Monday, June 11, 2007

>resensi buku LAJJA

Ketika Beragama itu Menyengsarakan



Judul : Lajja
Penulis : Taslima Nasrin
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Tahun : 2003
Tebal : xxvi + 336 halaman

Apa jadinya bila agama dijadikan komoditas yang tunggal dalam masyarakat yang plural? Konflik! Ya, konflik bakal tak terhindarkan. Buku ini bercerita tentang kisah nyata sebuah negara yang melakukan komunalisme agama, di sana, di anak benua India, Bangladesh. Konflik dilatarbelakangi oleh peristiwa penghancuran dan pembakaran Masjid Babri di India pada 6 Desember 1992 oleh kaum fundamentalis Hindu. Kaum fundamentalis Hindu merasa terhina ketika tanah bekas kuil tempat kelahiran Sri Rama di atasnya dibangun Masjid Babri, sebuah bangunan bersejarah dari abad ke-16.

Sesudah peristiwa itu, rentetan konflik yang melibatkan kaum Muslim dan Hindu militan terus-menerus terjadi. Namun, konflik yang paling besar justru tidak terjadi di India, melainkan di negeri tetangga, Bangladesh. Sebagai kaum minoritas, umat Hindu, dikejar-kejar, diburu dan dibunuh oleh kaum Muslim fundamentalis sebagai buntut penghancuran Masjid Babri.

Novel ini mengambil seting sebuah keluarga Hindu formalistik, yang menganggap agama bukanlah sesuatu yang harus dipamerkan. Keluarga itu terdiri dari Sudhamoy, sang ayah, Kironmoyee, sang ibu, Suranjay, anak laki-laki, dan Maya, anak perempuan. Sang penulis menceritakan penderitaan keluarga tersebut selama tiga belas hari setelah peristiwa penghancuran Masjid Babri dengan gaya bahasa yang sederhana, lugas dan blak-blakan.

Dikisahkan, Sudhamoy adalah seorang veteran aktivis berdirinya Negara nasional Bangladesh tahun 1971. Ia meyakini bahwa Bagladesh adalah negeri milik semua orang Bengali, tak peduli yang beragama Islam, Hindu, Kristen ataupun Buddha. Berkasta rendah ataupun berkasta tinggi, semua mendapat hak yang sama dalam sebuah Negara demokrasi yang antikomunal. Sedangkan Suranjan adalah seorang aktivis mahasiswa yang tak kalah semangatnya dengan sang ayah.

Keluarga Sudhamoy bangga sebagai orang Bangladesh dan memilih tetap tinggal di negerinya meskipun rumah mereka dibakar dan hidup penuh penderitaan, daripada bermigfrasi ke India seperti orang-orang kebanyakan. Namun, akhirnya, keluarga tersebut tak tahan juga dengan penderitaan yang kian menjadi-jadi ketika Maya diperkosa ramai-ramai oleh pemuda Muslim. Tak terima dengan perlakuan itu, Suranjan sengaja memerkosa Shamima, seorang pelacur, yang seperti namanya menunjukkan bahwa ia Muslimah, sebagai bentuk pelampiasan balas dendamnya.

Saat itu, kerusuhan sosial begitu terstruktur sebagai imbas adanya ketimpangan ekonomi. Perekonomian sangat didominasi oleh kaum minoritas Hindu. Sembilan puluh persen tanah dimiliki oleh orang Hindu. Sedangkan sembilan puluh persen petani adalah orang-orang Muslim. Ketimpangan ekonomi meluas menjadi kerusuhan sosial. Toko-toko milik para pengusaha Hindu dibakar. Pemerkosaan terjadi dimana-mana. Pemuda Muslim memerkosa gadis-gadis Hindu, demikian pula sebaliknya. Pemerkosaan telah menjadi sebuah simbol penghancuran.

Dalam keadaan yang demikian kritis, mencari selamat merupakan pilihan yang tak mudah. Untuk bisa selamat dari intaian kaum fundamentalis Muslim, orang Hindu harus mengubah namanya. Sudhamoy, misalnya, mengubah namanya menjadi Shirajuddin Husain agar lolos dari razia tentara Pakistan. Begitu pula Maya. Ia harus menghafal dan melafalkan kalimat syahadat agar nyawanya selamat.

Mentalitas elit politik benar-benar sudah kelewat batas. Kerusuhan yang begitu krusial, terjadi di depan batang hidungnya, seakan-akan sengaja dibiarkan, bahkan difasilitasi oleh golongan birokrat dan politisi dengan harapan memperoleh simpati dari golongan mayoritas untuk memenangi pemilu.

Membuka lembar demi lembar halaman buku ini, hati nurani kita, sebagai umat beragama, seakan-akan dikoyak-koyak oleh serentetan kekerasan yang tak ada ujung pangkalnya. Kita diajak merenungkan kembali hakekat beragama. Agama, yang pada mulanya berwajah santun dan mampu menyejahterakan manusia, justru berwajah garang dan menjadi pisau tajam yang mencelakakan manusia ketika ditunggangi kepentingan-kepentingan yang sesat. Jika demikian, maka tak salah jika menuding kaum agamawan sebagai biang keladi kemunduran sebuah bangsa.

Novel ini ditulis oleh seorang dokter wanita yang lahir di sebuah keluarga Muslim terpelajar. Nasrin sangat prihatin melihat penindasan yang terjadi pada kaum wanita. Maka, iapun memutuskan untuk menulis sebagai wujud protes terhadap ketidakadilan. Tulisannya begitu keras mengritiki para agamawan yang telah turut mengesahkan praktek-praktek hokum Islam yang tidak memihak wanita. Tulisannya yang begitu kritis dan keras tersebar di berbagai media massa. Akibatnya, ia dikejar-kejar oleh kaum fundamentalis Muslim. Nyawanya terus diburu, sampai-sampai ia tak punya tempat tinggal yang aman.

Demi keselamatan dirinya, maka ia memilih pergi meninggalkan tanah airnya. Hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara yang lain sembari terus menulis. Bagi Nasrin, “My pen is my weapon”. Diakui oleh penulisnya, meski novel ini sungguh-sungguh terjadi, tetapi para pelakunya merupakan hasil imajinasinya. Novel ini dilengkapi juga dengan fakta-fakta dan data-data statistik tentang kekerasan terutama terhadap wanta serta penerapan beberapa hukum Islam yang “salah”.

Novel ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan telah mendapat beberapa penghargaan internasional. Namun, sayang, di negeri asalnya, novel ini dilarang keras oleh pemerintah setempat karena dianggap dapat mengganggu kehidupan beragama. Maka, tak salah bila Kompas, edisi Sabtu, 18 September 2004, mengategorikan novel ini ke dalam golongan “Yang Terlarang”. Membaca buku ini sungguh membakar nyali!

3 comments:

alzael_is said...

kalau noleh tau, di mana saya bisa mendapat buku aslinya (shame) sebelum di terjemahkan oleh LKiS? Thank's (alzael@gmail.com)

Srinarayana said...

Tulisan yang luar biasa bli igen...

apa kabarmu sekarang?

Srinarayana said...

Tulisan yang luar biasa bli igen.... salut...