Monday, April 21, 2008

>Transkalimantan Kilometer Nol

Menjadi wellsite geologist adalah job deskku kali ini. Ada 70 titik bor direncanakan dibor di wilayah Simenggaris, Kalimantan Timur, dengan kedalaman 30 dan 60 meter. Simenggaris berada di kilometer nol jalan transkalimantan, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Untuk mencapai lokasi ini diperlukan waktu satu jam lima belas menit pakai speedboat dari Nunukan. Sebelumnya aku harus menempu perjalanan 2 jam lima belas menit dari Tarakan ke Nunukan.

Basecamp ada di kilometer nol tetapi wilayah kerjaku ada di kilometer sebelas (flying camp). Jalanan di sana sebagian masih tanah dan sebagian lagi aspal tipis yang menyebabkan jalan mudah rusak. Beberapa jembatan masih dibuat dari gelondongan kayu-kayu besar. Cuma ada satu-dua saja jembatan yang konstruksinya dari beton.

Hidup di sana sungguh-sungguh harus tahan uji. Bayangkan hidup tanpa jaringan listrik, hanya mengandalkan mesin jenset pada malam hari saja. Tidak ada perkampungan, hanya ada satu-dua rumah saja yang terpisah-pisah jauh. Celakanya, sinyal HP juga tak ada! Untuk mendapatkan sinyal HP aku harus menuju kilometer 24. Perjalanan yang tak mudah karena tidak setiap saat aku bisa ke sana. Tak ada angkutan umum. Jalanan rusak. Biasanya aku bersama rekan-rekan yang lain satu mobil ke sana. Itupun mobil satu-satunya fasilitas perusahaan.

Ada juga tempat lain. Tetapi harganya mahal. Dari basecamp naik speedboat tak sampai lima menit ongkosnya Rp 10.000,00 lalu sewa motor melewati pabrik pengolahan minyak kelapa sawit milik PT. Nunukan Jaya Lestari. Ongkosnya Rp 50.000,00. Sejauh mata memandang jalanan yang kulewati ditumbuhi kelapa sawit. HPku bisa menangkap sinyal di suatu titik di perbukitan tepi jalan. Meski ada sinyal, tetapi tak selalu mudah untuk berkomunikasi dengan bagus. Suara lawan bicaraku terdengar putus-putus, tetapi lain halnya bila aku yang menerima panggilan telpon. Sengatan matahari yang menusuk menambah tidak nyaman.

Pekerjaanku di sana adalah mendeskripsi serbuk bor (cutting) dan inti bor (coring) menggunakan metode touch coring, mencatatnya lalu mengambil sampelnya bila memenuhi syarat. Hasil pemboran di lima titik pertama ini menunjukkan bahwa lapisan batubara tebalnya tak sampai satu meter di kedalaman lebih dari 30 meter. Aku bekerja sama dengan para kru driller yang sudah berpengalaman. Sedangkan ini pengalaman pertamaku. Aku banyak belajar dari mereka. Ada dua tim yang diturunkan untuk pekerjaan ini, masing-masing enam orang.

Kami tinggal di flying camp, satu kilometer dari jalan transkalimantan kilo sebelas. Jalanan tanah bergelombang yang terkadang menyempit karena tergerus air membuat perjalanan menjadi menegangkan. Kalau tak mahir menyetir niscaya kami pasti terperosok. Untung saja sopirnya Pak Combat, mantan anggota Kopassus, yang bisa diandalkan untuk mengantarkan kami dengan selamat.

Flying camp kami sangat sederhana. Berbentuk panggung yang kayunya diambil dari pohon-pohon di sekitar. Beratapkan terpal. Cukuplah buat menampung 20 orang. Tetapi, langit-langit yang pendek, kalau berdiri kepalaku bisa menyentuhnya, membuat udara terasa panas pada siang hari. Jangan harap bisa tidur siang. Kami memanfaatkan kolong panggung buat bersantai di siang hari. Memang terasa jauh lebih nyaman.

Kalau urusan tidur buatku tak masalah. Yang jadi masalah ketika pasokan makanan terlambat. Alhasil, kami harus puas dengan menu mie instant, ikan sarden kalengan, dan telur untuk menu pagi, siang, dan malam. Kami sering mengeluh. Kami ingin sayuran segar, ikan segar, tahu dan tempe. Ibu tukang masak tak bisa berbuat banyak. Ia memasak berdasar bahan yang tersedia. Alhasil, seminggu di flying camp cukup membuatku terserang radang tenggorokan. Ini kiamat buatku. Apalagi persediaan Liquid Chlophyll dan Omega Squa tinggal setengah botol. Dua produk suplemen alami itu yang kuandalkan untuk melindungiku dari bahan-bahan berbahaya yang ada dalam makanan dan minuman.

Terkadang aku mengeluh berada di daerah yang “tak beradab”. Tetapi setelah kurasakan ternyata sangat menyenangkan hidup tanpa tv dan koran. Aku muak dengan sajian tv dan berita di koran yang isinya mengorek kebobrokan bangsa ini. Aku hanya ditemani Karl May dengan bukunya “Dan Damai di Bumi!”, Langit Kresna Hariadi dengan “Gajah Mada: Hamukti Palapa”, dan buku grammar untuk mengasah bahasa Inggrisku.

>Kuli yang sedang Cuti

Cuti tahunanku jatuh di bulan April ini. Aku ingin rehat sejenak dan merefleksikan perjalanan hidupku. Aku ambil cuti delapan hari kerja, ditambah hari libur totalnya jadi 12 hari. 12 April aku mendarat di Jogja. Entah mengapa aku merasa hommy di Jogja, kota yang penuh kenangan. Cuma tiga hari aku di Jogja. Aku berterima kasih pada Giri, sohibku di kampus dan KMHD, yang mau menampungku di rumah kos-kosannya.

Banyak sekali yang berubah di Jogja. Kalau masa kuliah dulu aku nongkrongnya di warung angkringan dan burjo tap sekarang bolehlah di café-café yang bertebaran di jakal sembari berselancar di dunia maya pakai laptop. Minggu malam, 13 April, bersama rekan-rekan semasa kuliah Bosman yang penggagur berduit (baru sebulan ia resign dari KPC), Emen (yang lagi serius menyelesaikan skripsinya setelah beberapa tahun waktunya tersita bekerja di perusahaan minyak di Sumatera), dan Moncos (masih berstatus mahasiswa). Kami ngobrol ngalor-ngidul di MP Book Point jakal km 6,2. Banyak kisah seru dan saru yang terurai. Sesekali kali tekekeh mendengar cerita salah seorang dari kami. Kami ngobrol ditemani minuman hangat dan kudapan sedap dari jam 19 sampai café tutup jam 23.30!

Semasa kuliah tak sekalipun aku pernah naik becak. Tapi aku bisa menikmatinya kali ini. Dari Gejayan ke Malioboro aku naik becak. “Ning Malioboro pinten, Pak?” tanyaku pada tukang becak yang lagi mangkal di simpang tiga Gejayan-Jl. Solo. “Limo las, Mas,” jawabnya. Aku tawar Rp 8.000,00 dia nggak ngasih. Dia maunya Rp. 10.000,00. Dengan bersilat lidah akhirnya dia mau menurutiku. Naik becak melintasi jalan raya asyik juga. Sampai di ujung Jl. Mangkubumi, sebelum rel kereta, aku mengajak tukang becak mampir di warung makan. Kami pesan soto ayam dan teh. Untuk itu semua aku Cuma bayar Rp. 8.000,00. Sangat murah! Lalu kuminta si tukang becak mengayuh pedal becaknya lagi. Malioboro sudah di pelupuk mata. Kuberi Rp 10.000,00 dan tak kuminta kembaliannya pada si tukang becak. Sebenarnya aku tadi menawar Cuma sekadar iseng.

Belanja buku adalah wajib bagiku. Tentu saja “Toga Mas” menjadi pilihanku. Sebenarnya banyak buku yang ingin aku beli, mumpung murah. Tapi aku harus memikirkan repotnya bila membawa terlalu banyak buku ke Kaltim. Alhasil, aku harus memilih buku sesuai kebutuhanku. Untuk lima buku: kumpulan sajak “Angin pun Berbisik”, “K!ck Andy” kumpulan kisah inspiratif, “Winnetou II” karya Karl May, “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” kumpulan esai edan Prie GS, “Geologi Mineral Logam”, dan majalah “Mix” aku Cuma membayar 180an ribu rupiah. Belanja buku aku lanjutakan di “Toga Mas” Denpasar. Di sana aku membeli buku kocak karya Raditya Dika, Kelik Pelipur Lara, dan Teguh Satriono. Untuk enam buku itu aku Cuma membayar 120an ribu rupiah.

