Saturday, August 25, 2007

>Cermin Kematian


Cermin Kematian



“Sungguh sia-sia mati tua. Lebih mulia mati muda. Sungguh beruntung tidak dilahirkan,” begitu kira-kira Soe Hok Gie bertutur dalam “Catatan Seorang Demonstran”. Sosok Gie memang unik dan langka. Maka tak salah bila sosoknya difilmkan dan diperankan dengan apik oleh Nicholas Saputra. Pemikiran dan tindak tanduknya sungguh berani dan berasal dari proses kontemplasi yang dalam. Tapi, agaknya, aku merasa ada sisi religiusitas yang gersang pada Gie. Tapi setidaknya ia tidak mau terjebak dalam politik praktis berkedok gerakan mahasiswa berbasis agama, kala itu.

Berbincang-bincang tentang kematian sungguh tak biasa bagi kita yang tengah larut dalam romantisme dunia yang wah. Entahlah, aku tak habis pikir, Gie berani “menyongsong” kematian selagi muda dan dalam masa produktif. Berbincang tentang kematian saja sudah bikin ngeri apalagi kematian itu sendiri. Hiiii……aku belum siap untuk itu.

“Perbincangan tentang kematian memang menakutkan karena kita tidak pernah berkenalan dan dekat dengan kematian,” kata Gede Prama, Sang Bhagawan Manajemen, dalam salah satu bukunya. Anand Krishna dan Deepak Copra pun pernah mengulas perihal kematian. Bhagawadgita yang agung lebih awal lagi mengulasnya. Pun kitab-kitab suci lainnya Kematian tak pandang bulu, kawan. Ia diprogram untuk menyertai yang hidup. Yang hidup diprogram untuk mati. Lalu siapkah kita dengan kematian, kawan? Kalau belum itu berarti sama seperti aku. Sangat manusiawi. Masih terikat dengan duniawi. Jika ada yang menjawab, “Ok. Aku sudah siap mati. Aku sudah bosan dengan duniawi,” ini baru dahsyat. Tapi kita harus tes dulu orang ini.

Kalau kita sedang asyik-asyiknya makan di restoran atau warung lesehan atau di dalam bus kota atau sedang di dalam mobil pribadi atau di tempat lain yang mengasyikkan tiba-tiba saja keasyikan kita itu “terganggu” oleh kedatangan pengamen atau pengemis. Terganggu karena kedatangan mereka memang bukan lantaran kita mengundang. Ibaratnya datang tak dijemput pulang tak diantar alias slonong boy. Tentu dengan wajah memelas mereka berusaha menarik simpati kita pada penderitaan hidupnya, bukan. Mereka berharap anda berbagi rejeki. Banyak yang tak mau memberi dengan pura-pura tak mendengar sembari memalingkan muka atau pura-pura tidur (biasanya yang sedang naik bus kota atau kereta api kalau naik pesawat jelas nggak mungkin lah yaouw) atau pura-pura tak punya receh seperti yang sering aku lakukan.

Nah, jika di dalam dompet anda ada masing-masing satu lembar uang seribu rupiah, lima ribu rupiah, sepuluh ribu rupiah, dua puluh ribu rupiah, lima puluh ribu rupiah, dan seratus ribu rupiah manakah di antara itu yang akan anda keluarkan dari dompet dan memberikannya? Atau bisa juga ketika kita ke masjid, gereja atau pura dan mendapati kotak amal, yang tentu saja, harus diisi lembaran manakah yang akan anda masukkan? Aha…..biasanya kita akan memberikan lembaran paling kecil. Berarti kita memang belum siap mati. Ini normal. Ada juga yang berdasarkan lembaran yang terambil sekenanya. Ini sama saja. Kita belum siap mati. Kalau ngasih yang lembaran Soekarno-Hatta gimana? Sudah siap mati dong? Kan yang paling gede? Sama juga karena masih berhitung duniawi. Kalau ngasih semuanya berarti sudah siap mati dong? Ikhlas kok gue, serius! Kalau ini sih namanya oranggila!
Saat kita menghirup udara pertama kali di dunia ini kita menangis, “Oek….oek….oek,” tetapi orang-orang di sekitar kita justru tertawa bahagia menyambut kelahiran kita. Mungkinkan kita bisa melakukan sebaliknya ketika kita mati kelak? Ketika orang-orang di sekitar kita menangisi kematian kita, justru kita tertawa penuh kebahagiaan melihat mereka yang kita tinggalkan. Sudahkah Anda bercermin pada kematian (muda)?

Monday, July 30, 2007

>jalan-jalan


Mereguk “Keindahan” Pantai Teluk Lombok


“Mau ke mana ya akhir pekan ini?” Pertanyaan ini biasanya kerap datang ketika akhir pekan menjelang. Menghabiskan akhir pekan memang mengasyikkan. Apalagi bagi kaum pekerja yang telah cukup dibuat lelah dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Berakhir pekan merupakan pilihan bijak untuk melepas penat. Menikmati biru pantai, window shopping di mall, nonton film terbaru di bioskop, wisata kuliner, nge-game seharian, standing reading di Gramedia, atau melakukan hobi lainnya pasti asyik! Namun, di kota kecil seperti Sangatta hanya sedikit pilihan untuk itu. Sangatta hanyalah sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kutai Timur Propinsi Kalimantan Timur. Kalau ditempuh dari bandara Sepinggan, Balikpapan, dibutuhkan waktu tempuh 6-7 jam dengan mobil. Atau 4-5 jam perjalanan dari Samarinda, ibukota Kalimantan Timur. Jalan utama di Sangatta hanya sepanjang delapan kilometer! Itupun berlubang dan berdebu. Fiuh! Maklum saja, jalanan itu sering dilalui kendaraan berat untuk keperluan pertambangan. Pasalnya, di sini ada perusahaan tambang batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu produsen batubara terbesar di Indonesia.
Suatu hari aku melihat spanduk yang menarik “Saksikanlah Pemilihan Putri Kutim di Pantai Teluk Lombok, Minggu, 15 Juli 2007”. “Aha….,” teriakku, “asyik neh bisa lihat yang seger-seger.” Ternyata ada teman semasa kuliah yang juga ingin ke sana. Ahmad Fauzi namanya. Dia sudah setahun di Sangatta, kerja di sebuah perusahaan kontraktor pertambangan. “Ok, kita berangkat,” katanya mantap dengan mata yang berbinar-binar dan air liur bercucuran bagai serigala menemukan mangsa. “Tapi…,” kata dia, “aku belum pernah ke sana. Jadi nggak tahu jalannya.” Ih, capek dech…….
Berhubung hanya ada sebuah sepeda motor, itulah yang kami kendarai. Pinjaman pula. Sepanjang perjalanan kami selalu melihat papan petunjuk jalan, namun lebih banyak bertanya kepada orang sekitar arah menuju Pantai Teluk Lombok. Kata pepatah, “Malu bertanya sesat di ranjang eh…jalan”. Sepanjang perjalanan kami menjumpai ruas jalan yang cukup mulus tapi sepi dilalui kendaraan. Rumah-rumah pun masih jarang. Hingga kami tiba di sebuah pertigaan. Dan ternyata kami harus melalui jalanan berbatu dan berdebu sepanjang 21 km untuk sampai Pantai Teluk Lombok di bawah terik mentari yang menyengat. Sepanjang perjalanan kami terus menutup hidung agar debu tak masuk ke saluran pernafasan. Yang paling menjengkelkan tatkala ada sepeda motor yang menyalip kami. Celakanya, bila ada mobil yang berada di depan kami maka deburan debu seperti wedhus gembel langsung menyergap. Kalau sudah begitu kami harus memberhentikan kendaraan sejenak seraya menyebut segala isi kebun binatang. “Wah, kita salah alat neh. Harusnya bawa masker,” kata Fauzi. “Walah, seharusnya mobil. Tapi nggak apa-apa. Tanggung neh. Ntar ada obatnya kok,” kataku sambil terkekeh. Tak anyal entah berapa kali kami harus mengalah, berhenti lagi. Di tengah perjalanan kami jumpai pompa-pompa angguk yang masih berfungsi menyedot minyak dari dalam perut bumi. Agaknya kami melintasi Lapangan Minyak Bumi Sangkima Pertamina yang sudah cukup tua dan sepertinya tak terurus. Kami jumpai juga red mudstone yang bertebaran di sepanjang jalan.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan plus menyiksa tiba juga kami di bibir Pantai Teluk Lombok. Ternyata sudah ribuan orang menanti kami eh…..menikmati keindahan pantai. Kami berputar-putar mencari lokasi pemilihan putri Kutim. Agaknya temenku ini sudah kagak tahan. “Nah, itu dia yang rame-rame dan ada sound systemnya,” kata Fauzi dengan semangat ’45. Ketika kami tiba acara baru saja dimulai. Namun, imaji kami yang tersedimentasi sejak beberapa hari sebelumnya tererosi sudah. Tersesarkan lagi. Imaji tentang acara pemilihan putri-putrian yang spektakuler seperti yang biasa tersaji di layar kaca ternyata tak lebih dari sekadar fashion show kaum anak baru gede. Tak ada tanya jawab untuk menguji 3B: brain, beauty, and satu lagi kok lupa yach (yang jelas bukan breast).
Acara ini dipandu oleh seorang MC balon (banci salon). Kocak juga perut ini terkocok. Sejurus kemudian para ABG itu berlenggok bak model profesional di atas panggung kayu memeragakan beberapa pose yang hmmm…..dengan busana yang hmmm….dan make up yang tebal. Melihat tontonan yang indah ini sayang kalau tak diabadikan. Lalu Fauzi mengeluarkan kamera digital dari sakunya. Ia tampak masih malu-malu. “Sini biar aku aja yang motret,” kataku seraya merebut kameranya. Baru beberapa jurus aku menjepret Fauzi malah merebut. Uh….aksinya bak fotografer profesional. “Yang baju hitam itu boleh juga,” kata Fauzi. “Minta aja nomoe HP-nya dan selanjutnya terserahlah,” saranku menyemangatinya.
Tak sampai usai kami di sana. Hanya dua jam. Usai makan dan minum kami langsung balik untuk menghindari bencana debu wedhus gembel yang lebih dahsyat lagi kalau ratusan kendaraan bermotor pulang secara bersamaan. Perasaan was-was selalu menghantui kami ketika melintasi kembali jalanan itu yang sepi. “Kalau ban bocor kita bisa celaka neh,” kataku. Dan ternyata hal itu terjadi juga. Bayangkanlah! Ah…Dewi Fortuna ternyata dekat dengan kami. Info yang kami dapat dari sesama pengendara ternyata 1 km di depan sudah jalan beraspal dan ada tukang tambal ban di sana. Fiuh!
Baru sebulan ini aku tinggal di Sangatta. Jemu rasanya. Untuk mendapatkan Kompas aku harus menuju town hall, alias taman kota. Itupun edisi yang terlambat satu-dua hari dan harganya Rp 4.000,00! Town hall merupakan satu-satunya ruang terbuka bagi segenap warga Sangatta. Town hall juga disebut sebagai Sangatta Baru. Di sana ada perumahan karyawan KPC yang dilengkapi dengan sekolah dan fasilitas olahraga: lapangan tenis, lapangan basket, lapangan sepakbola, dan kolam renang. Ada juga food court, mini market, pasar yang cuma beberapa lapak, perpustakaan, arena bermain anak-anak, ATM, dan gerai-gerai pedagang. Kalau malam minggu wuih…rame banget! Hanya ada tiga warnet di Sangatta. Itupun letoy banget, mahal lagi Rp 7.500,00 per jam.
Setiap fajar ribuan karyawan diangkut menggunakan bus dan mobil khusus. Pun sebaliknya jika senja tiba. Hanya kendaraan yang telah diberi izin khusus yang boleh masuk ke area tambang. Pengemudinya pun demikian. Hanya yang memiliki KIMPER (Kartu Izin Mengemudi Perusahaan) yang boleh mengendarai. Untuk mendapatkan KIMPER seseorang harus lulus ujian praktik mengendarai. Dan itu tidak mudah! Peraturan kerja sangat ketat. Dalam hal mengemudi, misalnya. Apabila pengemudi tidak mengenakan sabuk pengaman maka golden shake sudah menanti. Dan itu tidak pandang bulu. Jangankan pengemudi yang tidak mengenakan sabuk pengaman, penumpangnya pun bila tak mengenakan sabuk pengaman bakal kena juga. Dan pengemudinya juga dinyatakan bersalah dan dipecat!

Sangatta, 29 Juli 2007

Thursday, June 21, 2007

>cerita lucu


dompet kyai


Dalam rangka rekonstruksi Aceh pascagempa dan tsunami, FPUB berencana mengadakan beberapa program. Untuk itu saya bersama Kyai Abdul Muhaimin, Romo Yatno, Pendeta Bambang, Pdt. Up Effendi, Adi (putra Pdt. Up. Effendi), Ngatiyar, dan Rendra (baca juga “CATATAN PERJALANAN”) berangkat ke Aceh.Masing-masing mengenakan seragam FPUB berupa rompi berwarna krem dengan banyak kantong. Kami bermalan di Pastoran Gereja Katedral Medan.Para romo dan frater di sana menyambut kami dengan suka cita. Kedatangan kami mereka anggap sangat special karena sangat jarang ada rombongan tamu dari berbagai latar belakang agama berkenan singgah ke tempat mereka. Seperti kebanyakan bangunan gereja Katholik di Indonesia yang merupakan bangunan peninggalan Belanda yang berlangit-langit tinggi dan berdinding tebal, pun halnya pastoran yang kami tempati ini.Kami disediakan dua kamar berukuran single dan satu kamar berukuran besar, kira-kira 5x6 meter. Karena udara di Medan cukup menyengat, maka kami bertelanjang dada. Di samping mengemban tugas utama, kami juga ingin menikmati suasana kota Medan. Menjelang gelap saya memutuskan untuk santap malam di Belawan Square (BS). Hanya 100 meter dari pastoran.BS merupakan pusat jajanan yang khusus buka pada malam hari. Pada siang hari BS merupakan jalan raya yang cukup ramai dengan arus lalu lintas. Jelang senja jalanan sepanjang 500 meter dengan deretan toko di kiri-kanannya itupun ditutup. Gerai-gerai makanan pun digelar lengkap dengan kursi dan mejanya, pasti. Tanpa atap, alias beratapkan langit. Semakin malam semakin ramai. Penjual dan pembelinya umumnya warga keturunan China. Yang tak kalah unik, semua transaksi tidak boleh menggunakan uang, melainkan kupon. Saya pun bergegas memilih menu dan mecari tempat duduk, tentu saja, kalau bisa dekat dengan wanita cantik nan seksi. “Naluri lelaki,” kata SAMSON. Saya memilih menu vegetarian: nasi, sayur, "daging-dagingan" yang terbuat dari tepung gluten, dan jus jeruk. Lalu saya bergegas ke loket untuk menukarkan uang dengan kupon seharga uang yang saya tukarkan, Rp 25.000,00. Enjoy banget! Seandainya saya bersama kekasih saya pasti lebih romantis. Uhhh……Sambil menyantap menu para pengunjung dihibur oleh seperangkat sound system untuk berkaraoke ria. Nonton saja boleh, ikut karaoke juga bisa. Terserah kita. Yang tak kalah penting adalah kebersihan yang selalu terjaga. Piring yang digunakan hanya sekali pakai, terbuat dari kloroform. Kantong-kantong sampah selalu tersedia. Usai berjualanpun sampah langsung dibersihkan, tak ada sisa sampah untuk hari esok. Salut!!! Esoknya, Kyai Muhaimin tampak sibuk memeriksa tas, kantong celana, baju dan rompinya. Dan, ternyata, “Dompetku hilang,” katanya. Lalu iapun bergegas melapor ke kantor polisi terdekat. Terjadi sedikit ketegangan ketika polisi jaga menanyakan tempat kyai menginap. Kontan saja polisi itu terkejut. Lantas memarahi kyai. Bagi Kyai Muhaimin, yang sudah malang melintang di dunia antariman, tidur, makan dan sholat di pastoran adalah hal biasa. Tapi tidak bagi sang polisi. Ia menganggap kyai sudah nggak waras. “Kyai kok nginap di tempat orang Katholik,” begitu kira-kira pikirnya. Kami sepakat untuk memberikan sebagian uang saku kami guna meringankan musibah yang telah dialami kyai begitu kyai tiba.Untuk melupakan kejadian itu kami berwisata ke daerah dingin Berastagi. Lalu mandi airpanas di pemandian airpanas Sibayak. Esoknya kami berkemas, hendak kembali ke Jogja. Dan masing-masing mengenakan seragam rompi kembali. Ketika merogoh saku rompi, saya terkejut mendapati sebuah dompet tebal berwarna hitam. Lalu saya buka. “Lho, ini kan dompet panjenengan,” sambil saya tunjukkan kepada kyai. “Lha iya. Bener,” jawabnya. Ternyata rompi kyai tertukar dengan rompi saya. Kontan saja semua tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha……,” serempak.. Capek dech………………. (Samarinda, setelah dua tahun berselang)

>Yk, Hindu, dan Sepotong Cinta

dimuat jayapangus

Yk, Hindu, dan Sepotong Cinta

oleh SOE HOK GEN*)

Kalau bertandang ke kos teman, mata saya tak pernah lepas memerhatikan rak bukunya. Seberapa banyak buku yang berderet dan variasi temanya, bagi saya, itu bisa menggambarkan isi kepala si empunya. Ya, karena kata orang Tegal, “You are what you read.” Ya, karena dari tumpukan kertas bernama buku itulah narasi ini bermula.

Dulu, seperti kebanyakan orang Indonesia, saya malas membaca. Lebih-lebih buku agama. Alih-alih membaca satu judul buku hingga selesai, membaca beberapa lembar saja sudah membuat mata saya seperti “Gus Dur” alias ngantuk. Pun mulut saya jadi mendesah eh,…..menguap! Atau sering pula kepala ini jadi pening tujuh keliling karena ora dong apa isinya! Seperti kebanyakan umat Hindu umumnya, saya memahami Hindu hanya mengandalkan pelajaran formal di sekolah dan kampus. Celakanya, pembelajaran itu terasa “kering” di kepala dan hati. Hanya serasa nikmat ketika dapat nilai. Lain itu nyaris tak ada, bukan?

Mempelajari agama di tingkat sekolah tentu beda dengan di kampus. Tapi, celakanya, mahasiswa ikut kuliah agama cuma formalisme untuk dapat nilai! Kegairahan untuk mengeksplorasi lebih dalam, tampaknya, masih kurang. Ini terlihat dari berbagai kegiatan KMHD yang masih itu-itu saja. Salah satunya belum ada media informasi dan publikasi yang mewadahi problematika, opini, ide, kreatifitas, maupun dinamika mahasiswa dan umat Hindu. Padahal, Yogyakarta gudang kaum intelektual. Pun banyak mahasiswa Hindu yang kuliah di Jurusan Jurnalistik atau Ilmu Komunikasi. Di manakah mereka berada, ya? Tapi saya tak patah arang. Justru itulah saya gunakan sebagai tantangan.

Awalnya, saya tak percaya diri. Pasalnya, pengetahuan agama terbilang pas-pasan (kalau tidak mau disebut kurang). Jangankan mau menerbitkan media, pelatihan jurnalistik aja belum pernah ikut. Alhasil, kemampuan teknis menulis juga masih kurang. Tapi rasa cinta terhadap Hindu-lah yang menghapus keraguan itu. “Ya, learning by doing,” pikir saya.

Kalau sidang pembaca di tahun 2002-2003 sering ke pura tiap Purnama, tentu Anda pernah mendapati secarik kertas mungil yang mulanya dikira brosur iklan. Padahal, kertas mungil itu adalah media alternatif Hindu pertama di Yogyakarta yang dibagikan gratis. Lontar, namanya. Isinya sangat sederhana. Tak disangka, ternyata, sambutan umat sungguh luar biasa. Bersama beberapa teman, saya berupaya menerbitkan secara kontinyu. Tapi, apa daya. Kesibukan saya sebagai mahasiswa (yang sok sibuk) akhirnya memaksa Lontar untuk mengakhiri hidupnya, Agustus 2003.

Banyak orang yang menyayangkan kejadian itu. Ya, saya masih terngiang betapa dramatisnya mengelola Lontar kala itu. Biarpun Lontar telah almarhum, tapi semangatnya harus terus mengobar. Dan, benar saja. Akhirnya, KMHD UGM, di awal 2004, meneruskan perjuangan Lontar dengan menerbitkan Suara Anandam Lembar. Saya tak menyangka semangat Lontar, ternyata, menular kepada rekan-rekan yang lain. Alhasil, kini di Yogyakarta kian marak media alternatif Hindu. Sebut saja: Jnana (alm), Jegeg (alm), Yogya Vidya Jayanti, Sanatana Dharma, dan tentu saja JAYAPANGUS yang keren ini.

Teringat pernyataan seorang teman KMHD, “Saya datang ke Jogja ini untuk belajar di kampus. Bukan jadi penulis.” “Betul, tugas utama kita adalah belajar,” jawab saya, “tetapi, kemampuan menulis akan sangat membantu kita dalam belajar banyak hal.” Bibir merahnya membisu, wajah cantiknya tertunduk. Baru beberapa tahun kemudian saya mendapatkan jawabannya ketika dengan wajah berseri-seri dia bercerita bahwa dia telah memenangi lomba menulis esai di kampusnya, bahasa Inggris lagi. “Wow, hebat! Kamu udah bisa ngalahin saya,” kata saya.

Memiliki pengetahuan agama yang pas-pasan, tetapi berkeinginan untuk terus belajar dan menyadarkan orang lain untuk juga belajar, saya pikir, lebih baik daripada memiliki pengetahuan agama yang tinggi tetapi tidak mau berbagi dengan orang lain. Dan, jauh lebih baik daripada orang yang tidak mau belajar sama sekali. Inilah cinta. Cintalah yang menggerakkan karma untuk beryadya mencerdaskan umat. Cinta yang menuntun kita untuk mereguk Dewi Saraswati (baca: ilmu pengetahuan) agar lebih arif menyikapi hidup. Cinta pula yang menafasi saya untuk menceritakan dinamika umat Hindu Yogyakarta kepada segenap pembaca majalah Media Hindu di pelosok Nusantara. Cinta pula yang pernah menggerakkan hati saya, bersama teman-teman agama lain, untuk mengelola sebuah majalah antariman di Yogyakarta.

Saya bisa merasakan energi cinta yang mengalir deras ketika bersembahyang ke pura. Cinta yang berasal dari bhakti para penyungsung pura menyiapkan segala perangkat persembahyangan. Cinta pula yang melandasi para pemuda Pura Banguntapan menjaga sepeda motor kita selagi kita bersembahyang. Namun, dengan tanpa cinta kita justru membuat gaduh suasana pura. Dan, dengan tanpa cintalah kita membuat kotor halaman pura. Dan, dengan tanpa cinta pula kita enggan berdana punia.

Celakanya, “cinta” terhadap kekuasaan dan rupiahlah yang membuat salah seorang pejabat yang duduk di salah satu ruangan di Kanwil Departemen Agama DIY justru membuat kita bingung. Bagaimana tidak bingung, jika ucapan dan perbuatan tidak sinkron. Hanya manis di bibir. Ya, pantaslah jika kita memberinya gelar kehormatan sebagai Pembingung Masyarakat Hindu DIY. Selalu saja ada 1001 alasan untuk berdalih “tidak ada dana” untuk kegiatan umat. Dengan terang-terangan pula ia memasang tarif untuk mengisi dharwa wacana ataupun membuat tulisan. Luar biasa “cintanya” dalam “mengamankan” dana bantuan rekonstruksi pura yang rusak akibat gempabumi.

Cinta itu ikhlas memberi, bukan sebaliknya. Dengan cinta pulalah semoga kaum muda Hindu semakin giat berjuang memajukan agamanya. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Saya berharap, kelak, dunia penerbitan Hindu akan semakin marak. Patut disambut gembira bahwa dewasa ini banyak buku Hindu diterbitkan. Temanya pun beragam. Tapi, bagi saya, itu sermua masih kurang! Saya berharap lagi, kelak, ketika saya jadi ayah, saya tak kesulitan mencari VCD interaktif pembelajaran Hindu buat anak-anak saya. Atau komik-komik bernafaskan kehinduan. Atau juga buku-buku yang membahas khusus problematika para ABG Hindu. Atau buku-buku lain agar generasi mendatang jadi lebih cinta kepada agamanya. Ayo KMHD, bangun! Jangan cuma Kumpul-kumpul Makan-makan Hura-hura Dagelan!!! Jangan malas seperti saya.

*) penulis adalah wong edan

Tuesday, June 12, 2007

>geothermal


belajar nulis inggris. msh belepotan. blm diedit.tlg kasi tau klo da yg salah


GEOTHERMAL: AN ALTERNATIVE ENERGY
FOR THE BETTER FUTURE

Introduction
Indonesia’s archipelago is located among some plates tectonic. It caused many of volcanoes appear along there, that is called the ring of fire. Due to its location, Indonesia has the biggest potential geothermal resource in the world. It is approximately 40% world resource or 20,000 MW which spread out along Sumatra, Java, Bali, Nusa Tenggara, Halmahera, and Sulawesi islands. Almost half (8,000 MW) of this potential energy is located in Java and Bali, the most populous islands with the highest demand of electricity. Nevertheless, only 4% of Indonesia’s geothermal resource have been using. Research activities for geothermal resource begun on early 1900s by the Dutch colonialism. However, the first geothermal exploration activities was done in 1974 in Kamojang, West Java, and eight years later commersial power plant had done.

The Importance of Geothermal
The existence of geothermal is associated with volcanism activity. It can be understanding that, commonly, geothermal field has located on volcanic area. According to Armstead (1983) that geothermal is the energy which come from the depth of earth that can be hot steam, fluid, or mix both of them and it can be extracted to the top of earth to economical activity. There are three basic categories of geothermal resources: hydrothermal, geopressured, and hot dry rock (Blair, et. al., 1982). Hydrothermal is fluid that accumulated to magmatic with the result that hot fluid. Geopressured is the geothermal energy that comes from the earth pressure. It gives gradient temperature by different depth. Whereas, hot dry rock is geothermal energy that caused by impermeable rocks that have been heated. However, from the three of them, only hydrothermal source can be used economically.
Geotermal field can be identified by seeing the phenomena on the its surface. It can be fumarole, water hot pool, hot spring, geyser, steaming ground, etc. However, that are not enough for geologists. They need some evidence to proof the potential resource. Due to their responsible about it, they observe five components of geothermal field: heat source, fluid, fracture, reservoir, and cap rock. Heat source comes from the magma activities in the depth of earth. It is the power to produce hot fluid. Fluid comes from, mostly, the meteoric water. The water flow until some of the dept which contact with magma and change it to be hot water and steam. To flow until the earth depth, water needs a way to reach it. It is called fracture. In order to the water accumulation not to spread out anywhere, impermeable rocks needed to catch it. The rocks likes that is called reservoir. And the last component is cap rock. It function as a trap on the top of reservoir in order to keep the fluid stay flowing.
What is geothermal for? It can be used to many of human needs. Geothermal energy can be utilized as directly and indirectly. In directly utilization, such as domestic services, like the Maoris activities, in New Zealand. A man catch his trout in a cool river and drop it into a nearby pool of boiling water to cook it. A few yards away his wife administering a geothermal bath to the baby, while his daughter is doing the household laundry in a hot spring and the vegetables are cooking over a fumarole. In addition, hot water has many of minerals that very usefull to cure some of the skin disesases. Moreover, woman usually used it to their beauty treatment by swimming in the hot water pool. It can make them have more good skin because of the regeneration of their cells. Farmer also use geothermal for their products. Natural hot waters are used to heat greenhouses in which vegetables, fruits, mushrooms, and flowers. Due to many advantages of geothermal, it may invite tourists to come to the geothermal field. So, many of economic activities may be occurred.
Moreover, in indirectly utilization, geothermal energy is used to generate power plant to produce electricity. This is the most important things to do because the increasing of electricity needs day by day. Nowdays, the energy crisis faced in all of the world because the decreasing of petroleoum and gas resources. Enviromental issue push up many countries did many researches to find another alternative energy. One of them is geothermal energy. In many researches, it has proved that geothermal is clean energy. It is almost no pollution caused by the utilization as electric power plant. Futhermore, geothermal is recycle energy. Steam or hot water, which produced by geothermal wells, used to turn the turbine and after that the water, which to be cooler than before, reinjected to the wells. Then the water flowing to the depth of earth and warming up again by the hot source.
Geothermal in Yogyakarta
There is very less geothermal phenomena in Yogyakarta. We can see it in the Parangtritis beach as small hot water pool. Eventhough Mt. Merapi is very active volcano, but based on geology research, it known that bad reservoir in the stratigraphic subsurface. Due to the capacity of the hot water pool is very low, there is no power plant built.

The Future of Geothermal Energy
According to Kyoto’s Protocol Clean Development Mechanism every country expected to make greenhouse gas reduction program. The Government of Indonesia has had little success in promoting development of energy resource over the past several years. Indonesia utilizes 525 MW of geothermal energy from 787 MW of installed geothermal capacity. As a result, Indonesia saves the equivalent of some 6,300 barrels/day of oil. According the Directorate General of Oil and Gas, Indonesia produced 37.6 million tons of geothermal steam in 2000, which translates into 4,696 GwH of electricity (www.indonext.com/report/report433.html).
Eventhough Indonesia has a lot of geothermal resource, however, utilization of geothermal potential has very slowly and facing difficult challenges. Ministry of Energy and Mineral Resources statistics indicate that renewable energy utilization (hydropower, geothermal and biomass) account for only 3.4% of total potential reserves. This is caused by government’s policies. The government does not give concern seriously to expand geothermal exploration. It caused geothermal energy can not be exported like petroleoum, natural gas, or coal. On the other hand, geothermal is indigenous energy. That means it can be used only in around area that geothermal field had been located.
The abundance of geothermal energy in Indonesia makes it an important natural resource for future energy development. Until the 1997 economic crisis, the regulations enacted by the Government of Indonesia successfully promoted the rapid exploration and development of geothermal energy. Recently, the government has policy to increase petroleoum fuel prices, it may stimulates further utilization of alternative and renewable energy to make our environmental more friendly and cleaner. Moreover, developing geothermal utilization needs a legal basis. Therefore, the government issued geothermal law on 2001. It provides guidliness for geothermal investment and brings a new hoping for better future.

Conclusion
Indonesia has a lot of geothermal resource. Indirectly utilization for electricity, however, is still less. Future geothermal energy development will be dependent on action both of government and investor. Geothermal can be an alternative energy which friendly and reneweable to built better enviromental.

References
· Armstead, H. C. H., 1983, GEOTHERMAL ENERGY: Its past, present and future contributions to the energy needs of man, E. & F. N. Spon Ltd., London.
· Blair, P. D., Cassel, T. A. V., and Edelstein, R. H., 1982, GEOTHERMAL ENERGY: INVESTMENT DECISIONS & COMMERCIAL DEVELOPMENT, John Willey and Sons, Toronto.
· www.indonext.com/report/report433.html (download at March 29, 2006, 04.06 p.m)

Monday, June 11, 2007

>catatan perjalanan


suluh


Menikmati Mentari di Ujung Barat Kepulauan Nusantara


Pada 17-21 Juli 2005 lalu, FPUB berkesempatan mengunjungi dua daerah di ujung pulau Sumatera: Aceh dan Medan. Tujuan utama kunjungan tersebut berkaitan dengan program rehabilitasi pascatsunami Aceh. Program ini merupakan kerjasama tujuh organisasi masyarakat diYogyakarta, FPUB termasuk di dalamnya. Dalam perjalanan ke Aceh, kami menyempatkan diri singgah di kota yang terkenal dengan Bika Ambon-nya, Medan.
Tiba di Medan
Sore itu langit cerah. Suhu udara yang panas menyengat kulit kami. Sebuah pesawat penerbangan milik swasta mengantarkan kami tiba di bandara Polonia dengan selamat. Lelah juga menempuh perjalanan selama tiga jam dari Yogyakarta, sebelumnya transit di Jakarta. Kami berdelapan. Kyai Muhaimin, Pdt. Bambang, Rm. Yatno, Bpk. Efendi, Adi, Ngatiyar, dan saya. Kami dipandu oleh Rendra (LKiS), seorang rekan yang sudah beberapa kali ke Aceh. Lengkaplah sudah lima agama yang kami wakili.
Logat bicara orang Batak yang keras tiba-tiba begitu dekat di telinga kami. Seakan-akan menyambut kedatangan kami dengan seruannya, “Ini Medan, Bung!” Keramaian Kota Medan sebagai kota besar begitu terasa sesaat kami keluar dari bandara Polonia. Kami dijemput oleh kerabat Rm. Yatno yang tinggal di Medan. Rupa-rupanya Rm. Yatno sudah lama tak bersua dengan kerabatnya ini. Kami disambut dengan ramah dan bersahabat. Ajakan jamuan di rumah mereka tak kami tampik. Sungguh, kami terkesan.
Menjelang matahari terbenam, kami menuju ke Gereja Katedral di Kota Medan. Rencananya kami menginap di situ. Sekadar singgah sejenak untuk melepas lelah. Esok harinya baru kami melanjutkan perjalanan ke Aceh.
Kompleks bangunan Gereja Katedral itu tampak telah berumur. Maklum, peninggalan Belanda. Meski begitu masih kokoh berdiri di tengah kota Medan yang kian metropolis. Kami menempati kamar-kamar di lantai 2 yang memang diperuntukkan bagi para tamu. Para frater maupun pastor menyambut kami dengan penuh persahabatan. Apalagi ketika mereka mengatahui kami berasal dari berbagai latar agama yang berbeda. “Kesempatan ini sangat jarang,” ujar salah seorang pastor.
Suhu udara Medan yang panas benar-benar membuat kami gerah. Namun, itu tidak membuat kami enggan berbincang-bincang dengan beberapa aktivis dari Komunitas Pluralis (Komplu) Medan yang datang menghampiri. Perbincangan malam itu sungguh menarik. Namun, sayang, keterbatasan waktu memaksa kami untuk menyudahi perbicangan itu. Tapi, kami membuat janji untuk berbincang kembali dengan para aktivis Komplu lainnya ketika kami kembali dari Aceh. Tepatnya Rabu malam kami akan mengatur pertemuan.
Ke Aceh
Pagi menjelang siang kami berkemas. Bersiap menuju Aceh. Dan satu jam kemudian kami tiba di Aceh. Dari dalam pesawat kami melihat betapa dahsyatnya bencana tsunami itu. Banyak bangunan rata dengan tanah. Genangan-genangan airlaut ada di sana-sini. Sejurus kemudian, kami tiba di bandara Sultan Iskandar Muda. Bandara kecil ini tampak sibuk. Maklum sejak bencana tsunami, banyak orang asing berdatangan.
Kemudian kami disambut di kantor Rabithah Thaliban Aceh (RTA), sebuah organisasi ulama Aceh yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Aceh. Di kantor inilah, nantinya, kami berbincang merencanakan program rehabilitasi untuk korban tsunami Aceh. Meski kantor itu tergolong kecil, berukuran 3x10 m dan berlantai dua, tetapi peran RTA selama ini sangat penting dalam mengorganisasi kaum ulama. Kantor itu dikelola oleh ulama-ulama yang masih muda.
Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, dengan senang hati dua orang dari RTA mengantarkan kami melihat-lihat daerah yang terkena bencana tsunami. Akhirnya, kamipun menyusuri lokasi-lokasi yang terkena bencana. Kami sempat melewati Masjid Baiturachman di Banda Aceh. Jejak-jejak air bah masih tampak nyata. Di sekitanya banyak bangunan yang ambles ke dalam tanah.
Memasuki daerah pantai, kira-kira 10 km dari Masjid Baiturachman, jejak-jejak bencana tsunami kian terasa. Banyak bangunan rata dengan tanah. Tenda-tenda darurat tampak berada di bekas rumah-rumah yang sudah rata dengan tanah tadi. Perkampungan yang pernah sangat padat itu dipenuhi kubangan air laut di sana-sini. Bagi saya, yang baru pertama kali ini menjejakkan kaki di daerah tersebut, pemandangan itu sungguh mengerikan. Apalagi orang yang pernah, atau bahkan tinggal di situ, tentu akan sangat tahu perubahan besar yang telah terjadi dalam sekejap mata itu.
Kami pun menyusuri lokasi lain, yang tentu saja masih di sekitar pantai. Pemandangan tak sedap masih kami temui. Jalanan beraspal banyak yang rusak Rumah-rumah di sepanjang jalan yang kami lalui rusak berat. Namun masih ada satu-dua rumah yang masih tegak berdiri. Tenda-tenda pengungsi masih banyak berserakan. Geliat ekonomi belum pulih benar. Orang-orang masih trauma. Tengok saja, puluhan bahkan ratusan hektar lahan tambak dan pertanian rusak.
Lelah juga mata dan hati ini menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Untuk menetralkan pikiran, lalu kami singgah ke makam Syiah Kuala, penyebar agama Islam pertama di Aceh. Aneh! Di kompleks pemakaman itu hanya makam Syiah Kuala yang relatif utuh daripada yang lainnya. Inilah kuasa Ilahi. Di sepanjang perjalanan tadi memang banyak bangunan yang rusak. Tetapi, bangunan masjid, lagi-lagi, relatif utuh daripada rumah-rumah di sekitarnya.
Senja mulai menjulang. Kami pun berpulang. Malam ini kami hendak bermalam di sebuah pondok pesantren. Letaknya di Sibreuh. Tak jauh dari kantor RTA. Di sepanjang perjalanan, lagi-lagi, mata kami disuguhi oleh pemandangan tak sedap yang rata dengan tanah. Tiba di tujuan, kami disambut ramah oleh Tengku Faizal, pengasuh POndok Pesantren Mahyal Ulum yang bakal kami tempati.
Pesantren ini, dan umumnya di Aceh, berdiri di atas tanah yang luas. Saking luasnya cukuplah kalau dipakai arena sepakbola mini. Seperti bangunan tradisional Sumatera, bangunan di pesantren ini terbuat dari kayu. Lantai bangunan sengaja dibuat tinggi sehingga perlu tangga untuk menaikinya. Letak bangunan terpisah-pisah dengan lainnya.
Dari penuturan Tengku Faizal diperoleh keterangan bahwa sebelum tsunami, pesantren ini hanya ditinggali oleh 40-an santri. Namun, kini, setelah tsunami, pesantren dihuni oleh 150-an santri. Tentu saja hal ini menambah beban. Terutama soal penyediaan makan. Tetapi untunglah banyak pihak yang membantu. Beban jadi ringan. Dari penuturan Tengku Faizal pulalah meluncur cerita yang tak mengenakkan telinga. Pemerintah dinilai sangat lambat dalam menangani korban tsunami ini. Banyak orang Aceh yang memertanyakan kemana saja sumbangan yang mengalir begitu deras itu diperuntukkan. Cerita rebutan “kue bencana” sudah akrab di telinga orang Aceh. “Di sini banyak pesantren dadakan,” papar Tengku Faizal. “Banyak orang beramai-ramai mendirikan pesantren tanpa ada santrinya,” jelas Faizal. Mereka, kata Faizal, menyewa santri-santri untuk didatangkan ke pesantrennya ketika calon penyumbang datang. Setelah calon penyumbang itu pergi, maka santrinyapun disuruh pergi.
Cerita soal aliran dana yang tak tepat sasaran dialami oleh para murid sekolah. Dana bantuan pendidikan, selama ini, hanya disalurkan melalui sekolah-sekolah resmi, sekolah negeri. Padahal, korban tsunami yang berusia sekolah banyak ditampung di pesantren. Celakanya, pesantren luput dari peta penyaluran dana tersebut.
Obrolan kian malam kian seru. Namun, apa daya kami harus beristirahat. Kami berdelapan beristirahat di sebuah bangunan tanpa tembok. Meski hanya beralaskan tikar namun terpaan angin malam dan cahaya bintang di langit menemani mimpi indah kami.
Esoknya, pagi-pagi kami menikmati segelas kopi khas Aceh di sebuah warung, di tepi jalan raya, 100 m dari pesantren. Pemandangan perbukitan sungguh sedap di mata. Selepas makan pagi, kamipun pamit. Hari itu kami mengatur pertemuan dengan RTA untuk merancang program pelatihan bagi korban tsunami Aceh.
Tiba di kantor RTA kami bertemu dengan beberapa pengurus RTA yang lain. Berbagai ide sempat terlontarkan dalam forum itu. Akhirnya, setelah perundingan yang cukup melelahkan tercapai juga kata sepakat. Disepakati bahwa Aceh Sehati akan membantu dan membiayai pelatihan keterampilan bagi warga Aceh. Pelatihan akan dilaksanakan di Yogyakarta selama 12 hari kerja. Pelatihan keterampilan itu meliputi tata boga, tata busana (bagi putri), teknik bangunan, otomotif, dan pertukangan kayu (bagi putrra). Mengenai perekrutan peserta pelatihan dipercayakan sepenuhnya kepada RTA.
Malam ini kami menginap di Gereja Katolik Banda Aceh. Gereja ini terletak tepi di sebuah kanal sungai, tak jauh dari Masjid Baiturachman. Suster-suster di gereja ini sangat ramah. Kami disambut baik. Selama proses evakuasi, gereja ini dijadikan posko oleh tim relawan. Salah seorang suster menceritakan bahwa bencana tsunami telah mempersatukan umat yang berlatar belakang agama berbeda. Tujuannya hanya satu. Untuk kemanusiaan.
Ke Medan (lagi)
Esok siangnya, kami berkemas. Bergegas menuju bandara. Kembali ke Medan (lagi). Sembari menunggu malam untuk bertemu dengan Komplu, kami beristirahat di Gereja Katedral Medan, masih di kamar yang sama.
Tiba juga saat ketika kami berbincang dengan Komplu perihal pengalaman masing-masing bergiat di atas pluralitas agama. Pertanyaan yang kritis dilontarkan oleh seorang aktifis perempuan di Komplu. Ia menanyakan peran perempuan di FPUB. Menanggapi ini Kyai Muhaimin berpendapat bahwa selama ini FPUB sudah cukup terbuka. Namun, seleksi alam yang membuktikan. FPUB tak ingin repot-repot menyoal jender. Justru FPUB lebih memberdayakan potensi yang ada.
Menurut pengakuan aktifis Komplu, di Medan pemerintah daerah pernah membentuk Forum Pemuka Agama (FPA). Namun, hanya papan nama. Kegiatan antariman di Medan, selama ini, baru sebatas insidental dan berwacana, misalnya, ketika Interfidei mengadakan semiloka.
Seorang pegiat Komplu, yang juga seorang seniman, mengaku bahwa hubungan sosial di Medan memang kaku. Ini disebabkan minimnya ruang publik yang representatif. Keberadaan ruang publik ini dinilai penting untuk mempertemukan orang-orang yang berpikir kritis. Ia salut atas eksistensi FPUB yang sudah delapan tahun berjalan. Ia menilai bahwa eksistensi FPUB tersebut dibalut oleh budaya Jawa yang kental. Hal ini tidak terjadi di Medan. Budaya di Medan cukup majemuk. Sulit mencari formula yang tepat sebagai identitas pemersatu.
Kian malam perbincangan makin seru. Banyak hal yang didedahkan dan diimpikan. Namun apa daya ingin memeluk gunung, tapi tangan tak sampai. Kami membiarkan letupan-letupan impian itu mengendap dalam kepala kami. Menyimpannya dalam memori kami sebagai pemacu semangat untuk terus bergiat di Bumi Mataram.*

>fosil manusia purba




Tulisan ini mengantarkanku mengikuti tes pada sebuah grup media terbesar di negeri ini. Tapi sayang, garis karmaku tak mengantarkanku jadi jurnalis.
NB: ada bagian yang hilang dari tulisan ini perihal pengujian DNA terhadap fosil-fosil ini untuk mendapatkan kisaran umur yang lebih akurat. Maaf.....


MACAM DAN PERKEMBANGAN FOSIL HOMINID DI JAWA
SELAMA KUARTER


Daerah yang selama ini banyak ditemukan fosil hominid yaitu Jawa Timur, meliputi Trinil, Ngandong dan Mojokerto, dan Jawa Tengah, meliputi Sangiran dan Sambungmacan. Penemuan hominid fosil yang diberitakan pada tahun 1930an hingga 1941, diawali dengan penemuan tujuh tengkorak dari Homo soloensis yang diperoleh dari Ngandong, Jawa Timur, pada tahun 1931, yang kemudian diikuti oleh penemuan sebuah tengkorak anak-anak dari Homo modjokertensis di Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 1936.

Dari tahun 1936 hingga 1941 beberapa fosil hominid ditemukan di kubah Sangiran, berupa dua tengkorak Pithecanthropus II dan III dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus B pada tahun 1936 hingga 1938, sebuah tengkorak Pithecanthropus IV berbadan kekar yang ditemukan pada tahun 1938 hingga 1939 (Pithecanthropus IV merupakan contoh fosil yang paling lengkap yang ditemukan dalam Formasi Pucangan), sebuah rahang bawah raksasa Meganthropus pada tahun 1941, dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus dubuis pada tahun 1939.

Spesimen Pithecanthropus, Meganthropus dan Homo modjokertensis di Jawa dan Sinanthropus dan Gigantophithecus dari Cina merupakan bukti adanya evolusi manusia dan merupakan tempat terpenting tempat kelahiran manusia.

Keadaan geologi dan stratigrafi
Secara stratigrafi, daerah Sangiran terbagi ke dalam empat formasi. Dari yang tertua hingga termuda berturut-turut adalah Formasi Kalibeng (Pliosen- Akhir Miosen), F. Pucangan (Pleistosen Awal), F. Kabuh (Pleistosen Awal-Tengah) dan F. Notopuro (Pleistosen Awal-Tengah). F. Kalibeng tersusun atas litologi lempung, lempung lanauan (tebal lebih dari 107 m), pasir lanauan (tebal 4,2-6,9 m), batugamping Balanus (tebal 1-2,5 m), lempung dan lanau (tebal 0-10,1 m). F. Pucangan tersusun atas litologi breksi vulkanik (tebal 0,7- 46 m), lempung hitam (tebal 111,3 m) dengan terutama mengandung interkalasi lanau, pasir, diatome, batupasir foraminifera, dan tuf. F. Kabuh dengan tebal 5,8-58,6 m tersusun atas litologi lempung, lanau, pasir, pasir besi dan gravel, juga tersusun oleh interkalasi batupasir konglomerat (yang dikenal sebagai Grenzbank) dan tuf. F. Notopuro dengan tebal mencapai 47 m tersusun atas litologi gravel, pasir, lanau, dan lempung. Juga terdapat interkalasi lahar, pumis dan tuf. Di bagian atasnya terendapkan lumpur vulkanik berumur Pleistosen Akhir dengan tebal 3,5 m. Di lapisan teratas terdapat endapan teras dari Sungai Cemoro, Pohjajar dan Brangkal dan endapan aluvial yang berumur Holosen

Stratigrafi daerah Sambungmacan termasuk ke dalam Formasi Kalibeng. Batuan tertua yang terkespos adalah batugamping napalan berwarna putih-kekuningan, yang mengandung fosil moluska. Juga terdapat interkalasi tipis tuf dan lapisan pasir. Terdapat pula batupasir laminasi silang siur dan lapisan gravel yang terkonsolidasi baik yang berukuran sedang hingga kasar, gravel berukuran berangkal hingga kerakal, dan lanau. Lapisan teratas terdiri dari endapan teras sungai.

Keadaan geologi dan stratigrafi daerah Trinil dan sekitarnya pertama kali diteliti oleh Carthaus (1911) dan Dozy (1911) yang turut sebagai anggota tim ekspedisi Selenka di daerah ini pada tahun 1907 hingga 1908. Kemudian van Es (1931) dan Duyfjes (1936) mempublikasikan hasil penelitian mereka. Secara geomorfologi, daerah Trinil dan sekitarnya termasuk ke dalam antiklinorium Kendeng. Di daerah ini batuan sedimen yang berumur Pliosen-Pleistosen dan batuan vulkanik hadir membentuk struktur homoklin dengan kemiringan batuan yang tak teratur. Singkapan yang baik hanya dapat dilihat di sepanjang tebing Sungai Bengawan Solo.

Batuan tertua yang tampak ke permukaan adalah lempung masif anggota Formasi Kalibeng. Di sebelah utara, di desa Pentuk, Sungai bengawan Solo mengekspos bagian teratas F. Kalibeng yang terdiri atas lempung abu-abu kekuningan yang kaya fosil foraminifera plangtonik. Juga terdapat batulanau dan batugamping dengan tebal 25-47 m.

Selanjutnya, di bagian atas F. Kalibeng terdapat unit F. Pucangan dengan tebal 22-32 m yang terdiri atas breksi vulkanik dengan interkalasi lempung dan batulanau abu-abu. Di bagian atasnya, terdapat unit dari F. Kabuh dengan tebal 45-53 m yang didominasi batupasir dan batulanau dengan interkalasi lapisan gravel (di sinilah Dubois menemukan Pithecanthropus I) . Selanjutnya di atasnya terdapat unit dari F. Notopuro dengan tebal lebih dari 10 m yang terdiri atas pasir dan gravel. Pada lapisan teratas terendapkan endapaan teras yang terdiri dari gravel dan pasir dengan tebal kurang dari 4 m.

Daerah Mojokerto, secara stratigrafi, termasuk ke dalam F. Pucangan. Di daerah ini terdapat tujuh anggota F. Pucangan (Duyfjes, 1936), dari yang tertua hingga yang termuda, yaitu : g) batupasir (kasar hingga halus) tufan dengan tebal 35 m, f) dolomit dan atau batupasir tufan dengan tebal 10 m, e) lempung kehijauan tebal 10 m, d) batupasir kasar hingga halus dengan sisipan lapisan konglomerat, pada lapisan bawah terdapat interkalasi tipis batupasir (halus) tufan, tebal keseluruhan lapisan ini 100 m, c) batupasir halus tufan dengan sedikit interkalasi lempung, tebal 10 m, b) dolomit, lempungan, batupasir tufan dengan cangkang moluska dan banyak tiang koral, tebal 15 m, a) lempungan, batupasir tufan yang mengandung lapisan tipis batupasir tufan, tebal 25 m.

Meganthropus

Fosil primitif yang pernah ditemukan di Indonesia disebut Meganthropus paleojavanicus oleh Koenigswald dan Weindenreich. Fragmen-fragmen rahang bawah dan atas ditemukan oleh von Koenigswald antara tahun 1936-1941 di Formasi Pucangan, Sangiran. Fragmen rahang bawah lain ditemukan oleh Marks pada tahun 1952 di lapisan terbawah Formasi Kabuh.

Temuan Meganthropus yang pertama adalah fragmen rahang kiri atas dengan geraham kedua dan ketiga, serta sebagian geraham pertama. Tetapi, yang pertama kali diumumkan adalah fragmen rahang bawah sebelah kanan dengan kedua geraham muka dan geraham pertama. Temuan berikutnya terdiri dari rahang bawah dengan gigi-gigi, mulai dari geraham pertama kiri sampai geraham ketiga kanan. Rahang bawah Meganthropus mempunyai batang yang tegap dan geraham yang besar. Pada permukaan kunyah tajuknya terdapat banyak kerut, tetapi bentuk giginya hominin. Otot-otot kunyahnya sangat kokoh, karena itu mukanya diperkirakan masif dengan tulang pipi tebal, tonjolan kening yang menyolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tempat pelekatan yang besar. Meganthropus tidak memiliki dagu. Perawakan tubuhnya tegap. Dilihat pada susunan giginya, diperkirakan makanannya terutama tumbuh-tumbuhan.

Pithecanthropus

Fosil manusia yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah fosil Pithecanthropus, sehingga dapat dikatakan bahwa kala Pleistosen di Indonesia didominasi oleh manusia tersebut. Pithecanthropus hidup pada Pleistosen Awal dan Tengah, dan mungkin juga hingga Pleistosen Akhir. Fosil Pithecanthropus banyak ditemukan di Perning, Kedungrubus, Trinil, Sangiran, Sambungmacan dan Ngandong.

Tinggi badan Pithecanthropus berkisar antara 165 hingga 180 cm dengan berat badan 80-100 kg. Tubuh dan anggota badan tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus. Alat-alat pengunyahnya juga tidak sehebat pada Meganthropus, demikian pula otot-otot tengkuk. Geraham besar, rahang kuat,tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis, dan tonjolan belakang kepalanya nyata. Dagu belum ada dan hidungnya lebar.

Perkembangan otaknya masih belum menyamai Homo, oleh karena perkembangan kulit otaknya masih kurang, terutama pada bagian yang berhubungan dengan fungsi-fungsi otak yang tinggi dan koordinasi otot yang cermat. Karena itu, mukanya masih menonjol, dahinya miring ke belakang, bagian terlebar pada tengkoraknya masih terdapat dekat dasar tengkorak dan belakang kepalanya belum membulat. Letak tengkorak di atas tulang belakang belum menyamai keadaan pada manusia sekarang. Isi tengkorak berkisar antara 750-1300 cc.

Pithecanthropus yang tertua adalah P. modjokertensis atau robustus, yang pertama kali ditemukan dalam Formasi Pucangan pada tahun 1936 di Kepuhklagen, sebelah utara Perning dan Mojokerto. Temuan tersebut berupa tengkorak anak-anak, berusia sekitar enam tahun, berdasarkan taju puting dan sendi rahang bawahnya. Isi tengkoraknya berkisar 650 cc, setelah dewasa diperkirakan akan menjadi 1000 cc. tonjolan kening sedikit nyata dan tulang-tulang atap tengkoraknya tidak begitu tebal.

Temuan lain yang dianggap tergolong ke dalam P. modjokertensis berasal dari Sangiran, berupa atap tengkorak, beberapa bagian dasar tengkorak, rahang atas dan bawah, serta gigi-gigi lepas. Ciri-ciri Pithecanthropus nyata terlihat. Bagian terlebar tengkoraknya terletak rendah dekat dasar tengkorak dan tulang-tulang atap tengkoraknya tebal. Tengkoraknya rendah dan kiri-kira isinya 900 cc. Tulang belakang rendah dan bersegi antara kedua bagiannya, tempat terdapatnya tonjolan belakang kepala dengan tepi bawah yang tajam. Pada rahang atas, gigi seri tengahnya lebih besar daripada yang samping dan taringnya menonjol melewati permukaan kunyah. Antara gigi seri samping dan taring terdapat ruang , suatu hal yang sangat jarang terjadi pada manusia modern. Ciri primitif yang perlu dicatat pada rahang atas P. modjokertensis ialah terdapatnya tiga buah akar geraham muka pertamanya. Pada rahang bawah, yang terbesar juga rahang kedua. P. modjokertensis diperkirakan hidup pada 2,5 hingga 1,25 juta tahun yang lalu.

Fosil Pithecanthropus yang lebih banyak keterdapatan dan penyebarannya adalah P. erectus. Pada tahun 1980, di Kedungbrubus, ditemukan sebuah fosil berupa fragmen rahang bawah seorang anak laki-laki, diperkirakan berumur sepuluh tahun. Fragmen batang kanan rahang tersebut tebal tetapi dasarnya tipis. Tidak terdapat dagu, tetapi di sebelah dalam rahang terdapat dua buah tonjolan melintang yang sangat nyata. Geraham muka pertamanya sedang muncul. Pada tahun 1891, ditemukan fosil atap tengkorak dari P. erectus di Trinil. Berdasarkan penemuan inilah Dubois memberikan nama P. erectus. Nama erectus yang diberikan berasal dari temuan tulang paha di tempat yang sama, yang menunjukkan bahwa pemiliknya berjalan tegak. Menurut Stokes, 1960, P. erectus merupakan penghubung antara manusia dengan kera. Saat ini, spesies ini dipercaya sepenuhnya sebagai mahkluk yang menyerupai manusia dan selanjutnya juga disebut Homo erectus.

Atap tengkorak P. erectus yang pertama ditemukan adalah kepunyaan seorang laki-laki dengan isi tengkorak sekitar 900 cc. Tulang paha yang pertama ditemukan pada tahun 1982 adalah tulang paha seorang perempuan, dengan tinggi badan sekitar 168 cm. Batang tulangnya lurus dengan tempat-tempat perlekatan otot yang sangat nyata. Temuan P. erectus yang pertama di Sangiran berupa sebuah atap tengkorak perempuan dewasa dengan isi tengkorak 775 cc. Juga ditemukan tengkorak laki-laki dewasa dengan kapasitas tengkoraknya 975 cc. P. erectus diperkirakan hidup pada satu juta hingga 500.000 tahun yang lalu. Menurut Stokes, 1960, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa P. erectus telah mengenal api, dan juga tidak ditemukan artefak yang berhubungan dengan penggunaan api.

Pithecanthropus yang bertahan hidup hingga akhir Pleistosen Tengah, atau lebih belakangan lagi, adalah P. soloensis. Fosil P. soloensis ditemukan dalam Formasi Kabuh di Sangiran, juga ditemukan di Sambungmacan, Sragen serta teras Ngandong, Blora. Fosil P. soloensis pertama kali ditemukan di tepi Sungai Bengawan Solo, di Ngandong, pada tahun 1931 yaitu dua buah atap tengkorak, sebuah tulang dahi dan fragmen tulang pendinding. Dalam dua tahun berikutnya, jumlahnya bertambah dengan ditemukannya tengkorak dan dua buah tulang kering.

Tengkorak yang ditemukan pada tahun 1931 merupakan tengkorak wanita berumur 35-40 tahun dengan kapasitas sebesar 1140 cc. Tengkorak yang lain milik seorang anak perempuan dan seorang laki-laki berumur 40-50 tahun. Pada tahun 1932 ditemukan empat buah tengkorak dan sebuah tulang kering. Satu diantaranya adalah milik seorang perempuan berumur 25-35 tahun. Salah satu fosil yang lainnya lagi, milik laki-laki dewasa, merupakan tengkorak terpanjang yang pernah ditemukan dengan kapasitasnya sebesar 1200 cc. Fosil yang satunya lagi milik seorang perempuan berumur 45-50 tahun dengan kapasitas tengkorak 1190 cc merupakan temuan terlengkap dan utuh diantara temuan tengkorak-tengkorak lainnya di Ngandong.

Dari temuan tersebut diperoleh informasi bahwa otot-otot tengkuknya berkembang baik, otak kecilnya sudah lebih berkembang daripada P. erectus, dan sendi tengkoraknya agak berbeda dengan manusia modern. Sedangkan tengkorak yang satunya lagi milik seorang perempuan muda. Tulang kering yang ditemukan milik seorang laki-laki dewasa. Tulangnya tegap, dengan otot-otot yang besar dan dari tulang ini diperkirakan tinggi badannya sekitar 180 cm.

Pada tahun 1933 ditemukan lagi sebuah tulang kering dan empat buah tengkorak lagi. Tulang kering tersebut merupakan bagian kanan dari tengkorak seorang perempuan dewasa dengan tinggi badan 165 cm. Sedangkan empat tengkorak tersebut, secara berturut-turut, milik seorang laki-laki berumur 25-35 tahun, atap tengkorak perempuan berumur 50 tahun, atap tengkotak perempuan berumur 40-45 tahun dan milik seorang laki-laki berumur 40-45 tahun dengan dasar tengkorak yang hamper utuh. Selanjutnya, pada tahun 1976, ditemukan bagian atas tengkorak sebelah kanan dan sebuah atap tengkorak yang rapuh. Sebuah fragmen tulang pinggul, yaitu bagian sendinya dengan tulang paha, ditemukan pada tahun 1978.

Secara umum, isi tengkorak P. soloensis berkisar antara 1000 hingga 1300 cc, tulang tengkoraknya menonjol, tebal dan masif, dengan tempat perlekatan yang menyolok. Tonjolan keningnya masih cukup nyata, tetapi mulai menyusur di tengah-tengah. Dahinya lebih terisi dan tengkoraknya lebih tinggi daripada P. erectus dan P. modjokertensis. Tempat perlekatan otot tengkuk masih cukup luas. P. soloensis memiliki akar hidung yang lebar, rongga matanya sangat panjang.

Dari ciri-ciri pada dasar tengkoraknya dapat disimpulkan bahwa letak kepalanya di atas tulang belakang belumlah seperti pada manusia modern. Tulang keringnya tegap dengan tempat perlekatan otot yang kasar. Tinggi badannya diperkirakan 165 hingga 180 cm. Walaupun P. soloensis memperlihatkan banyak persamaan dengan P. erectus dan P. modjokertensis, tetapi lebih banyak lagi persamaannya dengan P. pekinensis dari Chou-kou-tien, dekat Beijing. Perbedaan P. soloensis dengan P. erectus dan P. modjokertensis terlihat pada besar tengkoraknya, tonjolan kening dan tonjolan belakang kepala, daerah telinga dan sekitar hidung. P. soloensis diperkirakan hidup pada 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu. Menurut Stokes, 1960, P. soloensis, oleh beberapa peneliti, digolongkan ke dalam spesies antara Homo erectus dengan Homo sapiens.

Homo

Fosil manusia dari genus Homo yang ditemukan berupa rangka Wajak, Jawa Timur, dan juga beberapa tulang paha dari Trinil dan tulang-tulang tengkorak dari Sangiran. Penemuan fosil Homo yang pertama terjadi di dekat Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur, adalah H. sapiens oleh van Rietschoten pada tahun 1889. Fosil yang ditemukan tersebut kemudian diselidiki oleh Dubois dan ternyata terdiri dari tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa ruas leher. Penemuan yang kedua terjadi pada tahun berikutnya di tempat yang sama, terdiri dari fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah, serta tulang paha dan tulang kering.

Berdasarkan ciri-ciri fisik, Homo lebih maju daripada Pithecanthropus. Isi tengkorak Homo bervariasi antara 1000 hingga 2000 cc, tinggi badan 130 hingga 210 cm dan berat badannya 30 sampai 150 kg. Otak lebih berkembang, terutama kulit otaknya, sehingga bagian terlebar otaknya terletak tinggi di sisi tengkorak dan dahinya membulat serta tinggi. Bagian belakang tengkorak juga membulat dan tinggi.

Otak kecil sudah berkembang lebih jauh pula dan otot tengkuk sudah mengalami reduksi, karena sudah tidak begitu diperlukan lagi dalam ukuran yang besar. Hal ini dikarenakan alat pengunyah sudah susut lebih lanjut, gigi mengecil, begitu pula rahang serta otot pengunyah dan muka tidak begitu menonjol lagi. Letak tengkorak di atas tulang belakang sudah seimbang. Berdiri serta berjalan tegak sudah lebih sempurna dan koordinasi otot sudah jauh lebih cermat. Dari uraian tersebut, manusia Wajak memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh Mongoloid dan Australomelanesid. Diperkirakan manusia Wajak hidup pada 40.000 hingga 25.000 tahun yang lalu.

Simpson, 1966, menyebutkan bahwa H. sapiens, secara gradual muncul. Simpson memberikan ciri-ciri perbedaan anatomi manusia dengan genusnya sebagai berikut :
Manusia berkembang dari kera, juga berasal dari simpanse dan gorila, tetapi kemudian mengalami spesialisasi.

Perbedaan leluhur manusia dengan kera dicirikan oleh penggunaan kedua lengan (bipedal) dan juga tubuh bagian atas, yang sangat berhubungan dengan anatomi, kebiasaan dan kemampuan.
Perbedaan selanjutnya tampak pada evolusi susunan gigi, yang juga berpengaruh pada jenis makanan. Tidak dapat diketahui secara pasti apakah perbedaan bentuk tubuh dan susunan gigi terhadap kera terjadi secara tiba-tiba atau secara gradual.

Hanya setelah evolusi bentuk tubuh dan susunan gigi sempurna, otak manusia menjadi lebih besar dan melampaui otak kera, kecerdasan tidak hanya berhubungan dengan kapasitas otak tetapi juga dengan anatomi tengkorak.

Kesimpulan
  • Fosil hominid banyak ditemukan di daerah Sangiran, Sambungmacan (Jawa Tengah), Trinil, Ngandong dan Mojokerto (Jawa Timur).
  • Secara stratigrafi, fosil hominid banyak dijumpai dalam batuan yang termasuk ke dalam anggota Formasi Pucangan dan Kabuh.
  • Fosil hominid yang ditemukan, berdasarkan umur dari yang tertua hingga yang termuda dan tingkat kecerdasannya dari yang rendah ke yang lebih maju, berturut-turut adalah Meganthropus, Pithecanthropus modjokertensis, P. erectus, P. soloensis dan Homo sapiens.

Daftar Pustaka
  • Peter, B., 2000, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Edisi Revisi, Gramedia, Jakarta, p.525.
  • Poeponegoro, M. D., Notosusanto, N., 1993, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Edisi ke-4, Balai Pustaka, Jakarta, p.495.
  • Richard, L., 2003, Asal-usul Manusia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, p.221.
  • Simpson, G. G., 1966, The Biological Nature of Man, dalam Cloud P (ed), 1970, Adventures in Earth History, W. H. Freeman and Company, San Fransisco, p.992.
  • Stokes. W. L., 1960, Essential of Earth History : An Introduction to Historical Geology, Third Edition, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, p.532.
  • Watanabe, N., Khadar, D. (ed), 1985, Quartenary Geology of the Hominid Fossil Bearing Formation in Java, Geological Research and Development Center, Special Publication No. 4, p.378.