Monday, June 11, 2007

>jnana media


BERYADYA dengan JNANA LEWAT MEDIA[1]
O L E H : Igen Arya Wijaya2

Tak dinyana, tatkala beberapa zaman lampau, manusia purba, tiap generasinya, hanya mampu bergerak dalam radius delapan kilometer sepanjang hidupnya. Namun, kini, jangankan menempuh jarak sedemikian tadi, ribuan kilometerpun telah terlampaui.
Jarak kerapkali membuat manusia terasing dengan dunianya. Jarak pula yang membuat manusia terus-menerus melakukan kontemplasi diri, mencari identitas yang telah memisahkannya dari eksistensi. Kian lama, detik demi detik, alunan sang pendulum waktu membuat perubahan dunia makin melesat kencang, meninggalkan jejak-jejak kebudayaan. Percepatan yang luar biasa itu, menyebabkan pengerutan jarak, telah membuat kehidupan manusia seperti dunia yang dilipat3, hingga batas antara yang nyata dan maya menjadi absurd.
Bagaimana pengerutan jarak itu tercipta? Dahaga kehausan realitas hidup membuat manusia melakukan penjelajahan pemikiran. Tak puas merayakan hidup dengan sajian menu yang itu-itu saja. Kama menuntun manusia menuntut lebih, dan memproduksinya menggunakan jnana. Membuat yang mustahil menjadi mungkin. Membuat yang maya menjadi nyata. Membuat yang jauh terasa dekat. Itulah, media!

Media : mengkompresikan jarak, mencandui masyarakat
Media telah membantu, sekaligus menjerumuskan, keingintahuan manusia tentang realitas, yang selanjutnya kian menjadi-jadi bermetamorforsa menjadi hiperealitas4. Media menyajikan segala pernak-pernik kehidupan. Menyajikan sesuatu yang telah, sedang, atau bahkan yang akan terjadi kepada masyarakat. Kemudian, masyarakat mengunyahnya dengan selera yang berbeda-beda. Ada yang secara mentah-mentah menelannya. Ada yang mengunyah sembari menakar. Pun ada pula yang secara mentah-mentah memuntahkannya.
Berbagai selera masyarakat dalam mencerna media itu tak terlepas dari perjalanan panjang kebudayaannya. Secara runut, perjalanan kebudayaan manusia itu melalui fase budaya oral, budaya baca, budaya tulis dan budaya menonton. Masyarakat kita, Indonesia dan juga masyarakat di negara-negara dunia ketiga pada umumnya, menjalani fase-fase itu secara sepotong-sepotong. Begini ceritanya. Tatkala budaya oral menjadi keseharian, tiba-tiba datang budaya baca yang mampu mengundang keingintahuan. Namun, tatkala masyarakat kita tengah asyik-asyiknya mengeja bentangan kata-kata dan mencoba melafalkannya, sekonyong-konyong ketidaksabaran menghampiri. Ketidaksabaran untuk juga membentangkan kata-kata tadi. Jadilah kemudian budaya tulis yang prematur dijalani. Terhenyak lagi, ketika untaian kata-kata tadi belum indah dan kaya makna, tiba-tiba datang kemanjaan telinga dan mata. Kemanjaan menjumpai rentetan gambar hidup yang bergerak sangat cepat, maupun kemegahan tata suara yang menakjubkan. Ya, maka jadilah masyarakat yang tergagap-gagap. 5Pendek kata, media dalam masyarakat etnik tradisional di negara berkembang adalah “media lisan”, “media telinga dan media mata” serta ”media pertunjukkan”.

Mahasiswa, bagian dari masyarakat yang tergagap-gagap
Masyarakat kerap memberikan stempel manusia terdidik kepada segelintir mahkluk yang disebut mahasiswa. Banyak pilihan menjadi mahasiswa dalam memandang realitas. Ingin menjadi mahasiswa “kaya” atau “miskin”6. “Miskin” atau “kaya” di sini bukan bermakna sebenarnya. Kedua istilah tersebut digunakan untuk membedakan jenis mahasiswa yang bersifat organik atau mekanik. Mahasiswa “miskin” cenderung memaknai kuliah sebagai proses pengkayaan diri sendiri, tanpa mau terlibat dalam urusan yang tak berkaitan dengan prestasi akademik, hidup tak terlepas dari segitiga emas, kampus-kos-warung makan. Mahasiswa “kaya” cenderung tidak puas dengan proses pembelajaran di kampus dan mencoba mencari ruang-ruang kontemplasi diri, menjadi manusia dewasa secara intelektual dan emosional.7
Mahasiswa sudah sewajarnya menyetubuhi intelektualitas. Tinggal pilih, jadi intelektual organik (“kaya”) atau mekanik (“miskin”)? Intelektual organik memfungsikan dirinya sebagai bagian dari stakeholder di masyarakat. Patut disimak ungkapan seorang aktivis mahasiswa tahun ’60-an, Soe Hok Gie, 8“Tugas intelektual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong elemen-elemen dalam lapisan masyarakat untuk bergerak dan berontak terhadap situasinya.”
Cerita tentang intelektual organik ini diilustrasikan secara heroik, dramatis, romantis dan sedikit picisan oleh Ashadi Siregar dalam novelnya “Cintaku di Kampus Biru” 9. Anton Rorampande, sang tokoh utama, digambarkan sebagai sosok mahasiswa “kaya”, idealis, aktivis organisasi, cerdas, dan sedikit playboy. Menjadi mahasiswa “kaya” sah-sah saja, tak ada yang melarang karena semuanya berpulang jua pada yang empunya. Asal jangan keblabasan seperti yang dituturkan 10Muhidin M. Dahlan dalam bukunya “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta”.
Intelektual organik maupun mekanik membutuhkan perangsang untuk mengejewantahkan kadar intelektualitasnya. Selera belajar memang harus terus ditumbuhkan, dipupuk, terus dipelihara dan disemai agar intelektualitas makin terasah. Lagi-lagi menyitir Soe Hok Gie, “Aku lebih cenderung berkata bahwa stimulus dan selera adalah faktor yang sangat berpengaruh pada pemikiran-pemikiran seseorang. Belajar tanpa selera tidak akan berhasil. Tanpa fighting spirit maka kita bukan apa-apa. Hanya dengan inilah kita dapat belajar dengan bersemangat”.11
Belajar, belajar, dan belajar memang perlu. Perlu untuk menyingkap rahasia yang belum terungkap. Terungkap tanpa guna untuk apa. Nah, di sinilah cinta mengambil peran. Cinta bertalian erat dengan sikap aktif memberi. Cinta itu bukan sikap pasif menerima12. Bagaimana mau memberi jika sang pemberi itu “miskin”? Di sinilah kadar intelektualitas mahasiswa dipertaruhkan. Wujud pemberian yang berbeda antara yang organik (“kaya”) dengan yang mekanik (“miskin”).

Suara Anandam : mewujudkan cinta, mempertemukan media, mahasiswa dan religi
Masa keemasan pers mahasiswa (persma) berakhir seiring dengan tumbangnya orde baru. Dulu, ketika orde baru masih berkuasa, persma berani menyajikan berita-berita yang tak disajikan oleh media umum13. Alhasil, beritanya menjadi eksklusif dan sangat dinanti-nantikan oleh para pembacanya. Kini, sejak tumbangnya orde baru dan kebebasan pers diakui, persma seolah kehilangan taringnya. Selama ini persma digunakan sebagai wadah exercise intelectual yang menambah referensi dan wawasan. Persma telah kehabisan energi mengejar dunia yang menjauhkannya dari realitas kehidupan kampusnya. Tak pelak, persma harus putar otak agar tetap eksis diantara kian menjamurnya media-media baru. 14Kembali ke komunitas! Agaknya pilihan yang tepat.
Perjalanan persma Hindu di Indonesia boleh dikata baru seumur jagung. Suara Anandam (SA), sebagai bagian dari persma Hindu, sejak diterbitkannya pertama kali tahun 1996 terus tertatih-tatih merumuskan identitasnya15. Pasang-surut mewarnai perjalanannya sebagai satu-satunya persma Hindu di Yogyakarta. Terlalu kompleks untuk mendedahkan persoalan satu per satu. Bersiasat! Mungkin ini bisa menjawab kegamangan. Ya, mengatur strategi untuk menjadi media alternatif bagi pembacanya16. Berstrategi agar mampu merangkak, berdiri, kemudian berlari, kalau bisa, mengisi ruang kosong kebudayaan baca-tulis. Ya, berat memang berada di suatu masyarakat, dan juga mahasiswa, Hindu yang tergagap-gagap dalam kebudayaan. Tapi, sebagai intelektual, kendala demikian tak bolehlah menyurutkan nyali darah muda yang kehausan eksistensi dan jnana. Maka, patutlah kiranya membakar nyali mendengarkan jiwa-jiwa pemberontak dari Soe Hok Gie, Anton Rorampande, Muhidin M Dahlan, Ernesto “Che” Guevara, Soekarno, Syahrir, Tan Malaka atau pula Swami Vivekananda. Swami Vivekananda pernah berujar bahwa “Jangan jadikan kepalamu seperti lemari yang hanya mampu menerima. Ambil dan lakukan sesuatu dari kepalamu meski itu kecil” . Ya, orang boleh pandai setinggi langit, tetapi jika tidak menulis, ia akan musnah dari peradaban dan dari manusia. 17




Catatan akhir Si Boy

[1] Yadya (Sansekerta) artinya korban suci, Jnana (Sansekerta) artinya ilmu pengetahuan. Disampaikan pada rapat pemilihan pengurus baru Suara Anandam periode 2004-2005, Minggu, 31 Oktober 2004.
2 Pemimpin Umum Suara Anandam 2002-2003, aktif sejak tahun 2000, sebenarnya ingin terus berproses di SA hingga lulus kuliah, tetapi demi proses pendewasaan generasi yang lebih muda, maka terhitung sejak sepekan menjelang Nyepi 1926 mengundurkan diri dari segala rutinitas SA.
3 Dunia yang Dilipat, sebuah judul buku karya Yasraf Amir Pilliang.
4 Wacana-wacana postmoderisme sering menggunakan istilah realitas dan hiperialitas. Lebih jauh, lihat Umberto Eco dalam Tamasya dalam Hiperialitas, Jalasutra, Yogyakarta, 2004.
5 Lihat Umar Kayam dalam Lifestle Ecstacy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hal 80.
6Meminjam istilah Robert T. Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad, Poor Dad, Gramedia, Jakarta
7 Ilustrasi yang lebih lengkap lihat artikel “Intelektual Prematur” dalam Suara Anandam edisi Oktober-Maret 2004.
8 Lihat Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 11 Agustus 1969, LP3ES, Jakarta, 1983
9 Bandingkan dengan versi sinetronnya yang sangat “ngepop”. Di versi novelnya, imajinasi lebih terasa dan terasah.
10 Aktivis pers mahasiswa, karena terlalu larut dengan dunia tulis-menulis hingga melarikan diri dari kuliahnya di UNY dan IAIN Kalijaga
11 Lihat Soe Hok Gie, 8 Februari 1962, op. cit
12 Lihat Erich Fromm dalam The Art of Loving, Freshbook, Jakarta, hal. 37. Frohmm membedakan karakter manusia menjadi empat. Manusia produktif, memberi berarti kebahagiaan. Manusia nonproduktif, memberi berarti pemiskinan. Manusia pasar, memberi dengan meminta imbalan. Manusia reseptif/ eksploitatif cenderung ogah memberi (suka menimbun kekayaan).
13 Seperti yang dituturkan Pemimpin Umum Balairung 2004-2005 Lukman Solihin di Kompas edisi Jateng-DIY, Senin, 18 Oktober 2004, hal. H
14 Headline Bulaksumur Pos, edisi Selasa, 8 Mei 2004. Menurut Drs. Amir Effendi Siregar, M.A., dosen Ilmu Komunikasi UGM, media komunitas dapat diartikan sebagai sebuah media yang ditujukan untuk komunitas tertentu.
15 Lihat “Mahasiswa Hindu dan Media” dalam Suara Anandam, op. cit.
16 Lihat Arya Wijaya “Menggagas Media Alternatif yang Mencerdaskan” dalam majalah Media Hindu edisi 10, Juli-Agustus 2004.
17 Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu tetraloginya, Hasta Mitra, Jakarta.


No comments: