Media Hindu ׀ Edisi 13 ׀ Januari-Pebruari 2005
Gandhi di Jalan Siwa-Buddha
Gandhi di Jalan Siwa-Buddha
“Sepanjang perjalanan sejarah, masyarakat Hindu di Bali melakukan pembelokan yang berbahaya di sebuah persimpangan kebudayaan. Anda lihat! Masyarakat mudah marah, bahkan menjadi barbar, dan melampiaskan emosionalnya dengan berbagai tindak kekerasan. Pudar sudah citra masyarakat yang jujur, santun dan damai itu,” papar Gede Prama, Sang Punutur Kejernihan di hadapan 30-an peserta dharma tula yang diselenggarakan oleh Ashram Gandhi Candidasa, Selasa, 16 Nopember 2004.
Peserta terdiri dari berbagai latar belakang mulai dari aktivis LSM, dosen, mahasiswa, direktur beberapa perusahaan nasional, hingga masyarakat sekitar Candidasa. Acara ini diselenggarakan untuk memperingati dua tahun berpulangnya mendiang Ibu Gedong Bagoes Oka.
Lebih jauh Gede Prama mengungkapkan bahwa Bali, sebagai benteng terakhir peradaban Hindu di nusantara, harus dijaga dan dilestarikan nilai-nilai luhurnya, yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat Bali sehari-hari. Ada tiga hal yang membentuk kebudayaan Bali saat ini yaitu tokoh, pura dan upacara.
Founding father kebudayaan Bali, Mpu Kuturan dan Dang Hyang Dwijendra, misalnya, menggunakan unsur-unsur kebuddhaan dalam membentuk karakter kebudayaan Bali. Unsur-unsur kebuddhaan yang dimaksud adalah sila (moralitas), samadi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan).
Untuk mencapai masyarakat yang damai ketiga unsur tersebut harus dijalani secara runtut, tak boleh loncat-loncat. “Orang bisa gila belajar meditasi. Ya, karena meditasi tanpa moralitas yang bagus akan sangat membahayakan. Tidak bisa orang mencapai Siwa tanpa jalan Buddha,” jelas bhagawan manajemen yang telah menghasilkan 17 buku tersebut.
Ada tiga aliran pemikiran dalam Buddha, masing-masing memliki penekanan yang berbeda. Hinayana menekankan pada self discipline, Mahayana menekankan pencapaian kebijaksanaan, dan Tantrayana menekankan aspek kesunyatan (silence). “Mahatma Gandhi adalah contoh nyata manusia yang mempraktekkan jalan kebuddhaan dengan luar biasa. Self discipline yang dterapkannya sungguh telah menjadi inspirasi bagi umat manusia,” ungkap Gede Prama.
“Ketika orang lain merayakan tahun baru dengan berhura-hura tidak demikian dengan umat Hindu. Kita justru dalam keadaan silence dalan Nyepi. Ini filosofi luar biasa yang diwariskan oleh nenek moyang kita” tambahnya. Pemahaman Gede Prama yang mendalam tentang Buddha mengundang kekaguman dari banyak tokoh agama Buddha. Bahkan mereka memberi penghargaan kepada Gede Prama sebagai Bhiksu. “Tapi saya menolaknya. Biarlah orang menghargai saya apa adanya,” akunya. Gede Prama mampu memahami Buddha seperti itu karena ia memulai sebagai pihak luar sehingga tidak ada jarak yang membatasi untuk mempelajarinya.
Hidup ini memang memiliki jalan yang bercabang dan seringkali berliku. Banyak orang kebingungan ketika berhadapan dengan berbagai pilihan hidup. Menurutnya, kebingungan merupakan indikator transisi pemikiran. Gede Prama mengingatkan untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun, meski dalam keadaan kebingungan. Pasalnya, kebingungan menunjukkan bahwa seseorang masih hidup.
Menurut Gede Prama terdapat tiga pola perkembangan pemikiran seseorang. Pada tahap awal, seseorang cenderung berpikir hitam-putih. Artinya, selalu melihat kebenaran di satu sisi dan kesalahan di sisi yang lain. Manusia model seperti ini, kata Gede Prama, adalah manusia yang masih terbungkus oleh ego. Pada tahap selanjutnya, setelah ego mampu dilenyapkan, kebijaksanaan akan hadir. Kebijaksanaan memandang bahwa segala sesuatu adalah benar. Tahap yang paling tinggi adalah mampu berpikir secara infinite, tak terbatas. Neti, Neti. Bukan ini, Bukan itu. “Karena berpikir secara infinite inilah sampai sekarang disertasi saya tidak selesai,” terang Gede Prama disambut gelak tawa hadirin.
Peserta terdiri dari berbagai latar belakang mulai dari aktivis LSM, dosen, mahasiswa, direktur beberapa perusahaan nasional, hingga masyarakat sekitar Candidasa. Acara ini diselenggarakan untuk memperingati dua tahun berpulangnya mendiang Ibu Gedong Bagoes Oka.
Lebih jauh Gede Prama mengungkapkan bahwa Bali, sebagai benteng terakhir peradaban Hindu di nusantara, harus dijaga dan dilestarikan nilai-nilai luhurnya, yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat Bali sehari-hari. Ada tiga hal yang membentuk kebudayaan Bali saat ini yaitu tokoh, pura dan upacara.
Founding father kebudayaan Bali, Mpu Kuturan dan Dang Hyang Dwijendra, misalnya, menggunakan unsur-unsur kebuddhaan dalam membentuk karakter kebudayaan Bali. Unsur-unsur kebuddhaan yang dimaksud adalah sila (moralitas), samadi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan).
Untuk mencapai masyarakat yang damai ketiga unsur tersebut harus dijalani secara runtut, tak boleh loncat-loncat. “Orang bisa gila belajar meditasi. Ya, karena meditasi tanpa moralitas yang bagus akan sangat membahayakan. Tidak bisa orang mencapai Siwa tanpa jalan Buddha,” jelas bhagawan manajemen yang telah menghasilkan 17 buku tersebut.
Ada tiga aliran pemikiran dalam Buddha, masing-masing memliki penekanan yang berbeda. Hinayana menekankan pada self discipline, Mahayana menekankan pencapaian kebijaksanaan, dan Tantrayana menekankan aspek kesunyatan (silence). “Mahatma Gandhi adalah contoh nyata manusia yang mempraktekkan jalan kebuddhaan dengan luar biasa. Self discipline yang dterapkannya sungguh telah menjadi inspirasi bagi umat manusia,” ungkap Gede Prama.
“Ketika orang lain merayakan tahun baru dengan berhura-hura tidak demikian dengan umat Hindu. Kita justru dalam keadaan silence dalan Nyepi. Ini filosofi luar biasa yang diwariskan oleh nenek moyang kita” tambahnya. Pemahaman Gede Prama yang mendalam tentang Buddha mengundang kekaguman dari banyak tokoh agama Buddha. Bahkan mereka memberi penghargaan kepada Gede Prama sebagai Bhiksu. “Tapi saya menolaknya. Biarlah orang menghargai saya apa adanya,” akunya. Gede Prama mampu memahami Buddha seperti itu karena ia memulai sebagai pihak luar sehingga tidak ada jarak yang membatasi untuk mempelajarinya.
Hidup ini memang memiliki jalan yang bercabang dan seringkali berliku. Banyak orang kebingungan ketika berhadapan dengan berbagai pilihan hidup. Menurutnya, kebingungan merupakan indikator transisi pemikiran. Gede Prama mengingatkan untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun, meski dalam keadaan kebingungan. Pasalnya, kebingungan menunjukkan bahwa seseorang masih hidup.
Menurut Gede Prama terdapat tiga pola perkembangan pemikiran seseorang. Pada tahap awal, seseorang cenderung berpikir hitam-putih. Artinya, selalu melihat kebenaran di satu sisi dan kesalahan di sisi yang lain. Manusia model seperti ini, kata Gede Prama, adalah manusia yang masih terbungkus oleh ego. Pada tahap selanjutnya, setelah ego mampu dilenyapkan, kebijaksanaan akan hadir. Kebijaksanaan memandang bahwa segala sesuatu adalah benar. Tahap yang paling tinggi adalah mampu berpikir secara infinite, tak terbatas. Neti, Neti. Bukan ini, Bukan itu. “Karena berpikir secara infinite inilah sampai sekarang disertasi saya tidak selesai,” terang Gede Prama disambut gelak tawa hadirin.
No comments:
Post a Comment