Saturday, January 10, 2009

>Mak, Aku Kawin!


Aku mengawini seorang gadis yang telah setia menemaniku selama 88 bulan. Lamaran 13 Januari 2009. Upacara di rumah calon istriku di Nusa Lembongan 15 Januari 2009. Dan upacara di rumahku 23 Januari 2009. Resepsi bakal digelar di Semarang pada bulan April 2009.

>tunon taka


Usai bekerja seharian blusukan ning alas aku suka menghabiskan sore di tempat ini. Suasana senja dengan hamparan sungai yang lebar dan tiupan angin yang mengasyikkan menjadi obat mujarab buat melepas stres dan kejenuhan. Sesekali ada speedboat dan ketinting yang lalu lalang. membuat gelombang di permukaan sungai sehingga membuat pangkalan yang terbuat dari kayu ulin ini bergoyang. Pangkalan ini namanya Tunon Taka. Dalam bahasa Tidung (salah satu suku asli Kalimantan) tunon berarti pelabuhan dan taka berarti kita. Tunon Taka berarti pelabuhan.

Friday, December 5, 2008

>Imaji "Laskar Pelangi"


Akhirnya jadi juga aku nonton film “Laskar Pelangi”. Pas cuti kemarin. Penuh perjuangan dan sedikit kekonyolan. Gini dongengannya. Dari Tarakan, Kaltim, jam 4 Wita aku terbang menuju Balikpapan. Transit satu jam lalu lanjut ke Surabaya. Transit satu jam buat menuju Denpasar. Alhasil jam 22.30 WITA baru sampe bandara Ngurah Rai. Kedua orangtuaku dan kekasihku dah menanti kehadiranku….Seandainya ada penerbangan langsung Tarakan-Denpasar tentu tak sampai dua jam aku sudah mendarat di Bali. Fiuh!!!

Suatu hari usai jalan-jalan ke GWK aku mengajak pacarku nonton “Laskar Pelangi” di Galeria Mall. Baru kali pertama aku menginjakkan kaki di sana. Halaman parkirnya sangat luas kukira. Gedungnya cuma dua lantai. Yang membuatku terkesan adalah desainnya yang sangat tropis. Atapnya rendah. Dinding-dindingnya terbuka sehingga sinar matahari dan angina sepoi bisa masuk bebas. Banyak tempat duduk buat kongkow-kongkow di taman. Ada gemericik air mancur pula. Ah.....segarnya.....

Segera saja aku menuju gedung bioskop yang terpisah dari bangunan induk mall. Tampak sepi. Hanya sedikit orang yang duduk. Segera saja aku menuju loket. Ah, celaka. Ternyata tiket telah habis buat semua jam pertunjukkan hari itu! Sedih dech.

Tak bisa aku nonton di Bali akhirnya aku nonton di Semarang. Gila, kan? Ah, ga juga. Lha wong aku nemenin pacarku pulang ke rumah ortunya. Minggu, 8 November 2008 aku ngajak kekasihku nonton di sebuah bisokop di kawasan Simpang Lima. Ah...lama sekali aku tak merasakan momen berduaan seperti itu.

Kami tiba jam 13.05. Antrian sudah panjang. Sepuluh meter. Jam pertunjukkan 14.00. baru saja satu meter melangkah dari antrian. “Tiket Laskar Pelangi jam setengah dua sudah habis,” kata seorang petugas. Biarlah. Masih ada jam berikutnya. Tak sampai 15 menit aku sudah mendapatkan dua lembar tiket untuk pertunjukkan jam 16.00. Sambil menunggu jam pemutaran aku dan kekasihku menikmati waktu jalan-jalan. Lalu kami menuju food court di lantai 1. Pesan minuman dan ngobrol.

Tak terasa jam pertunjukkan hampir tiba. Segera saja aku lihat kembali lembaran tiket itu. “Quantum of Solace jam 15.30”. Film James Bond terbaru. Celaka! Aku salah beli tiket! Segera saja aku berlari menuju loket di lantai dua. Aku hendak komplain. Tapi di loket itu tertulis “Tiket yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Apes. Jelas aku sangat jengkel dengan ketololanku. Kekasihku dengan sabar menenangkanku. Bagaimanapun juga aku harus nonton hari itu. Akhirnya aku kembali antri untuk mendapatkan tiket pertunjukan jam 23.00! Dua lembar tiket yang telanjur dibeli tadi kuberikan kepada Wima, adik kekasihku. Kebetulan Wima ngebet banget pengen nonton “Quantum of Solace”. Dia nonton bareng pacarnya. Harga tiket per lembarnya Rp.20.000,00. Tiket pesawat Tarakan-Denpasar Rp. 1.146.000,00. Air port tax Rp. 20.000,00. Tiket bus eksekutif Denpasar-Semarang Rp. 250.000,00. Total jenderal Rp. Rp. 1.436.000,00 biaya untuk nonton "Laskar Pelangi"!

Semenjak kelar membaca novelnya setahun lalu aku membayangkan kalau novel itu difilmkan. Kayak apa ya jadinya? Tapi biasanya film yg diambil dari novel/ buku tak semenarik bukunya. Lihat aja: “Ayat-ayat Cinta”, “The Da Vinci Code”, “Harry Potter”, “Lupus”, “Gie”, atau “Cintaku di Kampus Biru”. Betul juga. Selama nonton “Laskar Pelangi” tak kudapati daya magis imaji yang kureguk ketika membaca novelnya. Barangkali sebuah cerita akan menjadi jauh lebih menarik bila terendapkan dalam imaji pembacanya. Rangkaian gambar bergerak dan tata suara tak mampu mengalahkan imaji yang berloncatan dalam novelnya. Bisa jadi karena itulah umat Islam tak membolehkan Nabi Muhammad digambarkan rupanya, apalagi difilmkan. Agar imaji kehebatan dan kesalehan Nabi Muhammad tetap terjaga indah dalam memori umatnya.



Terima kasih Andrea Hirata dan Riri Reza yang telah memberikan kisah inspiratif buat anak negeri.

Friday, November 28, 2008

>Karl May


Phsaw!
Ini adalah ungkapan khas Karl May. Semenjak aku membaca "Dan Damai di Bumi!" aku menjadi tergila-gila oleh Karl May. Cuti kemarin aku menyempatkan berburu buku-bukunya. Di Toga Mas Denpasar dan Toga mas Jogja aku cuma bisa mendapatkan Winnetou I, III, dan IV (aku dah punya yang seri II). Dan Kara Ben Nemsi II dan III (seri I sedangkan seri IV dan V akan terbit).

Buku-buku itu berkisah petualangan menjelajahi bumi. Sungguh membangkitan imaji. Berpetualang ke negeri-negeri seberang yang mustahil aku jelajahi. Ingin rasanya seperti Agustinus Wibowo yang ber-backpacker menjelajahi dunia lalu menuliskannya di KOMPAS. Buku-buku itu menjadi temanku dalam kesendirian di hutan. Kenapa aku suka cerita petualangan? Mungkin karakterku yang lebih suka berada di luar rumah yang menjadi alasan. Ini pula yang menyebabkan aku menyukai kerja di lapangan, selain alasan finansial, tentu saja hehe...

>Geo2000

Rekan-rekan kuliah gw di geology ugm 2000 lagi mo bikin buku angkatan. lazimnya buku angkatan pasti isinya foto n profil masing2. nah, biar ga ngebosenin buku ini diselingi beberapa tulisan. lha...ini feature yang gw bikin. versi aslinya lbih panjang dari ini...khusus buat blog ini sengaja disunting biar ga terlalu panjang....


Dan Damai di Bumi ………….!

oleh Igen Arya

Pulang ke kotamu

Ada setangkup haru dalam rindu

Masih seperti dulu

Tiap sudut menyapaku bersahabat

Penuh selaksa makna

Nukilan lagu yang dinyanyikan KLA Project itu tentu membawa kenangan tersendiri bagi siapa saja yang pernah menjalani kehidupan di Yogyakarta. Yogyakarta adalah rumah bagi semua jenis manusia yang pusparagam latar belakangnya. Berbagai suku bangsa dan agama dengan mudah bisa dijumpai. Dari Aceh hingga Papua. Itulah yang tercermin dari pluralitas para mahasiswa Teknik Geologi UGM angkatan 2000.

“Saya lahir dan besar di kota ini. Kota ini mengajarkan banyak pelajaran hidup. Keramahan dan senyum dalam menjalani hidup, sikap tepo seliro masyarakatnya sangat menginspirasi,” Fajar Setiawan (26) yang asli Yogyakarta bersaksi. Sikap berbudaya masyarakat Yogyakarta menjadi ruh bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan budaya mulai Grebeg, Festival Kesenian Yogyakarta, berbagai pameran, dan lain-lain.

Obyek wisata tentu saja menjadi daya tarik yang lain. “Dari utara, Kali Adem adalah tempat yang indah untuk melihat dan mengagumi kemegahan Merapi,” kata Fajar yang penggemar berat fotografi. “Kalau malam, jalan-jalan seputar Jogja nyaman untuk dilalui. Malioboro, Jalan Solo, Jalan Kaliurang sekitar UGM terlalu menarik untuk dilewatkan. Mau berfoto atau sekadar duduk juga tidak masalah. Apalagi ditemani cewek semalaman…..hahahahahaha,” katanya berseloroh.

Fajar mengaku awalnya ia tidak tertarik belajar Geologi. Ia sebenarnya menjatuhkan pilihan hatinya pada Informatika di ITB. Namun, seiring perjalanan waktu akhirnya ia bisa menikmati belajar Geologi. Apalagi, “Aku ketemu teman dan dosen yang maniak komputer, Afnin dan Pak Wayan. Akhirnya jadi deh gabungan antara Informatika dan Geologi. Sedikit nyleneh, memang, tapi aku benar-benar menikmatinya,” tutur pria lajang yang bekerja di Micromine, sebuah perusahaan perangkat lunak pertambangan di Jakarta.

Peni Rostiarti (26) yang besar di Surabaya tetapi beribu asli Yogyakarta punya kesaksian yang menarik. “Aku pernah tinggal di Sosrowijayan,” aku Peni, sapaan akrabnya. Daerah yang sangat terkenal di kalangan wisatawan itu , ternyata, juga dekat lokalisasi. “Kukira mbak-mbak PSK punya ruang yang eksklusif dan terpisah dari orang-orang kampung sekitar. Ternyata nggak!” terang dara yang bekerja sebagai konsultan di CV. Geospasia Wahana Jaya Surabaya ini.

Menurutnya terlepas dari profesinya itu, ternyata mereka masih punya nilai kesopanan dan tatakrama. Bahkan, “Mereka menyumbang kalau ada warga yang meninggal dunia (lelayu) sampai membantu warga sekitar yang ekonominya sulit,” paparnya. “Jadi jangan menilai orang dari profesinya!” pesan Peni tegas.

Jembatan Babarsari menjadi tempat favorit bagi Peni untuk menjernihkan pikiran. Peni beralasan, Soale sungainya masih jernih, adem, dan enak buat duduk nganggur sambil ngelihat anak-anak Magmagama berlatih.” Selain itu ia juga kerap mengunjungi Benteng Vrederburgh dan menyusuri Jalan Malioboro sambil memperhatikan berbagai barang kerajinan-tangan yang dijual di lapak-lapak. Gadis yang membenci mall ini terpukau dengan eksotisme Candi Ratu Boko. ”Amazing! Tempatnya di bukit sehingga pemandangannya bagus sekali. Situsnya bikin penasaran dan agak mistis buatku,” tuturnya.

Mahasiswa bersepeda! Kenangan seperti itu yang membekas di benak Taufik Lubis (26) ketika mengunjungi Yogyakarta pada liburan panjang masa sekolah lanjutan pertamanya. ”Saat itulah aku berniat suatu saat nanti harus kembali ke Yogyakarta melanjutkan sekolahku,” kata Taufik. Selain itu kesederhanaan masyarakat Yogyakarta sungguh membuatnya terpikat. ”Di kota asalku,” kata Taufik yang berasal dari Pekanbaru, ”ketika kita melintasi suatu jalan atau gang kita akan merasa was-was karena ada pemuda yang bergerombol di sana.” Gerombolan pemuda itu acapkali meminta uang ataupun barang berharga. Nah, hal seperti itu tak pernah sekalipun dialami Taufik di Yogyakarta.

Nilai kesederhanaan masyarakat Yogyakarta sungguh membekas di hati Taufik. ”Aku jarang membeli baju atau celana baru. Uang lebih baik digunakan untuk memfotokopi buku atau membayar praktikum,” kata Taufik. Menurutnya masyarakat di Yogyakarta bebas berekspresi dan cenderung santai. ”Mau bepakaian sepeti Don Juan, atau berpakaian lusuh, kumal dan kucel tidak akan ada yang peduli,” terangnya.

”Warung burjo dan angkringan adalah tempat yang sering aku kunjungi,” aku Taufik. Biasanya ia datang malam hari bersama kawan-kawannya sembari berdiskusi ringan tentang banyak hal. Pria berkacamata yang bekerja di PT. Medco Energy E & P Jakarta ini juga kerap mengunjungi penyewaan komik di wilayah Gejayan. “Aku bisa memuaskan dunia fantasiku dengan membaca komik,” katanya beralasan.

Giri Prayoga (27) yang asli Bali menempati rumah kakeknya di daerah Samirono. Interaksinya dengan warga sekitar rumahnya terbilang intensif karena setiap ada kegiatan di sekitar rumahnya ia wajib ikut. ”Nilai kesederhanaan dan keramahtamahan adalah nilai yang saya dapat pelajari dari warga Yogyakarta dan sangat besar pengaruhnya terhadap hidup saya saat ini dan sampai kapanpun juga,” urai pemuda yang pernah menjabat Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) UGM ini. Ia begitu terpikat dengan semangat hidup kesederhanaan ala Yogyakarta yang bertolak belakang dengan konsumtifme warga di daerah asalnya.

David P. Timisela (26) yang berdarah Ambon tetapi besar di Bandung memilih kuliah di UGM demi membahagiakan orangtuanya. ”Karena selama ini kakak-kakak gue kuliah di swasta semua,” katanya beralasan. Selain itu ia ingin suasana baru. Ia merasa bosan terus-menerus hidup di Bandung. Karena itulah ia tidak memilih UNPAD maupun ITB. ”Saatnya berkelana ke Jogja sekalian mengurus mendiang nenek tercinta,” katanya, ”walaupun jarang di rumah hahaha......”

Menurut David kehidupan masyarakat Jogja penuh kesederhanaan. Mereka nerimo hidup ini dan menjalaninya apa adanya tanpa pernah mengeluh kepada Sang Pencipta. Karena itulah David yang bekerja sebagai Geologist/ Geophysicist pada PT Pertamina Geothermal Energy tak terlalu menuntut fasilitas mewah saat bekerja di lapangan. "Asal bisa makan dan tidur sudah cukuplah... hehehe,” paparnya merendah.

Gelanggang Mahasiswa UGM merupakan tempat nongkrong Wahyu Seno Aji (26). Mantan aktifis Badan Eksekutif Mahasiswa ini menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat itu: makan, tidur, nulis artikel, cari duit. ”Daripada gue kuliah Petrologi atau Ilmu Lingkungan mending gue di sini terus ikutan demonstrasi di Bunderan UGM,” kisah Seno.

Seno juga kerap mengunjungi Pasar Ngasem pun Tamansari. Baginya, itu adalah tempat paling romantis sedunia. ”Pacaran di Pasar Ngasem sambil lihat ikan, ular segede gaban, orangutan, ada juga binatang yang dilindungi yang dijual bebas,” terangnya. ”Kalo lagi suntuk biasanya gue ke sini naik ke atas Tamansari lalu nongkrong lihat Merapi, Pasar Ngasem dan Jogja dari kejauhan…wuiiihhh..rasanya mantap betul. Apalagi sambil pacaran…..hehehe....,” tambahnya.

Seno yang bekerja sebagai Geologist di CNOOC SES Ltd ini semasa mahasiswa kerap menulis artikel bebas untuk media massa lokal. Dari situ ia mendapatkan tambahan uang demi kelangsungan hidupnya. ”Dari kuliah gue mencoba menghidupi diri dengan berbagai macam hal, termasuk nulis artikel. Sampai akhirnya menjelang lulus kuliah gue ingin jadi wartwan perang dan wartawan National Geographic hehehe...,” kisah Seno. Tapi sayang cita-cita itu kandas lantaran sang kekasih tak merestui.

Toleransi, damai, keberagaman, sederhana, dan nggak ngoyo inilah yang Seno pelajari dari ritme kehidupan warga Jogja. Seno mengakui hal itu sangat memengaruhi pandangan hidupnya. Kerinduan pada Jogja kerap membuatnya sering ke Jogja di akhir pekan. ”Bukan cuma buat menjenguk pacar, tapi juga memutar sebentar ritme hidup. Duduk lama di angkringan nasi kucing, ngobrol sama penjualnya, mendengar keluh kesahnya, duduk nangkring dengan abang becak, mahasiswa, maupun penganggur. Sambil menghentikan sebentar ritme Jakarta,” ungkap anak Jakarta ini.

Beristri orang Jogja? Ini sudah terjadi pada Mauritius Thomas Octorano Doze (27). ”Nggak nyangka gue dapat jodoh dan akan hidup di Jogja, ber-KTP Sleman pula,” ceritanya. Barangkali itu buah interaksi intensif dengan warga asli Jogja selama ia tinggal di Jogja.

Thomas yang berdarah Flores, Nusa Tenggara Timur, namun besar di Bekasi ini meski terbiasa dengan lingkungan masyarakat yang heterogen tetapi sesekali ia menemukan hambatan dalam bergaul. ”Karena itu pulalah yang membangun gue,” terangnya.

Yogyakarta laksana oasis kehidupan bagi setiap insan yang pernah menjalani proses menjadi manusia dewasa. Andai saja Karl May sempat singgah ke Bumi Mataram dalam kisah petualangannya menjelajahi dunia barangkali dia akan menulis novel dengan judul Dan Damai di Bumi Ngayogyokarto!

Phsaw...............

Ah.....pulang yuk ke Jogja.....! ■



Monday, October 27, 2008

>Sendirian

Satu lagi aku kehilangan rekan kerja karena ia mengundurkan diri. Namanya Fatkhurohman alumni geologi STTNas Yogyakarta 2001. Dua bulan sebelumnya rekan kerjaku yang lain Jerry alumni geologi Usakti 2000 juga mengundurkan diri. Mereka mengundurkan diri karena mendapat tempat persinggahan baru yang dinilai lebih baik dari tempat kerja kami sekarang. Maklum eksplorasi batubara dan base metal sedang ramai-ramainya sekarang. Dan ini berimbas pada larisnya para geologist. Alhasil sekarang aku harus sendirian untuk menangani pemboran 4600 hektar dengan menggunakan tiga mesin Jackro-175 di kondisi hutan berawa.

Terbesit juga dalam benakku untuk resign. Tapi aku harus memutuskan ini secara matang. Jangan sampai sesuatu yang tampak emas ternyata cuma loyang. Memang banyak pertimabang kalau ingin resign. Gaji biasanya yang menjadi alas an terbesar seseorang untuk meloncat dari perusahaan satu ke perusahaan lain. Tapi kedua temanku tadi punya alas an yang lebih dari sekedar soal gaji itu. Sebelum bekerja di perusahaanku yang sekarang ini aku pernah bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Tapi kedua temanku tadi ini kali pertama mereka bekerja. Kalau ada tawaran yang lebih baik dan menantang aku tak menampik bakal resign juga. Ini suatu jalan untuk menemukan lentera jiwa.

Aku perlu rehat sejenak buat menjernihkan kembali aroma kehidupanku yang nggak normal. Iringan lagu “Kangen” karya Dewa 19 membawa kerinduanku pada kampung halaman dan keluarga. Akhir Oktober sampai awal Nopember aku cuti ke Bali-Semarang-Yogyakarta. Arrrghhhh…….Aku mau berburu buku murah di Jogja!

>Nulis Lagi


Bulan ini aku mendapatkan kiriman sebuah buku bunga rampai dalam rangka 25 tahun KMHD UGM. Di buku itu ada tulisanku di halaman 95-102. Senang banget aku bisa nulis lagi. Ada kepuasan yang tertumpahkan di sana. Dan lebih senang lagi ketika temen-temen geologi ugm 2000 berencana menerbitkan buku angkatan. Aku kebagian menulis tentang kehidupan masyarakat Yogyakarta dari sudut mahasiswa pendatang. Untuk itu aku perlu responden untuk diwawancarai, tertulis tentu saja. Aku sudah bikin daftarnya. Kebetulan 70 mahasiswa geologi ugm 2000 berasal dari Aceh sampai Papua sehingga mempermudah tugasku. Judul dan kerangka tulisan aku dah buat. Yang perlu dicermati adalah tenggat waktu. Berhubung teman-teman sudah bekerja sehingga perlu komunikasi yang intensif biar rencana tak berantakan. Aku sendiri bakal menemui kesulitan lantaran tenggat pengumpulan jawaban para responden dipatok 15 Nopember 2008. Padahal tanggal segitu aku berada di lokasi dan akan melakukan flying camp drilling. Tapi semoga saja sebelum tanggal segitu banyak yang sudah terkumpul dan koneksi internet di site office sudah lancar lagi.