menyandang status penganggurna pasti ga da enaknya. gw dl ngerasa ada beban segede gunung.tp untunglah itu cepat berlalu. buat yg jd jobseeker slamt berjuang terussss.....tuk yg merasa tersinggung maafkanlah sobatmu yg usil ini.....
Mengejar Kesempatan Kerja yang Tak Kunjung Tiba
“Sejak wisuda Desember 2004 lalu sampai sekarang aku belum dapat kerja, Mas,” keluh Sugeng Arianto, lulusan D3 Teknologi Pertanian UGM. Ia jauh-jauh datang dari kampung asalnya di Temanggung berharap memeroleh pekerjaan dari perusahaan yang mengikuti Indonesian Graduate Recruitment Expo (IGRE), yang digelar di Jogja Expo Center 17-19 Juni 2005. Selama ini, akunya, ia telah mengirimkan 15 surat lamaran, tapi tak ada yang satupun yang menerimanya menjadi karyawan. “Paling banter dulu cuma sampai tes wawancara. Abis itu ora ono kabare,” ungkap Sugeng.
Pengalaman serupa juga dipaparkan Edo, lulusan Fakultas Hukum UGM. “Wah, aku sudah ngelamar dan tes ke mana-mana. Sampai capek,” keluhnya. Sebenarnya ia sangat ingin bekerja di bidang perbankan, tetapi melihat kondisi yang ada, ia akan menerima pekerjaan apapun.
Kalau Sugeng dan Eduard datang ke IGRE dengan harapan mendapatkan pekerjaan pertamanya, lain lagi kisah Kristanto. Lulusan D3 Ekonomi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta ini sengaja datang ke IGRE untuk memeroleh pekerjaan yang lebih baik. “Aku pengen jadi kolektor, Mas,” ujar pekerja di sebuah toko di Yogyakarta ini. Kolektor yang dimaksud Kristanto adalah orang yang tugasnya menagih utang. Ia mengemukakan alasannya mencari pekerjaan baru karena gaji yang diperolehnya kini tak cukup untuk menanggung masa depannya. “Aku kan pengen nikah dan punya anak,” terang Kristanto yang pernah gagal menikah ini.
Kalau soal pengalaman kerja, Kristanto tak berkecil hati. Tetapi jenjang pendidikannya sering membuatnya patah arang. “Itu ada lowongan. Tapi syaratnya harus S1,” ujarnya seraya menunjuk iklan yang ditempel di dinding stan sebuah perusahaan jasa telekomunikasi.
Sugeng, Eduard, dan Kristanto adalah sekadar contoh betapa sulitnya memeroleh pekerjaan yang layak. Persoalan kesempatan kerja selayaknya merupakan tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Namun, tampaknya, negara gagal dalam menyediakan lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja di negeri ini.
Tengok saja, misalnya, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) DIY ini. Tahun 2001, jumlah pencari kerja mencapai 53.376 orang. Tahun 2002, jumlahnya meningkat tajam lebih dari 100 persen, atau mencapai 128.634. Tahun 2003, jumlahnya meningkat lagi hingga 143.892. Angka-angka tersebut memperlihatkan adanya kenaikan jumlah pencari kerja sejak tiga tahun terakhir.
Mendapat pekerjaan di era yang kian penuh persaingan ini bukan perkara gampang. Tak cuma sekedar bermodal Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi. Sugeng buktinya. Dengan IPK 3,27 hingga kini ia masih menganggur. Lalu sebenarnya apa kiat agar cepat diterima kerja?
Drs. Bagus Riyono, MA. dari Career Development Center (CDC) UGM dan juga pengajar di Fakultas Psikologi UGM mengatakan bahwa persoalan melamar kerja merupakan kiat menjual diri. “Setiap pelamar kerja harus tahu kompetensinya. Kita harus terus menggali potensi diri. Pengalaman-pengalaman semasa kuliah akan sangat membantu,” ujarnya pada suatu seminar.
Masing-masing perusahaan memiliki cara penilaian tersendiri bagi calon karyawannya. Sigit, karyawan HSBC yang bertugas menjaga stan perusahaannya di IGRE lalu, mengatakan bahwa perusahaan akan menerima seseorang menjadi karyawannya bila ia tahu apa pekerjaan yang akan dilakukannya. Juga ia harus punya motivasi meningkatkan diri dan perusahaannya. “Kalau orang sudah terbiasa berinteraksi dengan orang lain, karirnya akan cepat naik,” ujar Sigit. Selama IGRE digelar, pihak HSBC sudah menerima ratusan surat lamaran. Padahal, “Kami hanya akan merekrut 20 karyawan untuk kantor kami yang baru,” terang lulusan Teknik Industri UPN Veteran Yogyakarta ini.
Banyaknya pengangguran di negeri ini ditengarai oleh gagalnya sistem pendidikan yang diajarkan di sekolah hingga universitas. Kurikulum yang terlalu teoritis dituding sebagai biang kerok penyebab lulusan perguruan tinggi tidak siap untuk bekerja. Ini dibenarkan oleh Danar, lulusan Ilmu Komputer UGM yang kini bekerja di sebuah bank BUMN di Jakarta. “Waktu saya memasuki dunia kerja, saya merasa ada kesenjangan antara dunia kampus dengan dunia kerja. Untung saja, training bagi karyawan baru yang saya ikuti selama sepuluh bulan sangat membantu saya beradaptasi,” terang Danar.
“Pendidikan kita masih mengajarkan konsep lama. Belajar yang rajin biar cepat lulus, IPK tinggi, dan bekerja di perusahaan dengan gaji yang tinggi,” tambahnya. Seharusnya, sejak dini setiap manusia Indonesia diajari berwiraswasta. Menciptakan peluang bisnis. Namun, itu bukan perkara mudah. Pasalnya, berwiraswata itu membutuhkan kesabaran yang tinggi. Dan untuk mencapai kesuksesan diperlukan waktu yang lama, tidak bisa instan.
Tetapi, lebih dari itu, pengalaman berwiraswasta mampu mendorong seseorang untuk kreatif dan terus belajar. “Selama kuliah dulu, saya coba-coba berbisnis kecil-kecilan. Ya, lumayanlah apa yang saya lakukan dulu ternyata sangat berguna dalam menunjang karir saya sekarang ini,” terang Sigit tanpa mau menyebutkan jenis bisnisnya. Selain itu, Sigit menyarankan untuk terus mengembangkan diri dan mau belajar. Ini karena dalam dunia kerja, seseorang bekerja dalam sebuah tim. “Walaupun background pendidikan saya teknik, tapi saya nggak kesulitan kerja di bank,” aku Sigit.
Keinginan mendapat pekerjaan secepat mungkin tentu diinginkan oleh semua orang. Syukur-syukur gajinya tinggi. Sepertinya Sugeng, Edo, dan Kristanto masih harus terus berusaha untuk mencapai pekerjaan yang diimpikannya.
Ayunan langkah-langkah mereka menyusuri stan demi stan 20 perusahaan di arena IGRE seirama dengan lantunan lagu balada karya Iwan Fals berikut ini.
“Engkau sarjana muda/ resah mencari kerja/ mengandalkan ijazahmu
Empat tahun lamanya/ bergelut dengan buku/ tuk jaminan masa depan.”
Pengalaman serupa juga dipaparkan Edo, lulusan Fakultas Hukum UGM. “Wah, aku sudah ngelamar dan tes ke mana-mana. Sampai capek,” keluhnya. Sebenarnya ia sangat ingin bekerja di bidang perbankan, tetapi melihat kondisi yang ada, ia akan menerima pekerjaan apapun.
Kalau Sugeng dan Eduard datang ke IGRE dengan harapan mendapatkan pekerjaan pertamanya, lain lagi kisah Kristanto. Lulusan D3 Ekonomi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta ini sengaja datang ke IGRE untuk memeroleh pekerjaan yang lebih baik. “Aku pengen jadi kolektor, Mas,” ujar pekerja di sebuah toko di Yogyakarta ini. Kolektor yang dimaksud Kristanto adalah orang yang tugasnya menagih utang. Ia mengemukakan alasannya mencari pekerjaan baru karena gaji yang diperolehnya kini tak cukup untuk menanggung masa depannya. “Aku kan pengen nikah dan punya anak,” terang Kristanto yang pernah gagal menikah ini.
Kalau soal pengalaman kerja, Kristanto tak berkecil hati. Tetapi jenjang pendidikannya sering membuatnya patah arang. “Itu ada lowongan. Tapi syaratnya harus S1,” ujarnya seraya menunjuk iklan yang ditempel di dinding stan sebuah perusahaan jasa telekomunikasi.
Sugeng, Eduard, dan Kristanto adalah sekadar contoh betapa sulitnya memeroleh pekerjaan yang layak. Persoalan kesempatan kerja selayaknya merupakan tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Namun, tampaknya, negara gagal dalam menyediakan lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja di negeri ini.