Di Jogja Cuma tiga hari. Tanggal 15 pagi aku bertolak ke Surabaya naik bus patas buat nengok adikku yang kuliah di ITS. Malamnya aku langsung ke Bali naik kereta api jam 22.30 dari Gubeng turun di Banyuwangi lalu dilanjutkan dengna bus dari PT KAI. Untuk perjalanan ke Bali aku membayar Rp. 90.000,00. Di rumah orangtuaku dan calon istriku sudah menanti.

Monday, March 24, 2008

>kota bekantan







Akhirnya impianku menjejaki keempat kota di Kaltim terwujud juga. Setelah Balikpapan, Samarinda, dan Bontang seminggu ini aku ada di Tarakan. Tarakan ini sebuah pulau sekaligus kotamadya. Info detilnya bisa dilongok di www. tarakan.go.id. Nggak sampe 30 menit waktu yang dibutuhkan buat mengelilingi jalanan kota Tarakan. Aku terkesan dengan kota ini. Bersih dan rapi. Nggak ada pengamen, pengemis, dan gelandangan berkeliaran di jalanan.






Aku mengunjungi hutan konservasi bakau dan bekantan. Cukup bayar seribu rupiah aku bisa menikmati suasana hutan bakau. Ada jembatan dari kayu yang memudahkanku berkeliling. Tempatnya adem. Enak buat pacaran hehe....Berwisata pantai ada juga. Bersama rekan-rekan kantor aku pesta bakar ikan di pantai Amal. Dari pusat kota ga sampai 30 menit jarak tempuhnya. Nongkrong ala anak muda sambil berselancar di dunia maya bisa aku nikmati di Taman Oval Ladang. Bisa berhot spot ria sampai mati, gratis. Tapi kalau masuk taman aku harus bayar seribu rupiah. di taman ada gazebo, tempat bermain, ayunan, dan air mancur. tempatnya bersih dna terawat. Kalau lapar atau haus tinggal pesan saja, ada penjual aneka panganan dna minuman. Harga terjangkau.






Aku mencoba berwisata kuliner. Tapi tak banyak tempat yang menarik buatku. Makan di warung nelayan yang menyajikan masakan khas Pattaya, Thailand, sangat menarik buatku. Aku pesan Tom Yam Udang. Cukup lama aku menunggu pesananku diantar. Maklum saban malam tempat ini selalu ramai didatangi pelanggan. Setelah 3o menit akhirnya pesananku datang juga. Hmmm....mak nyuss. Udangnya besar-besar. Kuahnya segar. Nasinya satu bakul. Kenyang deh. Kusudahi makan malamku itu dengan segelas jus melon. Untuk itu semua aku cuma bayar Rp 20.000,00. Murah, kan?






Monday, March 17, 2008

>Grup Sangatta

“Hei, Gen mau kemana?” suara itu tiba-tiba mengagetkanku ketika aku berjalan menuju kedai Roti Boy di bandara Sepinggan, Balikpapan. Ternyata Bosman, kawan kuliahku yang kerja di KPC. “Aku mau ke Tarakan, neh,” jawabku, “nah kamu mau kemana?” Aku baru ingat bahwa kawanku ini sudah habis masa kontrak kerjanya dengan KPC (satu tahun). Dia tak berminat melanjutkan kontraknya, padahal pihak KPC masih berminat dan kabarnya tertarik untuk menjadikannya karyawan tetap. Memang sudah lama ia ingin cepat-cepat hengkang dari Sangatta. Ia jenuh dengan pekerjaannya. Pantas saja wajahnya terlihat sumringah, seperti ada beban yang terlepas. “Aku mau ke Jogja. Jam 09.15 pesawatku terbang. Sampai ketemu, Gen,” kata Bosman. Kupandangi ia berjalan sembari mendorong trolly berisi beberapa tas. Kawan yang kukenal multi talenta ini yang menyukai banyak hal: berpuisi, menulis, membaca beraneka tema, berdiskusi berbagai topik, dan hal-hal lain yang berdekatan dengan aktifitas intelek.

Ada tiga kawan kuliahku yang bekerja di Sangatta. Dua yang lainnya adalah Gombrenk yang bekerja di KPC dan Fauzi yang bekerja di THIESS. Fauzi bulan ini juga hengkang dari Sangatta karena mendapat pekerjaan baru yang lebih menjanjikan baginya di Jambi. Fauzi sudah dua tahun bekerja di THIESS dan ditempatkan di Sangatta. Gombrenk juga akan hengkang dari KPC setelah kontrak kerjanya satu tahun habis di bulan September 2008. Selanjutnya ia ingin sekolah lagi dengan biaya sendiri dari hasil kerjanya setahun di KPC. Aku sendiri bakal lama bertugas di Sebakis dan Bebatu, setidaknya menghabiskan sisa kontrak kerjaku yang masih satu tahun lagi. Setelah itu aku akan mengejar cita-cita yang lain. Dengan begini grup Sangatta bubar dech.....


Medio Maret,


menuju perbatasan dan keterasingan

>Dua Utang

Bulan ini dua utangku sudah lunas kubayar. Sudah berbulan-bulan aku memikirkan bagaiman cara membayarnya. Utang pertamaku sama Bli Andi. Sudah tiga bulan hasil wawancara dengannya mengendap di folder laptopku, sejak awal Desember 2007 sampai akhir Februari 2008. Aku tertarik untuk mengangkat profilnya untuk majalah “Media Hindu”. Sudah lama aku ingin menulis feature yang mengangkat kehidupan seseorang. Orang ini menurutku sangat menarik. Profilnya bisa dilihat di http://madeandi.staff.ugm.ac.id/blog. Aku sangat terkesan dengan acara K!ick Andy yang tayang di MetroTV. Acara yang mengangkat perjuangan hidup seseorang yang pantang menyerah pada keadaan. Lagian sudah lama aku tak menulis di “MH”. Kasihan melihat Pak Ngakan berjuang tanpa ada tim yang solid.

Desain wawancara dengan Bli Andi sudah selesai November 2007. Kala itu ia sedang di markas PBB di New York. Ada tiga pertanyaan utama yang aku ajukan: soal keluarga, karir dan pekerjaan, dan soal spiritualitas. Di luar dugaanku ternyata dia tak perlu waktu lama menjawab pertanyaanku. Awal Desember sudah jadi. Wawancara itu ada 35.000 karakter. Aku harus meringkasnya menjadi maksimal 9.000 karakter (tanpa spasi) agar bisa dimuat menjadi dua halaman. Ketika akhir Januari lalu aku sempat singgah ke Jogja dari dinas di Jakarta, sebenarnya aku ingin menginggahi rumahnya dan bertemu dengan anak dan istrinya. Ini penting agar tulisanku lebih hidup. Aku ingin lebih detil mengorek informasi agar tulisanku tidak bias. Tapi ternyata Bli Andi sedang berada di Jakarta. Tapi toh tanpa itu tulisanku kelar juga. Sebelum kukirim ke Pak Ngakan, kukirimi Bli Andi agar mengoreksinya. Kata Bli andi via e-mail, “Cuma koreksi sangat minor.” Setelah kubenahi kukirim sekali lagi ke Bli Andi. Katanya tak ada masalah. Pak Ngakan pun senang. Tulisanku itu bakal dimuat “MH” edisi April atau Mei ini. Sebuah pekerjaan panjang dan dengan sangat rela aku tak dibayar sepeserpun.

Utang keduaku adalah menulis untuk “Bunga Rampai 25 Tahun KMHD UGM”. Aku menulis tentang peran “Suara Anandam” media yang pernah menjadi aktualisasi proses kreatifku. Ogah-ogahan aku menulis. Padahal aku sudah ngumpulin banyak bahan dari internet. Eh..akhirnya kelar juga meski lewat dua hari dari tenggat waktu 15 Maret 2008. Sebenarnya gagasan pembuatan buku untuk memperingati 25 tahun KMHD UGM adalah ideku yang kuutarakan pada Krya Sabha (rapat kerja) KMHD April 2006. Aku sudah melakukan provokasi agar banyak orang yang terlibat. Tapi nyatanya baru delapan tulisan yang masuk (termasuk karyaku). Semoga saja yang lain menyusul biar “Bunga rampai” bisa terbit. Janji adalah utang bagiku. Dan itu sudah kubayar LUNAS!

Ini dia nukilan untuk membayar dua utangku itu:
I Made Andi Arsana
Terbang Bersayap Doa



“Saya berhutang budi kepada orangtua, saudara kandung, mertua, dan ipar yang menggantikan banyak sekali peran saya ketika saya berada jauh dari tanahair. Tanpa mereka, saya tidak bisa melakukan banyak hal untuk memenuhi mimpi-mimpi saya,” ungkap I Made Andi Arsana (30) tentang kunci suksesnya sebagai dosen dan peneliti.

Dilahirkan dalam keluarga sederhana di Desa Tegaljadi, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali, membuat Andi, sapaan akrabnya, tak menyangka bisa menjadi pengelana intelektual. “Bapak saya tidak sempat menamatkan pendidikan dasar. Sedangkan ibu lumayan, bisa lulus SD. Secara ekonomi, kami tidak lebih baik dari orang-orang di desa zaman itu. Bapak dan ibu saya petani sekaligus penambang batupadas. Dengan itulah kami hidup di awal tahun 80-an,” terang Andi mengisahkan masa kecilnya.

Seperti kebanyakan anak desa, arena bermainnya adalah sawah. Ia juga memilihara itik dan babi. “Saya pernah punya satu burung tekukur, tupai, anjing, kucing, dan burung emprit di saat yang sama dan kesemuanya bebas berkeliaran di rumah,” papar Andi. Dalam manajemen kasih sayang ala Andi, mereka hidup rukun. “Ada pelajaran tentang cinta dan persahabatan di sana,” kenangnya.

Nilai-nilai hidup yang ditanamkan orangtuanya memberi pengaruh yang mendalam bagi perjalanan hidup Andi. Menjadi anak yang rajin, menyapa orang dengan ramah, minta maaf ketika melakukan kesalahan adalah beberapa hal yang selalu ditanamkan kepada Andi kecil. Dari sang ibu Andi belajar tentang perjuangan dan kemandirian. Sedangkan dari sang bapak ia belajar tentang kepemimpinan dan komunikasi. Dan, itulah yang mengantarkannya meraih beasiswa Australian Leadership Awards untuk program doktoral di University of Wollongong, Australia, tahun ini.
Dan seterusnya.......
Memutar Roda Dharma dengan Aksara
Catatan Eksistensi “Suara Anandam”

There are only two things that can be lightening the world. The sun light in the sky and the press in the earth (Mark Twain).

Boleh jadi semangat seorang novelis, penulis, dan pengajar berkebangsaan Amerika Serikat yang hidup seabad lampau seperti itulah yang menginspirasi John Wood untuk mendirikan 3600 perpustakaan di Asia. Untuk itu ia rela menanggalkan bajunya sebagai eksekutif muda Microsoft dan memilih jalan baru hidupnya sebagai pegiat budaya literasi. Ia mendirikan perpustakaan pertamanya di bekas kerajaan Hindu satu-satunya di dunia, Nepal.
Dan seterusnya.......

Hot spot di Taman Oval Ladang, Tarakan

Saturday, March 15, 2008

>Nyepi dan Pemanasan Global




Nyepi tahun ini nggak bisa aku rayakan lengkap seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku rayakan Nyepi tanpa Melasti dan Tawur Agung.Statusku sebagai pekerja di wilayah tambang membuatku sangat terbatas dalam hal transportasi. Padahal pantai untuk upacara Melasti lokasinya dekat dari kantorku. Tapi apa boleh buat, tidak ada mobil yang bisa aku pakai. Lagipula Melasti di Sangatta digelar pada hari dan jam kerja, sehari sebelum Nyepi tahun Saka 1930.

Aku memilih melakukan Brata Penyepian di Pura Bontang. Untuk itu aku harus menempuh satu perjalanan pakai kendaraan umum. Ongkosnya Rp 25.000,00. Lalu disambung naik angkot. Ongkosnya Rp 3.000,00. Ketika menginjak halaman pura gerimis menyambutku. Upacara pengrupukan baru saja usai.

Aku merasa nyaman Nyepi di sana.Umat di Bontang menyambutku dengan ramah. Lokasi pura yang terpencil dan dikelilingi beberapa rumah umat menambah suasana. Hanya belasan orang yang merayakan Nyepi di pura. Kuisi brata penyepianku dengan membaca novel “Gajah Mada Hamukti Palapa” dan sebuah buku terbitan Media Hindu. Upawasa sukses aku laksanakan 24 jam. Tapi aku merasa Nyepi kalli ini aq nggak bisa nyepi dalam arti sesungguhnya. Karena pikiranku sibuk menimang, menghitung, dan memikirkan arah hidupku.

Di tempat lain, di kampung halamanku di Bali, tak ada kendaraan dan manusia yang lalu lalang di tempat umum. Semuanya harus berada di dalam rumah. Baik yang Hindu maupun non-Hindu. Tapi aku nggak yakin umat Hindu di sana melakukan Brata Penyepian, terutama upawasa!

Kabarnya selama satu hari satu malam tanpa aktifitas telah terjadi penurunan emisi cukup drastis di Bali Dalam konferensi perubahan iklim global lalu Nyepi diusulkan untuk diperingati masyarakat dunia. Aku lalu membuka kembali majalah Gatra edisi khusus “Pemanasan Global”. Entahlah bagaimana kelanjutan usul ini aku belum tahu. Sudah sepatutnyalah kita melakukan upaya untuk mengurangi pemanasan global agar bencana mengerikan yang mengancam kehidupan dapat dihindari. Meski, secara konsep Geologi, bumi dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan iklim. Antara glasiasi dan interglasiasi. Zaman es (Pleistosen) berakhir 11.000 tahun yang lalu. Sekarang kita berada dalam masa interglasiasi. Entah apa bumi bisa mengalami glasiasi lagi di masa mendatang?

Nyepi tahun ini meninggalkan kenangan yang mahal buatku. Mataku terkena iritasi berat! Bola mataku berwarna merah dan banyak kotoran yang keluar dari sudut mataku. Mungkin ini akibat kebanyakan tidur, ya? Atau karena aku memaksa membaca di tempat gelap? Sakit mata itu membuatku tak masuk kerja satu hari. Setelah mengikuti resep dokter, mataku harus diberi obat tetes setiap enam jam dan minum antibiotik sehari tiga kali, lima hari kemudian mataku kembali normal.


Hot Spot di Taman Oval Ladang,
Tarakan

Sunday, February 24, 2008

>5R dan SMK3





Baru-baru ini orang-orang di kantorku sedang giat-giatnya menerapkan 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin). 5R mengadopsi 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke) dari bangsa Jepang yang telah sukses menjadi raksasa ekonomi, sain dan teknologi. Semua orang terlibat dan saling bekerjasama untuk mewujudkan 5R. Misalnya, membersihkan area kantor dari sampah, memangkas tanaman agar rapi, dan membenahi tempat sampah yang rusak. Di ruang kerjaku yang sempit, berukuran 3x3 m dan ditempati empat orang, aku dapat giliran piket tiap Selasa dan Jumat. Hal ini berimbas pula pada kamar kosku. Sekarang jadi lebih rapih dan rajin kubersihkan. Tapi sayang tak ada cewek yang menyambangi kamarku. JOmblo dech…… Tapi imbas itu hanya sesaat terjadi di kamarku. Lama-kelamaan kembali ke asal. Dasar gw memang nggak bisa rapi.....

Pada 19-21 Februari lalu kantorku mengadakan pelatihan internal SMK3. Ini bukan nama sekolah kejuruan lho. Bersama 19 karyawan Sucofindo lainnya aku mengikuti pelatihan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Trainernya dari kantor pusat. Dua hari kami diberi wawasan teori dan studi kasus. Pada hari ketiga kami praktik menjadi auditor SMK3. Bersama timku yang berjumlah tiga orang, kami melakukan audit di ruang marine surveyor. Tugas kami memeriksa apakah SMK3 sudah diterapkan atau belum. Untungnya kami dibekali checklist yang sangat membantu kami sebagai pemula. Layaknya petugas investigasi, selain melihat kelengkapan dokumen dan observasi lapangan kami juga mewawancarai personal di ruangan itu. Kayak polisi mengusut perkara aja. Sungguh pengalaman yang menarik.

Pelatihan itu diawali dengan pretest dan diakhiri dengan posttest. Pertanyaannya sama persis, tapi hasilnya berbeda. Nilai pretestku 35 sedangkan nilai postesku 90. Setelah dirata-rata dengan nilai tugas maka nilaiku menjadi 68,75. Hasil yang tak mengecewakan melihat nilai tertinggi adalah 72.