Monday, June 11, 2007

>menyapa Tuhan

tulisan ini kurang lengkap. lbh jelas silahkan lihat Media Hindu Edisi 12 Nopember-Desember 2004

Menyapa Tuhan Lewat Nada


Malam baru saja mendekap bumi. Seperti biasa, kawasan bunderan UGM tak pernah lepas dari aktivitas para pengguna jasanya. Mulai dari para pedagang, pengendara sepeda motor, mobil, bus kota hingga mahasiswa yang berdemo. Tempat yang historis, saksi bisu segala gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Tak jauh dari situ, 300 m ke arah utara, tampak puluhan orang berkumpul. Mereka duduk melingkar. Beralaskan rumput, beratapkan lagit. Beberapa diantaranya sibuk memainkan alat musik. Iramanya seperti musik dangdut. Sayup-sayup terdengar, “Om tat sat shri nara yana tu purusottamo guru tu…………….”. Lantas, yang lain mengikutinya dengan bertepuk tangan. Suasananya sungguh damai, bersahabat. Ah, sungguh eksotik!
Lagu tersebut bukan berasal dari para pengamen jalanan. Bukan pula dari panggung dangdutan di seberang jalan lain. Lagu tersebut dibawakan oleh Narayan Smrti Ashram (NSA) dan Yogya Gandhi Vidyapith Ashram (YGVA). Mereka hadir untuk memenuhi undangan Forum Indonesia Akur (FIA) dalam rangka malam perdamaian, 10 September 2004. Telah beberapa kali mereka diundang di berbagai acara mewakili Hindu dalam dialog antariman. Berdialog lewat lagu?
Selama ini, di Yogyakarta, sering diadakan dialog antariman/antaragama (lihat MH edisi 10, “Semaraknya Dialog Antariman, Menanti Peran Wakil Hindu”. Berdialog tak harus berdiskusi. Namun, kerapkali kebekuan hubungan antariman akan mencair tatkala tembang-tembang spiritual, dari khazanah kekayaan tradisi masing-masing agama, hadir. Hadir di telinga orang yang berlainan agama, yang asing bahkan belum pernah mendengar lagu itu. Tapi, kata orang, musik adalah bahasa universal.
Dalam tradisi agama-agama Ibrahim (Yahudi-Kristen-Islam), suara memiliki peran penting dalam menyiarkan pesan-pesan Tuhan. Maka, dari sanalah muncul berbagai lagu puji-pujian mengagungkan keesaan-Nya. Bahkan umat Kristen memasukkan lagu sebagai bagian dari ritualnya di gereja. Di kalangan Muslim, lagu-lagu nasyid sangat popular semenjak kelompok nasyid dari negeri jiran, Raihan, sering mengkumandangkannya. Dari anak-anak hingga orang tua, dari orang tak punya sampai konglomeratpun telah familiar dengan lagu spiritual itu. Mereka menjadikannya sebagai bagian dari ibadah. Maka, tak heran bila mereka (umat Kristen dan Islam) telah memiliki berbagai lagu dan penyanyi. Sehingga, ketika ada dialog antaragama, tinggal menyuguhkan saja kelompok nasyid itu. Dalam kesempatan dialog antaragama itu, tentu sungguh lucu bila tari-tarian Bali disuguhkan. Lebih parah lagi bila lagu Bali, yang biasanya (maaf) mengandung kata-kata yang tidak senonoh, dipertontonkan. Lucu pula bila mekidung dikumandangkan di hadapan “orang lain”. Bali bukan Hindu. Hindu pun tak hanya di Bali. Nah, bagaimana ini?
Dalam tradisi Hindu, lagu spiritual dikenal dengan istilah bhajan atau kirtan. Suryanto, dari Narayan Smrti Ashram, mengatakan bahwa ada sedikit perbedaan antara bhajan dan kirtan. “Kirtan biasanya dilakukan di kuil, sambil berdiri dan mengiringi upacara arati,” jelas Surya, sapaan akrabnya, “sedangkan bhajan bisa dilakukan di mana saja, biasanya sambil duduk.” Sebenarnya, bhajan atau kirtan merupakan modifikasi dari japa. Pada hakekatnya, japa merupakan pujian kepada Hyang Widhi dengan getaran pita suara. “Berjapa tak perlu keras-keras. Minimal telinga kita sendiri mampu mendengarnya,” jelas Surya. Japa memang umumnya dilakukan sendiri-sendiri. Nah, kalau beramai-ramai berjapa, sehingga tiap-tiap orang mengucapkan mantra yang berbeda-beda, tentu kurang baik. Untuk itulah kirtan dan bhajan diciptakan. Kirtan atau bhajan sangat indah dilakukan karena selain mengkumandangkan puji-pujian kepada Hyang Widhi, juga diiringi dengan beberapa alat musik. NSA biasanya menggunakan mrdanga (baca mridangga), karatala (baca kartal) dan harmonium. “Mrdanga bentuknya seperti kendang. Inilah yang berbunyi seperti musik dangdut. Kartala itu seperti cengceng di Bali tetapi ukurannya lebih kecil. Kalau harmonium itu sejenis keyboard tetapi harus dipompa agar udara bisa masuk,” jelas pria yang baru saja menyandang master pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta ini.
Surya bersama rekan-rekannya di NSA pernah pula diundang untuk melakukan kirtan di hadapan Gus Dur, mantan presiden RI ke-4. Lain lagi pengalaman yang dipaparkan oleh I Gde Sukadana dan Wayan Suweta dari YGVA. Selama ini mereka sering diundang untuk mengisi di berbagai acara dialog antaragama. Pernah mereka melakukan aghnihotra di acara dialog antaragama. Seperti diketahui, ritual aghnihotra memerlukan waktu yang tidak sedikit. Paling tidak 30 menit. “Kasihan mereka harus menunggu lama untuk selesainya aghnihotra,” kata Gde. Aghnihotra memang merupakan ritual keseharian di YGVA. Tapi untunglah. Gde dan Wayan sering mengikuti bhajan di Sai Study Grup (SSG) Yogyakarta. Dari sanalah mereka berdua mengenal kekayaan lagu spiritual. “Dari bhajanlah saya bisa main kendang dan tabla. Ya, meski ala kadarnya tapi cukuplah untuk mengiringi para bhakta melakukan bhajan,” aku Wayan.

No comments: