Pada 23-25 Januari 2008 aku berada di ibukota dalam rangka dinas di kantor pusat (Jalan Raya Pasar Minggu-Kalibata). Rabu, 23 Januari jam 11.30 WIB aku mendarat di Cengkareng. Langsung saja aku pesan taksi bergegas menuju kantorku. Taksi yang kupilih adalah taksi berlambang burung biru. Ya, perusahaan yang pernah aku singgahi selama empat bulan jadi MT setahun lalu. Sejatinya Selasa malam aku sudah harus tiba di jakarta, tapi berhubung aku terlambat mengurus surat dinasku alhasil Rabu pagi baru aku berangkat dari Balikpapan.
Usai urusan kantor aku check-in di sebuah hotel tak jauh dari kantorku. Mandi dan bergegas menuju Rawamangun naik bus kota yang penuh sesak buat sembahyang Galungan. Setahun tak menjejakkan Jakarta, rupanya Pura Rawamangun telah berbenah. Bangunan luar pura jadi lebih indah nan romantis. Tamannya enak buat nongkrong. Bale bengongnya tiga buah. Hiasan lampunya menawan. Cafetarianya lebih bersih dan rapi. Ada juga bangunan baru yang masih dalam tahap penyelesaian.
Di Utama Mandala aku duduk di saf belakang. Duduk hening, mencoba menenangkan diri dan pikiran. Tapi entahlah, otak kiri ini terlalu liar susah dikendalikan. Agaknya benar apa yang dikatakan Anand Krishna bahwa pikiran kita seperti monyet yang tidak bisa diam, selalu berloncatan ke sana ke mari.
Baru sesaat menuju titik konsentrasi samar-samar aku melihat sosok yang familiar sedang terbangun dari duduknya dan melangkah di depanku. Ah….ternyata duo sejoli Oming’00 dan Komang’98. Lama tak bersua kami bertanya kabar masing-masing. “Aku tadi ketemu B’Darmawan,” kata Komang sambil celingukan, “Itu dia lagi di depan.”
Oh ya. Dari posturnya yang tinggi besar mudah melacak B’Dar. Dia lagi bersila bertepekur di saf depan. Tapi eeittt.....tampaknya di sebelahnya ada sesosok perempuan. Ah....mungkin B’Dar sudah menemukan penggantinya.....Kenalin donk Bli hehehe.......
Singgah sebentar ke cafeteria menyedot sebotol teh dan membeli buku baru terbitan MH karangan Ram Das berjudul “Jalan Menuju Tuhan”. Lalu aku cabut, menyusuri kembali jalanan Jakarta dengan bus kota. Aku turun di Mampang Prapatan. Niatnya sih ingin singgah ke kantor pusat tempat kerjaku sebelumnya buat ketemu dan ngobrol ma mantan rekan kerja. Jam menunjukkan 22.30. Dari luar aku lihat banyak mobil yang keluar masuk. Para pengemudi tampak sibuk setor uang. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki. Kira2 15 menit aku berdiri terpaku menimang-nimang perlu tidaknya aku menemui mereka. Untuk apa seh ketemua mereka? Apa aku mau pamer kesuksesan pada mereka? Lalu apa dampkanya setelah aku bertemu mereka? Dan masih banyak pertanyaan yang selanjutnya mampu mengurungkan niatku untuk menemui mereka. Aku balik saja ke hotel. Sudah larut malam. Lebih baik istirahat saja, tanpa “teman”. Besok masih harus ngantor.
Urusan di kantor adalah rapat perencanaan pemboran ekplorasi dari proyek di Melak, Kutai Barat, yang aku kerjakan pada September-Oktober 2007 lalu. Ada sedikit persoalan, tapi itu bisa diatasi.
Kamis sore aku bertandang ke kantor BATAN di Pasar Jumat. Ada sahabat lama di sana, Gde Sukadana alias De Lampung. Setelah menikah perutnya makin mirip Ganesha saja. Sebenarnya banyak hal yang mau aku curhatkan padanya, tentang pekerjaan dan kehidupan. Tetapi perbincangan di penghujung jam kantor tentu tak menyisakan ruang untuk itu. Dia menyuruhku menginap di rumahnya. “Biar bisa ngobrol,” katanya. Padahal aku hendak kembali ke hotel sore itu juga karena aku nggak bawa ganti baju dan peralatan mandi. Tapi okelah, demi sahabat lama aku sanggupi. Tapi aku ada janji dengan seseorang di Cinere Mall. Aku minta De Lampung menjemputku di sana jam 20.00.
Seseorang ini sebenarnya spesial buatku. Lama sekali aku tak jumpa dia. Kukenal dia di Jogja beberapa tahun lalu. Aku pernah beberapa kali berkencan dengannya. Sekadar nonton dan makan. Aku suka dengan kegigihannya berjuang. Parasnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya cerah, bodinya yahud, tubuhnya harum, senyumnya muanis banget. Pernah terbersit unutk memilikinya. Dasar kucing garong, sukanya kok selingkuh. Udah punya calon istri masih aja cari yang lain!!! Tapi untunglah hubunganku dengan dia hanya sebatas teman. Aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Lebih-lebih dia. Usai dinner di food court. Kami berpisah. Ntah kapan lagi kami bisa berjumpa. Aku merindukan senyumnya...........
De Lampung sudah menantiku di depan pintu masuk Cinere Mall. Rumahnya di daerah Pamulang, Depok. Kira-kira 20 menit perjalanan. Kebetulan malam itu ia sendirian. Istrinya seorang perawat yang lagi dapat shift malam. Melihat hidupnya terus terang aku merasa iri. Sebagai PNS pekerjaannya cukup santai. Tapi proyeknya banyak, mulai dari pemetaan airtanah, pemetaan geologi, geofisika, sampai pemboran batubara. Wow....banyak sekali ilmu dan pengalaman yang ditimbanya. Nggak seperti aku dan kawan-kawanku di KPC yang terjebak dalam pekerjaan dan pengetahuan yang itu-itu saja. Apalagi sebentar lagi dia akan sekolah lagi. Aduh....enak betul....
Jumat pagi aku balik ke hotel. Ganti baju dan breakfast. Lapar sekali aku. Aku cicipi semua menu. Tapi tiba-tiba mataku bertatapan dengan sesosok mahkluk manis yang duduk sendirian di seberang mejaku. Kuberanikan diri untuk mendekatinya dan duduk semeja dengannya. Setelah ngobrol ngalor-ngidul baru kutahu kalau dia di hotel itu baru dua malam bersama suaminya. “Hah, jadi kamu istri orang? Lho suami kamu mana?” tanyaku panik. “Suamiku lagi ke kantor,” jawabnya menenangkan aku. Daripada aku ntar digamparin suaminya lebih baik aku buru-buru cabut.
Pagi itu juga aku check out. Ke kantor ampe siang melanjutkan kerjaan. Trus ke Blok M beli kaos dan bleezer murah meriah buatku. Dari Blok M aku naik Transjakarta menuju Monas, tetapi kelewatan akhirnya aku turun di Harmoni lalu naik ojek ke Gambir. Di halte busway antrean calon penumpang panjang banget kayak ular. Aku mau beli tiket kereta api ke Semarang. Kebetulan aku juga ditipi tiket ma seniorku yang mo ke Semarang juga ma istrinya menjenguk mertuanya yang sakit.
Tiba di loket jam 18.00. Antrean dah panjang banget, loket belum dibuka. Maklum weekend, banyak orang yang mo keluar kota. Aku berdiri ngantri selama 10 menit. Tak sabar aku menunggu loket buka,”Aku takut kehabisan tiket duduk. Masak harus berdiri naik kereta eksekutif? Iseng-iseng aku tanya ke salah seorang pengantri, “Loketnya jam berapa buka, Pak?” “Mas mau kemana?” tanyanya balik. “Ke Semarang,” jawabku singkat. “Kalau ke Semarang di loket sebelah, Mas,” terangnya. Aku merasa bodoh sekali ketika itu. Salah antri!!! Capek dech….Bergegas aku menuju loket yang ditunjuk. Nggak ada antrian. Aku beli tiga tiket Argo Anggrek jam 21.30. “Oke bos, kita ketemu di Gambir jam setengah sembilan,” kataku kepada seniorku itu via ponsel.
Ada waktu tersisa dua jam. Aku sempatkan singgah ke markas KMHDI di daerah Utankayu. Kukemasi beberapa buku yang kutitipkan setahun yang lalu. Lalu numpang mandi. Saat itu ada tamu dari Hindu Kaharingan (Kalteng). Mereka berbincang-bincang tentang konstelasi politik tingkat tinggi yang tak kumengerti dengan B’Landra (menantu Pak Putu Setia, redaktur senior TEMPO dan pendiri majalah Hindu Raditya).
Aku minta maaf pada mereka nggak bisa ikut ngobrol. Lantas Sudane, sang Presidium KMHDI, dengan berbaik hati mengantarkanku ke Gambir dengan sepeda motornya. Sebelumnya aku singgah ke Atrium Senen buat beli sepatu olahraga yang sudal lama aku incar. Dalam perjalanan Sudane berkeluh kesah tentang kehidupan aktifis mahasiswa dengan realitas hidupnya kini. Kutangkap ada guratan kegundahan darinya. Ah....memang seperti itulah, kawan, kalau memilih hidup berseberangan dengan main stream. Harus siap menanggung risiko. Tapi sebenarnya semua itu bisa disiasati. Tak semua aktifis hidupnya melarat, kawan!!!
Dalam perjalanan menuju Gambir, seniorku itu terus saja kirim sms dan nelpon nanyain posisiku. Rupanya dia tak tenang sebelum melihat wajahku yang tampan muncul di hadapannya hehehe…..Jam 21.00 aku tiba di Gambir. Jadilah kami bertiga ke Semarang Jumat malam.