Tengok saja, misalnya, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) DIY ini. Tahun 2001, jumlah pencari kerja mencapai 53.376 orang. Tahun 2002, jumlahnya meningkat tajam lebih dari 100 persen, atau mencapai 128.634. Tahun 2003, jumlahnya meningkat lagi hingga 143.892. Angka-angka tersebut memperlihatkan adanya kenaikan jumlah pencari kerja sejak tiga tahun terakhir.
Mendapat pekerjaan di era yang kian penuh persaingan ini bukan perkara gampang. Tak cuma sekedar bermodal Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi. Sugeng buktinya. Dengan IPK 3,27 hingga kini ia masih menganggur. Lalu sebenarnya apa kiat agar cepat diterima kerja?
Drs. Bagus Riyono, MA. dari Career Development Center (CDC) UGM dan juga pengajar di Fakultas Psikologi UGM mengatakan bahwa persoalan melamar kerja merupakan kiat menjual diri. “Setiap pelamar kerja harus tahu kompetensinya. Kita harus terus menggali potensi diri. Pengalaman-pengalaman semasa kuliah akan sangat membantu,” ujarnya pada suatu seminar.
Masing-masing perusahaan memiliki cara penilaian tersendiri bagi calon karyawannya. Sigit, karyawan HSBC yang bertugas menjaga stan perusahaannya di IGRE lalu, mengatakan bahwa perusahaan akan menerima seseorang menjadi karyawannya bila ia tahu apa pekerjaan yang akan dilakukannya. Juga ia harus punya motivasi meningkatkan diri dan perusahaannya. “Kalau orang sudah terbiasa berinteraksi dengan orang lain, karirnya akan cepat naik,” ujar Sigit. Selama IGRE digelar, pihak HSBC sudah menerima ratusan surat lamaran. Padahal, “Kami hanya akan merekrut 20 karyawan untuk kantor kami yang baru,” terang lulusan Teknik Industri UPN Veteran Yogyakarta ini.
Banyaknya pengangguran di negeri ini ditengarai oleh gagalnya sistem pendidikan yang diajarkan di sekolah hingga universitas. Kurikulum yang terlalu teoritis dituding sebagai biang kerok penyebab lulusan perguruan tinggi tidak siap untuk bekerja. Ini dibenarkan oleh Danar, lulusan Ilmu Komputer UGM yang kini bekerja di sebuah bank BUMN di Jakarta. “Waktu saya memasuki dunia kerja, saya merasa ada kesenjangan antara dunia kampus dengan dunia kerja. Untung saja, training bagi karyawan baru yang saya ikuti selama sepuluh bulan sangat membantu saya beradaptasi,” terang Danar.
“Pendidikan kita masih mengajarkan konsep lama. Belajar yang rajin biar cepat lulus, IPK tinggi, dan bekerja di perusahaan dengan gaji yang tinggi,” tambahnya. Seharusnya, sejak dini setiap manusia Indonesia diajari berwiraswasta. Menciptakan peluang bisnis. Namun, itu bukan perkara mudah. Pasalnya, berwiraswata itu membutuhkan kesabaran yang tinggi. Dan untuk mencapai kesuksesan diperlukan waktu yang lama, tidak bisa instan.
Tetapi, lebih dari itu, pengalaman berwiraswasta mampu mendorong seseorang untuk kreatif dan terus belajar. “Selama kuliah dulu, saya coba-coba berbisnis kecil-kecilan. Ya, lumayanlah apa yang saya lakukan dulu ternyata sangat berguna dalam menunjang karir saya sekarang ini,” terang Sigit tanpa mau menyebutkan jenis bisnisnya. Selain itu, Sigit menyarankan untuk terus mengembangkan diri dan mau belajar. Ini karena dalam dunia kerja, seseorang bekerja dalam sebuah tim. “Walaupun background pendidikan saya teknik, tapi saya nggak kesulitan kerja di bank,” aku Sigit.
Keinginan mendapat pekerjaan secepat mungkin tentu diinginkan oleh semua orang. Syukur-syukur gajinya tinggi. Sepertinya Sugeng, Edo, dan Kristanto masih harus terus berusaha untuk mencapai pekerjaan yang diimpikannya.
Ayunan langkah-langkah mereka menyusuri stan demi stan 20 perusahaan di arena IGRE seirama dengan lantunan lagu balada karya Iwan Fals berikut ini.
“Engkau sarjana muda/ resah mencari kerja/ mengandalkan ijazahmu
Empat tahun lamanya/ bergelut dengan buku/ tuk jaminan masa depan.”
No comments:
Post a Comment