Monday, June 11, 2007

>selera nusantara


Suluh Edisi 15 Tahun III April-Mei 2004
Thnx to Hasan Bachtiar yg dah nyunting naskah ini. Gw belajar byk dr dia. Pengalamannya dah cukup byk. Maklum mantan pemimpin umum BPPM UGM Balairung, pers mahasiswa terbesar d Indonesia



Masakan Boleh Impor, Selera Tetap Nusantara


Persoalan identitas kebangsaan telah lama diperbincangkan, diperdebatkan, dan dipertanyakan oleh sebagian masyarakat negeri ini. Ironis, memang, sebuah negeri yang kaya dengan budaya dan bahasa, ternyata, sampai detik ini belum mampu merumuskan identitas budaya bangsanya. Coba amati bagaimana pelajaran membaca diajarkan kepada murid-murid sekolah dasar. Ketika sekelompok anak di pedalaman Papua, misalnya, belajar membaca “Ini Budi. Ini Ibu Budi. Ini Iwan, adik Budi. Ini Wati, kakak Budi”, tidakkah terasa asing di telinga mereka nama-nama tokoh itu?
Seribu tahun yang lalu, Empu Kuturan menjejakkan kakinya di Pulau Bali. Dijumpainya masyarakat yang ramah, santun, serta religius. Religiusitas masyarakat Bali saat itu termanifestasikan dengan adanya sembilan sekte, masing-masing memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaan itu, seringkali, membuat sebagian umat masing-masing sekte menjadi bimbang. Masing-masing sekte mengklaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar. Tak pelak, perselisihan pun tak terelakkan.
Maka, sebagai orang yang paham agama, Empu Kuturan mengumpulkan semua wakil dari sembilan sekte itu. Mereka duduk bersama, merumuskan bagaimana agar perbedaan-perbedaan tersebut tak lagi membuat perselisihan yang berkepanjangan. Akhirnya, setelah melewati proses yang demikian panjang, terbentuklah masyarakat Bali dengan religiusitas saat ini, yang tak ada bandingannya di dunia. Tak hanya itu, Empu Kuturan menerjemahkan mantra-mantra dari bahasa Sansekerta ke bahasa Bali.
Apa yang telah dilakukan Empu Kuturan adalah upaya untuk menafsirkan kembali ajaran agama dan menyesuaikannya dengan kondisi masyarakat di mana agama itu berkembang. Di dalam khazanah Hindu, yang demikian disebut sebagai desa, kala, patra. Artinya, Hindu—yang muasalnya dari India—harus mau melakukan kompromi terhadap budaya lokal jika mau terus eksis.
Sunardi (48), seorang lelaki Hindu-Jawa yang tinggal di Yogyakarta, kepada Suluh menyatakan bahwa di manapun Hindu berada selalu dibungkus oleh tradisi lokal, namun pada prinsipnya tetap sama. Maka, tak heran jika Hindu di India tampak beda dengan Hindu di Bali. Demikian pula Hindu di Bali tampak beda dengan Hindu di Jawa, di Batak Karo, maupun di Dayak.
Pengalaman masa kecil begitu membekas dalam benak Sunardi, yang berprofesi sebagai guru itu. Ia terbiasa melihat orang-orang di sekitarnya melakukan ritual dengan menggunakan kemenyan dan bunga. Setelah beranjak dewasa, karena peraturan pemerintah tentang kewajiban memeluk salah satu agama dari lima agama, ia memilih masuk Hindu. Pertimbangannya, ritual yang selama ini telah dilakukannya ternyata sangat mirip dengan ritual Hindu.
Menyoal ritual yang selama ini membungkus tradisi masyarakat Jawa, Baldi (51) tak membantah. Penghayat kepercayaan Sapta Dharma ini menuturkan, tak ada kendala yang berarti selama ia menjalani ajaran-ajaran Sapta Dharma. Meski di Kartu Tanda Penduduk (KTP) ia menyatakan diri Islam, namun dalam kesehariannya ia lebih sering sujud-ritual/ibadah dalam tradisi Sapta Dharma—daripada menunaikan salat. Mengapa ia lebih sreg sujud? Dengan jujur ia berujar, “Sujud membuat saya jadi tenang seperti semedi.”
Di dalam setiap tradisi agama, terdapat nyanyian atau kidung-kidungan yang mengagungkan kebesaran Sang Pencipta. Sejarah telah mencatat, Sunan Kalijaga telah berjasa besar dalam menyiarkan Islam melalui metode dakwah yang kultural, selaras dengan tradisi Jawa. Salah satunya adalah dengan menciptakan gending-gending Jawa yang sarat dengan ajaran-ajaran Islam. “Tembang-tembang Jawa memiliki makna yang mendalam tentang kehidupan,” papar Margono (48), seorang penghayat Sapta Dharma lainnya.
Di samping itu, identitas agama, seringkali, diungkapkan melalui simbol-simbol tertentu. Jilbab, umpamanya, menjadi ciri khas wanita muslimah. Salib merupakan lambang Nasrani. Kippa sering dikenakan di atas kepala laki-laki Yahudi. Sorban dikenakan oleh laki-laki Sikh. Ataupun kaligrafi Omkara sebagai identitas Hindu.
Persoalan identitas ini kerap menjadi runyam jika orang tak hati-hati menyikapinya. “Jilbab, misalnya, adalah perintah Allah yang tak bisa ditawar-tawar lagi oleh manusia. Manusia harus tunduk kepada perintah Allah, tak perlu disangsikan lagi kebenaran-Nya,” demikianlah simpulan yang diungkapkan Uswatun Hassanah (23). “Akal manusia itu kan terbatas, jadi apapun persoalan yang ada harus dikembalikan kepada Allah melalui al-Quran dan Hadis,” papar mahasiswi asal Lombok itu.
Pribumisasi agama telah melahirkan begitu banyak varian aliran di dalam agama-agama itu. Bahkan, praktik itu sampai-sampai hampir saja “melahirkan” agama baru. Islam Wetu Telu di Lombok, misalnya, merupakan akulturasi yang luar biasa antara Islam dengan budaya setempat. Selain itu, upaya mempribumikan agama getol dilakukan oleh gereja-gereja. Gereja Kristen Jawa, contohnya, menggelar kebaktian dengan bahasa Jawa, dan umat pun tak segan mengenakan pakaian tradisional Jawa. Lain lagi di Bali, di daerah Dalung dekat Denpasar, terdapat sekelompok umat Katolik yang membangun gereja tak ubahnya seperti pura, lengkap dengan arsitekturnya—bahkan menyebut Yesus dengan Ida Sang Hyang Yesus. Tak cuma itu, pakaian yang biasa digunakan oleh umat Hindu-Bali ke Pura pun dikenakan oleh umat Katolik tadi, lengkap dengan Banten—kue dan buah yang tersusun rapi dan elok—dan alunan seperangkat gamelan Bali, tak ubahnya suasana di dalam Pura.
Menyoal pribumisasi agama, kita harus hati-hati menerapkannya. Masyarakat Indonesia pernah dibuat heboh dengan pernyataan Gus Dur tentang penggantian “Assalaamu’alaikum” dengan “Selamat pagi”. Pernyataan kontroversial itu, sepintas, terdengar cukup meresahkan sebagian umat. Gus Dur pernah berucap bahwa yang dipribumisasikan adalah manifestasi kehidupan Islam belaka, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. “Tidak perlu ada al-Quran-Sunda dan Hadis-Jawa. Islam tetap Islam di mana saja berada, namun tidak berarti semua disamakan bentuk luarnya,” demikian jelas Gus Dur.
Negara, selama ini, telah melakukan praktik diskriminasi terhadap “agama-agama lokal”. Justru negara melegitimasi “agama-agama impor” untuk tumbuh dan berkembang. Maka, mau tak mau, agama lokal terpinggirkan di negeri sendiri. Kalau toh masih ada, tinggal orang-orang tua saja yang bertahan, sedangkan yang muda lebih menyenangi “agama impor”.
Seiring dengan efek globalisasi yang mengakumulasikan kapital dan kepentingan global, maka agama impor yang telah membudaya di kalangan masyarakat kita menjadi terusik. Kekecewaan maupun ketidakpuasan sebagian kelompok agama terhadap tatanan masyarakat yang telah ada membuat mereka memeriksa ulang ajaran agama yang selama ini telah diterima dan dihayati. Maka, muncullah kelompok-kelompok puritan yang menginginkan agar ajaran agama dikembalikan lagi ke asalnya yang “asli”, atau “dimurnikan”.
Sebagian orang mengganggap apa yang ada di negeri Arab adalah Islam, untuk itu segala yang ada di sana harus pula dilaksanakan di Indonesia. Padahal, di negeri Arab, banyak pula kaum Nasrani yang hidup berdampingan dengan saudaranya yang Muslim. Kaum Nasrani-Arab ini pun mengucapkan “Assalaamu’alaikum” tatkala menyapa orang di dalam Gereja. Kemudian, timbul pertanyaan: bagaimanakah Islam yang murni itu? Uswatun Hassanah mengatakan bahwa Islam yang murni adalah Islam yang bersumber pada al-Quran dan Hadis. Islam mengajarkan banyak hal, termasuk cara berpakaian yang Islami.
Tak hanya di Islam, di kalangan umat Hindu pun banyak tuntutan agar mengembalikan ajaran agama Hindu sesuai aslinya. Itulah gerakan “Back to Weda”, ringkasnya. Banyak kalangan menilai, ajaran Hindu yang selama ini tumbuh dan berkembang di Bali telah banyak menyimpang dari sumber aslinya, yaitu Weda. Maka, muncullah beberapa orang yang getol mempelajari Weda ke India. Kemudian, setelah kembali ke tanah air, mereka membentuk komunitas dengan gaya seperti apa yang didapatnya ketika menuntut ilmu di India. Akibatnya, muncul anggapan adanya indianisasi.
Keberadaan berbagai kelompok agama yang bervariatif saat ini menjadi bukti bahwa proses penyebaran “agama-agama impor” di Nusantara telah mengalami proses filterisasi, adaptasi, dan koeksistensi dengan budaya lokal. Pendeknya, suatu sintesis-kreatif antara agama dengan budaya. Lantas, tinggal bagaimana kita menjaga dan mengelola warisan budaya religus nenek-moyang.
Pergulatan manusia masih panjang. Mungkinkah anak-cucu nanti akan bisa menikmati selera beragama manusia masa kini? Agaknya, entah puluhan atau bahkan ratusan tahun ke depan, akan makin banyak dijumpai produk-produk pribumisasi lainnya, yang makin selaras dengan kebutuhan zaman. Siapa tahu, kelak, ibadah berjamaah tak harus hadir bersamaan secara fisik, cukup menyalakan video di rumah maka kita akan menikmati ibadah berjamaah dengan berbagai orang di berbagai tempat.Alangkah indahnya menikmati “sajian impor” dengan “selera Nusantara”, tanpa perlu merasa “asing” di negeri sendiri. Membaca kisah-kisah Yesus tak harus menjadi Kristen. Mengagumi Nabi Muhammad tak harus menjadi Muslim. Kagum terhadap Mahatma Gandhi tak harus jadi Hindu. Pun menikmati riwayat hidup Siddharta Gautama tak harus menjadi Buddha. Ibarat makan, tak harus jadi orang Jogja untuk bisa melahap Gudeg, bukan? Pun tak harus jadi orang Madura untuk bisa menikmati enaknya sate Madura. Yang terpenting adalah bagaimana kemampuan adaptasi diri kita untuk menikmati segala sajian yang ada, namun tetap kritis

No comments: