Monday, June 11, 2007

>fosil manusia purba




Tulisan ini mengantarkanku mengikuti tes pada sebuah grup media terbesar di negeri ini. Tapi sayang, garis karmaku tak mengantarkanku jadi jurnalis.
NB: ada bagian yang hilang dari tulisan ini perihal pengujian DNA terhadap fosil-fosil ini untuk mendapatkan kisaran umur yang lebih akurat. Maaf.....


MACAM DAN PERKEMBANGAN FOSIL HOMINID DI JAWA
SELAMA KUARTER


Daerah yang selama ini banyak ditemukan fosil hominid yaitu Jawa Timur, meliputi Trinil, Ngandong dan Mojokerto, dan Jawa Tengah, meliputi Sangiran dan Sambungmacan. Penemuan hominid fosil yang diberitakan pada tahun 1930an hingga 1941, diawali dengan penemuan tujuh tengkorak dari Homo soloensis yang diperoleh dari Ngandong, Jawa Timur, pada tahun 1931, yang kemudian diikuti oleh penemuan sebuah tengkorak anak-anak dari Homo modjokertensis di Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 1936.

Dari tahun 1936 hingga 1941 beberapa fosil hominid ditemukan di kubah Sangiran, berupa dua tengkorak Pithecanthropus II dan III dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus B pada tahun 1936 hingga 1938, sebuah tengkorak Pithecanthropus IV berbadan kekar yang ditemukan pada tahun 1938 hingga 1939 (Pithecanthropus IV merupakan contoh fosil yang paling lengkap yang ditemukan dalam Formasi Pucangan), sebuah rahang bawah raksasa Meganthropus pada tahun 1941, dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus dubuis pada tahun 1939.

Spesimen Pithecanthropus, Meganthropus dan Homo modjokertensis di Jawa dan Sinanthropus dan Gigantophithecus dari Cina merupakan bukti adanya evolusi manusia dan merupakan tempat terpenting tempat kelahiran manusia.

Keadaan geologi dan stratigrafi
Secara stratigrafi, daerah Sangiran terbagi ke dalam empat formasi. Dari yang tertua hingga termuda berturut-turut adalah Formasi Kalibeng (Pliosen- Akhir Miosen), F. Pucangan (Pleistosen Awal), F. Kabuh (Pleistosen Awal-Tengah) dan F. Notopuro (Pleistosen Awal-Tengah). F. Kalibeng tersusun atas litologi lempung, lempung lanauan (tebal lebih dari 107 m), pasir lanauan (tebal 4,2-6,9 m), batugamping Balanus (tebal 1-2,5 m), lempung dan lanau (tebal 0-10,1 m). F. Pucangan tersusun atas litologi breksi vulkanik (tebal 0,7- 46 m), lempung hitam (tebal 111,3 m) dengan terutama mengandung interkalasi lanau, pasir, diatome, batupasir foraminifera, dan tuf. F. Kabuh dengan tebal 5,8-58,6 m tersusun atas litologi lempung, lanau, pasir, pasir besi dan gravel, juga tersusun oleh interkalasi batupasir konglomerat (yang dikenal sebagai Grenzbank) dan tuf. F. Notopuro dengan tebal mencapai 47 m tersusun atas litologi gravel, pasir, lanau, dan lempung. Juga terdapat interkalasi lahar, pumis dan tuf. Di bagian atasnya terendapkan lumpur vulkanik berumur Pleistosen Akhir dengan tebal 3,5 m. Di lapisan teratas terdapat endapan teras dari Sungai Cemoro, Pohjajar dan Brangkal dan endapan aluvial yang berumur Holosen

Stratigrafi daerah Sambungmacan termasuk ke dalam Formasi Kalibeng. Batuan tertua yang terkespos adalah batugamping napalan berwarna putih-kekuningan, yang mengandung fosil moluska. Juga terdapat interkalasi tipis tuf dan lapisan pasir. Terdapat pula batupasir laminasi silang siur dan lapisan gravel yang terkonsolidasi baik yang berukuran sedang hingga kasar, gravel berukuran berangkal hingga kerakal, dan lanau. Lapisan teratas terdiri dari endapan teras sungai.

Keadaan geologi dan stratigrafi daerah Trinil dan sekitarnya pertama kali diteliti oleh Carthaus (1911) dan Dozy (1911) yang turut sebagai anggota tim ekspedisi Selenka di daerah ini pada tahun 1907 hingga 1908. Kemudian van Es (1931) dan Duyfjes (1936) mempublikasikan hasil penelitian mereka. Secara geomorfologi, daerah Trinil dan sekitarnya termasuk ke dalam antiklinorium Kendeng. Di daerah ini batuan sedimen yang berumur Pliosen-Pleistosen dan batuan vulkanik hadir membentuk struktur homoklin dengan kemiringan batuan yang tak teratur. Singkapan yang baik hanya dapat dilihat di sepanjang tebing Sungai Bengawan Solo.

