri, “Loketnya jam berapa buka, Pak?” “Mas mau kemana?” tanyanya balik. “Ke Semarang,” jawabku singkat. “Kalau ke Semarang di loket sebelah, Mas,” terangnya. Aku merasa bodoh sekali ketika itu. Salah antri!!! Capek dech….Bergegas aku menuju loket yang ditunjuk. Nggak ada antrian. Aku beli tiga tiket Argo Anggrek jam 21.30. “Oke bos, kita ketemu di Gambir jam setengah sembilan,” kataku kepada seniorku itu via ponsel.

Ada waktu tersisa dua jam. Aku sempatkan singgah ke markas KMHDI di daerah Utankayu. Kukemasi beberapa buku yang kutitipkan setahun yang lalu. Lalu numpang mandi. Saat itu ada tamu dari Hindu Kaharingan (Kalteng). Mereka berbincang-bincang tentang konstelasi politik tingkat tinggi yang tak kumengerti dengan B’Landra (menantu Pak Putu Setia, redaktur senior TEMPO dan pendiri majalah Hindu Raditya).

Aku minta maaf pada mereka nggak bisa ikut ngobrol. Lantas Sudane, sang Presidium KMHDI, dengan berbaik hati mengantarkanku ke Gambir dengan sepeda motornya. Sebelumnya aku singgah ke Atrium Senen buat beli sepatu olahraga yang sudal lama aku incar. Dalam perjalanan Sudane berkeluh kesah tentang kehidupan aktifis mahasiswa dengan realitas hidupnya kini. Kutangkap ada guratan kegundahan darinya. Ah....memang seperti itulah, kawan, kalau memilih hidup berseberangan dengan main stream. Harus siap menanggung risiko. Tapi sebenarnya semua itu bisa disiasati. Tak semua aktifis hidupnya melarat, kawan!!!

Dalam perjalanan menuju Gambir, seniorku itu terus saja kirim sms dan nelpon nanyain posisiku. Rupanya dia tak tenang sebelum melihat wajahku yang tampan muncul di hadapannya hehehe…..Jam 21.00 aku tiba di Gambir. Jadilah kami bertiga ke Semarang Jumat malam.

Tuesday, January 15, 2008

>Malam Minggu Kelabu




“Slamat tidur bintang malamku. Smg mimpi yg indah ya” begitu isi pesan singkat dari kekasihku di seberang pulau sana yang kubaca dari layar Sony Ericsson W700i-ku. Kira-kira pukul 23:00 WITA ketika itu, Sabtu, 12 Januari 2008. Mataku tak kuasa menahan kantuk. SMS itu tak kubalas. Kubiarkan ia membisu menemani mimpiku. Kuletakkan HP itu tepat di samping kasur, seperti malam-malam sebelumnya, bersekawan dengan novel best seller “Laskar Pelangi” yang kubeli di Jogja pas liburan akhir tahun, sebuah arloji made in Swiss, dan sebuah dompet lengkap dengan isinya. Kumatikan lampu dan aku tidur dengan sukses.

“Udah siang ya? Jam berapa neh,” tanyaku dalam hati setengah sadar. Tanganku secara refleks mencari HP-ku. Tak kujumpainya. Lalu tanganku meraih arloji, dan kulihat jarum menunjukkan angka 07:40 WITA. Lalu aku beranjak beberapa langkah ke dalam kamar mandi yang masih berada di dalam kamarku dan “Currrr.....,” lega rasanya si Joni sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupannya. Seakan-akan ia mau meneriakiku, “Kamu terlambat bangun, aku sudah bangun sedari subuh.” Usai cuci muka baru aku tersadar, “Lho HP-ku mana yah?”

Perasaanku tiba-tiba nggak enak. Sejurus kemudian aku kembali ke peraduanku, membalik kasur, mengurai deretan buku-buku, membongkar tas dan pakaian untuk mencari sebuah mungil yang telah mengubah wajah dunia saat ini: HP. “Masak seh hilang?” tanyaku tak percaya. Sarung HP warna hitam terbuat dari kulit masih ada. Aku ke kamar depan menanyakan kepada kawan yaang mendiaminya karena semalam antara jam 22.30-23.00 aku bertandang ke kamar itu. “Mungkin HP-ku tertinggal di situ,” begitu pikirku. Tapi hasilnya nihil. Kucoba menelpon ke nomor HP-ku via HP kawanku itu. “Kan bisa dilacak dari nada deringnya,” pikirku penuh harap. Tapi terdengar pesan bahwa HP-ku sedang tidak aktif.

Celaka sudah. Terulang lagi deh kejadian 1,5 tahun yang lalu.....kukirim sms ke pacarku via HP kawanku itu memberi tahu kalau aku baru saja kehilangan HP. Dalam keadaan itu hal yang aku takutkan adalah penyalahgunaan nomor kartu. Seperti ketika aku kehilangan HP di pertengahan 2006. Saat itu aku sedang mengikuti psikotes bersama dua kawan kuliah di sebuah perusahaan di Jakarta. Saat akan memulai tes, si petugas memberi peringatan kalau semua HP dinonaktifkan atau dibuat nada getar. Lalu kuambil HP dari dalam tas kawanku karena selama perjalanan naik bus kota menuju lokasi tes HP tak kuletakkan di saku celana melainkan di tas kawanku itu, yah untuk menjaga keamanan

Tapi, aku terkejut tak mendapati HP-ku itu. Kawanku itu apalagi. Karena selama perjalanan ia memeluk erat tasnya itu yang berisi dua barang berharga: HP-ku dan kamera digitalnya. Kamera digitalnya masih tersimpan baik dalam tasnya. Hanya HP-ku yang berpindah tangan. Apes!!! Aku dapat ucapan selamat datang di Jakarta. Tak berapa lama kemudian dari HP kedua kawanku itu terbaca SMS dari HP-ku yang isinya minta kiriman pulsa. Sialan!!! Maling kurang ajar. Dia atau mereka pasti telah mengirimi SMS kepada kolega dan keluargaku untuk meminta sejumlah uang. Hal itu mungkin sekali karena aku baru saja mengisi ulang pulsanya sebesar Rp. 100.000,00.

Selama psikotes aku tidak bisa konsentrasi karena membayangkan orang-orang yang menerima sms itu. Ketika jam istirahat, segera saja aku hubungi kawanku yang bekerja di XL buat memblokir nomor itu. Dan berhasil. Lalu aku menghubungi pacarku dan beberapa kawan buat mengabarkan kesialanku dan memperingatkan untuk tidak mempercayai sms yang dikirim atas namaku.

Kejadian seperti ini yang kutakutkan terulang kembali. Sebelum kejadian itu aku pernah mengalami percobaan perkosaan eh...perampokan di dalam bus kota jalur Bendungan Hilir-Sarinah di bulan Mei 2005 ketika aku kerja praktik di Pertamina Geothermal. Ketika itu aku tak kebagian kursi. Alhasil, aku berdiri di baris belakang. Tiba-tiba saja ada seorang pemuda yang menjatuhkan saputangan persisi di bawah kakiku. Lalu ia berpura-pura mengambil saputangannya itu sembari memegangi kakiku. Tentu saja aku berontak, pada saat itulah beberapa rekan-rekannya yang duduk di belakang serempak memegangi tanganku dan salah seorang dari mereka dengan sukses mengambil HP dari saku depan celanaku. Aku mencoba melawan, merebutnya. Lalu orang yang mengambil HP-ku itu melemparkan HP itu keluar bus. Tampaknya Dewi Fortuna memihakku. HP itu menyentuh atap bus ketika dilempar sehingga jatuh dekat kakiku. Langsung saja aku sambar, lalu aku berteriak memaki dan berpindah duduk di samping pak sopir.

Minggu siang aku hanya bisa terpaku. Tak tahu mau kemana mencari. Tak mungkin aku menggeledah kamar-kamar teman kosku. Ntar malah aku diberi hadiah bogem, celaka lagi kalau dihadiahi sabetan badik atau parang. Kubiarkan saja. Kurelakan saja. Daripada pusing kuhibur saja diriku dengan mencumbui novel “Laskar Pelangi” yang fenomenal. Lalu kusambung dengan menonton Andy’s Diary di MetroTV dan Fashion TV Channel dengan "suguhannya" yang bisa membuatku berimajinasi.

Sunday, December 16, 2007

>sepotong hidupku di Sangatta (3)

Kerjaan gw di office, jadi lumayan teduh, nggak kepanasan. Tapi kadang gw juga ke pelabuhan buat ngecek mechanical sampler. Kadang gw kudu berpanas-panas ria kalau dinas ke luar daerah, ngerjain proyek. Kayak mapping sebulan di Melak, Kutai Barat, lalu. Bulan depan gw harus ke Berau ada proyek topografi dan drilling. Nah, sepertinya gw harus berguru pada Fauzi dan Andec yang pernah enam bulan di Berau. Ya, info tempat-tempat yang asyik buat melepas penat hehehhe…….

Kegiatan untuk mengisi akhir pekan sangat terbatas di Sangatta. Tempat nongkrong Cuma di townhall. Mall nggak ada. Kalo mau wisata bahari bisa ke Aquatic di areal KPC dengan jalanan yang mulus bak paha Elly eh semulus paha Dian Sastro seperti yang dituturkan Gombrenk. Tapi kalau mau ke Pantai Teluk Lombok harus mau berpeluh desah eh kesah kayak posting gw beberapa bulan lalu. Kalau mau olahraga juga tersedia fasilitas. “olahraga” juga bisa, tergantung selera. Kalau gw dan rekan-rekan kantor setiap Kamis malam dan Minggu malam main badminton di lapangan badminton persis di samping kos gw. Baru-baru ini hampir tiap minggu main sepakbola dan futsal lawan marketing KPC. Nah, kalau mau membaca juga bisa. Di townhall ada perpustakaan milik KPC yang bisa diakses oleh siapa saja. Tapi sayang sampai saat ini gw belum sempat menyinggahinya. Lha wong jam bukanya itu jam kantor. Kalau Sabtu Cuma setengah hari. Minggu libur. Kalau perpustakaan di Samarinda Senin-Sabtu buka sampai jam 21.00 WITA. Gw sering ke sana sambil nongkrongin para mahasiswi hehehe......Kalau mau baca Kompas kudu ekstra sabar karena selain terlambat terbit, harganya juga mahal, seringkali malah kehabisan. Tapi kalau di barak KPC sepertinya nggak masalah. Buat ngisi weekend gw lebih sering nonton DVD, nonton tv, dan sesekali ke pura yang cuma satu-satunya di Sangatta yang ada di dalam kompleks perumahan Bumi Etam. Biar saru begini gw ini aslinye cah alim dab hehehe......

Kalau mau merasakan suasana lebih kota bisa juga melancongi Bontang, kira-kira satu jam perjalanan dari Sangatta melewati Taman Nasional Kutai yang lagi rusak oleh ulah sekelompok orang yang melakukan pembakaran hutan. Pun kenangan tak terlupakan ketika menghindari jalanan berlubang, beda kalau di Jakarta di mana banyak lubang berjalan dan tidak untuk dihindari. Di Kaltim Cuma ada empat kotamadya: Balikpapan, Samarinda, Tarakan, dan Bontang. Kota Bontang hanyalah kota kecil yang “dibesarkan” oleh dua perusahaan besar: PT Badak LNG dan PT PKT (Pupuk Kalimantan Timur). Buat ngeceng (sekali lagi ngeceng, nggak pake “A”) cuma ada Bontang Plasa (BP). Jangan dibayangkan kayak Malioboro Mall, Galeria, Saphir Square apalagi Amplaz. BP lebih mirip Matahari Plasa di Klaten. Bontang terletak di tepi laut, tepatnya rawa-rawa. Nah, ada satu tempat buat menikmati keindahannya. Lebih indah kalau malam hari Namanya Bontang Kuala. Tempat ini uenak tenan nggo selingkuh. Ada panti pijat ++, maksudnya plus kopi, teh, wedang jahe gitu…..Ok, cukup. Ini bukan catatan perjalanan ataupun jelajah khatulistiwa apalagi wisata kuliner lebih-lebih cerita cabul!

Dalam kesunyian seringkali kita bisa bercakap-cakap dengan hati nurani kita dan memikirkan kembali tentang hidup kita: kerja dan cinta. Dan tentu saja semuanya berujung pada kebahagiaan. Gw jd teringat Komarudin Hidayat (saat ini jadi Rektor UIN Sayrif Hidayattulah Jakarta) yang jadi host di acara “The Great Lecture Series” di Metrotv dua tahun lalu. Acara itu diputar tiap minggu siang, sebelum “Kick Andy”. Acaranya sungguh mencerahkan. Selama satu jam dia bercerita tentang sebuah tema tentang kebahagiaan. Dia bercerita tentang tiga macam kebahagiaan: kebahagiaan material, kebahagiaan intelektual, dan kebahagiaan spiritual. Masing-masing bisa dicapai melalui tingkat kesadaran seseorang tentang hahekat hidupnya. Dari ketiga kebahagiaan itu, kebahagian spirituallah yang tertinggi karena sifatnya yang abadi. Spiritual tidaklah sama dengan religi. Spiritual jauh melampaui dogma-dogma agama yang membuat manusia picik. Saat ini mungkin kita sedang menikmati satu atau dua atau bahkan ketiganya sekaligus. Dan bersyukurlah bila kita bisa menikmatinya. Itu berarti kita menghargai hidup. Sayang, acara yang keren itu sudah nggak tayang lagi..........
Gw teringat pesan Mbah Gandhi, “Happiness depend on what you can give, and not what you can get.” Nah, lu………


Kamar 217 ditemani KLA-Pproject dengan “Yogyakarta”-nya,
Jelang sepekan terbang ke Jogja

>sepotong hidupku di Sangatta (2)

Penghuni kos gw profesinya beraneka. Ada yang PNS, karyawan BNI, karyawan BRI, operator PAMA, operator Thiess, mekanik KPC, karyawan toko ponsel, karyawan perusahaan perkebunan, dll. Nah, penghuni kamar 215, tepat di sebelah kamar gw, adalah dua cewek Dayak yang masih SMU. Parasnya sungguh menggoda, berkulit bersih, kerap berpakain seksi, tapi rada katrok. Makanan empuk buat si kucing garong. Gw harus belajar banyak dari Fauzi soal menaklukkan perempuan. Dia ini diam-diam menghanyutkan. Tak perlu banyak kata, langsung aja hahaha... dan menyinggahi berbagai panti pijat+, ++, dan +++. Pun harus pintar berakrobat retorika dari Bosman biar terlihat meyakinkan. Tak lupa gw juga harus melatih jurus berpuitis dan memasang tampang innocent dari Gombrenk biar mahir melakukan pengeboran dangkal. Sayang, sebelum gw tuntas berguru pada ketiganya, kedua cewek itu sudah pindah kos. Sesekali gw berjumpa dengan mereka di townhall dengan senyum di bibirnya yang ough........ampun DJ........

Karena gw pekerja stady day (ngggak kena kerja shift macam Gombrenk dan Bosman yang PSK alias Pekerja Shift KPC) hampir setiap hari, Senin-Jumat, gw sudah harus stand by di tepi jalan raya, 100 m dari kos gw, buat nunggu jemputan bus karyawan jam 06.25 WITA (bus I). Tapi kalau gw lagi malas bangun pagi gw ikut bus kedua jam 07.30. Pulang kantor bus pertama jam 17.00 dan bus kedua jam 18.15. Bus yg disewa perusahaan gw berukuran sedang, tanpa AC, dan dilengkapi sabuk pengaman di tiap kursinya juga full music. Tak beda jauh dengan bus karyawan Thiess. Tapi untuk bus karyawan KPC jauh lebih nyaman. Persis busway di Jakarta. Bercat merah, berpintu otomatis, ber-AC, seat belt, dan full music. Saban Sabtu gw naik bus KPC itu, berhubung kalo Sabtu gw kerja cuma setengah hari. Jadi pulangnya bisa nebeng sampai terminal terus lanjut naik angkot (orang sini nyebutnya taksi) dengan ongkos Rp. 3.000,00 dekat-jauh.

Tiba di kantor jam 07.00 gw absensi ceklok. Terus ke ruang kerja, lihat susu, megang susu, ngremes susu, ngobok-obok susu, terus minum susu dech. Ojo ngeres sik. Tiap bulan tiap karyawan dapat jatah susu bubuk manis, ingat bukan susu kenyal manis lho…. Nah itu yang gw nikmatin ditemani dua bungkus roti yang gw beli di warung deket kos. Sesekali gw koneksikan laptop gw ke internet. Terus ke gudang sample, ngecek sample bore core hasil kerjaan Bosman, Gombrenk, dan exploration geologist KPC lainnya. Cocokin dengan worksheet, beri kode, dan ngambil fotonya bila ada yang tidak sesuai. Terus nyuruh operator preparasi buat proses lebih lanjut. Nunggu hasil analisis kualitas dari laboratorium via CCLASS yang digarap oleh para analis, ingat!!! sekali lagi analis bukan oralis. Gw ngecek dari angka-angkanya: ash, moisture, calorific value, total sulfur, volatile matter, dll. Bila kurang bagus gw bisa minta retest terhadap sample yang sama. Jam makan siang semua karyawan kumpul di ruang makan yang Cuma berukuran 3x3 m buat nyantap menu catering yang berlauk berselingan ayam-ikan. Hahahaha…..sewaktu jumpa Arief Hermawan di Samarinda dia terkejut mendapati gw dengan lahap menyantap sepotong daging ayam. Sepertinya selama 5-6 tahun kita kuliah belum ada yang lihat gw makan ayam yach? Gw dah nggak vegetarian lagi semenjak di Jakarta. Ntah lain waktu mungkin disambung lagi…….

Selanjutnya, buat laporan dan diskusi dengan technical advisor yang ekspatriat dari Venezuela, namanya Humberto. Kalo baru pertama kali lihat dia, pasti kalian nggak nyangka kalo dia itu ekspatriat. Gambaran kita tentang ekpatriat adalah bertampang bule, kulit putih, dan tinggi besar. Tapi Humberto ini lain. Posturnya cuma setinggi gw, kulitnya coklat, dan tampangnya mirip orang Asia. Suatu kali ada seorang sopir kantor yang disuruh menjemput dia di check point (pos satpam) KPC. Hampir satu jam sopir ini nunggu tapi orang yang dicari belum nongol. Lalu sopir ini nelpon ke kantor nanyain si bule yang hendak dijemput. Kata orang kantor si bule sudah ada di check point. Si sopir mendebatnya, katanya nggak ada bule yang ada cuma seseorang bertampang Asia lagi mondar-mandir daan sibuk menelpon. Orang kantor bilang memang itu orangnya. Si sopir lalu tertawa terbahak-bahak, seolah tak percaya.. Yeach, kecele dia.

Humberto ini bahasa Inggrisnya berlogat Spanyol. Susah dimengerti. Untuk membantu komunikasi seringkali bahasa tubuh yang berbicara. Siapa yang nggak bingung lha wong nyebut “problem” jadi “proling”, “sent” jadi “seng”, “HGI (hardgrove grindability index)” jadi “IYY (baca: ai yai yai)”. Capek dech........ Padahal Humberto, pria paruh baya ini, ngambil master di bidang batubara di Amerika dan lama bekerja di SGS Australia. Meski komunikasi oral agak kurang lancar, tapi kalau ngomongin cewek waduh.....jago dia.


Bersambung...................

>sepotong hidupku di Sangatta (1)

Bila hari telah senja
Malam haripun tiba
Hidupku yg sendiri
Sunyi..................

Bila senja berlalu
Hati terasa pilu
Hidupku yang sendiri
Sunyi..............

Reff: Mengapa dikau bertanya
Mengapa kuharus berduka
Hidupku hanya untukmu
Sayang2x

Nukilan lagu berirama country berjudul “Hidupku Sunyi” yang dinyanyikan oleh Tantowi Yahya mungkin bisa berbicara mewakili hidup Gombrenk, Bosman, Fauzi, dan gw yang harus mengisi hari-hari di kesunyian Sangatta. Tapi beruntunglah mereka bertiga hidup di barak dengan fasilitas yang lengkap dan gaji sebulannya bisa buat hidup setahun di Jogja, jauh lebih baik daripada gw yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Nenekmoyang).

Gw harus sewa kamar di sebuah rumah kos, kira-kira 2 km dari barak KPC dan Thiess. Sebuah rumah kos berdinding tembok, berlantai keramik, berisi 17 kamar, berlantai dua. Masing-masing kamar berukuran 3x3m, dilengkapi kamar mandi dalam yang airnya belum tentu seminggu sekali ngucur. Tapi untung saja si empunya kos menyediakan tujuh tangki bervolume 1200 lt dan dua tangki bervolume 3000 lt. Cukuplah buat mandi dan cuci pakaian. Tiap lantai dilengkapi dengan dapur, alat-alat memasak, kompor gas, dan juga tabung gasnya. Kalau memasak, setidaknya masak mie instant, gw selalu pakai air mineral bermerk terkenal yang harga segalonnya Rp. 25.000,00. Bukannya sok-sokan neh, tapi kualitas air di Sangatta sungguh mengenaskan. Coba bayangin setelah mengisi bak mandi dengan air, tentu saja, maka dalam satu malam saja akan terendapkan lempung yang cukup tebal. Ampun DJ……Di lantai dasar ada ruang bersama yang dilengkapi sofa, pesawat tv, dan saluran tv kabel.

