Monday, June 11, 2007

>ditolak kompas jogja

belajar dr kompas.............dua kali ngirim k kompas jogja dan keduanya ditolak hehehehehe.....tp naskah gw dibalikin. ada koreksinya. jd tahu kesalahan gw
Membaca Kembali Kebangsaan Kita
Beberapa waktu lalu, masyarakat kita berduyun-duyun menyatakan dukungannya kepada pemerintah dalam usaha mempertahankan Ambalat dari “tangan usil” negara tetangga Malaysia. Bahkan, banyak di antara mereka yang rela diterjunkan ke wilayah perbatasan untuk membela Tanah Air. Sikap ini seolah-olah menepis anggapan bahwa nasionalisme bangsa kita semakin tipis. Tetapi, apakah benar demikian?
Rakyat negeri ini tengah asyik-asyiknya menikmati aroma demokrasi “yang sesungguhnya”. Ini dapat dilihat dari maraknya partisipasi aktif masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya di ranah publik. Namun, sayangnya, lontaran suara rakyat masih sebatas tindakan yang reaksioner. Akibatnya, banyak tindakan masyarakat yang tidak dirancang dengan matang sehingga menyajikan cara-cara penyelesaian yang tidak tuntas. Bahkan, bisa mengarah pada tindakan anarkisme.
Tindakan-tindakan yang anarkis memberi preseden buruk bagi kelangsungan proses demokrasi di era nasionalisme yang kian gamang ini. Nasionalisme kita terancam oleh berbagai kepentingan kelompok yang ingin memetik keuntungan dengan cara-cara yang justru menyengsarakan bangsa. Padahal, Nusantara ini dibangun oleh semangat nasionalisme dari orang-orang yang sudah pernah merasakan betapa sengsaranya hidup dalam pasungan penjajahan. Semangat inilah yang sepatutnya dijaga dan dipelihara oleh setiap anak negeri ini.
Namun, proses pembangunan yang timpang, agaknya, telah menggerogoti semangat nasionalisme, yaitu adanya pengingkaran terhadap khazanah keragaman dan kekayaan budaya bangsa. Akibatnya, masyarakat kita, perlahan namun pasti, mulai tercerabut dari akar budayanya. Tengoklah, bagaimana masyarakat kita justru menyambut dengan suka-cita arus besar globalisasi tanpa punya sikap kritis untuk melawannya. Bahkan, kebudayaan nasional dianggap lebih rendah daripada kebudayaan asing. Padahal, globalisasi terbukti telah “membunuh” keragaman budaya nasional dan memenjarakan kemerdekaan budaya kita yang adiluhung dalam pentas kebudayaan dunia.
Patut kiranya kita merenungkan kembali rasa kebangsaan kita. Pentas “Megalithikum Kuantum” yang digelar untuk merayakan 40 Tahun Kompas kiranya mampu menyadarkan kita, barang sejenak, untuk melihat lebih jernih apa yang terjadi pada nasionalisme bangsa ini.
Memang, globalisasi tak dapat dihindari. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan resistensi masyarakat kita. Masyarakat yang sadar terhadap keindonesiaannya. Masyarakat yang berpikir global, bertindak lokal. Untuk itu kita harus mampu mengembangkan kebudayaan bangsa. Kebudayaan yang memerdekakan dan memuliakan masyarakat kita. Kemerdekaan berbudaya dalam nasionalisme yang tangguh. Dan, akhirnya kita harus membuktikan kepada dunia bahwa kita bisa berbenah dan lebih baik dari sekarang ini. Kita juga harus mampu menciptakan suatu nilai yang mencirikan identitas masyarakat kita di pentas dunia. Nilai yang jauh dari bau korupsi!

No comments: