Anand Krishna Centre
Berjuang di Antara Keberagaman
Sore itu, 6 Agustus 2005, Anand Krishna Centre Yogyakarta (AKCY) mengadakan open house. Acara itu digelar di sebuah ruangan, yang masih dalam kompleks gedung University Centre UGM, Yogyakarta. Di dalamnya, sekumpulan anak muda berkumpul. Mereka duduk santai di lantai beralaskan karpet. Ruangan berukuran 5 x 10 m itu tampak penuh oleh sekitar 60 orang. Di salah satu sudutnya beberapa orang bermusik dan bernyanyi dengan riang.
Ayo kawan janganlah lupa
Bhinneka Tunggal Ika semboyan kita
Tanam selalu Tan Hana Dharma Mangrwa
Cerminkan dalam tingkah lagu kita
Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha
Bermacam keyakinan hidup bersama
Saling menghargai antara umatnya
Itulah semangan jiwa Indonesia
Itulah dua baris lagu “Gita Puja Indonesia” yang dinyanyikan oleh The Torchbearers, sebuah perkumpulan bentukan AKC yang mengampanyekan kerukunan beragama lewat musik. Para peserta tampak antusias menyimak. Selain The Torchbearers, AKC juga membuat Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), dan National Integration Movement (NIM).
Usai menyanyikan lagu itu, para peserta diajak menyelami alam bawah sadar melalui meditasi. Sebelum meditasi dimulai, salah seorang instruktur mengatakan bahwa meditasi bukan pengganti ritual ibadah agama. “Jadi, rileks aja. Anda bisa duduk bersila atau berselonjor. Buat senyaman mungkin,” serunya mengingatkan. Sejurus kemudian lampu ruangan dipadamkan.
Lalu meditasi dimulai. Para peserta diajak melakukan nafas “kelinci”. Nafas yang tidak teratur sembari memejamkan mata. Semakin lama, iramanya semakin cepat. Lalu, pada saat klimaks, para peserta diminta untuk berteriak meluapkan segala emosi. Tak ayal, seketika ruangan itu dipenuhi oleh gema teriakan. Tak sedikit pula kemudian ada yang menangis. Itulah yang mereka sebut sebagai katarsis. Bagi yang tidak biasa dengan meditasi gaya ini tentu akan merasa sedikit risih. Perasaan inilah yang dialami oleh Egytha. “Biasanya meditasi kan duduk diam. Tapi ini kok teriak-teriak,” papar anggota KMHD UGM ini.
Para peserta yang hadir berasal dari berbagai latar agama yang berbeda. Pun demikian dengan para anggota AKCY. Menyoal pluralisme, Ketua AKC Yogyakarta Agung Winantu Raharja mengatakan bahwa secara teori ia telah mendapatkannya ketika menuntut ilmu di Universitas Paramadina, Jakarta. Namun, secara praktik belum. “Di AKC inilah saya mendapatkannya,” terang Agung yang Muslim ini.
Bagi Agung, semangat pluralisme harus terus dikampanyekan. Pasalnya, nyata-nyata bangsa Indonesia, memang, sangat plural sehingga keberadaannya tidak perlu ditutup-tutupi. Menanggapi soal pengharaman pluralisme oleh sebuah lembaga agama tertentu, ia sangat menyesalkan pernyataan tersebut. Ia menganggap lembaga tersebut seperti, “toko yang takut kehilangan pembeli,” katanya berdiplomatis. Banyak orang, katanya, memandang suatu persoalan hanya dari kulitnya saja. “Gunung itu kalau dilihat dari jauh berwarna biru,” terangnya berdiplomatis, “tapi kalau kita masuk ke dalamnya ternyata tidak demikian.”
Untuk itulah setiap orang harus memiliki pandangan hidup yang holistik. Hal inilah yang diupayakan dalam AKC. Dalam AKC ada tiga faktor yang harus diseimbangkan: fisik, mental, dan emosional. Dalam keadaan seimbang manusia dapat menemukan jati dirinya. Tanpa keseimbangan ketiganya, manusia akan mengalami kesulitan mengembangkan sipitualitasnya. Manusia yang cerdas sipitualnya tidak lagi terjebak dalam fanatisme sempit atas nama agama dan keyakinannya.
Namun, agaknya, kecerdasan spiritual yang diimpikan AKY masih terhalang ”tembok besar”. Apalagi, baru-baru ini, ada seruan pelarangan doa bersama. Akibatnya, AKCY harus lebih berhati-hati dalam menjalankan kegiatannya, termasuk doa bersama yang selama ini sering dilakukan.
Menurut pengakuan Komang Suryadyasa yang aktif di AKCY sejak Agustus 2002 sejatinya acara open house akan ditutup dengan doa bersama tetapi tidak jadi dilakukan. “Gara-gara itu (seruan pengharaman doa bersama-red) tadinya kami akan mengadakan doa bersama tapi kemudian urung dilakukan. Takut digrudug,” ungkapnya. Sejak Komang aktif di AKCY pemahaman spiritualitas dirasakannya semakin baik. Lajang humoris ini bahkan semakin bahagia ketika ia juga aktif di “Klub Tertawa”, yang juga masih dalam kendali AKC. Setiap dua minggu sekali ia dan kawan-kawannya berkumpul untuk tertawa ria menghilangkan stres.
Cita-cita AKC untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia memang patut diacungi jempol. “Indonesia, sebagai sebuah negara yang besar, memiliki mozaik sosial, budaya, agama, dan sejarah yang kompleks. Keberagaman ini bisa menjadi rahmat dan anugerah apabila manusia Indonesia mampu mengapresiasi perbedaan. Jika tidak, keberadaan Indonesia sebagai sebuah entitas bangsa akan mengalami ancaman konflik sosial dan disintergrasi. Untuk keluar dari krisis multidimensi yang sedang dialami, Indonesia membutuhkan pemimpin yang bijaksana yang mampu melampaui perbedaan,” tulis Agung dalam sebuah majalah antariman. Nah, kapankan pemimpin yang diimpikan itu terwujud?
Berjuang di Antara Keberagaman
Sore itu, 6 Agustus 2005, Anand Krishna Centre Yogyakarta (AKCY) mengadakan open house. Acara itu digelar di sebuah ruangan, yang masih dalam kompleks gedung University Centre UGM, Yogyakarta. Di dalamnya, sekumpulan anak muda berkumpul. Mereka duduk santai di lantai beralaskan karpet. Ruangan berukuran 5 x 10 m itu tampak penuh oleh sekitar 60 orang. Di salah satu sudutnya beberapa orang bermusik dan bernyanyi dengan riang.
Ayo kawan janganlah lupa
Bhinneka Tunggal Ika semboyan kita
Tanam selalu Tan Hana Dharma Mangrwa
Cerminkan dalam tingkah lagu kita
Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha
Bermacam keyakinan hidup bersama
Saling menghargai antara umatnya
Itulah semangan jiwa Indonesia
Itulah dua baris lagu “Gita Puja Indonesia” yang dinyanyikan oleh The Torchbearers, sebuah perkumpulan bentukan AKC yang mengampanyekan kerukunan beragama lewat musik. Para peserta tampak antusias menyimak. Selain The Torchbearers, AKC juga membuat Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), dan National Integration Movement (NIM).
Usai menyanyikan lagu itu, para peserta diajak menyelami alam bawah sadar melalui meditasi. Sebelum meditasi dimulai, salah seorang instruktur mengatakan bahwa meditasi bukan pengganti ritual ibadah agama. “Jadi, rileks aja. Anda bisa duduk bersila atau berselonjor. Buat senyaman mungkin,” serunya mengingatkan. Sejurus kemudian lampu ruangan dipadamkan.
