Judul : Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu
Penulis : Dr. Seyyed Mohsen Miri
Penerjemah : Zubair
Penerbit : TERAJU
Peradaban modern telah membawa dampak yang begitu besar terhadap segala aspek yang menyangkut kehidupan manusia. Di satu sisi peradaban modern telah mengantarkan manusia untuk makin menikmati kesejahteraan, kesenangan, kemakmuran, kepandaian dan sederet hal-hal yang memanjakan nafsu. Di sisi yang lain, peradaban modern telah merenggut kesadaran manusia tentang eksistensi dirinya dan penciptanya. Manusia sibuk memenuhi keinginannya hingga lupa akan substansi dirinya. Akibatnya, hidup manusia diselimuti oleh rasa keputusasaan, kecurigaan, kekecewaan, kesia-siaan dan berbagai perasaan ketakutan lainnya.
Menyadari ada sesuatu yang hilang dari khittahnya sebagai hamba Tuhan maka manusia berusaha mencari sumber-sumber yang memberikan telaga pecerahan terhadap dahaga spiritualnya. Sumber-sumber telaga pencerahan bisa jadi sesosok manusia yang dikaruniani “kekuatan” yang luar biasa untuk membimbing umat manusia kembali ke jalan kebenaran. Maka muncullah Manusia Agung, Manusia Guru, Jiwan Mukti, Manusia Super, Manusia Sempurna dan sederat istilah yang menunjukkan makna sejenis.
Secara historis, manusia selalu mencari yang namanya Manusia Sempurna dan barangkali pencarian terhadap eksistensi dan dewa-dewa metafisik, tokoh legendaris dan mitos, dan tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah itulah yang mereka sebut dengan manusia sempurna. Kita dapat mengatakan bahwa yang mendasari manusia mencari Manusia Sempurna adalah keinginan manusia itu sendiri terhadap kesempurnaan, keterbatasan pencarian, dan adanya kesamaan dengan Tuhan atau untuk menghindarkan diri dari kelemahan dirinya (hal. 11).
Buku ini mencoba menawarkan gagasan-gagasan yang mencerahkan bagi manusia modern dari sudut pandang mistiko-filosofiko-religius. Gagasan mengenai manusia sempurna dengan segala eksistensi dan realitasnya coba diungkapkan oleh sang penulis melalui penelusurannya terhadap pemikiran dua filsuf Islam-Iran dan dua filsuf Hindu-India. Filsuf Islam-Iran diwakili oleh Mawlawi Rumi dan Mulla Shadra. Sedangkan filsuf Hindu-India diwakili oleh Sri Aurobindo dan Swami Vivekananda. Sayangnya, penulis tak memaparkan alasan mendasar mengapa ia memilih pemikiran keempat filsuf besar tersebut sebagai bahan tulisannya.
Secara umum, buku ini dibagi menjadi enam bab. Bab I mengungkapkan hubungan budaya antara Iran-India serta pentingnya studi komparatif. Bab I, II, II, dan IV berturut-turut menyajikan wacana Manusia Sempurna menurut Mawlawi Rumi, Mulla Shadra, Sri Aurobindo dan Swami Vivekananda. Pada bab terakhir, diungkapkan perbandingan dan refleksi pemikiran keempat filsuf agung tersebut.
Menyoal Manusia Sempurna, secara nyata kedua filsuf Islam tersebut “mengklaim” bahwa Adam dan Muhammad sebagai Manusia Sempurna yang mampu mewartakan kebenaran Tuhan kepada umatnya dan akhirnya mengangkat umatnya ke dalam tingkat pengetahuan dan spiritual yang lebih tinggi. Namun lain halnya dengan kedua filsuf Hindu, mereka tak nyata-nyata memberikan “contoh hidup” sang Manusia Sempurna.
Berbicara tentang Manusia Sempurna dan karakteristiknya, secara bersamaan harus membicarakan sejumlah sistem budaya, tradisi, agama, dan filsafat klasik dengan segala perbedaan latar belakang budaya dan pemikiran yang melingkupinya (hal. 20).
Bagaimana sosok Manusia Sempurna itu? Pada hakekatnya, Manusia Sempurna adalah wakil Tuhan di dunia ini yang telah memiliki kematangan mental-spiritual. Fungsi utama Manusia Sempurna di dunia ini adalah sebagai mediator, yang berusaha mengajak seluruh umat manusia untuk menemukan kembali jiwa agung nan suci yang selama ini telah terbungkus oleh keterikatan duniawi. Mencermati karakterisitik Manusia Sempurna, mengingatkan kita pada ucapan-ucapan suci Sri Krisna yang tertuang dalam Bhagawadgita bab II mulai dari sloka 55 sampai 73.
Boleh jadi buku ini tak dipersiapkan dengan matang. Hal ini tercermin dari banyaknya kesalahan ketik yang cukup mengganggu asyiknya membaca. Dan yang lebih mengganggu lagi adalah adanya kesalahan fatal dari sang penerjemah ketika menyamakan antara Brahman dengan Brahmana. Kenapa fatal? Orang Hindu tentu paham bahwa kedua istilah tersebut sangat jauh berbeda artinya. Apalagi jika merujuk pada “Brahman atman aikyam” yang berarti bahwa Brahman (Tuhan) dan atman itu adalah tunggal. Tetapi, agaknya, sang penerjemah tak menyadari kesalahan ini. Ini dapat terlihat dari kalimat berikut “…….Atman sebagai unsur batin manusia yang sempurna terletak pada setiap perubahan dan manusia jika kembali ke Atman maka sesungguhnya ia telah menyatu dengan Brahmana.” (hal. 23). Penggunaan kata Brahmana, yang seharusnya Brahman, terjadi berulang-ulang hingga akhir halaman buku ini.
Seperti halnya buku-buku filsafat, buku ini tergolong berat. Pasalnya, perlu usaha dan konsentrasi ekstra untuk mampu menyimak dengan baik untaian makna yang terkandung dalam rangkaian kata-kata yang terbentang. Buku ini layak dibaca oleh para penikmat filsafat, humanisme, pecinta dialog antaragama dan tentu saja para agamawan!
No comments:
Post a Comment