Siang itu sepulang kuliah, Omez bergegas pulang ke kos buat istirahat setelah seharian berkumul dengan diktat kuliah dan tugas. Tak sempat ia beristirahat, tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara temen-temennya yang mengajaknya untuk menjenguk Andi, rekan kos sebelahnya, yang kena musibah ditabrak truk. Setelah tiba di rumah sakit, Omez mendapati rekannya telah terkapar tak berdaya di ranjang. Selain dirinya dan teman-teman kos, Omez mendapati orang-orang tak dikenal yang sedang berdoa demi kesembuhan Andi. Dengan welas asih orang-orang tersebut melayani Andi dan menungguinya.
Usut punya usut, ternyata Andi dirawat di sebuah rumah sakit yang berlabelkan agama x. Rumah sakit itu memberikan pelayanan doa kepada siapa saja yang dirawat di rumah sakit tersebut. Di samping itu yayasan yang mengelola rumah sakit itu, juga bergerak di bidang lembaga pendidikan dan bidang-bidang pelayanan yang lain.
Dalam hati Omez timbul pertanyaan “Kenapa di agamaku kok tidak ada rumah sakit yang berlabelkan agamaku atau juga tidak ada lembaga pendidikan yang berlabelkan agamaku.”
Selang beberapa minggu kemudian, Andi pulang ke kos dan ramailah kamarnya saat itu oleh kunjugan teman-temannya. Andi mengawali pembicaraan “Bersyukur sekali aku dirawat di rumah sakit itu” dan si Riki menanggapi ”Bersyukur gimana?”
:Iya dong, udah nggak bayar trus dirawat lagi dengan doa dan kasih sayang” jawab Andi. Kemudian Bambang menyambung “Kalau aku sama kejadiannya dengan kau dirawat di rumah sakit, label agama aja yang beda”
Sahut si Riki “ Nah kalau kau gimana Mez “ Omez tak tahu harus berkata apa, kenyataannya sampai saat ini, ia belum memiliki suatu yayasan yang berlabelkan agamanya bergerak di bidang pelayanan. Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk, apakah orang-orang Hindu itu miskin-miskin kenyataannya tidak, atau apakah kurang adanya sumber daya manusia Omez rasa juga tidak. Di lain pihak Omez mendapati adanya orang Hindu yang menyelenggarakan pesta maupun upacara ngaben dengan menelan biaya ratusan juta bahkan milyaran mungkin, belum lagi besarnya biaya yang digunakan untuk upacara sehari-hari. Apakah memang orang Hindu di Indonesia bobinya “hura-hura”. Alangkah baiknya apabila uang yang ada digunakan untuk mengurus manusia-manusia yang masih hidup ketimbang “mengurus manusia yang sudah tidak hidup”. Si Omez berpikir, apakah Hindu akan bisa menjawab tantangan jaman jika tidak disertai dengan sistem pelayanan mengingat dari masa ke masa kehidupan manusia semakin kompleks,. manusia cenderung menginginkan sesuatu yang simple dan praktis.
Hindu yang menerapkan konsep Tri Hita Karana dimana menyeimbangkan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan mahkluk di bawahnya terasa janggal sekali ketika kita melihat suatu fenomena bahwa banyak diantara anak-anak terlantar ( yatim piatu ) diasuh oleh lembaga-lembaga yang notabene tidak berlabelkan Hindu.
Mungkin impian-impan Omez belum dapat direalisasikan saat ini namun setidaknya adanya Omez-Omez yang lain menjadi bekal bagi kita untuk membangun Hindu di masa datang. Mari kita tunggu impian Omez ini !!!
Usut punya usut, ternyata Andi dirawat di sebuah rumah sakit yang berlabelkan agama x. Rumah sakit itu memberikan pelayanan doa kepada siapa saja yang dirawat di rumah sakit tersebut. Di samping itu yayasan yang mengelola rumah sakit itu, juga bergerak di bidang lembaga pendidikan dan bidang-bidang pelayanan yang lain.
Dalam hati Omez timbul pertanyaan “Kenapa di agamaku kok tidak ada rumah sakit yang berlabelkan agamaku atau juga tidak ada lembaga pendidikan yang berlabelkan agamaku.”
Selang beberapa minggu kemudian, Andi pulang ke kos dan ramailah kamarnya saat itu oleh kunjugan teman-temannya. Andi mengawali pembicaraan “Bersyukur sekali aku dirawat di rumah sakit itu” dan si Riki menanggapi ”Bersyukur gimana?”
:Iya dong, udah nggak bayar trus dirawat lagi dengan doa dan kasih sayang” jawab Andi. Kemudian Bambang menyambung “Kalau aku sama kejadiannya dengan kau dirawat di rumah sakit, label agama aja yang beda”
Sahut si Riki “ Nah kalau kau gimana Mez “ Omez tak tahu harus berkata apa, kenyataannya sampai saat ini, ia belum memiliki suatu yayasan yang berlabelkan agamanya bergerak di bidang pelayanan. Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk, apakah orang-orang Hindu itu miskin-miskin kenyataannya tidak, atau apakah kurang adanya sumber daya manusia Omez rasa juga tidak. Di lain pihak Omez mendapati adanya orang Hindu yang menyelenggarakan pesta maupun upacara ngaben dengan menelan biaya ratusan juta bahkan milyaran mungkin, belum lagi besarnya biaya yang digunakan untuk upacara sehari-hari. Apakah memang orang Hindu di Indonesia bobinya “hura-hura”. Alangkah baiknya apabila uang yang ada digunakan untuk mengurus manusia-manusia yang masih hidup ketimbang “mengurus manusia yang sudah tidak hidup”. Si Omez berpikir, apakah Hindu akan bisa menjawab tantangan jaman jika tidak disertai dengan sistem pelayanan mengingat dari masa ke masa kehidupan manusia semakin kompleks,. manusia cenderung menginginkan sesuatu yang simple dan praktis.
Hindu yang menerapkan konsep Tri Hita Karana dimana menyeimbangkan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan mahkluk di bawahnya terasa janggal sekali ketika kita melihat suatu fenomena bahwa banyak diantara anak-anak terlantar ( yatim piatu ) diasuh oleh lembaga-lembaga yang notabene tidak berlabelkan Hindu.
Mungkin impian-impan Omez belum dapat direalisasikan saat ini namun setidaknya adanya Omez-Omez yang lain menjadi bekal bagi kita untuk membangun Hindu di masa datang. Mari kita tunggu impian Omez ini !!!
No comments:
Post a Comment