Thursday, July 24, 2008

>Serasa "Jejak Petualang"


Ngebor lagi, ngebor lagi! Kayak Inul aza yach hehehe...Kali ini aku ngebor batubara di daerah rawa-rawa. Ada petualangan tersendiri. Bukan soal ngebornya, tapi perjalanan menuju lokasi pemboran. Aku harus berjalan kaki masuk ke dalam hutan yang berawa-rawa. Aku harus pandai-pandai mencari pijakan. Jika tidak, kaki bakal terjebak lumpur. Nggak dalam seh. Cuma sedengkul aza. Meski begitu tenaga bakal terkuras habis buat mencabut kaki yang terjebak itu hahaha....seperti yang aku alami. Baunya menyebat betul. Celaka lagi kalau batang pohon yang dipijak tiba-tiba patah dan membuatku jatuh. Beberapa kali aku tersesat. GPS tak banyak membantu ketika lebatnya pepohonan bisa mengacaukan GPS membaca satelit. Pita-pita yang dipatok oleh surveyor topografi di sepnajang lintasan seringkali berpndah tempat. Entah siapan yang memindahakn. Jangan-jangan....ihh....serem! Tatut!

Cukup menegangkan. Melangkah dan sesekali melompat menghindari jebakan lumpur. Tapi ga seekstrim para pemain parkour. Untungnya ga ada lumpur yang dalam kayak di film "Apocalypto"! Tapi itu semua membuatku seperi Riani Jangkaru di "Jejak Petualang" hehehe.....atau bisa juga seperti outbound.

Yang lebih seru lagi mess tempatku dan kawan-kawan serasa kebun binatang. Lha wong kambing, anjing, kucing, dan ayam saban hari nongkrongnya di depan mess. Mereka menanti jatah makan dari sisa-sisa makan kami. Kami cuma bertujuh (dua sampler, dua geologist, dan seorang marine surveyor) ditambah dua orang pekerja kapal dari perusahaan lain tapi sehari empat kali kami dapat jatah sepuluh bungkus nasi. Tak semua kami berikan ke mereka, tapi ada adik-adik tetangga yang selalu datang mengambil makanan yang berlebih. Oh ya, mess dan lokasi pemboran dekat dengan perkampungan penduduk dan dekat dekat sungai besar. Jadi ada tempat untuk mengisi ruang-ruang sosial dan refreshing

Btw, kalau dilihat dengan penuh cinta kok lama-lama kambing-kambing itu tampak seperti Luna Maya yach. Anjing-anjing itu tampak bagaikan Dian sastro. Dan ayam-ayam itu bagaikan Sandra Dewi....Ah....tidak! Aku harus segera melakukan kalibrasi peradaban ke kota.........

Wednesday, June 18, 2008

>wis rampung ngebor


Pengeboran 2000 meter sebanyak 39 titik bor di Simenggaris menggunakan dua unit mesin bor Jackro-200 selesai sudah. Setiap hari berjalan kaki dari camp ke lokasi rata-rata selama satu jam memang melelahkan, dicumbu terik matahari pula. Hitung-hitung ikut berpartisipasi dalam kampanye sepuluh ribu langkah sehari dari sebuah produk susu hehehe….


Ibarat perang, ada kemenangan ada kekalahan. Ada pula korban. Nah, pekerjaanku itu juga memakan “korban”. Diawali dari Eki (surveyor topografi) yang terserang malaria. Malaria juga menyerang Acok (kru driller). Selanjutnya Roy (kru driller) robek pelipis kanannya tergores potongan kayu. Jerry (geologist) harus merelakan jidatnya dihias dengan 13 jahitan. Yang terparah adalah Dinur (driller) yang harus mengucapkan selamat tinggal pada dua jari tangan kanannya. Sedangkan aku sendiri cuma berdonor darah ke seekor pacet, kena sentuhan mesra dari rengas (tanaman) yang menyebabkan tangan kananku gatal sampai berminggu-minggu, tersesar sendirian selama tiga jam tanpa kompas maupun GPS, dan terpeleset saat mandi di sungai. Seandainya terpeleset itu enak nan nikmat tentu aku mau terpeleset lagi hehehe….sayangnya tidak.

Tak Cuma manusianya yang jadi korban, peralatan kerja juga jadi korban. Radio yang menghubungkan camp dengan kantor di Nunukan rusak. Praktis komunikasi jadi pakai telepati. Sinyal ponsel kagak ada cing. Mobil satu-satunya rusak. Padahal baru enam bulam keluar dari toko. Mesin genset dan mesin bor kadang-kadang rusak membuat pekerjaan jadi terlambat. Yang paling celaka adalah logistic selalu terlambat masuk. Menu makanan sangat terbatas. Ditambah lagi tak ada kampung di ponsel tak sekitar camp. Ada she tadi jauh, harus nyeberang sungai menuju kampung terdekat yang berdampingan dengan pabrik pengolahan minyak kelapa sawit. Syukur-syukur kalau ada sayuran segar dan ikan segar. Tapi kalau itu nggak ada kami harus puas dengan makanan favorit orang Indonesia: mie instant! Biar klop ditambah ikan kaleng, telur ayam, dan ikan kering (ikan asin maksudnya). Air yang kami minum adalah air hujan. Ada sungai d samping camp, tapi terlalu asam dan keruh. Air hujan pilihan yang lebih baik. Secara tampak mata makanan dan minuman yang kusuguhkan ke tubuhku sangat tidak sehat. Tapi aku sudah mengantisipasinya dengan suplemen herbal sekaligus antioksidan: Liquid Chlorophill, K-Bio Green, dan Omegasqua.

Hidup di hutan tanpa listrik dan tak ada sinyal ponsel ternyata menyenangkan, meski sesaat. Setidaknya tubuh dan jiwaku jadi lebih segar, terbebas dari racun tv dan koran yang menyajikan bad news. Pun paru-paruku bisa diisi dengan oksigen bersih. Otot-otot tubuhku jadi lebih kuat. Menunggu cutting dan core naik ke permukaan sambil membaca “NGI”, “Intisari” atau “The 7 Habits” asyik oi…

Ah, selamat tinggal Simenggaris………

>Bumi, Manusia, dan Interaksinya


“Tiga milyar orang hidup dengan uang tak sampai dua puluh ribu rupiah sehari,” begitu laporan National Geographic Indonesia dalam edisi khusus “Tren Global”. Di ujung lain dari fakta itu bahwa pada tahun 2007 dua orang terkaya di dunia memiliki uang lebih banyak daripada gabungan PDB 45 negara-negara termiskin. Padahal bumi ini dihuni oleh 6,6 milyar manusia, sekarang. Dari jumlah tersebut, satu milyar orang tinggal di daerah kumuh di perkotaan di seluruh dunia. Celakanya, 100 juta anak usia sekolah belum mendapat pendidikan dasar.

Manusia yang tinggal di belahan bumi Amerika Utara, Eropa Barat, dan beberapa di Asia hidupnya jauh lebih baik daripada di belahan bumi lain. Ini bisa dilihat dari tiga hal yang berkaitan dengan kesejahteraan: kesehatan dan layanan kesehatan, akses pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Di Asia ada tiga negara yang penduduknya merasa hidupnya sangat bahagia: Malaysia, Brunei, dan Bhutan. Lha kita gimana? Bahagia, nggak? Laporan “Intisari” edisi Maret 2007 menyatakan bahwa meskipun negara kita sedang krisis multidimenasi, tetapi masyarakatnya merasa bahagia. Yakin, nih?

Salam,

Bahagia jika sepi, munafik jika ramai (di kota)

Tukang obok-obok bumi

Hiks............

>Seabad Kebangkitan Nasional, Malu Aku jadi Pemuda Indonesia


Sebanyak seratus karya tulis berupa maklumat, catatan, harian, puisi, prosa, pidato, buku fiksi dan non-fiksi, dan peta menjadi terbitan khusus “TEMPO” dalam memeringati seratus tahun kebangkitan nasional. Karya tertua adalah koran Medan Prijaji (1907-1912) yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, orang pribumi pertama yang mendirikan perusahaan pers. Sedangkan karya termuda adalah: 1) “Melawan Melalui Lelucon”, kumpulan artikel Gus Dur di “TEMPO” selama 1975-1983 yang diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo, 2) “Student Indonesia di Eropa” yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2000 yang merupakan kumpulan laporan jurnalistik Abdul Rivai selama 1926-1928 untuk koran Bintang Timoer, dan 3) “Aku ingin Jadi Peluru” sebuah kumpulan puisi Widji Thukul yang diterbitkan Indonesia Tera tahun 2000 yang jargonnya sangat terkenal pada demonstrasi massa, “Lawan!”.














Dari seratus karya tersebut beberapa di antaranya pernah kubaca semasa sekolah dan kuliah.








Ketika berstatus pelajar (karena memang ada di buku pelajaran Sejarah dan PSPB): 1) “Dekrit Presiden 5 Juli 1959”, “GBHN”, dan “Sumpah Pemuda”.








Yang “kekiri-kirian” dan kukoleksi:1) “Madilog” dan “Dari Penjara ke Penjara (I, II, III)” karya si misterius Tan Malaka, 2) Tetralogi Pulau Buru karya mbah Pramoedya Ananta Toer, 3) “Catatan Seorang Demonstran” teriakan sunyi Soe Hok Gie, 4) “Pergolakan Pemikiran Islam” oleh Ahmad Wahid, dan 5) “Burung-burung Manyar” karya Romo Mangunwijaya.








Yang sekilas kubaca dan tak kukoleksi: 1) “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia” (Koentjaraningrat), 2) “Manusia Indonesia” (Mochtar Lubis), 3) “Revolusi di Nusa Damai” (K’tut Tantri), dan 4) “Habis Manis Terbitlah Terang” ( R. A. Kartini).















Gagasan-gagasan Tan Malaka sangat menggugah rasa keindonesiaan bagiku. Pikirannya liar, membongkar kemapanan, pas betul dengan seleraku. Materialisme, dialektika, logika alias MADILOG memang sebagai seorang intelektual. Makanan enak buat otak kiri kita.Tampaknya Tan Malaka hendak membangun manusia Indonesia dengan melupakan sejarah kebesaran masa lalu. Serupa dengan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Seandainya masa lalu kejayaan Nusantara adalah komunisme atau Islam aku yakin Tan Malaka ataupun STA pasti berdarah-darah mendukung ideologinya itu. Kedigdayaan sains dan teknologi saat ini merupakan puncak dari karya materialisme. Tapi itu justru membuka mata kita bahwa kebahagiaan bukan terletak pada materialisme. Manusia-manusia pascamaterialisme beralih mencari kebahagiaan pada spiritualitas, menemukan makna filosofis dari kehidupan. Di dunia spiritual seringkali materialisme, dialektika, dan logika dikubur dala-dalam.















Karya-karya Mbah Pram diidentikkan sebagai bacaan kiri. Di masa Orde Baru bisa masuk bui bila kedapatan membawa, apalagi membaca, karya Pram. Ketika masa awal menjadi mahasiswa sering aku mendengar nama Pram disebut kalangan mahasiswa aktifis yang kucuri dengar dari obrolan mereka di warung angkringan dan burjo di Pogung Lor, Sleman. Beruntung sekali rasa penasaranku terpenuhi. Setelah berburu sekian lama menginterogasi para penjual buku di lapak-lapak Shopping Center Jogja akhirnya dapat juga aku tetralogi yang legendaris itu di pertengahan 2001. Pada perburuan pertama aku cuma dapat “Bumi Manusia” dan “Jejak Langkah”. Itupun sebagian halamannya merupakan fotokopian. Dua seri sisanya aku dapatkan seminggu kemudia, itupun pesan kepada si penjual agar jangan menjual ke ornag lain. Selanjutnya, aku berburu karya Pram yang lain. “Arus Balik” membuatku terpana!















Rasa penasaran pula yang menyerangku ketika nama Soe Hok Gie dan Ahmad Wahid bersama karya mereka sering dikutip dalam diskusi maupun tulisan. Butuh tiga tahun bagiku untuk bisa mendapatkan “Catatan Seorang Demonstran”. Itupun dalam bentuk fotokopian milik seorang kawan kuliah, Bosman Batubara. Kebetulan ketika itu aku bertandang ke kamar kosnya yang sekaligus markas PMII Sleman di Sawitsari. Baru setelah film “GIE” dirilis buku itu dicetak ulang dengan gambar sampul Nicholas Saputra. Akhirnya, bisa juga kukoleksi dan kutandai kata-katanya yang menarik buatku. “Pergolakan Pemikiran Islam” aku dapatkan secara tak tak sengaja di Social Agency Gejayan. Itupun tinggal satu-satunya. Beruntungnya aku.Bagiku buku ini menarik dan menggugah. Ada semangat perlawanan terhadap kemapanan pemikiran Islam konservatif. Ada tawaran-tawaran ijtihad baru yang mencerahkan untuk menjawab kegelisahan keagamaan Ahmad Wahib. Kegelisahan yang juga kurasakan sebagai pemeluk Hindu. Kedua orang itu banyak punya persamaan: cerdas, kritis, idealis, konsisten, humanis, dan keduanya mati muda! Mereka adalah manusia pembelajar sejati. Sosok mahasiswa idealis. Karya mereka sepatutnya menjadi bacaan wajib mahasiswa supaya mereka mengerti siapa dan bagaimana mahasiswa harus bergerak.















“Burung-burung Manyar” membawaku kepada kecintaan tanah air Indonesia yang dibungkus dengan heroisme dan pengorbanan. Sangat cerdas Romo Mangun membuaiku, menuntun imaji melayang, seakan-akan aku terlibat dalam jalinan kisah novel itu sebagai anak kolong. Memang aku dilahirkan dalam keluarga tentara. Masa sekolah dasar kuhabiskan di sekolah yang murid-muridnya anak tentara semua.















Dulu ketika kita mendapati seseorang mencandui karya Eyang Pram, misalnya, selalu saja diasosiakan sebagai pemberontak, bertampang tak menarik, penampilan awu-awutan, kere, berteriak lantang, “Anti kapitalisme!” atau sederet cap tak sedap lainnya. Tapi kini, pascareformasi, imaji seperti itu kabur sudah. Bisa saja seorang cewek seksi, dengan “masa depan” yang menonjol, “latar belakang” yang menggoda, mengendarai Honda Jazz, sembari kongkow di Starbucks, asyik menikmati “Rumah Kaca”. Bisa jadi setelah itu ia juga melahap karya-karya Paolo Freire, Che Guevara, Ivan Illich, atau Umberto Eco. Tak lama kemudian dia dugem ma temen-temennya. Why not? Apa yang salah?















Ada sebuah buku yang menarik minatku karya Gerson Poyk berjudul “Perjalanan Keliling Indonesia”. Gerson mengisahkan kehidupan manusia Indonesia di berbagai pelosok dalam gaya bertutur yang ringan dan jenaka serta diperindah dengan perpektif budaya local yang khas. Gerson tergerak hatinya untuk berkeliling Indonesia setelah membaca sebuah tulisan Pram di Koran Bintang Timur tahun 1963. Pram menganjurkan kepada orang-orang yang mau menjadi penulis haruslah menjadi nasionalis dengan cara mengenali Indonesia. Lalu ia nekat meninggalkan profesinya sebagai guru di Ternate. Ah, keliling Indonesia sembari menulis dan memotret! Impian yang indah. Banyak ahli menyebut “Di Bawah Bendera Revolusi”merupakan karya puncak Bung Karno. Sepertinya patut kiranya kubaca dan kukoleksi. Aku ingin buku-buku itu menghiasi perpustakaan pribadiku.















Ah, ternyata sedikit sekali dari seratus karya itu yang aku baca. Malu aku sebagai pemuda Indonesia zaman kini. Malu aku sebagai pemuda Indonesia yang belum keliling Nusantara. Fiuh.















Tabik,








Camp Simenggaris, Malindo (Malaysia-Indonesia)

Monday, May 12, 2008

>Kawan-kawanku di Hutan



Dalam kesunyian hutan Simenggaris, Nunukan, Kaltim, ada kawan yang setia menemaiku. Menjadi tempat bertukar pikiran dan bersandar dari kegelisahan hidup. Kawanku itu berupa buku dan VCD/ DVD berbagai tema.


Buku: 1) enam buku humor (tiga karya Raditya “Kambingjantan” Dika, dua karya Kelik Pelipurlara, dan “Narsis Heroes” yang menyebalkan; 2) dua buku kisah petualangan Karl May (“Dan Damai di Bumi!” dan Winnetou II); 3) satu novel sejarah (“Gajah Mada: Hamukti Palapa”); 4) empat buku motivasi dan inspirasi (“Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”, “K!ck Andy: Kumpulan Kisah Inspiratif”, “Quantum Ikhlas”, dan “The 7 Habits of Highly Effective People”); 5) tiga buku Geologi (dua buku Field Geology, satu buku tentang mineral logam karya Prof. Sukandarrumidi); 6) English Grammar karya Betty Schrampfer Azar; 7) satu kumpulan puisi “Angin pun Berbisik” karya sebuah keluarga tunanetra; 8) dua buku religi (“Tuhan Upanishad: Menyelamatkan Masa Depan Manusia” dan “Spiritualitas Hindu untuk Orang Modern”); 9) tujuh majalah (tiga “National Geographic Indonesia”, dua “Tempo”, satu “Intisari”, dan satu “MIX”).

Film: 1) jenis komedi (“Bean: Movie Collection 3”, “Asterix at The Olimpic Games”, dan “American Pie 6”; 2) jenis laga (“Spectacular War (7 in 1)”, “Totally Entertaining (7 in 1)”, “Jumper”, “American Gangster”, “Blood Diamond”, “Mongol”, 3) jenis drama (“Apocalypto” dan “Conversaton with God”), dan 4) jenis dewasa (Maria Ozawa, Asia Carera, Naughty America, Bangbros, dan lain-lain yang kupelihara dalam hardisk laptopku hehehe……)

Ingin rasanya aku membawa lebih banyak buku lagi untuk menemani hari-hariku, untuk membunuh kebosanan. Tapi aku bukan Soekarno pun Hatta yang membawa berpeti-peti buku ketika mereka diasingkan dari satu tempat ke tempat lain di Nusantara ini. Bukan pula aku Sir Thomas Stamford Raffles yang membawa 30 ton literature tentang Nusantara ke negerinya yang lalu menerbitkannya sebagai buku berjudul “The History of Java”. Tapi setidaknya buku itu bisa menjadi penghiburku dan 15 kru driller yang bekerja bersamaku. Di sebuah sudut camp kudapati seorang driller sedang tertawa terbahak-bahak. Tangan kirinya memegang perutnya yang kesakitan menahan tawa. Sedangkan di tangan kanannya buku plesetan karya Kelik Pelipurlara masih erat dipegangnya. Di sudut yang lain ada kru driller yang sedang berekpresi sambil melantunkan puisi.

Camp Simenggaris, Malindo (Malaysia-Indonesia)

Monday, April 21, 2008

>Transkalimantan Kilometer Nol

Menjadi wellsite geologist adalah job deskku kali ini. Ada 70 titik bor direncanakan dibor di wilayah Simenggaris, Kalimantan Timur, dengan kedalaman 30 dan 60 meter. Simenggaris berada di kilometer nol jalan transkalimantan, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Untuk mencapai lokasi ini diperlukan waktu satu jam lima belas menit pakai speedboat dari Nunukan. Sebelumnya aku harus menempu perjalanan 2 jam lima belas menit dari Tarakan ke Nunukan.

Basecamp ada di kilometer nol tetapi wilayah kerjaku ada di kilometer sebelas (flying camp). Jalanan di sana sebagian masih tanah dan sebagian lagi aspal tipis yang menyebabkan jalan mudah rusak. Beberapa jembatan masih dibuat dari gelondongan kayu-kayu besar. Cuma ada satu-dua saja jembatan yang konstruksinya dari beton.

Hidup di sana sungguh-sungguh harus tahan uji. Bayangkan hidup tanpa jaringan listrik, hanya mengandalkan mesin jenset pada malam hari saja. Tidak ada perkampungan, hanya ada satu-dua rumah saja yang terpisah-pisah jauh. Celakanya, sinyal HP juga tak ada! Untuk mendapatkan sinyal HP aku harus menuju kilometer 24. Perjalanan yang tak mudah karena tidak setiap saat aku bisa ke sana. Tak ada angkutan umum. Jalanan rusak. Biasanya aku bersama rekan-rekan yang lain satu mobil ke sana. Itupun mobil satu-satunya fasilitas perusahaan.

Ada juga tempat lain. Tetapi harganya mahal. Dari basecamp naik speedboat tak sampai lima menit ongkosnya Rp 10.000,00 lalu sewa motor melewati pabrik pengolahan minyak kelapa sawit milik PT. Nunukan Jaya Lestari. Ongkosnya Rp 50.000,00. Sejauh mata memandang jalanan yang kulewati ditumbuhi kelapa sawit. HPku bisa menangkap sinyal di suatu titik di perbukitan tepi jalan. Meski ada sinyal, tetapi tak selalu mudah untuk berkomunikasi dengan bagus. Suara lawan bicaraku terdengar putus-putus, tetapi lain halnya bila aku yang menerima panggilan telpon. Sengatan matahari yang menusuk menambah tidak nyaman.

Pekerjaanku di sana adalah mendeskripsi serbuk bor (cutting) dan inti bor (coring) menggunakan metode touch coring, mencatatnya lalu mengambil sampelnya bila memenuhi syarat. Hasil pemboran di lima titik pertama ini menunjukkan bahwa lapisan batubara tebalnya tak sampai satu meter di kedalaman lebih dari 30 meter. Aku bekerja sama dengan para kru driller yang sudah berpengalaman. Sedangkan ini pengalaman pertamaku. Aku banyak belajar dari mereka. Ada dua tim yang diturunkan untuk pekerjaan ini, masing-masing enam orang.

Kami tinggal di flying camp, satu kilometer dari jalan transkalimantan kilo sebelas. Jalanan tanah bergelombang yang terkadang menyempit karena tergerus air membuat perjalanan menjadi menegangkan. Kalau tak mahir menyetir niscaya kami pasti terperosok. Untung saja sopirnya Pak Combat, mantan anggota Kopassus, yang bisa diandalkan untuk mengantarkan kami dengan selamat.

Flying camp kami sangat sederhana. Berbentuk panggung yang kayunya diambil dari pohon-pohon di sekitar. Beratapkan terpal. Cukuplah buat menampung 20 orang. Tetapi, langit-langit yang pendek, kalau berdiri kepalaku bisa menyentuhnya, membuat udara terasa panas pada siang hari. Jangan harap bisa tidur siang. Kami memanfaatkan kolong panggung buat bersantai di siang hari. Memang terasa jauh lebih nyaman.

Kalau urusan tidur buatku tak masalah. Yang jadi masalah ketika pasokan makanan terlambat. Alhasil, kami harus puas dengan menu mie instant, ikan sarden kalengan, dan telur untuk menu pagi, siang, dan malam. Kami sering mengeluh. Kami ingin sayuran segar, ikan segar, tahu dan tempe. Ibu tukang masak tak bisa berbuat banyak. Ia memasak berdasar bahan yang tersedia. Alhasil, seminggu di flying camp cukup membuatku terserang radang tenggorokan. Ini kiamat buatku. Apalagi persediaan Liquid Chlophyll dan Omega Squa tinggal setengah botol. Dua produk suplemen alami itu yang kuandalkan untuk melindungiku dari bahan-bahan berbahaya yang ada dalam makanan dan minuman.

Terkadang aku mengeluh berada di daerah yang “tak beradab”. Tetapi setelah kurasakan ternyata sangat menyenangkan hidup tanpa tv dan koran. Aku muak dengan sajian tv dan berita di koran yang isinya mengorek kebobrokan bangsa ini. Aku hanya ditemani Karl May dengan bukunya “Dan Damai di Bumi!”, Langit Kresna Hariadi dengan “Gajah Mada: Hamukti Palapa”, dan buku grammar untuk mengasah bahasa Inggrisku.

>Kuli yang sedang Cuti

Cuti tahunanku jatuh di bulan April ini. Aku ingin rehat sejenak dan merefleksikan perjalanan hidupku. Aku ambil cuti delapan hari kerja, ditambah hari libur totalnya jadi 12 hari. 12 April aku mendarat di Jogja. Entah mengapa aku merasa hommy di Jogja, kota yang penuh kenangan. Cuma tiga hari aku di Jogja. Aku berterima kasih pada Giri, sohibku di kampus dan KMHD, yang mau menampungku di rumah kos-kosannya.

Banyak sekali yang berubah di Jogja. Kalau masa kuliah dulu aku nongkrongnya di warung angkringan dan burjo tap sekarang bolehlah di café-café yang bertebaran di jakal sembari berselancar di dunia maya pakai laptop. Minggu malam, 13 April, bersama rekan-rekan semasa kuliah Bosman yang penggagur berduit (baru sebulan ia resign dari KPC), Emen (yang lagi serius menyelesaikan skripsinya setelah beberapa tahun waktunya tersita bekerja di perusahaan minyak di Sumatera), dan Moncos (masih berstatus mahasiswa). Kami ngobrol ngalor-ngidul di MP Book Point jakal km 6,2. Banyak kisah seru dan saru yang terurai. Sesekali kali tekekeh mendengar cerita salah seorang dari kami. Kami ngobrol ditemani minuman hangat dan kudapan sedap dari jam 19 sampai café tutup jam 23.30!

Semasa kuliah tak sekalipun aku pernah naik becak. Tapi aku bisa menikmatinya kali ini. Dari Gejayan ke Malioboro aku naik becak. “Ning Malioboro pinten, Pak?” tanyaku pada tukang becak yang lagi mangkal di simpang tiga Gejayan-Jl. Solo. “Limo las, Mas,” jawabnya. Aku tawar Rp 8.000,00 dia nggak ngasih. Dia maunya Rp. 10.000,00. Dengan bersilat lidah akhirnya dia mau menurutiku. Naik becak melintasi jalan raya asyik juga. Sampai di ujung Jl. Mangkubumi, sebelum rel kereta, aku mengajak tukang becak mampir di warung makan. Kami pesan soto ayam dan teh. Untuk itu semua aku Cuma bayar Rp. 8.000,00. Sangat murah! Lalu kuminta si tukang becak mengayuh pedal becaknya lagi. Malioboro sudah di pelupuk mata. Kuberi Rp 10.000,00 dan tak kuminta kembaliannya pada si tukang becak. Sebenarnya aku tadi menawar Cuma sekadar iseng.

Belanja buku adalah wajib bagiku. Tentu saja “Toga Mas” menjadi pilihanku. Sebenarnya banyak buku yang ingin aku beli, mumpung murah. Tapi aku harus memikirkan repotnya bila membawa terlalu banyak buku ke Kaltim. Alhasil, aku harus memilih buku sesuai kebutuhanku. Untuk lima buku: kumpulan sajak “Angin pun Berbisik”, “K!ck Andy” kumpulan kisah inspiratif, “Winnetou II” karya Karl May, “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” kumpulan esai edan Prie GS, “Geologi Mineral Logam”, dan majalah “Mix” aku Cuma membayar 180an ribu rupiah. Belanja buku aku lanjutakan di “Toga Mas” Denpasar. Di sana aku membeli buku kocak karya Raditya Dika, Kelik Pelipur Lara, dan Teguh Satriono. Untuk enam buku itu aku Cuma membayar 120an ribu rupiah.

Di Jogja Cuma tiga hari. Tanggal 15 pagi aku bertolak ke Surabaya naik bus patas buat nengok adikku yang kuliah di ITS. Malamnya aku langsung ke Bali naik kereta api jam 22.30 dari Gubeng turun di Banyuwangi lalu dilanjutkan dengna bus dari PT KAI. Untuk perjalanan ke Bali aku membayar Rp. 90.000,00. Di rumah orangtuaku dan calon istriku sudah menanti.