Media Hindu ׀ Edisi 13 ׀ Januari-Pebruari 2005
Siraman Rohani Sang Pedanda Jenaka
Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) se-Yogyakarta mengadakan dharma tula dengan mengundang Ida Pedanda Made Gunung, Minggu malam, 5 Desember 2004. Gaya penuturan Ida Pedanda Made Gunung yang sederhana, lugas dan jenaka mampu “mencerahkan” sekitar 500-an umat Hindu, yang kebanyakan mahasiswa, yang memadati gedung Purna Budaya UGM.
Persoalan pendidikan selalu saja menarik dibicarakan. Apalagi pada masa menuntut ilmu, brahmacarya. Mahasiswa sebagai kelompok yang sedang giat-giatnya menuntut ilmu, kerapkali menghadapi berbagai persoalan. Persoalan itu muncul dari kurang mampunya si mahasiswa untutk mengelola dan mengolah diri. Dalam kesehariannya, mahasiswa tidak melulu berkutat dengan ilmu yang ditimbanya. Mahasiswa juga berusaha mencari ruang-ruang eksistensi untuk mengisi sebagian relung hatinya yang masih kosong dengan hal-hal lain. Nah, dalam keadaan demikian muncul persoalan ketika si mahasiswa tidak menemukan tambatan iman yang pas dalam Hindu dan akhirnya malah menemukannya dalam agama lain. Dan iapun akhirnya “berganti baju”. “Apakah orang yang berpindah agama berarti ia tidak dapat mengendalikan diri?” Tanya Indah, pemimpin redaksi pers mahsiswa Hindu Suara Anandam. Mendapat pertanyaan demikian, Ida Pedanda dengan tegas mengatakan bahwa orang demikian memang tidak dapat mengendalikan diri. Berpindah agama tidak akan menyelesaikan persoalan, kecuali pada pernikahan beda agama. Seharusnya setiap orang bisa mengolah diri sehingga memunculkan kekuatan dari dalam untuk mengisi kekurangmantapan jiwanya. “Beragama itu tidak hanya berteori. Tidak cukup hanya dengan membaca banyak buku.Yang jauh lebih penting adalah melaksanakan ajaran agama dengan baik,” tegas Ida Pedanda.
Ajaran Weda sangat universal. Weda tidak ditujukan kepada umat Hindu saja. “Weda selalu menyebut wahai umat manusia.Bukan wahai umat Hindu,” terangnya. Beliau berpesan bahwa umat Hindu harus percaya diri. Tidak usah latah mengikuti kebiasaan penganut agama lain. Saat mendoakan orang yang meninggal dunia, misalnya. “Kita harus mendoakan agar atman orang yang meninggal bersatu dengan Hyang Widhi. Bukan berada di sisiNya,” pesannya. “Kalau kemudian Tuhan balik bertanya mau di sisi sebelah mana. Yang kanan sudah penuh, yang kiri juga!” lontar Ida Pedanda yang disambut tawa hadirin.
Mengenali diri sendiri merupakan hal penting yang tidak boleh dilupakan. Dengan selalu mengenal diri manusia akan teringat dengan penciptanya. “Sering manusia itu melupakan hal-hal sepele yang sudah menjadi kebiasaan. Coba, apakah kalian pernah ingat bernafas?” tanyanya yang membuat ruangan bergema oleh tawa. Hal sederhana, seperti kebiasaan, turut berperan dalam menyukseskan hidup seseorang. Kebiasaan yang baik akan membuahkan hal yang baik pula, demikian juga sebaliknya. “Kebiasaan adalah kekuatan paling hebat. Jangan lupakan itu!” pesan Ida Pedanda.
Dalam menapaki masa brahmacarya, problem kehidupan kerapkali menghampiri. Di situ diperlukan pengendalian diri. Hindu sangat menganjurkan umatnya melakukan demikian. Gapura pura, misalnya, memiliki filosofi bahwa umat Hindu harus berdisiplin diri dengan membudayakan antre. Gapura sengaja dibuat agak sempit, tidak terlalu lebar, agar umat tertib. “Mau bertemu pejabat saja harus antre. Apalagi mau bertemu Hayng Widhi. Mana yang lebih tinggi?” umpan Ida Pedanda. Ia mengatakan bahwa tidak perlu gapura diperlebar karena nanti akan merusak filosofi yang adi luhung itu.
Seorang mahasiswi bernama Agung menanyakan bagaimana caranya mempelajari Weda. Karena, menurutnya, mempelajari Weda tidak boleh sembarangan. Di lain pihak ia ingin sekali belajar Weda. Ia mengalami kegalauan mulai dari mana belajar Weda. Menjawab pertanyaan ini Ida Pedanda balik bertanya, “Weda yang mana dulu? Ada banyak Weda” ujarnya. “Jangan dikira Weda itu hanya sebentuk buku yang tebal,” tegas Ida Pedanda. Menurutnya, mekidung adalah awal dari mempelajari Weda. Tak hanya itu, metanding itu juga mengamalkan ajaran Weda. “Yang harus berhati-hati adalah mempelajari mantra-mantra” katanya mengingatkan. Mempelajari mantra, jelasnya, tidak boleh sembarangan karena mempelajarinya tidak hanya cukup dengan menghafal dan melafalkan mantra dengan bagus. Jauh lebih dari itu adalah kesiapan mental atau spiritual. “Masa brahmacarya itu tidak terbatas usia. Proses belajar itu berlangsung sepanjang hayat,” pesan Ida Pedanda.
Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) se-Yogyakarta mengadakan dharma tula dengan mengundang Ida Pedanda Made Gunung, Minggu malam, 5 Desember 2004. Gaya penuturan Ida Pedanda Made Gunung yang sederhana, lugas dan jenaka mampu “mencerahkan” sekitar 500-an umat Hindu, yang kebanyakan mahasiswa, yang memadati gedung Purna Budaya UGM.
Persoalan pendidikan selalu saja menarik dibicarakan. Apalagi pada masa menuntut ilmu, brahmacarya. Mahasiswa sebagai kelompok yang sedang giat-giatnya menuntut ilmu, kerapkali menghadapi berbagai persoalan. Persoalan itu muncul dari kurang mampunya si mahasiswa untutk mengelola dan mengolah diri. Dalam kesehariannya, mahasiswa tidak melulu berkutat dengan ilmu yang ditimbanya. Mahasiswa juga berusaha mencari ruang-ruang eksistensi untuk mengisi sebagian relung hatinya yang masih kosong dengan hal-hal lain. Nah, dalam keadaan demikian muncul persoalan ketika si mahasiswa tidak menemukan tambatan iman yang pas dalam Hindu dan akhirnya malah menemukannya dalam agama lain. Dan iapun akhirnya “berganti baju”. “Apakah orang yang berpindah agama berarti ia tidak dapat mengendalikan diri?” Tanya Indah, pemimpin redaksi pers mahsiswa Hindu Suara Anandam. Mendapat pertanyaan demikian, Ida Pedanda dengan tegas mengatakan bahwa orang demikian memang tidak dapat mengendalikan diri. Berpindah agama tidak akan menyelesaikan persoalan, kecuali pada pernikahan beda agama. Seharusnya setiap orang bisa mengolah diri sehingga memunculkan kekuatan dari dalam untuk mengisi kekurangmantapan jiwanya. “Beragama itu tidak hanya berteori. Tidak cukup hanya dengan membaca banyak buku.Yang jauh lebih penting adalah melaksanakan ajaran agama dengan baik,” tegas Ida Pedanda.
Ajaran Weda sangat universal. Weda tidak ditujukan kepada umat Hindu saja. “Weda selalu menyebut wahai umat manusia.Bukan wahai umat Hindu,” terangnya. Beliau berpesan bahwa umat Hindu harus percaya diri. Tidak usah latah mengikuti kebiasaan penganut agama lain. Saat mendoakan orang yang meninggal dunia, misalnya. “Kita harus mendoakan agar atman orang yang meninggal bersatu dengan Hyang Widhi. Bukan berada di sisiNya,” pesannya. “Kalau kemudian Tuhan balik bertanya mau di sisi sebelah mana. Yang kanan sudah penuh, yang kiri juga!” lontar Ida Pedanda yang disambut tawa hadirin.
Mengenali diri sendiri merupakan hal penting yang tidak boleh dilupakan. Dengan selalu mengenal diri manusia akan teringat dengan penciptanya. “Sering manusia itu melupakan hal-hal sepele yang sudah menjadi kebiasaan. Coba, apakah kalian pernah ingat bernafas?” tanyanya yang membuat ruangan bergema oleh tawa. Hal sederhana, seperti kebiasaan, turut berperan dalam menyukseskan hidup seseorang. Kebiasaan yang baik akan membuahkan hal yang baik pula, demikian juga sebaliknya. “Kebiasaan adalah kekuatan paling hebat. Jangan lupakan itu!” pesan Ida Pedanda.
Dalam menapaki masa brahmacarya, problem kehidupan kerapkali menghampiri. Di situ diperlukan pengendalian diri. Hindu sangat menganjurkan umatnya melakukan demikian. Gapura pura, misalnya, memiliki filosofi bahwa umat Hindu harus berdisiplin diri dengan membudayakan antre. Gapura sengaja dibuat agak sempit, tidak terlalu lebar, agar umat tertib. “Mau bertemu pejabat saja harus antre. Apalagi mau bertemu Hayng Widhi. Mana yang lebih tinggi?” umpan Ida Pedanda. Ia mengatakan bahwa tidak perlu gapura diperlebar karena nanti akan merusak filosofi yang adi luhung itu.
Seorang mahasiswi bernama Agung menanyakan bagaimana caranya mempelajari Weda. Karena, menurutnya, mempelajari Weda tidak boleh sembarangan. Di lain pihak ia ingin sekali belajar Weda. Ia mengalami kegalauan mulai dari mana belajar Weda. Menjawab pertanyaan ini Ida Pedanda balik bertanya, “Weda yang mana dulu? Ada banyak Weda” ujarnya. “Jangan dikira Weda itu hanya sebentuk buku yang tebal,” tegas Ida Pedanda. Menurutnya, mekidung adalah awal dari mempelajari Weda. Tak hanya itu, metanding itu juga mengamalkan ajaran Weda. “Yang harus berhati-hati adalah mempelajari mantra-mantra” katanya mengingatkan. Mempelajari mantra, jelasnya, tidak boleh sembarangan karena mempelajarinya tidak hanya cukup dengan menghafal dan melafalkan mantra dengan bagus. Jauh lebih dari itu adalah kesiapan mental atau spiritual. “Masa brahmacarya itu tidak terbatas usia. Proses belajar itu berlangsung sepanjang hayat,” pesan Ida Pedanda.
No comments:
Post a Comment