Media Hindu ׀ Edisi 10 ׀ Juli-Agustus 2004
Semaraknya Dialog Antaragama, Menanti Peran Wakil Hindu
“Orang Hindu itu kalau meninggal kan dibakar. Apa itu tidak penyiksaan? Trus soal reinkarnasi itu gimana?” tanya Metti dalam suatu diskusi yang digelar oleh Unit Kerohanian Katholik Universitas Sanata Darma (USD) Yogyakarta. Sore itu, 13 Mei 2004, Wayan Suweta (27) memaparkan tentang makna kehidupan dan reinkarnasi dalam sebuah acara bertajuk Fellowship Dialog Iman dan Budaya.
Acara tersebut satu diantara berbagai kegiatan serupa yang sering diadakan di kota Gudeg, Yogyakarta Maraknya kegiatan seperti itu menyiratkan adanya dahaga pemahaman agama yang melanda masyarakat Yogyakarta. Tak puas hanya memahami ajaran agamanya sendiri, banyak orang mencoba meningkatkan pemahaman imannya melalui diskusi dengan umat agama lain. Sebuah usaha petualangan intelektual-spiritual, menembus batas kata sebuah iklan.
Maraknya diskusi-diskusi antaragama menuntut tersedianya wakil Hindu yang bernyali unjuk gigi di hadapan masyarakat non-Hindu. Tak mudah, memang. Sudah menjadi mahfum kalau umat Hindu kurang mendapat pendidikan dan fasilitas agama yang “layak”. Akibatnya, pemahaman tentang agama belum komprehensif dan sistematis, singkatnya masih ala kadarnya. Deretan gelar akamedis tak menjadi jaminan tingkat pemahaman agama yang dianut seseorang. Dari sedikit wakil Hindu tersebut, ternyata masih saja ada orang yang merelakan sebagian hidupnya untuk beryadnya mengisi ruang-ruang diskusi antaragama.
Wayan Suweta, misalnya. Ia memaparkan bahwa pengalamannya bergaul dengan banyak orang, dengan berbagai latar belakang agama, yang menyebabkan ia aktif dalam berbagai kegiatan antaragama. Tak hanya sebagai peserta, seringkali ia menjadi narasumber di berbagai diskusi antaragama. Kemampuannya berdialog antaragama makin terasah semenjak ia aktif dalam sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang dialog antariman (Interfidei). Akhirnya, kini ia terbiasa mendapat order mengisi berbagai undangan diskusi. Tak hanya cukup di situ. Ia pun seringkali berperan sebagai fasilitator di berbagai pelatihan di beberapa daerah di nusantara. Mahasiswa S-2 Urban Design Universitas Gadjah Mada ini mengaku mendapat pengalaman yang sangat berharga yang tak ia dapat di bangku kuliah. “Ya, sekedar mencari pengalaman buat cerita ke anak cucu kelak” selorohnya ringan. Bahkan berkat hobinya yang berkutat dengan dialog antaragama itu, ia sempat mencicipi menjadi delegasi Hindu dalam sebuah konferensi pada 1999 lalu di Yordania.
Menyoal relasi antaragama di negeri ini memang unik. Bagaimana tidak? Ternyata negara turut campur dalam masalah yang satu ini melalui perangkat dan kebijakan-kebijakannya. Masyarakat ditabukan untuk mempelajari agama lain, meski hanya sekedar ingin tahu. Apalagi dengan maraknya berbagai kerusuhan berlabel agama maka makin kloplah untuk menarik batas yang tegas dalam relasi perbincangan antaragama. Ya, wajarlah bila dalam keadaan tersebut informasi seputar agama, diluar agama yang dianutnya, menjadi kian bias. Maka ketika ada ajang dialog antaragama, tak disia-siakannya kesempatan itu untuk mengetahui lebih dalam tentang agama orang lain.
Dari perbincangan seputar agama tersebut tak mengherankan bila muncul pertanyaan-pertanyaan liar, yang mungkin basi bagi umat Hindu tapi jika tak dijawab dengan baik akan makin menambah kesan tak baik terhadap Hindu. Dari soal kasta yang terkesan anti demokrasi dan perubahan, kedudukan wanita dalam Hindu, surga dan neraka, tentang kiamat, reinkarnasi, hukum karma hingga soal Tuhan Hindu yang banyak jumlahnya. Pertanyan-pertanyaan seperti itulah yang kerapkali dialami oleh Suryanto (28) dalam mengisi kuliah umum agama Hindu untuk mahasiswa baru USD, Oktober 2003 lalu. Peserta kuliah umum tersebut berasal dari berbagai agama. Antusiasme mahasiswa cukup menonjol. Hal ini tak saja tercermin dari berbagai pertanyaan yang tergolong “aneh-aneh” melainkan banyak pula yang sangat tertarik untuk mempelajari Bhagawadgita. Bahkan, diantaranya ada yang membeli Bhagawadgita dan meminta untuk diajari cara melantunkannya.
Usai diskusi di ruang kuliahpun hubungan dialog antaragama masih terjalin. Seringkali Surya, demikian ia disapa, mengundang para “mantan” mahasiswanya untuk berkunjung ke tempat tinggalnya. Bahkan mereka seringkali mengunjungi Surya. Tak sekedar datang berkunjung, mereka diajak pula untuk menyaksikan bagaimana ia dan rekan-rekannya di Narayan Smrti Ashram mengkidungkan kirtan dan Bhagawadgita. “Banyak sekali pertanyaan tentang Hindu, saya sampai bingung menjawabnya” ungkap lelaki asli Jawa itu suatu ketika, “Tapi saya senang, bisa berbagi pengalaman dan ilmu dengan mereka,” tambahnya lagi. Di sela-sela kesibukannya menyelesaikan tesisnya di Universitas Negeri Yogyakarta, Surya aktif pula menghadiri berbagai acara dialog antaragama dan menulis untuk buletin komunitasnya yang dibagikan cuma-cuma tiap purnama.
Entahlah, apa yang menyebabkan umat Hindu ogah aktif dalam berbagai kegiatan antaragama, setidaknya menjadi peserta. Padahal tiap tahun tak kurang dari 500 mahasiswa baru Hindu hadir di Yogyakarta. Demikian keluhan dari beberapa wakil Hindu yang pernah menjadi narasumber. Wayan Teja Artana (53), misalnya. Pada 14 April 2004, ia berkesempatan untuk mengisi sebuah pelatihan Center Education for Religious Leader yang diselenggarakan oleh sebuah LSM di Yogyakarta. Ia memaparkan tentang peran pemuka agama dalam kehidupan sosial masyarakat. Dari sekitar 30-an peserta tak ada satupun dari Hindu. Padahal pelatihan ini dilakukan sebanyak empat kali tiap tahun. “Sayang kalau tak dimanfaatkan oleh generasi muda Hindu” ujarnya lirih. Hal senada juga dikeluhkan oleh AAGN Ari Dwipayana (32). Dosen dan juga peneliti ini kerapkali diundang dalam berbagai diskusi antaragama. Ia kerapkali menampik undangan sebagai pembicara dalam diskusi antaragama. Bukannya sombong ataupun jual mahal, melainkan ia memberi kesempatan kepada yang lain. Minimnya wakil Hindu yang berani tampil dalam diskusi diakui oleh beberapa penyelenggara dialog antaragama. Umumnya mereka mengungkapkan bahwa mereka tak tahu harus kemana untuk menghubungi pembicara apabila akan menyelenggarakan acara. Sehingga, lagi-lagi, orang-orang itu saja yang menjadi langganan tetap sebagai pembicara. Bukan soal itu saja. Pertimbangan kapasitas dan semangat berpikir terbuka juga menjadi perhatian pihak penyelenggara.”Masak harus mencari pembicara ke Jakarta atau Bali, emangnya di Jogja nggak ada to?” keluh seorang staf penyelenggara dialog antaragama. Mengenai ini Wayan Teja, yang juga seorang pemangku, tak mampu berkomentar banyak. Ia melihat komunikasi di kalangan sesepuh maupun tokoh Hindu harus diperbaiki.
Berbicang tentang antaragama tak harus terjadi dalam forum-forum resmi, yang menuntut keseriusan dan intelektualitas yang tinggi. Seringkali dalam forum-forum informal, di kost-kostan misalnya, justru terbangun suasana yang nyaman untuk berdiskusi. Suasana seperti itulah yang membuat kaum muda betah ngobrol berjam-jam, sesekali diselingi canda tawa. Idha Saraswati (21) mengaku bahwa ia sering melakukan diskusi tentang antaragama bersama teman-temannya di pers kampus. Kebetulan dara asli Karanganyar ini satu-satunya penganut Hindu di Pers Mahasiswa UGM Balairung. Di sana ia mengaku bebas mengeluarkan uneg-unegnya baik tentang agamanya sendiri maupun agama lain.
Perbincangan antaragama di tingkat mahasiswa masih belum terwadahi dalam sebuah forum. Melihat itulah maka beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosisal dan Politik UGM berinisiatif membentuk wadah bernama Forum Indonesia Akur (FIA). Ketut Noprianto (20) satu-satunya anggota yang beragama Hindu, meski demikian ia tak merasa minder, justru kehadirannya itulah makin mewarnai dialog antaragama ala kaum muda. Menanggapi minimnya mahasiswa Hindu yang turut andil dalam perbincangan antaragama tak ditampik oleh Budi Setiawan (22). Ia mengatakan bahwa organisasi mahasiswa Hindu (KMHD-red) selama ini hanya sibuk ngurusin diri sendiri “Itupun nggak beres-beres” ungkapnya singkat. Budi mengisahkan berkat aktif di Peace Generation (PG) Pusat Studi Perdamaian dan Keamanan UGM ia mendapat kesempatan mengikuti workshop perdamaian pemuda se-Asia di Kamboja selama sepekan pada Maret 2003 lalu. Bagaimana ia bisa terlibat dalam PG? Secara kebetulan ia mewakili KMHD UGM dan satu-satunya peserta Hindu dalam sebuah kemah pemuda di tahun 2002. Setelah acara tersebut usai, dibentuklah PG.
Perbincangan dialog antaragama tak hanya sampai pada tataran diskursus (wacana). Lebih dari itu, hasil-hasil diskusi kemudian dibukukan. Hal ini diakui oleh Wayan Suweta dan AAGN Ari Dwipayana. Beberapa hasil diskusinya telah diterbitkan oleh Interfidei dan telah tersebar luas di pasaran. Hal yang tak jauh berbeda juga diakui oleh Wayan Teja Artana. Ia, yang tergabung dalam Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta ini, menuliskan pemahamannya tentang antaragama dalam majalah yang diterbitkan FPUB, Suluh.
Peran aktif umat Hindu sebenarnya sangat dinantikan oleh berbagai pihak. Nah, kalau sudah gayung bersambut begini tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kata sebuah iklan, jadi tua itu pasti jadi dewasa itu pilihan.
Semaraknya Dialog Antaragama, Menanti Peran Wakil Hindu
“Orang Hindu itu kalau meninggal kan dibakar. Apa itu tidak penyiksaan? Trus soal reinkarnasi itu gimana?” tanya Metti dalam suatu diskusi yang digelar oleh Unit Kerohanian Katholik Universitas Sanata Darma (USD) Yogyakarta. Sore itu, 13 Mei 2004, Wayan Suweta (27) memaparkan tentang makna kehidupan dan reinkarnasi dalam sebuah acara bertajuk Fellowship Dialog Iman dan Budaya.
Acara tersebut satu diantara berbagai kegiatan serupa yang sering diadakan di kota Gudeg, Yogyakarta Maraknya kegiatan seperti itu menyiratkan adanya dahaga pemahaman agama yang melanda masyarakat Yogyakarta. Tak puas hanya memahami ajaran agamanya sendiri, banyak orang mencoba meningkatkan pemahaman imannya melalui diskusi dengan umat agama lain. Sebuah usaha petualangan intelektual-spiritual, menembus batas kata sebuah iklan.
Maraknya diskusi-diskusi antaragama menuntut tersedianya wakil Hindu yang bernyali unjuk gigi di hadapan masyarakat non-Hindu. Tak mudah, memang. Sudah menjadi mahfum kalau umat Hindu kurang mendapat pendidikan dan fasilitas agama yang “layak”. Akibatnya, pemahaman tentang agama belum komprehensif dan sistematis, singkatnya masih ala kadarnya. Deretan gelar akamedis tak menjadi jaminan tingkat pemahaman agama yang dianut seseorang. Dari sedikit wakil Hindu tersebut, ternyata masih saja ada orang yang merelakan sebagian hidupnya untuk beryadnya mengisi ruang-ruang diskusi antaragama.
Wayan Suweta, misalnya. Ia memaparkan bahwa pengalamannya bergaul dengan banyak orang, dengan berbagai latar belakang agama, yang menyebabkan ia aktif dalam berbagai kegiatan antaragama. Tak hanya sebagai peserta, seringkali ia menjadi narasumber di berbagai diskusi antaragama. Kemampuannya berdialog antaragama makin terasah semenjak ia aktif dalam sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang dialog antariman (Interfidei). Akhirnya, kini ia terbiasa mendapat order mengisi berbagai undangan diskusi. Tak hanya cukup di situ. Ia pun seringkali berperan sebagai fasilitator di berbagai pelatihan di beberapa daerah di nusantara. Mahasiswa S-2 Urban Design Universitas Gadjah Mada ini mengaku mendapat pengalaman yang sangat berharga yang tak ia dapat di bangku kuliah. “Ya, sekedar mencari pengalaman buat cerita ke anak cucu kelak” selorohnya ringan. Bahkan berkat hobinya yang berkutat dengan dialog antaragama itu, ia sempat mencicipi menjadi delegasi Hindu dalam sebuah konferensi pada 1999 lalu di Yordania.
Menyoal relasi antaragama di negeri ini memang unik. Bagaimana tidak? Ternyata negara turut campur dalam masalah yang satu ini melalui perangkat dan kebijakan-kebijakannya. Masyarakat ditabukan untuk mempelajari agama lain, meski hanya sekedar ingin tahu. Apalagi dengan maraknya berbagai kerusuhan berlabel agama maka makin kloplah untuk menarik batas yang tegas dalam relasi perbincangan antaragama. Ya, wajarlah bila dalam keadaan tersebut informasi seputar agama, diluar agama yang dianutnya, menjadi kian bias. Maka ketika ada ajang dialog antaragama, tak disia-siakannya kesempatan itu untuk mengetahui lebih dalam tentang agama orang lain.
Dari perbincangan seputar agama tersebut tak mengherankan bila muncul pertanyaan-pertanyaan liar, yang mungkin basi bagi umat Hindu tapi jika tak dijawab dengan baik akan makin menambah kesan tak baik terhadap Hindu. Dari soal kasta yang terkesan anti demokrasi dan perubahan, kedudukan wanita dalam Hindu, surga dan neraka, tentang kiamat, reinkarnasi, hukum karma hingga soal Tuhan Hindu yang banyak jumlahnya. Pertanyan-pertanyaan seperti itulah yang kerapkali dialami oleh Suryanto (28) dalam mengisi kuliah umum agama Hindu untuk mahasiswa baru USD, Oktober 2003 lalu. Peserta kuliah umum tersebut berasal dari berbagai agama. Antusiasme mahasiswa cukup menonjol. Hal ini tak saja tercermin dari berbagai pertanyaan yang tergolong “aneh-aneh” melainkan banyak pula yang sangat tertarik untuk mempelajari Bhagawadgita. Bahkan, diantaranya ada yang membeli Bhagawadgita dan meminta untuk diajari cara melantunkannya.
Usai diskusi di ruang kuliahpun hubungan dialog antaragama masih terjalin. Seringkali Surya, demikian ia disapa, mengundang para “mantan” mahasiswanya untuk berkunjung ke tempat tinggalnya. Bahkan mereka seringkali mengunjungi Surya. Tak sekedar datang berkunjung, mereka diajak pula untuk menyaksikan bagaimana ia dan rekan-rekannya di Narayan Smrti Ashram mengkidungkan kirtan dan Bhagawadgita. “Banyak sekali pertanyaan tentang Hindu, saya sampai bingung menjawabnya” ungkap lelaki asli Jawa itu suatu ketika, “Tapi saya senang, bisa berbagi pengalaman dan ilmu dengan mereka,” tambahnya lagi. Di sela-sela kesibukannya menyelesaikan tesisnya di Universitas Negeri Yogyakarta, Surya aktif pula menghadiri berbagai acara dialog antaragama dan menulis untuk buletin komunitasnya yang dibagikan cuma-cuma tiap purnama.
Entahlah, apa yang menyebabkan umat Hindu ogah aktif dalam berbagai kegiatan antaragama, setidaknya menjadi peserta. Padahal tiap tahun tak kurang dari 500 mahasiswa baru Hindu hadir di Yogyakarta. Demikian keluhan dari beberapa wakil Hindu yang pernah menjadi narasumber. Wayan Teja Artana (53), misalnya. Pada 14 April 2004, ia berkesempatan untuk mengisi sebuah pelatihan Center Education for Religious Leader yang diselenggarakan oleh sebuah LSM di Yogyakarta. Ia memaparkan tentang peran pemuka agama dalam kehidupan sosial masyarakat. Dari sekitar 30-an peserta tak ada satupun dari Hindu. Padahal pelatihan ini dilakukan sebanyak empat kali tiap tahun. “Sayang kalau tak dimanfaatkan oleh generasi muda Hindu” ujarnya lirih. Hal senada juga dikeluhkan oleh AAGN Ari Dwipayana (32). Dosen dan juga peneliti ini kerapkali diundang dalam berbagai diskusi antaragama. Ia kerapkali menampik undangan sebagai pembicara dalam diskusi antaragama. Bukannya sombong ataupun jual mahal, melainkan ia memberi kesempatan kepada yang lain. Minimnya wakil Hindu yang berani tampil dalam diskusi diakui oleh beberapa penyelenggara dialog antaragama. Umumnya mereka mengungkapkan bahwa mereka tak tahu harus kemana untuk menghubungi pembicara apabila akan menyelenggarakan acara. Sehingga, lagi-lagi, orang-orang itu saja yang menjadi langganan tetap sebagai pembicara. Bukan soal itu saja. Pertimbangan kapasitas dan semangat berpikir terbuka juga menjadi perhatian pihak penyelenggara.”Masak harus mencari pembicara ke Jakarta atau Bali, emangnya di Jogja nggak ada to?” keluh seorang staf penyelenggara dialog antaragama. Mengenai ini Wayan Teja, yang juga seorang pemangku, tak mampu berkomentar banyak. Ia melihat komunikasi di kalangan sesepuh maupun tokoh Hindu harus diperbaiki.
Berbicang tentang antaragama tak harus terjadi dalam forum-forum resmi, yang menuntut keseriusan dan intelektualitas yang tinggi. Seringkali dalam forum-forum informal, di kost-kostan misalnya, justru terbangun suasana yang nyaman untuk berdiskusi. Suasana seperti itulah yang membuat kaum muda betah ngobrol berjam-jam, sesekali diselingi canda tawa. Idha Saraswati (21) mengaku bahwa ia sering melakukan diskusi tentang antaragama bersama teman-temannya di pers kampus. Kebetulan dara asli Karanganyar ini satu-satunya penganut Hindu di Pers Mahasiswa UGM Balairung. Di sana ia mengaku bebas mengeluarkan uneg-unegnya baik tentang agamanya sendiri maupun agama lain.
Perbincangan antaragama di tingkat mahasiswa masih belum terwadahi dalam sebuah forum. Melihat itulah maka beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Sosisal dan Politik UGM berinisiatif membentuk wadah bernama Forum Indonesia Akur (FIA). Ketut Noprianto (20) satu-satunya anggota yang beragama Hindu, meski demikian ia tak merasa minder, justru kehadirannya itulah makin mewarnai dialog antaragama ala kaum muda. Menanggapi minimnya mahasiswa Hindu yang turut andil dalam perbincangan antaragama tak ditampik oleh Budi Setiawan (22). Ia mengatakan bahwa organisasi mahasiswa Hindu (KMHD-red) selama ini hanya sibuk ngurusin diri sendiri “Itupun nggak beres-beres” ungkapnya singkat. Budi mengisahkan berkat aktif di Peace Generation (PG) Pusat Studi Perdamaian dan Keamanan UGM ia mendapat kesempatan mengikuti workshop perdamaian pemuda se-Asia di Kamboja selama sepekan pada Maret 2003 lalu. Bagaimana ia bisa terlibat dalam PG? Secara kebetulan ia mewakili KMHD UGM dan satu-satunya peserta Hindu dalam sebuah kemah pemuda di tahun 2002. Setelah acara tersebut usai, dibentuklah PG.
Perbincangan dialog antaragama tak hanya sampai pada tataran diskursus (wacana). Lebih dari itu, hasil-hasil diskusi kemudian dibukukan. Hal ini diakui oleh Wayan Suweta dan AAGN Ari Dwipayana. Beberapa hasil diskusinya telah diterbitkan oleh Interfidei dan telah tersebar luas di pasaran. Hal yang tak jauh berbeda juga diakui oleh Wayan Teja Artana. Ia, yang tergabung dalam Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta ini, menuliskan pemahamannya tentang antaragama dalam majalah yang diterbitkan FPUB, Suluh.
Peran aktif umat Hindu sebenarnya sangat dinantikan oleh berbagai pihak. Nah, kalau sudah gayung bersambut begini tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kata sebuah iklan, jadi tua itu pasti jadi dewasa itu pilihan.
No comments:
Post a Comment