Lalu meditasi dimulai. Para peserta diajak melakukan nafas “kelinci”. Nafas yang tidak teratur sembari memejamkan mata. Semakin lama, iramanya semakin cepat. Lalu, pada saat klimaks, para peserta diminta untuk berteriak meluapkan segala emosi. Tak ayal, seketika ruangan itu dipenuhi oleh gema teriakan. Tak sedikit pula kemudian ada yang menangis. Itulah yang mereka sebut sebagai katarsis. Bagi yang tidak biasa dengan meditasi gaya ini tentu akan merasa sedikit risih. Perasaan inilah yang dialami oleh Egytha. “Biasanya meditasi kan duduk diam. Tapi ini kok teriak-teriak,” papar anggota KMHD UGM ini.
Para peserta yang hadir berasal dari berbagai latar agama yang berbeda. Pun demikian dengan para anggota AKCY. Menyoal pluralisme, Ketua AKC Yogyakarta Agung Winantu Raharja mengatakan bahwa secara teori ia telah mendapatkannya ketika menuntut ilmu di Universitas Paramadina, Jakarta. Namun, secara praktik belum. “Di AKC inilah saya mendapatkannya,” terang Agung yang Muslim ini.
Bagi Agung, semangat pluralisme harus terus dikampanyekan. Pasalnya, nyata-nyata bangsa Indonesia, memang, sangat plural sehingga keberadaannya tidak perlu ditutup-tutupi. Menanggapi soal pengharaman pluralisme oleh sebuah lembaga agama tertentu, ia sangat menyesalkan pernyataan tersebut. Ia menganggap lembaga tersebut seperti, “toko yang takut kehilangan pembeli,” katanya berdiplomatis. Banyak orang, katanya, memandang suatu persoalan hanya dari kulitnya saja. “Gunung itu kalau dilihat dari jauh berwarna biru,” terangnya berdiplomatis, “tapi kalau kita masuk ke dalamnya ternyata tidak demikian.”
Untuk itulah setiap orang harus memiliki pandangan hidup yang holistik. Hal inilah yang diupayakan dalam AKC. Dalam AKC ada tiga faktor yang harus diseimbangkan: fisik, mental, dan emosional. Dalam keadaan seimbang manusia dapat menemukan jati dirinya. Tanpa keseimbangan ketiganya, manusia akan mengalami kesulitan mengembangkan sipitualitasnya. Manusia yang cerdas sipitualnya tidak lagi terjebak dalam fanatisme sempit atas nama agama dan keyakinannya.
Namun, agaknya, kecerdasan spiritual yang diimpikan AKY masih terhalang ”tembok besar”. Apalagi, baru-baru ini, ada seruan pelarangan doa bersama. Akibatnya, AKCY harus lebih berhati-hati dalam menjalankan kegiatannya, termasuk doa bersama yang selama ini sering dilakukan.
Menurut pengakuan Komang Suryadyasa yang aktif di AKCY sejak Agustus 2002 sejatinya acara open house akan ditutup dengan doa bersama tetapi tidak jadi dilakukan. “Gara-gara itu (seruan pengharaman doa bersama-red) tadinya kami akan mengadakan doa bersama tapi kemudian urung dilakukan. Takut digrudug,” ungkapnya. Sejak Komang aktif di AKCY pemahaman spiritualitas dirasakannya semakin baik. Lajang humoris ini bahkan semakin bahagia ketika ia juga aktif di “Klub Tertawa”, yang juga masih dalam kendali AKC. Setiap dua minggu sekali ia dan kawan-kawannya berkumpul untuk tertawa ria menghilangkan stres.
Cita-cita AKC untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia memang patut diacungi jempol. “Indonesia, sebagai sebuah negara yang besar, memiliki mozaik sosial, budaya, agama, dan sejarah yang kompleks. Keberagaman ini bisa menjadi rahmat dan anugerah apabila manusia Indonesia mampu mengapresiasi perbedaan. Jika tidak, keberadaan Indonesia sebagai sebuah entitas bangsa akan mengalami ancaman konflik sosial dan disintergrasi. Untuk keluar dari krisis multidimensi yang sedang dialami, Indonesia membutuhkan pemimpin yang bijaksana yang mampu melampaui perbedaan,” tulis Agung dalam sebuah majalah antariman. Nah, kapankan pemimpin yang diimpikan itu terwujud?
No comments:
Post a Comment