Yk, Hindu, dan Sepotong Cinta
oleh SOE HOK GEN*)
Kalau bertandang ke kos teman, mata saya tak pernah lepas memerhatikan rak bukunya. Seberapa banyak buku yang berderet dan variasi temanya, bagi saya, itu bisa menggambarkan isi kepala si empunya. Ya, karena kata orang Tegal, “You are what you read.” Ya, karena dari tumpukan kertas bernama buku itulah narasi ini bermula.
Dulu, seperti kebanyakan orang
Mempelajari agama di tingkat sekolah tentu beda dengan di kampus. Tapi, celakanya, mahasiswa ikut kuliah agama cuma formalisme untuk dapat nilai! Kegairahan untuk mengeksplorasi lebih dalam, tampaknya, masih kurang. Ini terlihat dari berbagai kegiatan KMHD yang masih itu-itu saja. Salah satunya belum ada media informasi dan publikasi yang mewadahi problematika, opini, ide, kreatifitas, maupun dinamika mahasiswa dan umat Hindu. Padahal,
Awalnya, saya tak percaya diri. Pasalnya, pengetahuan agama terbilang pas-pasan (kalau tidak mau disebut kurang). Jangankan mau menerbitkan media, pelatihan jurnalistik aja belum pernah ikut. Alhasil, kemampuan teknis menulis juga masih kurang. Tapi rasa cinta terhadap Hindu-lah yang menghapus keraguan itu. “Ya, learning by doing,” pikir saya.
Kalau sidang pembaca di tahun 2002-2003 sering ke pura tiap Purnama, tentu Anda pernah mendapati secarik kertas mungil yang mulanya dikira brosur iklan. Padahal, kertas mungil itu adalah media alternatif Hindu pertama di
Banyak orang yang menyayangkan kejadian itu. Ya, saya masih terngiang betapa dramatisnya mengelola Lontar kala itu. Biarpun Lontar telah almarhum, tapi semangatnya harus terus mengobar. Dan, benar saja. Akhirnya, KMHD UGM, di awal 2004, meneruskan perjuangan Lontar dengan menerbitkan Suara Anandam Lembar. Saya tak menyangka semangat Lontar, ternyata, menular kepada rekan-rekan yang lain. Alhasil, kini di
Teringat pernyataan seorang teman KMHD, “Saya datang ke Jogja ini untuk belajar di kampus. Bukan jadi penulis.” “Betul, tugas utama kita adalah belajar,” jawab saya, “tetapi, kemampuan menulis akan sangat membantu kita dalam belajar banyak hal.” Bibir merahnya membisu, wajah cantiknya tertunduk. Baru beberapa tahun kemudian saya mendapatkan jawabannya ketika dengan wajah berseri-seri dia bercerita bahwa dia telah memenangi lomba menulis esai di kampusnya, bahasa Inggris lagi. “Wow, hebat! Kamu udah bisa ngalahin saya,” kata saya.
Memiliki pengetahuan agama yang pas-pasan, tetapi berkeinginan untuk terus belajar dan menyadarkan orang lain untuk juga belajar, saya pikir, lebih baik daripada memiliki pengetahuan agama yang tinggi tetapi tidak mau berbagi dengan orang lain. Dan, jauh lebih baik daripada orang yang tidak mau belajar sama sekali. Inilah cinta. Cintalah yang menggerakkan karma untuk beryadya mencerdaskan umat. Cinta yang menuntun kita untuk mereguk Dewi Saraswati (baca: ilmu pengetahuan) agar lebih arif menyikapi hidup. Cinta pula yang menafasi saya untuk menceritakan dinamika umat Hindu Yogyakarta kepada segenap pembaca majalah Media Hindu di pelosok Nusantara. Cinta pula yang pernah menggerakkan hati saya, bersama teman-teman agama lain, untuk mengelola sebuah majalah antariman di
Saya bisa merasakan energi cinta yang mengalir deras ketika bersembahyang ke pura. Cinta yang berasal dari bhakti para penyungsung pura menyiapkan segala perangkat persembahyangan. Cinta pula yang melandasi para pemuda Pura Banguntapan menjaga sepeda motor kita selagi kita bersembahyang. Namun, dengan tanpa cinta kita justru membuat gaduh suasana pura. Dan, dengan tanpa cintalah kita membuat kotor halaman pura. Dan, dengan tanpa cinta pula kita enggan berdana punia.
Celakanya, “cinta” terhadap kekuasaan dan rupiahlah yang membuat salah seorang pejabat yang duduk di salah satu ruangan di Kanwil Departemen Agama DIY justru membuat kita bingung. Bagaimana tidak bingung, jika ucapan dan perbuatan tidak sinkron. Hanya manis di bibir. Ya, pantaslah jika kita memberinya gelar kehormatan sebagai Pembingung Masyarakat Hindu DIY. Selalu saja ada 1001 alasan untuk berdalih “tidak ada dana” untuk kegiatan umat. Dengan terang-terangan pula ia memasang tarif untuk mengisi dharwa wacana ataupun membuat tulisan. Luar biasa “cintanya” dalam “mengamankan” dana bantuan rekonstruksi pura yang rusak akibat gempabumi.
Cinta itu ikhlas memberi, bukan sebaliknya. Dengan cinta pulalah semoga kaum muda Hindu semakin giat berjuang memajukan agamanya. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Saya berharap, kelak, dunia penerbitan Hindu akan semakin marak. Patut disambut gembira bahwa dewasa ini banyak buku Hindu diterbitkan. Temanya pun beragam. Tapi, bagi saya, itu sermua masih kurang! Saya berharap lagi, kelak, ketika saya jadi ayah, saya tak kesulitan mencari VCD interaktif pembelajaran Hindu buat anak-anak saya. Atau komik-komik bernafaskan kehinduan. Atau juga buku-buku yang membahas khusus problematika para ABG Hindu. Atau buku-buku lain agar generasi mendatang jadi lebih cinta kepada agamanya. Ayo KMHD, bangun! Jangan cuma Kumpul-kumpul Makan-makan Hura-hura Dagelan!!! Jangan malas seperti saya.
*) penulis adalah wong edan
No comments:
Post a Comment