Kamar di kos gw terbilang cukup luas dan bisa ditempati dua orang dengan harga sewa yang sama bila hanya ditempati seorang. Kamar gw bernomor 217, di lantai dua. Ada sembilan kamar di sana: empat kamar dihuni enam batangan (lima buaya darat dan seorang yang berhati suci, alim, dan pendiam: gw hehehe), tiga kamar dihuni oleh empat . Dia lubang buaya eh perempuan, dan dua kamar sedang menanti buat ditiduri eh ditempati. Kamar gw paling ujung, dekat dengan dapur.

Ketika gw tempati, rumah kos gw itu belum genap sebulan. Pemiliknya orang Bugis yang kerja di KPC. Penduduk di Sangatta ini didominasi oleh kaum pendatang dari Bugis, Banjar, dan Jawa. Kebanyakan Jawa Timur dari logatnya yang agak kasar, dan sedikit dari Jawa Tengah seperti para pedagang terang bulan dan martabak yang semuanya dari Tegal dengan ciri khas bahasa ngapak-ngapak kayak Cipoet.


Bersambung...........................

Thursday, November 29, 2007

>Saraswati di Bontang

Tepat seminggu yl, gw merayakan Saraswati sekaligus odalan Pura Buana Agung di Kota Bontang. Satu jam perjalanan harus ditempuh dari tempat gw di Sangatta “Kota Debu”. Dicumbui hujan yg cukup lebat sehingga memaksa gw dan seorang kawan yg asli Banyuwangi harus sesekali berhenti buat berteduh. Maklum sebagai kuli kami nggak dapat fasilitas mobil dari kantor. Tak ada mobil sepeda motor pun jadi.

Yang penting niat untuk meningkatkan kesucian tak luntur. Meski selama ini gw dah akrab dengan si Suci. Mulai Suci yang “berlatar belakang” bahenol, Suci yang “kutilang darat”, Suci yang “bermasa depan” menonjol, Suci yang jinak-jinak merpati hingga Suci yang sok suci. Fiuh, ini bukan cerita cabul, Bung! Kok jadi ngaco. Kembali ke haluan!

Ok, segores tentang Bontang. Di Propinsi Kalimantan Timur ada empat kotamadya: Balikpapan sebagai pusat bisnis, Samarinda sebagai pusat pemerintahan, Tarakan di ujung utara dekat perbatasan Malingsia eh Malaysia, dan Bontang. Kota Bontang hanyalah kota kecil yang “dibesarkan” oleh dua perusahaan besar: PT Badak LNG dan PT PKT (Pupuk Kalimantan Timur).

Buat ngeceng (sekali lagi ngeceng, nggak pake “A”) cuma ada Bontang Plasa (BP). Jangan dibayangkan kayak Malioboro Mall, Galeria, Saphir Square apalagi Amplaz. BP lebih mirip Matahari Plasa di Klaten. Bontang terletak di tepi laut, tepatnya rawa-rawa. Nah, ada satu tempat buat menikmati keindahannya. Namanya Bontang Kuala. Tempat ini uenak tenan nggo selingkuh. Ada panti pijat ++, maksudnya plus kopi, teh, wedang jahe gitu…..Ok, cukup. Ini bukan catatan perjalanan ataupun jelajah khatulistiwa apalagi wisata kuliner lebih-lebih cerita cabul!

Pura yg kami tuju itu bernama Pura Buana Agung. Lokasinya tak begitu jauh dari jalan besar. Yah, seperti Pura Banguntapan. Rumah-rumah di sekitar pura belum begitu padat. Pura itu dikelilingi oleh rumah-rumah umat Hindu. Suatu kondisi yg jarang dijumpai di luar bali. Di Jakarta gw pernah ke Pura Rempoa yang kondisinya mirip. Ya, seperti permukiman Hindu Ketika memasuki areal pura gw ngerasa nyaman bgt. Kebersihan sgt terjaga. Pembauran antara umat Hindu yg dari Bali dan Jawa (Banyuwangi dan Blitar) sungguh terjalin apik.

Odalan dipuput oleh seorang pinandita yg didatangkan dari Banyuwangi. Ketika pertama kali gw melihat beliau, seperti ada chemistry yg gw dpt. Wajahnya terlihat cerah. Senyumnya menyejukkan. Dan beliau sungguh ramah. Meski hujan rintik2 upacara tetap dilangsungkan. Umat sudah berduyun-duyun datang. Karena hujan itulah area jaba tengah terisi penuh oleh umat yg duduk rapi hendak menyucikan diri dan hati.

Esoknya akan diadakan dharma tula dg pemateri pinandita itu. Sejatinya gw pengen mekemit di pura (lha iyalah mekemit kan di pura masak di diskotik hehehe….). Tp karena duingin sekali gw menerima tawaran seorang umat buat numpang merebahkan badan cuma semalam, jelas nggak pake “selimut yang bisa kentut”.

“Nama saya Gatot. Gatot itu makanan tradisonal Jawa yang keras dan alot,” ucap Romo Gatot mencairkan suasana. Romo mengaku dulu pernah hidup di “kandang gembala”. “Sebelum jadi seperti ini, saya dulu pendeta Kristen Jawi Wetan,” paparnya yang sejurus kemudian membuat kami tertegun. Dalam hati kami mungkin terbersit pertanyaan ini, “Kok bisa, ya?” Romo Gatot menjadi pemeluk Hindu sejak tahun 1982. Mulai dari pendidikan dasar hingga sarjana teologi ia dibiayai oleh sebuah yayasan Kristen. Tak heran wawasannya luas namun tetap bersahaja. Ia datang bersama istri dan seorang putri tercintanya yang hitam manis. Romo Gatot suka berkelakar. Suasana selalu segar.

“Saya ini baru 25 tahun jadi Hindu. Seharusnya bapak-bapak inilah yang duduk di depan memberi dharma tula dan saya duduk di belakang menjadi pendengar,” katanya. “Bapak-bapak kan sudah memeluk Hindu sejak lahir dan saya masih baru,” sindirnya yang halus. Ia mengaku menyesal mengapa tidak sejak kecil ia memeluk Hindu.“Selama 25 tahun ini saya mempelajari Hindu kok rasanya semakin banyk yang harus dipelajari. Seandainya sejak kecil saya belajar Hindu tentu ilmu yang saya dapat semakin banyak,” lagi-lagi ia menyindir halus membuat kami mensyukuri telah diwarisi agama luhur ini.

Acara dharma tula itu berlangsung meriah. Dihadiri tak kurang dari 100 umat, mulai dari anak-anak hingga orangtua. Semuanya berbaur lesehan di madya mandala.

“Saya sama sekali tidak tertarik masuk Hindu,” aku Romo Gatot. Ia mengatakan kalau ia memeluk Hindu karena ada pawisik dari orangtuanya. “Kalau kamu ingin hidupmu bahagia, kembalilah ke agamane wong Jawa,” kata Romo Gatot menirukan pawisik itu. Sejak saat itu Romo Gatot jadi berpikir ulang tentang kekeristenannya. “Agama Jawa?” tanya romo Gatot, “setiap kali berkotbah di gereja saya selalu menggunakan bahasa Jawa. Bukankah ini agama Jawa?”

Pawisik dari orangtua Romo Gatot mengatakan kalau ingin bahagia, bukan kalau ingin kaya, kembalilah ke agama Jawa. “Memang betul setelah saya dan keluarga menjadi Hindu hidup kami lebih berbahagia. Di agama sebelumnya kami sering bertengkar,” kata Romo Gatot.

Tahun 1982 Romo Gatot memutuskan untuk menjalani upacara suddhi wadani. Namun, keputusannya itu tak diikuti oleh sang isti tercinta.
“Setelah Romo jadi Hindu,” kata istri Romo Gatot, “ saya masih Kristen. Kalau ada tamu Romo yang Hndu saya selalu suguhi dengan ala kadarnya. Tapi kalo tamu saya yang Kristen, saya selalu suguhi yang mewah-mewah.” Meski demikian sebagai ibu rumahtangga yang baik ia masih menjalankan tugas-tugas rumahtangganya. “Di rumah ada satu lemari yang isinya buku2 Hindu. Sama sekali saya nggak menyentuhnya, dan juga tidak merawatnya,” paparnya terus terang.

Hingga datanglah waranugraha itu. Pada saat hari raya Nyepi, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pawisik, padahal kala itu ia tengah tidur lelap sendirian sedangkan Romo Gatot dan putrinya tengah meditasi di ruang pamujan. Mendengar suara pawisik itu ia masih cuek aja, dan kembali ke alam mimpi. Hingga kejadian itu terulang kembali tiga kali. Ia mengatakan bahwa saat itu seperti ada sesuatu yang menarik-nariknya dari ranjang lalu menggoyang-goyangkannya seperti gempa. Ia mengira itu hanyalah mimpi, tetapi setelah ia meyakinkan diri bahwa itu nyata lantas ia bergegas menyusul suami dan anaknya ke ruang pamujan. Ia masih terngiang suara pawisik itu. “Kalau kamu ingin bahagia ikutilah agama suamimu,” katanya menirukan suara pawisik itu.

“Sama sekali saya belum pernah masuk ke ruang pamujan itu,” katanya polos. “Ketika saya masuk, suami dan anak saya sedang meditasi. Saya hanya duduk di hadapan mereka sambil menunggu mereka membuka mata,” sambungnya. Ketika membuka mata Romo Gatot terkejut mendapati sang istri sudah duduk bersimpuh di hadapannya. “Kok nyusul ke sini, kangen ya?” canda Romo Gatot kepada istrinya. Sang istri lalu menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Romo Gatot lalu mengajaknya sembahyang Tri Sandya. Sebelumnya Romo Gatot mengajari sang istri membaca Tri Sandya. Anehnya, meski sekalipun belum pernah membaca mantram Tri Sandya, hanya dengan sekali baca sang istri langsung hafal. Romo Gatot berkesimpulan inilah waranugraha dari Hyang Widhi untuk menunjukkan jalan kebahagiaan bagi keluarganya.

“Jangan mau memeluk agama yang hanya bertujuan surga,” kata Romo Gatot. “Surga, katanya, “hanyalah persinggahan sementara yang tidak langgeng. Tujuan kita adalah moksa, kebahagiaan yang jauh melampaui surga.” Romo Gatot mengaku pernah merasakan moksa tatkala ia diupacarai oleh nabenya. Kala itu, menurutnya, jiwanya melayang-layang ke angkasa meninggalkan tubuhnya. Istrinya menggerak-gerakkan tubuhnya tetapi tubuhnya tak bergerak, seperti orang mati. Lalu sang nabe berkata bahwa kalau jiwanya tidak kembali saat itu juga makanya selamanya jiwanya tak akan kembali.
Padahal, Romo Gatot sejatinya nggak ingin kembali. “Saya nggak akan cerita detil soal moksa. Nanti sampean jadi pengen semua. Lebih baik rasakan sendiri saja. Saya jadi kepengen lagi” kata Romo Gatot sambil tersenyum.
Cerita Romo Gatot ini mengingatkan gw pada kisah Syeikh Siti Jenar, Ki Kebo Kenongo, dan para pengikutnya yang dapat mencapai moksa semasih hidup dengan cara meniup tengkuk kakinya.

Acara dharma tula itu mengundang umat untuk mengajukan pertanyaan. Gw mengajukan tiga pertanyaan:1) Romo Gatot menyatakan bahwa seseorang yang karmanya (dosa) belum habis harus menebusnya melalui reinkarnasi. Pertanyaan gw kenapa jumlah penduduk di negara-negara berkembang jauh lebik banyak daripada negara2 maju? Apakah ini berarti penduduk di negara2 berkembang dosanya banyak sehingga harus dilahirkan kembali? Romo Gatot menjawab sangat sederhana, “Nggak ada hubungannya antara reinkarnasi dengan perbandingan jumlah penduduk antarnegara.” Sebenarnya jawabannya belum membuat gw puas. Tp sudahlah, toh gw cuma berbasa-basi bertanya. 2) umat Hindu selalu merayakan Hari Raya Saraswati, sang dewi ilmu pengetahuan, tetapi kenapa pendidikan kita belum menghasilkan manusia-manusia yang unggul dibandingkan umat lain yang nggak memuja Dewi Saraswati? Inti jawaban Romo Gatot bahwa memuja Beliau tidak akan memberi dampak apabila tidak disertai dengan belajar yang sungguh-sungguh. Sebenarnya gw udah tahu jawabannya. Sekali lagi pertanyaan ini Cuma basa-basi. 3) Pertanyaan yg ketiga ini nggak sempat gw lontarkan karena waktu yang terbatas. Hyang Widhi maha kuasa, maha tahu, dan maha segalanya. Tetapi tanpa sadar kita justru merendahkannya. Ketika berdoa kita selalu saja membuat daftar permintaan supaya terkabulkan. Kenapa tidak seperti ini saja ketika kita berdoa, “Oh, Hyang Widhi, Kau tahu yang kumau.”



Salam hangat,
Wong edan
Bertampang preman
Berhati roman

Friday, October 12, 2007

>menembus belantara mengendus batubara







tunggu aja ceritanya yg seru yach......dr pedalaman hutan kalimantan di kutai barat