Sunday, February 24, 2008

>5R dan SMK3





Baru-baru ini orang-orang di kantorku sedang giat-giatnya menerapkan 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin). 5R mengadopsi 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke) dari bangsa Jepang yang telah sukses menjadi raksasa ekonomi, sain dan teknologi. Semua orang terlibat dan saling bekerjasama untuk mewujudkan 5R. Misalnya, membersihkan area kantor dari sampah, memangkas tanaman agar rapi, dan membenahi tempat sampah yang rusak. Di ruang kerjaku yang sempit, berukuran 3x3 m dan ditempati empat orang, aku dapat giliran piket tiap Selasa dan Jumat. Hal ini berimbas pula pada kamar kosku. Sekarang jadi lebih rapih dan rajin kubersihkan. Tapi sayang tak ada cewek yang menyambangi kamarku. JOmblo dech…… Tapi imbas itu hanya sesaat terjadi di kamarku. Lama-kelamaan kembali ke asal. Dasar gw memang nggak bisa rapi.....

Pada 19-21 Februari lalu kantorku mengadakan pelatihan internal SMK3. Ini bukan nama sekolah kejuruan lho. Bersama 19 karyawan Sucofindo lainnya aku mengikuti pelatihan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Trainernya dari kantor pusat. Dua hari kami diberi wawasan teori dan studi kasus. Pada hari ketiga kami praktik menjadi auditor SMK3. Bersama timku yang berjumlah tiga orang, kami melakukan audit di ruang marine surveyor. Tugas kami memeriksa apakah SMK3 sudah diterapkan atau belum. Untungnya kami dibekali checklist yang sangat membantu kami sebagai pemula. Layaknya petugas investigasi, selain melihat kelengkapan dokumen dan observasi lapangan kami juga mewawancarai personal di ruangan itu. Kayak polisi mengusut perkara aja. Sungguh pengalaman yang menarik.

Pelatihan itu diawali dengan pretest dan diakhiri dengan posttest. Pertanyaannya sama persis, tapi hasilnya berbeda. Nilai pretestku 35 sedangkan nilai postesku 90. Setelah dirata-rata dengan nilai tugas maka nilaiku menjadi 68,75. Hasil yang tak mengecewakan melihat nilai tertinggi adalah 72.

Sunday, February 17, 2008

>Literasi dan Berani Mimpi


Kisah insipratif yang dituturkan John Wood, mantan eksekutif Microsoft yang kemudian banting setir menjadi pegiat buadaya literasi untuk anak-anak di Asia, sungguh membuatku merinding dan berkaca-kaca. Aku merasakan gejolak batin yang begitu mendalam ketika John Wood memutuskan hendak meninggalkan kariernya yang gilang-gemilang itu. Ia mencoba menjawab pertanyaannya sendiri: siapakah sebenarnya yang lebih membutuhkan kehadirannya, Microsoft ataukah anak-anak Nepal? Ketika ia meninggalkan jabatannya di Microsoft, pastilah segera saja ada orang yang menggantikannya dan segera melupakan dirinya. Namun, sebaliknya bila ia tak hadir di Nepal siapakah yang akan menggantikannya? Tak seorangpun! Di situlah ia menemukan lentera untuk melangkahi kehidupan yang lebih manusiawi.

Usai kubaca buku karya John Wood berjudul “Leaving Microsoft to Change the World” kukunjungi situsnya di
www.roomtoread.org. Buku sungguh punya daya magis luar biasa untuk mengajak pikiran berkelanan ke dunia antah berantah, mengembangnakan daya imajinasi dan kreatifitas. Aku membanyangkan anak-anak itu menjadi manusia-manusia yang cerdas dan menjadikan dunia lebih baik di masa depan. Thank you very much John. You are the hero for the children in developing country who need books and schools!God bless you.

Kekuatan berani bermimpi yang dikisahkan Andrea Hirata dalam “Laskar Pelangi” sungguh dahsyat. Bangsa kita membutuhkan orang-orang yang berani mimpi dan konsisten mewujudkan mimpi itu. Tanpa mengeluh dan terus berjuang meski dalam keterbatasan. Sejujurnya “Laskar Pelangi” telah menampar kepicikan dan ketakutanku dalam menyelami kehidupanku sekarang ini. “Sang Pemimpi” juga tak kalah serunya. “Edensor” menemaniku dalam perjalanan ke Jakarta bulan lalu. Kunantikan “Maryamah Karpov” untuk menggenapinya.

Tuesday, February 12, 2008

>Kenangan di Asrama Bali "Saraswati" Yogyakarta

Ada yang berubah dari Asrama Bali Saraswati. Info ini ditiupkan Giri Mapala kepadaku. Apanya seh yang berubah? Giri mendeskripsikan dengan detil perubahan itu. Lalu ketika di pura berjumpa dgn Wahyu-Jayapangus, yang pernah tinggal di asrama itu bersamaku, dia pun bercerita hal yg serupa. Semakin menambah aroma penasaranku….

Dan benar saja, setelah bertahun-tahun tak melancong ke asrama Bali ternyata asrama bersejarah itu telah berubah menjadi bangunan yang semakin megah dan mewah. Pun bangunan puranya. Ntah berapa rupiah telah dihabiskan untuk menyulapnya. Kabarnya bermilyaran rupiah. Kalah dech pura banguntapan.Tak ada yg tersisa dari bangunan lama. Sebuah kamar paling ujung, dekat kamar mandi, nan kumuh tempatku pernah merebahkan diri di sana selama empat bulan sudah tak berbekas. Ketika tahun ajaran baru biasanya asrama Bali banyak dipakai rujukan calon mahasiswa dari Bali, lebih tepatnya yg mengaku berdarah Bali. Meski ia berasal dari lampung, sulawesi, lombok, maupun jawa.

Momen yg paling dinanti oleh penghuni asrama bali yg jumlhnya belasan itu adalah hari minggu ketika latihan tari digelar. Bukan kami tertarik ama tariannya. Tp lbh tertarik siapa yg menari hehehe.....maka dgn berbagai dandanan dan pasang tampang penghuni asrama bali telah siap sedia menggelar tampangnya di teras depan. Sapa tahu ada yg nyangkut......

Selama empat bulan tinggal di sana, byk dongeng tak mengenakkan dari mereka ttg kmhd ugm. Sbg penghuni yg satu2nya kul d ugm, tentu saja aku melakukan perlawanan dgn memuntabkan berbagai dalil dan beretorika........sbg mhs aku tak melihat aktivitas mrk belajar. Lbh sering nggamel dan ngegame....blm lg tabiat mereka yg nggak santun dan susah diberi tahu.tp tak semua sperti itu. Aku punya pengalaman yg tak mengenakkan ketika berurusan dg salah satu dari mereka. Aku ditempeleng!!! Kacian dech...aku korban kekerasan dalam rumah tangga......

Waktu itu sbg org yg ditugaskan menjaga kebersihan dan ketertiban aku berusaha menjalan tugas itu sebaik-baiknya. Ada salah seorang kawan (meski dia nggak tinggal di asrama tp hampir saban hari dia ke asrama) yg masuk asrama masih pake sepatu. Padahal di pintu masuk jelas2 tertera tulisan “Alas kaki mohon dilepas”. Lalu aku laporkan kepada ketua asrama bali saat itu. Lalu sang ketua memepringatkannya. Tp ternya kawan itu nggak terima dan tiba2 saja dia sudah berdiri di pintu kamarku dg pose berkacak pinggang. Dia menyalak-nyalak bak anjing, tak terima diperingatkan. Sekurus kemudian, “Plok!!!” satu tamparan dengna sukses menodai ketampanan wajahku. Dan kacamataku terlepas dari daun telingaku, jatuh beberapa langkah di depanku, untung aja nggak pecah. Aku terkejut luar biasa. Lalu iapun hendak memberiku jurus kedua. Untung saja ada kawan lain yg melerainya. Tentu ia geram dan terus memaki-makiku. Entahlah, tak ada rasa sakit pada diri dan jiwaku. Tamparan itu tak terasa sbg sebuah kesakitan. Yg kurasakan adalah sapaan hangat dr seorang kawan. Aneh pula, sama sekali aku tak melakungan dan nggak ingin melakukan perlawanan. Agaknya sihir Ahimsa Mbah Gandhi bekerja padaku. akal sehatku msh kupakai kala itu. Badanku kecil tak sebanding dengan tubuhnya yg tinggi, kira2 180cm. Drpada jd keripik goreng, lbh baik aku mengalah. Aku hanya mengucapkan kalimat ini padanya, “Percuma kamu jauh2 dr Bali kalo cara berpikir dan tindakanmu cekak kayak gini. Apalagi kamu dari SMU favorit di Bali.”
Tak berapa lama setelah kawan ini pergi, dtg lg seorang kawan lainnya yg tiba2 mendatangiku di kamar. Dia ini hendak membela kawan sepermainannya tadi. Kawan ini jg nggak kalah gede. Apa daya tubuhku yg kecil ini. Aku cm punya dua ilmu memeprtahankan diri: ilmu pelet dan ilmu kuda ngacir. Pelet maksudku menjulurkan lidah alias melet hehehe...dua2nya msh kusimpan dgn baik, blm aku gunakan.

Lagi2 aku hendak diberi pelajaran, untung dilerai ma tmn2 seasrama. Lepas kejadian itu aku nggak habis pikir kenapa org2 macam gini ada di Jogja? Mo kuliah apa jd preman?
Esoknya ada kejadian yg nggak hbs kupikir. Kedua kawan tadi datang ke asrama. Mereka menyalami dan meminta maaf pada semua warga asrama bali, kecuali aku. Entahlah.......mungkin mereka malu, tengsin atau masih dendam.....besoknya aku hengkang dari asrama bali, menghindari kemungkinan buruk.

Asrama Bali Saraswati boleh megah dan mewah, tapi yang tak kalah pentingnya adalah manusia-manusia yang tinggal di dalamnya harus santun. Asrama Bali telah menjadi saksi bisu atas gelihat mahasiswa Bali (Hindu) di Yogyakarta. Jangan Cuma kelakuan segelintir orang itu, citranya jadi ternoda.

Cheers,
Warga Kota “Koboi” Sangatta

Thursday, February 7, 2008

>jkt-smg-yk-smd

Sebenarnya aku ingin bikin kejutan buat kekasihku. Aku ingin tiba-tiba berdiri di ambang pintu rumahnya dan menelponnya seperti adegan romantis di film-film ataupun sinetron-sinetron percintaan anak muda. Tapi mengingat kereta tiba di Semarang dini hari, dan aku tak ingin merepotkan banyak orang, jadilah kutelpon kekasihku itu. Dan ia terkejut girang……

Sewaktu mahasiswa aku paling sering naik kereta kelas ekonomi murah meriah kayak pasar rakyat, sangat jarang naik kelas bisnis. Maklum kantong cekak. Naik kereta eksekutif baru sekali. Itupun fasilitas dari Pertamina Geothermal, tempatku kerja praktik, dari Jakarta ke Bandung hampir tiga tahun lalu. Baru sekali ini naik kereta eksekutif pake uang sendiri. “Yah, menikmati hasil kerja boleh donk,” pikirku. Aku baru sadar kalo aku belum makan. Pantas saja perutku mual, kepalaku pusing sedari tadi. Jam 22.30, Bung!!! Service snack tak mampu mengganjal perutku. Tak sabar aku menunggu pelayan mendatangiku menawari menu makan. Langsung saja aku menuju pantry memesan nasi goreng. Tak seberapa lama pesananku datang. Langsung saja makan dengan lahap bak korban banjir yang kelaparan. Capek dech......

Tiba di Semarang jam 04.00. Naik taksi argo kena Rp. 15.000,00 kuberi si sopir Rp. 20.000,00 tanpa kembalian. Ah......baru sebulan lalu aku menginjakkan rumah ini dalam acara “pertemuan dua keluarga besar”. Sengaja kusempatkan mendatangi rumah ini lagi karena ada hal mendesak yang ingin kuutarakan pada calon mertuaku ini......

Sabtu sore aku berangkat ke Jogja, sendirian. Pengennya seh mo naik bus wisata JOGLOSEMAR, tapi berhubung waktu yang mendesak aku memilih naik bus patas jam 15.00. Jam 18.30 bus tiba di Jombor. Wima, adik pacarku, udah menantiku. Trus kuminta dia mengantarku beli tiket pesawat untuk esok pagi. Ternyata maskapai penerbangan yang aku cari sudah penuh, bahkan untuk beberapa hari ke depan. Terpaksa naik yang lain. Dapat! Penerbangan sore.

Tak banyak yang bisa aku lakukan di Jogja. Rencananya mo ketemu B’Andi ngomongin buku bunga rampai dan profilnya yang hendak aku tulis buat MH. Giri, sahabatku, lagi pulang kampung. Aku habiskan malan dengan mengukur jalanan Jogja sembari memutar pendulum waktu semasih kuliah....Ah..kota yang sangat berkesan dan sangat memengaruhi diriku. Segala macam aroma kehidupan pernah aku cicipi di tempat ini.

Aku tidur di Ashram Gandhi, tempat yang luar biasa bagiku. Tak semua orang mendapat kesemppatan bisa menjalani kehidupan di ashram. Meskipun itu bukan ashram yang ideal. Sejatinya kurindukan keakraban seperti dulu. Bangun pagi2 untuk beraghnihotra, lalu mengucapkan Gandhian Though dan diskusi perihal berbagi hal. Memasak menu vegetarian. Merancang berbagai kegiatan. Ah…….sungguh pengalaman yang tak ternilai.

Minggu pagi kunikmati keramaian di boulevard UGM. Ah, lagi2 ini memberi kesan mendalam pada masa kuliahku “yang berkelana ke sana ke mari”. Aku janjian ketemu dengan juniorku di Suara Anandam, Rian. Dia baru saja tiba setelah pulang kota di Jakarta. Ngobrol berbagai hal. Usai itu aku ke daerah Malioboro, berburu oleh2 bakpia.

Dalam perjalanan ke bandara aku mengajak Wima makan siang di warung vegetarian “Soma Yoga” di Babarsari. Wima baru pertama kalinya. Suka sekali aku dengan cita rasanya. Meski sudah tak vegetarian lagi tapi aku masih menyimpan keinginan untuk kembali lagi jadi vegetarian kelak.

Tiba di Balikpapan matahari sudah tersapu. Berdua dengan seornag bapak yang kukenal di bandara, kami menaiki taksi ke Samarinda. Aku numpang nginap di kamar Memed, kawanku yang sangat baik, semangat juangnya tinggi. Esoknya aku ke kantor cabang. Empat hari aku di Samarinda. Kamar Memed bersebelahan dengan kos2an cewek di sekitar kampus Universitas Mulawarman (Unmul). Hmmmm….suasana kampus betul2 terasa. Di Samarinda kuselesaikan membaca “Edensor” yang telah menemani perjalananku.

>sgt-jkt

Pada 23-25 Januari 2008 aku berada di ibukota dalam rangka dinas di kantor pusat (Jalan Raya Pasar Minggu-Kalibata). Rabu, 23 Januari jam 11.30 WIB aku mendarat di Cengkareng. Langsung saja aku pesan taksi bergegas menuju kantorku. Taksi yang kupilih adalah taksi berlambang burung biru. Ya, perusahaan yang pernah aku singgahi selama empat bulan jadi MT setahun lalu. Sejatinya Selasa malam aku sudah harus tiba di jakarta, tapi berhubung aku terlambat mengurus surat dinasku alhasil Rabu pagi baru aku berangkat dari Balikpapan.

Usai urusan kantor aku check-in di sebuah hotel tak jauh dari kantorku. Mandi dan bergegas menuju Rawamangun naik bus kota yang penuh sesak buat sembahyang Galungan. Setahun tak menjejakkan Jakarta, rupanya Pura Rawamangun telah berbenah. Bangunan luar pura jadi lebih indah nan romantis. Tamannya enak buat nongkrong. Bale bengongnya tiga buah. Hiasan lampunya menawan. Cafetarianya lebih bersih dan rapi. Ada juga bangunan baru yang masih dalam tahap penyelesaian.

Di Utama Mandala aku duduk di saf belakang. Duduk hening, mencoba menenangkan diri dan pikiran. Tapi entahlah, otak kiri ini terlalu liar susah dikendalikan. Agaknya benar apa yang dikatakan Anand Krishna bahwa pikiran kita seperti monyet yang tidak bisa diam, selalu berloncatan ke sana ke mari.

Baru sesaat menuju titik konsentrasi samar-samar aku melihat sosok yang familiar sedang terbangun dari duduknya dan melangkah di depanku. Ah….ternyata duo sejoli Oming’00 dan Komang’98. Lama tak bersua kami bertanya kabar masing-masing. “Aku tadi ketemu B’Darmawan,” kata Komang sambil celingukan, “Itu dia lagi di depan.”

Oh ya. Dari posturnya yang tinggi besar mudah melacak B’Dar. Dia lagi bersila bertepekur di saf depan. Tapi eeittt.....tampaknya di sebelahnya ada sesosok perempuan. Ah....mungkin B’Dar sudah menemukan penggantinya.....Kenalin donk Bli hehehe.......

Singgah sebentar ke cafeteria menyedot sebotol teh dan membeli buku baru terbitan MH karangan Ram Das berjudul “Jalan Menuju Tuhan”. Lalu aku cabut, menyusuri kembali jalanan Jakarta dengan bus kota. Aku turun di Mampang Prapatan. Niatnya sih ingin singgah ke kantor pusat tempat kerjaku sebelumnya buat ketemu dan ngobrol ma mantan rekan kerja. Jam menunjukkan 22.30. Dari luar aku lihat banyak mobil yang keluar masuk. Para pengemudi tampak sibuk setor uang. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki. Kira2 15 menit aku berdiri terpaku menimang-nimang perlu tidaknya aku menemui mereka. Untuk apa seh ketemua mereka? Apa aku mau pamer kesuksesan pada mereka? Lalu apa dampkanya setelah aku bertemu mereka? Dan masih banyak pertanyaan yang selanjutnya mampu mengurungkan niatku untuk menemui mereka. Aku balik saja ke hotel. Sudah larut malam. Lebih baik istirahat saja, tanpa “teman”. Besok masih harus ngantor.

Urusan di kantor adalah rapat perencanaan pemboran ekplorasi dari proyek di Melak, Kutai Barat, yang aku kerjakan pada September-Oktober 2007 lalu. Ada sedikit persoalan, tapi itu bisa diatasi.

Kamis sore aku bertandang ke kantor BATAN di Pasar Jumat. Ada sahabat lama di sana, Gde Sukadana alias De Lampung. Setelah menikah perutnya makin mirip Ganesha saja. Sebenarnya banyak hal yang mau aku curhatkan padanya, tentang pekerjaan dan kehidupan. Tetapi perbincangan di penghujung jam kantor tentu tak menyisakan ruang untuk itu. Dia menyuruhku menginap di rumahnya. “Biar bisa ngobrol,” katanya. Padahal aku hendak kembali ke hotel sore itu juga karena aku nggak bawa ganti baju dan peralatan mandi. Tapi okelah, demi sahabat lama aku sanggupi. Tapi aku ada janji dengan seseorang di Cinere Mall. Aku minta De Lampung menjemputku di sana jam 20.00.

Seseorang ini sebenarnya spesial buatku. Lama sekali aku tak jumpa dia. Kukenal dia di Jogja beberapa tahun lalu. Aku pernah beberapa kali berkencan dengannya. Sekadar nonton dan makan. Aku suka dengan kegigihannya berjuang. Parasnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya cerah, bodinya yahud, tubuhnya harum, senyumnya muanis banget. Pernah terbersit unutk memilikinya. Dasar kucing garong, sukanya kok selingkuh. Udah punya calon istri masih aja cari yang lain!!! Tapi untunglah hubunganku dengan dia hanya sebatas teman. Aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Lebih-lebih dia. Usai dinner di food court. Kami berpisah. Ntah kapan lagi kami bisa berjumpa. Aku merindukan senyumnya...........

De Lampung sudah menantiku di depan pintu masuk Cinere Mall. Rumahnya di daerah Pamulang, Depok. Kira-kira 20 menit perjalanan. Kebetulan malam itu ia sendirian. Istrinya seorang perawat yang lagi dapat shift malam. Melihat hidupnya terus terang aku merasa iri. Sebagai PNS pekerjaannya cukup santai. Tapi proyeknya banyak, mulai dari pemetaan airtanah, pemetaan geologi, geofisika, sampai pemboran batubara. Wow....banyak sekali ilmu dan pengalaman yang ditimbanya. Nggak seperti aku dan kawan-kawanku di KPC yang terjebak dalam pekerjaan dan pengetahuan yang itu-itu saja. Apalagi sebentar lagi dia akan sekolah lagi. Aduh....enak betul....

Jumat pagi aku balik ke hotel. Ganti baju dan breakfast. Lapar sekali aku. Aku cicipi semua menu. Tapi tiba-tiba mataku bertatapan dengan sesosok mahkluk manis yang duduk sendirian di seberang mejaku. Kuberanikan diri untuk mendekatinya dan duduk semeja dengannya. Setelah ngobrol ngalor-ngidul baru kutahu kalau dia di hotel itu baru dua malam bersama suaminya. “Hah, jadi kamu istri orang? Lho suami kamu mana?” tanyaku panik. “Suamiku lagi ke kantor,” jawabnya menenangkan aku. Daripada aku ntar digamparin suaminya lebih baik aku buru-buru cabut.

Pagi itu juga aku check out. Ke kantor ampe siang melanjutkan kerjaan. Trus ke Blok M beli kaos dan bleezer murah meriah buatku. Dari Blok M aku naik Transjakarta menuju Monas, tetapi kelewatan akhirnya aku turun di Harmoni lalu naik ojek ke Gambir. Di halte busway antrean calon penumpang panjang banget kayak ular. Aku mau beli tiket kereta api ke Semarang. Kebetulan aku juga ditipi tiket ma seniorku yang mo ke Semarang juga ma istrinya menjenguk mertuanya yang sakit.

Tiba di loket jam 18.00. Antrean dah panjang banget, loket belum dibuka. Maklum weekend, banyak orang yang mo keluar kota. Aku berdiri ngantri selama 10 menit. Tak sabar aku menunggu loket buka,”Aku takut kehabisan tiket duduk. Masak harus berdiri naik kereta eksekutif? Iseng-iseng aku tanya ke salah seorang pengantri, “Loketnya jam berapa buka, Pak?” “Mas mau kemana?” tanyanya balik. “Ke Semarang,” jawabku singkat. “Kalau ke Semarang di loket sebelah, Mas,” terangnya. Aku merasa bodoh sekali ketika itu. Salah antri!!! Capek dech….Bergegas aku menuju loket yang ditunjuk. Nggak ada antrian. Aku beli tiga tiket Argo Anggrek jam 21.30. “Oke bos, kita ketemu di Gambir jam setengah sembilan,” kataku kepada seniorku itu via ponsel.

Ada waktu tersisa dua jam. Aku sempatkan singgah ke markas KMHDI di daerah Utankayu. Kukemasi beberapa buku yang kutitipkan setahun yang lalu. Lalu numpang mandi. Saat itu ada tamu dari Hindu Kaharingan (Kalteng). Mereka berbincang-bincang tentang konstelasi politik tingkat tinggi yang tak kumengerti dengan B’Landra (menantu Pak Putu Setia, redaktur senior TEMPO dan pendiri majalah Hindu Raditya).

Aku minta maaf pada mereka nggak bisa ikut ngobrol. Lantas Sudane, sang Presidium KMHDI, dengan berbaik hati mengantarkanku ke Gambir dengan sepeda motornya. Sebelumnya aku singgah ke Atrium Senen buat beli sepatu olahraga yang sudal lama aku incar. Dalam perjalanan Sudane berkeluh kesah tentang kehidupan aktifis mahasiswa dengan realitas hidupnya kini. Kutangkap ada guratan kegundahan darinya. Ah....memang seperti itulah, kawan, kalau memilih hidup berseberangan dengan main stream. Harus siap menanggung risiko. Tapi sebenarnya semua itu bisa disiasati. Tak semua aktifis hidupnya melarat, kawan!!!

Dalam perjalanan menuju Gambir, seniorku itu terus saja kirim sms dan nelpon nanyain posisiku. Rupanya dia tak tenang sebelum melihat wajahku yang tampan muncul di hadapannya hehehe…..Jam 21.00 aku tiba di Gambir. Jadilah kami bertiga ke Semarang Jumat malam.