Batuan tertua yang tampak ke permukaan adalah lempung masif anggota Formasi Kalibeng. Di sebelah utara, di desa Pentuk, Sungai bengawan Solo mengekspos bagian teratas F. Kalibeng yang terdiri atas lempung abu-abu kekuningan yang kaya fosil foraminifera plangtonik. Juga terdapat batulanau dan batugamping dengan tebal 25-47 m.

Selanjutnya, di bagian atas F. Kalibeng terdapat unit F. Pucangan dengan tebal 22-32 m yang terdiri atas breksi vulkanik dengan interkalasi lempung dan batulanau abu-abu. Di bagian atasnya, terdapat unit dari F. Kabuh dengan tebal 45-53 m yang didominasi batupasir dan batulanau dengan interkalasi lapisan gravel (di sinilah Dubois menemukan Pithecanthropus I) . Selanjutnya di atasnya terdapat unit dari F. Notopuro dengan tebal lebih dari 10 m yang terdiri atas pasir dan gravel. Pada lapisan teratas terendapkan endapaan teras yang terdiri dari gravel dan pasir dengan tebal kurang dari 4 m.

Daerah Mojokerto, secara stratigrafi, termasuk ke dalam F. Pucangan. Di daerah ini terdapat tujuh anggota F. Pucangan (Duyfjes, 1936), dari yang tertua hingga yang termuda, yaitu : g) batupasir (kasar hingga halus) tufan dengan tebal 35 m, f) dolomit dan atau batupasir tufan dengan tebal 10 m, e) lempung kehijauan tebal 10 m, d) batupasir kasar hingga halus dengan sisipan lapisan konglomerat, pada lapisan bawah terdapat interkalasi tipis batupasir (halus) tufan, tebal keseluruhan lapisan ini 100 m, c) batupasir halus tufan dengan sedikit interkalasi lempung, tebal 10 m, b) dolomit, lempungan, batupasir tufan dengan cangkang moluska dan banyak tiang koral, tebal 15 m, a) lempungan, batupasir tufan yang mengandung lapisan tipis batupasir tufan, tebal 25 m.

Meganthropus

Fosil primitif yang pernah ditemukan di Indonesia disebut Meganthropus paleojavanicus oleh Koenigswald dan Weindenreich. Fragmen-fragmen rahang bawah dan atas ditemukan oleh von Koenigswald antara tahun 1936-1941 di Formasi Pucangan, Sangiran. Fragmen rahang bawah lain ditemukan oleh Marks pada tahun 1952 di lapisan terbawah Formasi Kabuh.

Temuan Meganthropus yang pertama adalah fragmen rahang kiri atas dengan geraham kedua dan ketiga, serta sebagian geraham pertama. Tetapi, yang pertama kali diumumkan adalah fragmen rahang bawah sebelah kanan dengan kedua geraham muka dan geraham pertama. Temuan berikutnya terdiri dari rahang bawah dengan gigi-gigi, mulai dari geraham pertama kiri sampai geraham ketiga kanan. Rahang bawah Meganthropus mempunyai batang yang tegap dan geraham yang besar. Pada permukaan kunyah tajuknya terdapat banyak kerut, tetapi bentuk giginya hominin. Otot-otot kunyahnya sangat kokoh, karena itu mukanya diperkirakan masif dengan tulang pipi tebal, tonjolan kening yang menyolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tempat pelekatan yang besar. Meganthropus tidak memiliki dagu. Perawakan tubuhnya tegap. Dilihat pada susunan giginya, diperkirakan makanannya terutama tumbuh-tumbuhan.

Pithecanthropus

Fosil manusia yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah fosil Pithecanthropus, sehingga dapat dikatakan bahwa kala Pleistosen di Indonesia didominasi oleh manusia tersebut. Pithecanthropus hidup pada Pleistosen Awal dan Tengah, dan mungkin juga hingga Pleistosen Akhir. Fosil Pithecanthropus banyak ditemukan di Perning, Kedungrubus, Trinil, Sangiran, Sambungmacan dan Ngandong.

Tinggi badan Pithecanthropus berkisar antara 165 hingga 180 cm dengan berat badan 80-100 kg. Tubuh dan anggota badan tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus. Alat-alat pengunyahnya juga tidak sehebat pada Meganthropus, demikian pula otot-otot tengkuk. Geraham besar, rahang kuat,tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis, dan tonjolan belakang kepalanya nyata. Dagu belum ada dan hidungnya lebar.

Perkembangan otaknya masih belum menyamai Homo, oleh karena perkembangan kulit otaknya masih kurang, terutama pada bagian yang berhubungan dengan fungsi-fungsi otak yang tinggi dan koordinasi otot yang cermat. Karena itu, mukanya masih menonjol, dahinya miring ke belakang, bagian terlebar pada tengkoraknya masih terdapat dekat dasar tengkorak dan belakang kepalanya belum membulat. Letak tengkorak di atas tulang belakang belum menyamai keadaan pada manusia sekarang. Isi tengkorak berkisar antara 750-1300 cc.

Pithecanthropus yang tertua adalah P. modjokertensis atau robustus, yang pertama kali ditemukan dalam Formasi Pucangan pada tahun 1936 di Kepuhklagen, sebelah utara Perning dan Mojokerto. Temuan tersebut berupa tengkorak anak-anak, berusia sekitar enam tahun, berdasarkan taju puting dan sendi rahang bawahnya. Isi tengkoraknya berkisar 650 cc, setelah dewasa diperkirakan akan menjadi 1000 cc. tonjolan kening sedikit nyata dan tulang-tulang atap tengkoraknya tidak begitu tebal.

Temuan lain yang dianggap tergolong ke dalam P. modjokertensis berasal dari Sangiran, berupa atap tengkorak, beberapa bagian dasar tengkorak, rahang atas dan bawah, serta gigi-gigi lepas. Ciri-ciri Pithecanthropus nyata terlihat. Bagian terlebar tengkoraknya terletak rendah dekat dasar tengkorak dan tulang-tulang atap tengkoraknya tebal. Tengkoraknya rendah dan kiri-kira isinya 900 cc. Tulang belakang rendah dan bersegi antara kedua bagiannya, tempat terdapatnya tonjolan belakang kepala dengan tepi bawah yang tajam. Pada rahang atas, gigi seri tengahnya lebih besar daripada yang samping dan taringnya menonjol melewati permukaan kunyah. Antara gigi seri samping dan taring terdapat ruang , suatu hal yang sangat jarang terjadi pada manusia modern. Ciri primitif yang perlu dicatat pada rahang atas P. modjokertensis ialah terdapatnya tiga buah akar geraham muka pertamanya. Pada rahang bawah, yang terbesar juga rahang kedua. P. modjokertensis diperkirakan hidup pada 2,5 hingga 1,25 juta tahun yang lalu.

Fosil Pithecanthropus yang lebih banyak keterdapatan dan penyebarannya adalah P. erectus. Pada tahun 1980, di Kedungbrubus, ditemukan sebuah fosil berupa fragmen rahang bawah seorang anak laki-laki, diperkirakan berumur sepuluh tahun. Fragmen batang kanan rahang tersebut tebal tetapi dasarnya tipis. Tidak terdapat dagu, tetapi di sebelah dalam rahang terdapat dua buah tonjolan melintang yang sangat nyata. Geraham muka pertamanya sedang muncul. Pada tahun 1891, ditemukan fosil atap tengkorak dari P. erectus di Trinil. Berdasarkan penemuan inilah Dubois memberikan nama P. erectus. Nama erectus yang diberikan berasal dari temuan tulang paha di tempat yang sama, yang menunjukkan bahwa pemiliknya berjalan tegak. Menurut Stokes, 1960, P. erectus merupakan penghubung antara manusia dengan kera. Saat ini, spesies ini dipercaya sepenuhnya sebagai mahkluk yang menyerupai manusia dan selanjutnya juga disebut Homo erectus.

Atap tengkorak P. erectus yang pertama ditemukan adalah kepunyaan seorang laki-laki dengan isi tengkorak sekitar 900 cc. Tulang paha yang pertama ditemukan pada tahun 1982 adalah tulang paha seorang perempuan, dengan tinggi badan sekitar 168 cm. Batang tulangnya lurus dengan tempat-tempat perlekatan otot yang sangat nyata. Temuan P. erectus yang pertama di Sangiran berupa sebuah atap tengkorak perempuan dewasa dengan isi tengkorak 775 cc. Juga ditemukan tengkorak laki-laki dewasa dengan kapasitas tengkoraknya 975 cc. P. erectus diperkirakan hidup pada satu juta hingga 500.000 tahun yang lalu. Menurut Stokes, 1960, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa P. erectus telah mengenal api, dan juga tidak ditemukan artefak yang berhubungan dengan penggunaan api.

Pithecanthropus yang bertahan hidup hingga akhir Pleistosen Tengah, atau lebih belakangan lagi, adalah P. soloensis. Fosil P. soloensis ditemukan dalam Formasi Kabuh di Sangiran, juga ditemukan di Sambungmacan, Sragen serta teras Ngandong, Blora. Fosil P. soloensis pertama kali ditemukan di tepi Sungai Bengawan Solo, di Ngandong, pada tahun 1931 yaitu dua buah atap tengkorak, sebuah tulang dahi dan fragmen tulang pendinding. Dalam dua tahun berikutnya, jumlahnya bertambah dengan ditemukannya tengkorak dan dua buah tulang kering.

Tengkorak yang ditemukan pada tahun 1931 merupakan tengkorak wanita berumur 35-40 tahun dengan kapasitas sebesar 1140 cc. Tengkorak yang lain milik seorang anak perempuan dan seorang laki-laki berumur 40-50 tahun. Pada tahun 1932 ditemukan empat buah tengkorak dan sebuah tulang kering. Satu diantaranya adalah milik seorang perempuan berumur 25-35 tahun. Salah satu fosil yang lainnya lagi, milik laki-laki dewasa, merupakan tengkorak terpanjang yang pernah ditemukan dengan kapasitasnya sebesar 1200 cc. Fosil yang satunya lagi milik seorang perempuan berumur 45-50 tahun dengan kapasitas tengkorak 1190 cc merupakan temuan terlengkap dan utuh diantara temuan tengkorak-tengkorak lainnya di Ngandong.

Dari temuan tersebut diperoleh informasi bahwa otot-otot tengkuknya berkembang baik, otak kecilnya sudah lebih berkembang daripada P. erectus, dan sendi tengkoraknya agak berbeda dengan manusia modern. Sedangkan tengkorak yang satunya lagi milik seorang perempuan muda. Tulang kering yang ditemukan milik seorang laki-laki dewasa. Tulangnya tegap, dengan otot-otot yang besar dan dari tulang ini diperkirakan tinggi badannya sekitar 180 cm.

Pada tahun 1933 ditemukan lagi sebuah tulang kering dan empat buah tengkorak lagi. Tulang kering tersebut merupakan bagian kanan dari tengkorak seorang perempuan dewasa dengan tinggi badan 165 cm. Sedangkan empat tengkorak tersebut, secara berturut-turut, milik seorang laki-laki berumur 25-35 tahun, atap tengkorak perempuan berumur 50 tahun, atap tengkotak perempuan berumur 40-45 tahun dan milik seorang laki-laki berumur 40-45 tahun dengan dasar tengkorak yang hamper utuh. Selanjutnya, pada tahun 1976, ditemukan bagian atas tengkorak sebelah kanan dan sebuah atap tengkorak yang rapuh. Sebuah fragmen tulang pinggul, yaitu bagian sendinya dengan tulang paha, ditemukan pada tahun 1978.

Secara umum, isi tengkorak P. soloensis berkisar antara 1000 hingga 1300 cc, tulang tengkoraknya menonjol, tebal dan masif, dengan tempat perlekatan yang menyolok. Tonjolan keningnya masih cukup nyata, tetapi mulai menyusur di tengah-tengah. Dahinya lebih terisi dan tengkoraknya lebih tinggi daripada P. erectus dan P. modjokertensis. Tempat perlekatan otot tengkuk masih cukup luas. P. soloensis memiliki akar hidung yang lebar, rongga matanya sangat panjang.

Dari ciri-ciri pada dasar tengkoraknya dapat disimpulkan bahwa letak kepalanya di atas tulang belakang belumlah seperti pada manusia modern. Tulang keringnya tegap dengan tempat perlekatan otot yang kasar. Tinggi badannya diperkirakan 165 hingga 180 cm. Walaupun P. soloensis memperlihatkan banyak persamaan dengan P. erectus dan P. modjokertensis, tetapi lebih banyak lagi persamaannya dengan P. pekinensis dari Chou-kou-tien, dekat Beijing. Perbedaan P. soloensis dengan P. erectus dan P. modjokertensis terlihat pada besar tengkoraknya, tonjolan kening dan tonjolan belakang kepala, daerah telinga dan sekitar hidung. P. soloensis diperkirakan hidup pada 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu. Menurut Stokes, 1960, P. soloensis, oleh beberapa peneliti, digolongkan ke dalam spesies antara Homo erectus dengan Homo sapiens.

Homo

Fosil manusia dari genus Homo yang ditemukan berupa rangka Wajak, Jawa Timur, dan juga beberapa tulang paha dari Trinil dan tulang-tulang tengkorak dari Sangiran. Penemuan fosil Homo yang pertama terjadi di dekat Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur, adalah H. sapiens oleh van Rietschoten pada tahun 1889. Fosil yang ditemukan tersebut kemudian diselidiki oleh Dubois dan ternyata terdiri dari tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa ruas leher. Penemuan yang kedua terjadi pada tahun berikutnya di tempat yang sama, terdiri dari fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah, serta tulang paha dan tulang kering.

Berdasarkan ciri-ciri fisik, Homo lebih maju daripada Pithecanthropus. Isi tengkorak Homo bervariasi antara 1000 hingga 2000 cc, tinggi badan 130 hingga 210 cm dan berat badannya 30 sampai 150 kg. Otak lebih berkembang, terutama kulit otaknya, sehingga bagian terlebar otaknya terletak tinggi di sisi tengkorak dan dahinya membulat serta tinggi. Bagian belakang tengkorak juga membulat dan tinggi.

Otak kecil sudah berkembang lebih jauh pula dan otot tengkuk sudah mengalami reduksi, karena sudah tidak begitu diperlukan lagi dalam ukuran yang besar. Hal ini dikarenakan alat pengunyah sudah susut lebih lanjut, gigi mengecil, begitu pula rahang serta otot pengunyah dan muka tidak begitu menonjol lagi. Letak tengkorak di atas tulang belakang sudah seimbang. Berdiri serta berjalan tegak sudah lebih sempurna dan koordinasi otot sudah jauh lebih cermat. Dari uraian tersebut, manusia Wajak memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh Mongoloid dan Australomelanesid. Diperkirakan manusia Wajak hidup pada 40.000 hingga 25.000 tahun yang lalu.

Simpson, 1966, menyebutkan bahwa H. sapiens, secara gradual muncul. Simpson memberikan ciri-ciri perbedaan anatomi manusia dengan genusnya sebagai berikut :
Manusia berkembang dari kera, juga berasal dari simpanse dan gorila, tetapi kemudian mengalami spesialisasi.

Perbedaan leluhur manusia dengan kera dicirikan oleh penggunaan kedua lengan (bipedal) dan juga tubuh bagian atas, yang sangat berhubungan dengan anatomi, kebiasaan dan kemampuan.
Perbedaan selanjutnya tampak pada evolusi susunan gigi, yang juga berpengaruh pada jenis makanan. Tidak dapat diketahui secara pasti apakah perbedaan bentuk tubuh dan susunan gigi terhadap kera terjadi secara tiba-tiba atau secara gradual.

Hanya setelah evolusi bentuk tubuh dan susunan gigi sempurna, otak manusia menjadi lebih besar dan melampaui otak kera, kecerdasan tidak hanya berhubungan dengan kapasitas otak tetapi juga dengan anatomi tengkorak.

Kesimpulan
  • Fosil hominid banyak ditemukan di daerah Sangiran, Sambungmacan (Jawa Tengah), Trinil, Ngandong dan Mojokerto (Jawa Timur).
  • Secara stratigrafi, fosil hominid banyak dijumpai dalam batuan yang termasuk ke dalam anggota Formasi Pucangan dan Kabuh.
  • Fosil hominid yang ditemukan, berdasarkan umur dari yang tertua hingga yang termuda dan tingkat kecerdasannya dari yang rendah ke yang lebih maju, berturut-turut adalah Meganthropus, Pithecanthropus modjokertensis, P. erectus, P. soloensis dan Homo sapiens.

Daftar Pustaka
  • Peter, B., 2000, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Edisi Revisi, Gramedia, Jakarta, p.525.
  • Poeponegoro, M. D., Notosusanto, N., 1993, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Edisi ke-4, Balai Pustaka, Jakarta, p.495.
  • Richard, L., 2003, Asal-usul Manusia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, p.221.
  • Simpson, G. G., 1966, The Biological Nature of Man, dalam Cloud P (ed), 1970, Adventures in Earth History, W. H. Freeman and Company, San Fransisco, p.992.
  • Stokes. W. L., 1960, Essential of Earth History : An Introduction to Historical Geology, Third Edition, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, p.532.
  • Watanabe, N., Khadar, D. (ed), 1985, Quartenary Geology of the Hominid Fossil Bearing Formation in Java, Geological Research and Development Center, Special Publication No. 4, p.378.

No comments: