Monday, June 11, 2007

>tentang menulis


Majalah “Kabare Kagama” Edisi 158/XXXI/Agustus 2005





Menggoreskan Tinta, Menuai Makna


“Manusia boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan musnah dari peradaban dan dari sejarah.”

Sepotong kalimat yang ditorehkan Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu tetraloginya itu boleh jadi sebuah penyemangat bagi para pecinta dunia aksara. Bagi banyak orang menulis adalah kegiatan yang tak menyenangkan. Namun, bagi sebagian ysng lain, menulis justru sebuah aktivitas yang sangat menyenangkan. Bisa jadi, dari cuma sekadar hobi menulis, ternyata, rupiah bisa diraih. Bahkan, bila ditekuni lebih serius menulis bisa juga dijadikan profesi.
Sebuah harian nasional pernah menurunkan berita seputar potensi dunia penerbitan buku di Indonesia dan Malaysia. Dewasa ini pertumbuhan penulis-penulis muda Indonesia sangat menggembirakan. Ditambah lagi banyaknya buku yang dihasilkan. Padahal, masyarakat dan pemerintah Indonesia masih kurang memberi perhatian terhadap dunia yang satu ini. Umumnya, keinginan membaca masyarakat Indonesia cukup tinggi. Namun, ini tidak dibarengi dengan kemampuan membeli buku.
Sebaliknya, di negeri tetangga, Malaysia, yang jumlah penduduknya sekitar sepersepuluh dari jumlah penduduk Indonesia, pasar tampak terbuka lebar. Pasalnya, di sana, minat baca masyarakatnya sangat tinggi. Ini didukung oleh daya beli dan peran serta pemerintah Malaysia yang sangat tinggi. Namun, sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan pertumbuhan jumlah para penulis Malaysia. 90% buku-buku yang beredar di Malaysia merupakan impor. Dan, sebagian besar berbahasa Inggris. Ini merupakan sebuah peluang pasar bagi dunia penerbitan buku Tanah Air. Ya, setidaknya ini mampu sedikit demi sedikit menghapus stigma negatif soal TKI. Dari sini diharapkan Indonesia tak cuma sekedar “mengekspor” para TKI, tetapi juga mengekspor karya-karya intelektual anak bangsa.
Menyoal kemunculan penulis-penulis muda yang semakin banyak, boleh jadi ini bukan suatu kebetulan. Dalam hal ini Forum Lingkar Pena (FLP) bisa dijadikan contoh. FLP merupakan sebuah organisasi bagi para penulis dan calon penulis. Sejak didirikan pada tahun 1997 hingga kini, tak kurang 5000 orang telah tergabung di dalamnya. Mereka tersebar di hampir 30 provinsi dan mancanegara.
“Di FLP ini keanggotaannya terbuka. Meski memang bertujuan untuk dakwah Islam, anggota yang non-Muslim juga boleh bergabung,” terang Rullyansyah (23), anggota FLP Yogyakarta. Impian besar didirikannya FLP ini, katanya, adalah agar masyarakat Indonesia, terutama kaum mudanya, semakin mencintai aktivitas membaca dan menulis. Berbagai kegiatan digelar FLP. Dari rekrutmen anggota, diskusi, pelatihan, hingga penerbitan karya-karya anggotanya.
“Di FLP ada silabus yang wajib diikuti oleh setiap anggotanya. Setiap minggu selalu ada pertemuan,” ujar Reza Maulana (24), anggota FLP yang lain. Selama bergiat di FLP Rullyansyah dan Reza menuai banyak manfaat. “Tambah teman dan pengalaman itu pasti. Kami jadi tertular virus merangkai kata-kata,” ucap keduanya.
Sebagai organisasi nirlaba, kegiatan FLP hampir semuanya mengandalkan iuran para anggotanya. “Suatu saat kami ingin membuat kegiatan lain yang dapat memberi suntikan dana buat FLP. Mungkin membuat kursus menulis. Kalau cuma sekadar mengajari menulis, banyak angota yang bisa,” terang Bunda, moderator FLP Yogyakarta.
Ide membuat sekolah menulis itu telah diwujudkan oleh beberapa orang yang mendirikan Jogja Writing School (JWS). JWS Baru saja lahir di Gota Gudeg ini. Bahkan, angkatan pertamanya saja baru dimulai Juli 2005 ini. “Kursus menulis di JWS berlangsung selama 2,5 bulan. 1,5 bulan pertama para siswa dibekali teori. Sisanya, siswa dibimbing untuk membuat karya fiksi,” ungkap Aulia Fadhli, salah seorang staf JWS.
Kelahiran JWS mungkin bisa dianggap sebagai kejelian dalam melihat pasar. Telah menjadi rahasia umum bahwa Yogyakarta adalah gudangnya para intelektual, dan juga penulis. “Para pengajarnya berasal dari beberapa surat kabar yang ada di Yogyakarta. Juga ada dari kalangan akademisi,” tambahnya.
Selama ini, tambah pria berkacamata ini, pelatihan jurnalistik telah banyak diadakan. Tetapi itu semua tidak efektif karena waktu pelatihan yang sangat singkat dan tidak ada pembimbingnya. Menanggapi itu JWS telah merancang kurikulum agar para siswanya mampu menghasilkan karya yang layak jual. “Kursus menulis nantinya akan dilangsungkan secara outdoor dan indoor,” terang jebolan UIN Sunan Kalijaga ini. Ke depan, JWS akan membentuk komunitas kepenulisan. “Mungkin seperti FLP nantinya,” tambah Aulia.
Belajar menulis tak harus kursus, bukan? Menulis adalah kemampuan dasar setiap insan terpelajar. Namun, agaknya, banyak kaum terpelajar yang memandang sebelah mata terhadap hal yang satu ini. Akibatnya, banyak di antara mereka yang kurang bisa menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan.
Kemampuan menulis dapat diasah secara otodidak. Seperti yang dilakukan oleh Wahyu Seno Aji (23) ini. Kerapkali ia menuangkan ide-idenya ke dalam tulisan dan mengirimkannya ke media massa lokal. Tercatat telah berualang kali tulisaannya menghiasi kolom sebuah media massa. “Yah, lumayanlah dapat honor,” komentarnya singkat. Kegiatan ini diakuinya sebagai hobi yang unik. “Terutama kalau uang kiriman sudah menipis. Rasanya ada hasrat yang menggebu untuk menulis,” ujarnya memberi alasan. Mahasiswa UGM ini mengaku sangat beruntung dapat menimba ilmu di Yogyakarta, Pasalnya, iklim Jogja sebagai kota pelajar sangat kondusif untuk belajar. Namun, ia khawatir dengan maraknya pembangunan mal belakangan ini dapat menyurutkan gairah belajar kaum terdidik di Yogyakarta.
Aura Yogyakarta sebagai penyebar pergulatan intelektual (tradisi membaca dan menulis) dipaparkan oleh Muhidin M. Dahlan dalam bukunya “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta”. Dalam buku itu, ia memaparkan bagaimana ia tersihir oleh silaunya tumpukan buku yang berjejer rapi di lapak-lapak kios buku. Dari anak kampung yang tak pernah sekalipun menyentuh buku, ia menjadi keranjingan buku. Itu berlanjut ketika ia aktif menulis di pers kampus hingga kini sebagai penulis profesional.
Selain bisa dijadikan profesi, seperti yang dilakukan Muhidin, atau hobi yang mendatangkan lembaran rupiah seperti yang dilakukan Seno, ternyata menulis juga memberikan dampak psikologis. “Sejak saya rajin membaca dan menulis, rasa percaya diri saya semakin bertambah,” aku Hernowo, General Manager penerbit Mizan, dalam sebuah acara diskusi buku karyanya di sebuah toko buku di Yogyakarta.*

No comments: