Monday, June 11, 2007

>epilog

Tmn2 kul (TGL’00 UGM) punya proyek iseng nerbitin cerpen2 karya tmn2. saat ini edisi pertama yg diberi judul “KATASTROPHI” udah beredar d kalangna sendsiri, dlm format fotokopian.walah kyk bc stensilan nech………edisi ke-2 “KILOMETER NOL” jg sdang diproses. Sori pren gw cumin bs nulis epilog ini…….
Sisi Lain
Awalnya sekadar ide. Ide yang tersingkap dari sekedar ngumpul dan ngobrol di kos John “Simatupang”. Ide membuat sebuah antologi cerpen karya anak-anak Geologi. Ide itu lalu hendak diwujudkan. Semua mahasiswa Geologi dikabari perihal ini via milis. Ada teman yang menodong saya untuk urun naskah. “Mmmmm, sangat menarik!” pikir saya. Saya menyanggupinya. Namun, sayang, seiring dengan perjalanan waktu dan aktivitas saya, janji itu telah terbenam oleh ganasnya gelombang tsunami. Hingga suatu hari, di awal Agustus 2005, saya “diadili” oleh Gombrenk, Bosman, dan Cipoet di suatu sudut kantin kampus untuk mempertanggungjawabkan janji yang saya ikrarkan tempo hari. Ternyata, saya diampuni. Tapi dengan catatan. “Kamu bikin epilog aja ya, Gen!” ancam Gombrenk. Maka lahirlah catatan ini.
*****
Bagi jamak orang, kuliah di Geologi pasti lulusnya lama. Ditambah lagi kesan garang, keras, seram, ataupun brutal (barangkali) yang kerap dialamatkan. Kiranya tidak demikian. Karena, sedikit memplesetkan lagu grup Seuriues, “Mahasiswa juga manusia, punya rasa punya hati”. Aktivitas kampus yang cukup ketat, sejak semester awal hingga akhir, memaksa kami untuk harus menjaga vitalitas sebagai calon geolog handal. Tapi, jenuh juga melototi satu batu ke batu yang lain. Mineral satu ke mineral yang lain. Fosil satu ke fosil yang lain. Atau singkapan satu ke singkapan yang lain. Perlu ada variasi agar hidup lebih hidup. Maka lewat karya yang Anda nikmati inilah sisi-sisi kemanusiaan “Kaum Manusia Batu” (KMB) tersingkap cukup jelas-- meski agak samar-- lengkap dengan struktur, tekstur, dan komposisinya.
Karya ini, setidaknya, mampu sebagai katalisator untuk berdamai dengan diri sendiri. Ya, katalisator untuk menjadi manusia yang manusiawi. Coba simak ungkapan hati Soe Hok Gie dalam catatan hariannya ini, “Memikirkan kembali soal-soal kecil dalam hidup adalah sesuatu hal yang membuat kita menjadi manusia kembali. Karena saya yakin harus ada balance antara tantangan-tantangan intelektualisme dan kemesraan-kemesraan emosional”.
Perjumpaan KMB dengan rona kehidupan yang pusparagam, mampu dijadikan wahana reflektif untuk melukiskan sketsa perjalanan anak manusia dalam balutan kegembiraan, senang, persahabatan, kecewa, cinta, sedih, pahit, luka, duka, juga dosa. Sisi emosional akan muncul ketika kita berada dalam ketersendirian, kesepian atau bahkan keterasingan. Ini pula yang melanda KMB tatkala mengerjakan skripsi, baik yang kerja praktik ataupun yang ke lapangan, atau yang sedang menunggu kepastian tugas akhirnya dalam penantian yang panjang.
Coba simak sebuah jeritan hati tentang penantian tak berkesudahan yang diceritakan oleh Evaristus Bayu dalam “Wanita Sendu”. Di situ ia merasai, ternyata, menantikan sesuatu yang belum jelas, selain mendatangkan kegamangan, juga memberi sebuah makna hidup tertentu. Simak juga penuturan Triputra “Cipoet” Agung Pribadi yang memaknai kesendiriannya saat kerja praktik di Pertamina Cirebon dalam “Epilog”. Di situ ia mencurahkan segala yang mampu ia rasai, amati, dan maknai. Cipoet tak luput pula bertutur perihal perjuangan hidup kaum yang terpinggirkan dalam “Bersama Sinar Bulan di Ujung Malam”.
Kalau kedua rekan tersebut di atas bertutur perihal rasa kemanusiaan, lain lagi dengan Dwi Bimo Prakoso. Dalam “Sajak Bimo” ia bertutur soal kerinduan kepada belaian kasih ilahi. Kesan yang begitu mendalam disampaikan Bimo kepada kita bahwa dalam gelap dan sendiri, ketika waktu telah berhenti berdetak, ketika kita harus berpulang kepada-Nya, maka yang ada hanya diam dan pasrah.
Membaca karya Bosman Batubara saya menangkap adanya sebuah pergulatan idealisme. Idealisme seorang mahasiswa dalam menyiasati zaman yang berlari begitu cepat. Bosman yang saya kenal kerap menulis tema-tema berat, ternyata, bisa juga bercerita kepada kita perihal cinta anak manusia. Tentu saja, dengan bahasa yang ringan, enak di telinga dan hati. Kesan yang serupa juga saya tangkap dari Nugroho “Gombrenk” Imam Setiawan lewat “Mata Sendu”. Di situ ia bertutur tentang persahabatan yang dibalut dengan idealismenya sebagai seorang pecinta alam. Namun, Gombrenk juga bisa bertutur soal cinta dalam “Juang”.
Menyoal idealisme, saya jadi teringat kisah seorang mahasiswa yang bergulat dengan aktivitas akademik, organisasi, juga cinta dalam “Cintaku di Kampus Biru” karya Ashadi Siregar. Di situ Ashadi berkisah panjang lebar tentang pernak-pernik kehidupan sang tokoh yang idealis. Kisah serupa juga didedahkan oleh Ana Nadhya Abrar lewat karyanya “Kabut di Kampus Biru”.
Kalau ditelisik secara mendalam, sejatinya, dunia mahasiswa memang menawarkan mozaik perjuangan kehidupan yang penuh warna: heroisme, idealisme, romantisme bahkan terkadang sadisme. Dan itu tidak bisa kita peroleh hanya dengan mengandalkan aktivitas rutin di kampus, yang sering menjemukan. Tentu, sejatinya, kita harus menyadari bahwa representasi diri kita di kampus bukanlah wujud nyata dari kepribadian dan karakter kita sesungguhnya. Seringkali representasi kita di kampus hanyalah sebuah kamuflase atau serpihan kehidupan dari eksistensi diri kita seluruhnya. Nah, untunglah perjumpaan sekilas di kampus tadi mampu dipindahtempatkan ke kamar kos. Alhasil, karya ini tercipta untuk semesta.
Seperti judul novel karya Ashadi Siregar di atas, kecintaan KMB terhadap kampus, calon almamater, diwujudkan lewat media ini. Media yang jauh dari bau laporan praktikum, field trip, KKL, referat, ataupun skripsi. Sepertinya mudah membuat karya seperti ini. Tapi, nyatanya, tidak semudah copy-paste laporan lho! Inilah pengejawantahan cinta kepada kampus.
Menurut Erich Frohmm, pakar psikologi-analisis, cinta itu merupakan sikap aktif yang menuntut seseorang untuk mau memberi, bukan malah meminta. Memberi berarti berbagi kebahagiaan. Rekan-rekan kita ini berbagi cinta dengan mendedikasikan sebagian waktu, pikiran, dan tenaga. Sebuah cinta untuk umat manusia. Seperti yang diimpikan oleh Yohanes “Lambe” Riyanto dalam “Catatan untuk Wulan”. Namun, cinta Lambe kepada Wulan bertepuk sebelah tangan. Ada aksi tanpa reaksi. Atau, celakanya, belum bereaksi sudah dijauhi. Gitu, Mbe?
Patut bersyukur kita dapat lepas sejenak dari “pakem” mahasiswa Geologi lewat karya ini. Saya bangga punya teman-teman yang mampu mengeksplorasi diri dan tidak terjebak dalam lingkaran sesat paradigma masyarakat tentang pendidikan. Kuliah membuat pikiran kita kian tajam. Menulis membuat hati kita bahagia. Ya, seperti Anton Cekov yang seorang dokter juga sastrawan. Pun seperti. Rm. Mangunwijaya yang arsitek, teolog, budayawan, juga sastrawan.
Saya berharap semoga saja penyaluran menuangkan tulisan rekan-rekan KMB tak cuma berhenti pada laporan KL, referat maupun skripsi. Pun berlanjut hingga akhir hayat. Kata Pramoedya Ananta Toer, “Manusia boleh pandai setinggi langit, tetapi, selama ia tidak menulis, ia akan musnah dari peradaban dan dari manusia”. Siapa tahu, kelak, kita bisa menikmati karya-karya mereka dalam media massa nasional.
Kalasan, medio Agustus 2005.

No comments: