Monday, June 11, 2007

>catatan perjalanan


suluh


Menikmati Mentari di Ujung Barat Kepulauan Nusantara


Pada 17-21 Juli 2005 lalu, FPUB berkesempatan mengunjungi dua daerah di ujung pulau Sumatera: Aceh dan Medan. Tujuan utama kunjungan tersebut berkaitan dengan program rehabilitasi pascatsunami Aceh. Program ini merupakan kerjasama tujuh organisasi masyarakat diYogyakarta, FPUB termasuk di dalamnya. Dalam perjalanan ke Aceh, kami menyempatkan diri singgah di kota yang terkenal dengan Bika Ambon-nya, Medan.
Tiba di Medan
Sore itu langit cerah. Suhu udara yang panas menyengat kulit kami. Sebuah pesawat penerbangan milik swasta mengantarkan kami tiba di bandara Polonia dengan selamat. Lelah juga menempuh perjalanan selama tiga jam dari Yogyakarta, sebelumnya transit di Jakarta. Kami berdelapan. Kyai Muhaimin, Pdt. Bambang, Rm. Yatno, Bpk. Efendi, Adi, Ngatiyar, dan saya. Kami dipandu oleh Rendra (LKiS), seorang rekan yang sudah beberapa kali ke Aceh. Lengkaplah sudah lima agama yang kami wakili.
Logat bicara orang Batak yang keras tiba-tiba begitu dekat di telinga kami. Seakan-akan menyambut kedatangan kami dengan seruannya, “Ini Medan, Bung!” Keramaian Kota Medan sebagai kota besar begitu terasa sesaat kami keluar dari bandara Polonia. Kami dijemput oleh kerabat Rm. Yatno yang tinggal di Medan. Rupa-rupanya Rm. Yatno sudah lama tak bersua dengan kerabatnya ini. Kami disambut dengan ramah dan bersahabat. Ajakan jamuan di rumah mereka tak kami tampik. Sungguh, kami terkesan.
Menjelang matahari terbenam, kami menuju ke Gereja Katedral di Kota Medan. Rencananya kami menginap di situ. Sekadar singgah sejenak untuk melepas lelah. Esok harinya baru kami melanjutkan perjalanan ke Aceh.
Kompleks bangunan Gereja Katedral itu tampak telah berumur. Maklum, peninggalan Belanda. Meski begitu masih kokoh berdiri di tengah kota Medan yang kian metropolis. Kami menempati kamar-kamar di lantai 2 yang memang diperuntukkan bagi para tamu. Para frater maupun pastor menyambut kami dengan penuh persahabatan. Apalagi ketika mereka mengatahui kami berasal dari berbagai latar agama yang berbeda. “Kesempatan ini sangat jarang,” ujar salah seorang pastor.
Suhu udara Medan yang panas benar-benar membuat kami gerah. Namun, itu tidak membuat kami enggan berbincang-bincang dengan beberapa aktivis dari Komunitas Pluralis (Komplu) Medan yang datang menghampiri. Perbincangan malam itu sungguh menarik. Namun, sayang, keterbatasan waktu memaksa kami untuk menyudahi perbicangan itu. Tapi, kami membuat janji untuk berbincang kembali dengan para aktivis Komplu lainnya ketika kami kembali dari Aceh. Tepatnya Rabu malam kami akan mengatur pertemuan.
Ke Aceh
Pagi menjelang siang kami berkemas. Bersiap menuju Aceh. Dan satu jam kemudian kami tiba di Aceh. Dari dalam pesawat kami melihat betapa dahsyatnya bencana tsunami itu. Banyak bangunan rata dengan tanah. Genangan-genangan airlaut ada di sana-sini. Sejurus kemudian, kami tiba di bandara Sultan Iskandar Muda. Bandara kecil ini tampak sibuk. Maklum sejak bencana tsunami, banyak orang asing berdatangan.
Kemudian kami disambut di kantor Rabithah Thaliban Aceh (RTA), sebuah organisasi ulama Aceh yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Aceh. Di kantor inilah, nantinya, kami berbincang merencanakan program rehabilitasi untuk korban tsunami Aceh. Meski kantor itu tergolong kecil, berukuran 3x10 m dan berlantai dua, tetapi peran RTA selama ini sangat penting dalam mengorganisasi kaum ulama. Kantor itu dikelola oleh ulama-ulama yang masih muda.
Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, dengan senang hati dua orang dari RTA mengantarkan kami melihat-lihat daerah yang terkena bencana tsunami. Akhirnya, kamipun menyusuri lokasi-lokasi yang terkena bencana. Kami sempat melewati Masjid Baiturachman di Banda Aceh. Jejak-jejak air bah masih tampak nyata. Di sekitanya banyak bangunan yang ambles ke dalam tanah.
Memasuki daerah pantai, kira-kira 10 km dari Masjid Baiturachman, jejak-jejak bencana tsunami kian terasa. Banyak bangunan rata dengan tanah. Tenda-tenda darurat tampak berada di bekas rumah-rumah yang sudah rata dengan tanah tadi. Perkampungan yang pernah sangat padat itu dipenuhi kubangan air laut di sana-sini. Bagi saya, yang baru pertama kali ini menjejakkan kaki di daerah tersebut, pemandangan itu sungguh mengerikan. Apalagi orang yang pernah, atau bahkan tinggal di situ, tentu akan sangat tahu perubahan besar yang telah terjadi dalam sekejap mata itu.
Kami pun menyusuri lokasi lain, yang tentu saja masih di sekitar pantai. Pemandangan tak sedap masih kami temui. Jalanan beraspal banyak yang rusak Rumah-rumah di sepanjang jalan yang kami lalui rusak berat. Namun masih ada satu-dua rumah yang masih tegak berdiri. Tenda-tenda pengungsi masih banyak berserakan. Geliat ekonomi belum pulih benar. Orang-orang masih trauma. Tengok saja, puluhan bahkan ratusan hektar lahan tambak dan pertanian rusak.
Lelah juga mata dan hati ini menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Untuk menetralkan pikiran, lalu kami singgah ke makam Syiah Kuala, penyebar agama Islam pertama di Aceh. Aneh! Di kompleks pemakaman itu hanya makam Syiah Kuala yang relatif utuh daripada yang lainnya. Inilah kuasa Ilahi. Di sepanjang perjalanan tadi memang banyak bangunan yang rusak. Tetapi, bangunan masjid, lagi-lagi, relatif utuh daripada rumah-rumah di sekitarnya.
Senja mulai menjulang. Kami pun berpulang. Malam ini kami hendak bermalam di sebuah pondok pesantren. Letaknya di Sibreuh. Tak jauh dari kantor RTA. Di sepanjang perjalanan, lagi-lagi, mata kami disuguhi oleh pemandangan tak sedap yang rata dengan tanah. Tiba di tujuan, kami disambut ramah oleh Tengku Faizal, pengasuh POndok Pesantren Mahyal Ulum yang bakal kami tempati.
Pesantren ini, dan umumnya di Aceh, berdiri di atas tanah yang luas. Saking luasnya cukuplah kalau dipakai arena sepakbola mini. Seperti bangunan tradisional Sumatera, bangunan di pesantren ini terbuat dari kayu. Lantai bangunan sengaja dibuat tinggi sehingga perlu tangga untuk menaikinya. Letak bangunan terpisah-pisah dengan lainnya.
Dari penuturan Tengku Faizal diperoleh keterangan bahwa sebelum tsunami, pesantren ini hanya ditinggali oleh 40-an santri. Namun, kini, setelah tsunami, pesantren dihuni oleh 150-an santri. Tentu saja hal ini menambah beban. Terutama soal penyediaan makan. Tetapi untunglah banyak pihak yang membantu. Beban jadi ringan. Dari penuturan Tengku Faizal pulalah meluncur cerita yang tak mengenakkan telinga. Pemerintah dinilai sangat lambat dalam menangani korban tsunami ini. Banyak orang Aceh yang memertanyakan kemana saja sumbangan yang mengalir begitu deras itu diperuntukkan. Cerita rebutan “kue bencana” sudah akrab di telinga orang Aceh. “Di sini banyak pesantren dadakan,” papar Tengku Faizal. “Banyak orang beramai-ramai mendirikan pesantren tanpa ada santrinya,” jelas Faizal. Mereka, kata Faizal, menyewa santri-santri untuk didatangkan ke pesantrennya ketika calon penyumbang datang. Setelah calon penyumbang itu pergi, maka santrinyapun disuruh pergi.
