dimuat d halaman 1 nasional. sehari setelah fatwa MUI 2005 dikeluarkan
Belajar Keragaman di Dusun Turgo
Oleh: Agnes Rita Sulistyawaty
Suhu udara Kamis (28/7) malam itu berkisar 21 derajat Celsius. Kondisi ini membuat sekitar 40 peserta Interfaith Youth Camp harus menahan dingin saat meditasi di alam terbuka.Udara sejuk di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, saat itu dirasakan oleh seluruh peserta lintas agama yang berusia antara 18-24 tahun. Mulai Rabu sampai Minggu pekan lalu—dalam rangkaian peringatan sewindu Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)—para peserta yang berbeda agama itu beraktivitas bersama di lereng selatan Gunung Merapi tersebut.
Pendeta Bambang Subagyo yang memimpin meditasi itu mengatakan, kegiatan meditasi bukanlah pemaksaan. Setiap peserta dibebaskan untuk meditasi dan berdoa sesuai dengan cara mereka masing-masing. ”Tiap agama punya kebiasaan untuk meditasi. Hanya, cara masing-masing agama bermeditasi itu yang berbeda. Tiap peserta dengan cara bermeditasi menurut agama atau aliran kepercayaan mereka itulah yang kami lakukan di sini,” ujar Bambang menjelaskan. Meditasi merupakan salah satu kegiatan untuk mendekatkan anak-anak muda pada keragaman cara berdoa dari masing-masing agama. Tidak hanya lewat meditasi saja anak-anak muda itu dikenalkan pada pluralisme kehidupan sesungguhnya. Persentuhan dengan teman atau warga Dusun Turgo yang beragama lain merupakan pengalaman langsung tentang pluralisme.
Hanya tiga jam pertama setelah sampai di Dusun Turgo, para peserta merasa canggung karena belum saling mengenal. Namun, menit berikutnya mereka sudah saling melemparkan lelucon, masuk dalam kelompok-kelompok kegiatan, dan menjalani kegiatan bersama tanpa harus tersekat akibat perbedaan agama.
”Awalnya saya enggan ikut kegiatan seperti ini karena melihat acaranya yang berat. Tapi, ketika diberi tahu teman bahwa peserta kegiatan berasal dari lintas agama, saya justru tertarik ikut,” tutur Deta Agus Sri Wahyu (22). Mengenal teman dari lintas agama, menurut Deta, adalah hal yang menyenangkan karena ia bisa bertukar pikiran tentang agama lain. Di hari pertama berkemah, Deta yang beragama Kristen Protestan itu bercakap-cakap dengan seorang kawan Muslim tentang kitab suci masing-masing.
”Dia sampai meminjam kitab suci saya untuk mengetahui apa isinya. Sampai sekarang (hari Sabtu—Red) kitab suci saya belum dikembalikan,” ujarnya. Deta sendiri sudah cukup akrab dengan Al Quran karena keluarga ayahnya adalah keluarga Muslim. Kebersamaan Anggapan-anggapan tentang keburukan orang-orang beragama lain yang selama ini ”dicekokkan” ke dalam pikirannya tidak terbukti setelah Deta bergaul dan berkomunikasi dengan teman yang berbeda agama. Justru kebersamaan terbangun ketika Deta dan para peserta lain bekerja sama dengan warga membersihkan masjid, gereja, atau sekolah dasar yang ada di kampung itu. Perbedaan agama tidak menjadikan batasan ketika harus masuk ke rumah ibadat agama lain dan membersihkan fisik rumah ibadat itu. Gotong-royong ini merupakan milik masyarakat di Dusun Turgo.
Kepala Dusun Turgo Suwaji mengisahkan, ketika masjid di Dusun itu rusak akibat letusan Gunung Merapi pada 1994, seluruh warga dusun tersebut segera turun tangan membantu renovasi masjid. ”Bantuan untuk masjid yang rusak itu tidak hanya datang dari kelompok Muslim, tetapi juga dari para suster maupun aktivis agama lain, sedangkan seluruh warga menyumbangkan tenaga mereka untuk pemulihan masjid itu,” ujar Suwaji menceritakan.
Kerja sama tanpa memandang agama jugalah yang membuat warga Dusun Turgo bisa menyelesaikan pembangunan pipa air yang juga rusak karena letusan Gunung Merapi tahun 1994 itu. Sampai saat ini bapak-bapak di Dusun Turgo yang beragama Islam, Kristen Protestan, Katolik, maupun agama lain tetap bergotong-royong memecahkan batu alam untuk dijadikan jalan kampung setiap hari Rabu. Sementara kaum ibu biasanya membersihkan jalan kampung setiap Sabtu sore. Selain pembangunan fisik desa, kenduri di sana juga dilakukan bersama-sama oleh warga Dusun Turgo.
”Kalau ada warga yang hendak menikah atau khitanan, kami mengadakan kenduri atau doa bersama dalam adat Jawa,” kata Suwaji. Belajar keragaman Masyarakat Dusun Turgo yang sebagian besar adalah petani merupakan salah satu contoh masyarakat desa yang menerapkan pluralitas dalam kehidupan keseharian mereka. Pluralitas di Dusun Turgo, menurut Sekretaris Jenderal FPUB Timotius Apriyanto, sudah terbangun secara alamiah sejak lama. Di dusun dengan 225 keluarga dan terletak sekitar 8 kilometer dari Gunung Merapi itu para peserta yang tinggal di 10 rumah warga belajar tentang kehidupan masyarakat, termasuk keragaman agama.
”Anak-anak muda saat ini sering kali takut bergaul dengan teman berbeda agama karena banyak sekali doktrinasi tentang pluralisme yang sempit. Di Dusun Turgo ini mereka mendapatkan pengalaman baru tentang pluralisme,” kata Kiai Haji Abdul Muhaimin, Ketua FPUB. Acara perkemahan ini bukan sekadar menambah wacana tentang pluralisme, tetapi yang lebih penting adalah pengalaman langsung tentang kehidupan plural yang nyata dalam masyarakat. Pengalaman ini dipandang oleh Muhaimin—dari Pondok Pesantren Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta itu—sebagai sesuatu yang penting di tengah munculnya gerakan fundamentalisme agama pada institusi pendidikan di Yogyakarta.
Fundamentalisme agama itu membuat wawasan anak muda tentang pluralisme agama menjadi sempit dan akhirnya mengisolasi anak muda dari pergaulan dengan orang lain. Pengalaman tentang kehidupan antar-agama itu menjadi sesuatu yang baru bagi peserta Interfaith Youth Camp ini.
”Kami belajar dari masyarakat Turgo untuk hidup bersama tanpa ada sekat apa pun, termasuk sekat agama. Di sini kami belajar dari warga dusun yang masih memberikan ucapan selamat kepada warga yang merayakan hari raya keagamaan tertentu,” ucap Ariya Wijaya dari Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) UGM yang juga menjadi Ketua Panitia Interfaith Youth Camp.
Ahsan dari Divisi Jaringan Kodama (sebuah kelompok Santri di Krapyak yang mempunyai kegiatan pemberdayaan masyarakat) melihat kehidupan bersama masyarakat di Dusun Turgo sebagai sesuatu kearifan lokal. ”Selama ini masyarakat desa seolah-olah tidak punya kearifan lokal sehingga segalanya harus diatur orang-orang kota. Padahal, saya justru belajar dari masyarakat desa tentang kehidupan bersama antara warga yang berbeda agama,” ujar Ahsan. Dari kehidupan masyarakat desa inilah Ahsan melihat pengaturan kehidupan sehari-hari antar-umat beragama adalah sesuatu yang berlebihan. Mungkinkah kita harus belajar dari masyarakat desa untuk memandang keragaman sebagai sesuatu yang indah?
1 comment:
mas, aku mau ttanya.
aku new bie.
kiat kiat buat ngirim tulisan ke kompas itu apa aja yah biar bisa di terbitkan?
hehe..
ngrim nya ke kompas jogja tho?
lewat pos ato anter sendiri yang lebih efektif.
terima kasih atas sharing nya
dhes 19 tahun
Post a Comment