Cerita soal aliran dana yang tak tepat sasaran dialami oleh para murid sekolah. Dana bantuan pendidikan, selama ini, hanya disalurkan melalui sekolah-sekolah resmi, sekolah negeri. Padahal, korban tsunami yang berusia sekolah banyak ditampung di pesantren. Celakanya, pesantren luput dari peta penyaluran dana tersebut.
Obrolan kian malam kian seru. Namun, apa daya kami harus beristirahat. Kami berdelapan beristirahat di sebuah bangunan tanpa tembok. Meski hanya beralaskan tikar namun terpaan angin malam dan cahaya bintang di langit menemani mimpi indah kami.
Esoknya, pagi-pagi kami menikmati segelas kopi khas Aceh di sebuah warung, di tepi jalan raya, 100 m dari pesantren. Pemandangan perbukitan sungguh sedap di mata. Selepas makan pagi, kamipun pamit. Hari itu kami mengatur pertemuan dengan RTA untuk merancang program pelatihan bagi korban tsunami Aceh.
Tiba di kantor RTA kami bertemu dengan beberapa pengurus RTA yang lain. Berbagai ide sempat terlontarkan dalam forum itu. Akhirnya, setelah perundingan yang cukup melelahkan tercapai juga kata sepakat. Disepakati bahwa Aceh Sehati akan membantu dan membiayai pelatihan keterampilan bagi warga Aceh. Pelatihan akan dilaksanakan di Yogyakarta selama 12 hari kerja. Pelatihan keterampilan itu meliputi tata boga, tata busana (bagi putri), teknik bangunan, otomotif, dan pertukangan kayu (bagi putrra). Mengenai perekrutan peserta pelatihan dipercayakan sepenuhnya kepada RTA.
Malam ini kami menginap di Gereja Katolik Banda Aceh. Gereja ini terletak tepi di sebuah kanal sungai, tak jauh dari Masjid Baiturachman. Suster-suster di gereja ini sangat ramah. Kami disambut baik. Selama proses evakuasi, gereja ini dijadikan posko oleh tim relawan. Salah seorang suster menceritakan bahwa bencana tsunami telah mempersatukan umat yang berlatar belakang agama berbeda. Tujuannya hanya satu. Untuk kemanusiaan.
Ke Medan (lagi)
Esok siangnya, kami berkemas. Bergegas menuju bandara. Kembali ke Medan (lagi). Sembari menunggu malam untuk bertemu dengan Komplu, kami beristirahat di Gereja Katedral Medan, masih di kamar yang sama.
Tiba juga saat ketika kami berbincang dengan Komplu perihal pengalaman masing-masing bergiat di atas pluralitas agama. Pertanyaan yang kritis dilontarkan oleh seorang aktifis perempuan di Komplu. Ia menanyakan peran perempuan di FPUB. Menanggapi ini Kyai Muhaimin berpendapat bahwa selama ini FPUB sudah cukup terbuka. Namun, seleksi alam yang membuktikan. FPUB tak ingin repot-repot menyoal jender. Justru FPUB lebih memberdayakan potensi yang ada.
Menurut pengakuan aktifis Komplu, di Medan pemerintah daerah pernah membentuk Forum Pemuka Agama (FPA). Namun, hanya papan nama. Kegiatan antariman di Medan, selama ini, baru sebatas insidental dan berwacana, misalnya, ketika Interfidei mengadakan semiloka.
Seorang pegiat Komplu, yang juga seorang seniman, mengaku bahwa hubungan sosial di Medan memang kaku. Ini disebabkan minimnya ruang publik yang representatif. Keberadaan ruang publik ini dinilai penting untuk mempertemukan orang-orang yang berpikir kritis. Ia salut atas eksistensi FPUB yang sudah delapan tahun berjalan. Ia menilai bahwa eksistensi FPUB tersebut dibalut oleh budaya Jawa yang kental. Hal ini tidak terjadi di Medan. Budaya di Medan cukup majemuk. Sulit mencari formula yang tepat sebagai identitas pemersatu.
Kian malam perbincangan makin seru. Banyak hal yang didedahkan dan diimpikan. Namun apa daya ingin memeluk gunung, tapi tangan tak sampai. Kami membiarkan letupan-letupan impian itu mengendap dalam kepala kami. Menyimpannya dalam memori kami sebagai pemacu semangat untuk terus bergiat di Bumi Mataram.*

No comments: