Monday, June 11, 2007

>wisata ziarah


Suluh Interfaith Magazine. Majlah antariman pertama di Indonesia. Terbit tiap dua bulan, Indonesia-Ingris (bilingual). Didistribusikan cuma2, alias gratis. Diterbitkan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta. Forum ini cukup terkenal. Coba search engine pasti byk berita ttg aktifitas FPUB.


Wisata-Ziarah
Persekutuan Bisnis dan Spiritualitas?


Konon, wisata-ziarah ke tempat-tempat suci mampu membuat manusia bisa memaknai diri dan dunianya secara lebih mendalam. Melalui penghayatan akan nilai-nilai historis-teologis yang terhimpun dari tiap sudut tempat bersejarah itu, manusia akan menjadi sadar: betapa luas cakrawala spiritualitas terbentang! Selain mengasah dimensi spiritualitasnya, wisata-ziarah juga memfasilitasi seseorang untuk merasakan sesuatu yang baru, berbeda, dan bermakna dari tiap-tiap daerah dan tempat bersejarah yang ia kunjungi.
Alkisah, seorang wartawan sebuah harian nasional pernah menuturkan pengalamannya ketika mengunjungi tempat kelahiran Buddha Gautama di Bodhaya, India. Ia berjumpa dengan seorang warga Amerika yang juga sedang menjalani wisata-ziarah di tempat itu. Sang wartawan bertanya kepada si “bule”, “Mengapa Anda sudi berkunjung ke tempat yang miskin dan kering seperti itu?”
Dengan lantang lelaki Amerika itu berujar, “Kalau kalian menganggap India miskin, dan berarti kualitas hidupnya rendah, jelas itu keliru. Saya datang dari Amerika, negara paling kaya, tetapi angka kejahatannya tertinggi di dunia. Jutaan orang tua ditelantarkan anak kandungnya dan mati dicekam kesendirian di rumah jompo. Akan kau dapati di sana, kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga merajalela, dan beragam kericuhan lain yang kian menggurita. Negara saya kaya-raya tapi kualitas hidupnya merana. Kini, di negara yang miskin ini, saya mendapatkan kelengkapan spiritualitas saya.”
Wartawan itu, tentunya, tak bisa menebak getaran spiritual macam apa yang mengguncang batin pelancong Amerika itu. Banyak orang memberi kesaksian serupa ketika berkunjung ke tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah, terutama artefak sejarah yang mampu “berbicara”, menyentuh kedalaman dimensi spiritualitas para pengunjungnya.
Hampir semua tradisi agama dan keyakinan memiliki tempat-tempat yang disejarahkan. Ia bisa berbentuk petilasan tempat bersejarah agama, ataupun makam para tokoh agama yang dianggap mampu memfasilitasi segala keresahan spiritualitas pengunjung. Tempat-tempat yang dikeramatkan itu, lantas, dikelola dan dijaga supaya tetap bisa memfasilitasi kenyamanan batin para peziarah.
Memang, pada mulanya adalah ziarah, sekadar mengunjungi tempat-tempat suci untuk berdoa dan menjalani ritual lainnya. Namun, lambat-laun, ketika umat berduyun-duyun setiap hari atau minggunya untuk berziarah, tak pelak lagi, tempat-tempat yang diagungkan itu menjadi “lahan bisnis” yang cukup menguntungkan bagi banyak orang. Tak semata pengelolanya yang tiap harinya berpikir tentang penambahan fasilitas demi “kenyamanan peziarah”, yang buntutnya ialah mengeruk keuntungan dari berjubelnya peziarah. Masyarakat di sekitar tempat itu pun ikut menikmati keuntungan dari berjualan aneka suvenir, makanan, ataupun barang dan jasa lainnya. Tak ketinggalan, jasa transportasi dan akomodasi pun banyak digelar untuk turut memberikan pelayanan kepada para peziarah yang ingin berkunjung ke tempat-tempat itu. Intinya, bagaimana membuat peziarah-pelancong itu semakin berkesan dengan tak hanya kenyamanan beribadah, namun juga kepuasan berwisata.
Fenomena wisata-ziarah yang paling bombastis, karena senantiasa menghadirkan banyak persoalan setiap tahun, adalah ibadah haji dan umroh di kalangan muslim. Haji, di dalam Rukun Islam, memang suatu bentuk ritual yang diwajibkan bagi muslim-muslimah yang dikategorikan mampu, baik secara finansial, fisik, dan terlebih batin. Jutaan orang dari segala penjuru dunia berkunjung ke Mekah, Arab Saudi, tiap tahunnya. Ritual lainnya yang senantiasa melekat dengan haji adalah mengunjungi makam Nabi Muhammad SAW. Tak usah membayangkan betapa melimpah kekayaan kerajaan Arab Saudi dari “membisniskan” Ka’bah itu. Di negeri ini saja, Departemen Agama, sebagai pengelola utama, dilanda kerepotan untuk mengurusi jemaah yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai ladang bisnis yang tak pernah sepi peminat, banyak pengusaha yang lantas mendirikan biro-biro jasa haji untuk turut menikmati rezeki yang menumpuk di Depag itu. Menjamurlah pelbagai biro haji dan travel yang mengkreasi pelayanan bagi para jemaah yang membutuhkan, mulai dari bimbingan haji, kebutuhan harian jemaah, sampai dengan kunjungan wisata-spiritual ke negara-negara sekitar Arab Saudi.
Mungkin banyak biro jasa dan travel yang bergelimang keuntungan dari hanya mengelola haji tiap tahunnya. Banyak juga biro travel yang cukup berjaya dengan hanya “paket khusus” menangani perjalanan ritual ke mancanegeri, seperti Tirta Yatra—istilah umat Hindu di Indonesia untuk menyebut wisata-ziarah—ke India, ke tanah suci Palestina—kota yang menghimpun beragam petilasan suci bagi, setidaknya, tiga tradisi agama—ataupun aneka tempat bersejarah di belahan bumi lainnya. Tak sedikit pula biro travel yang harus pintar-pintar memasarkan jasanya untuk semua orang dari semua agama yang butuh pelayanan wisata-ziarah, terutama di area domestik.
Fajrul Solah (39), pemilik Mafaza Tour and Travel di Bantul, Yogyakarta, umpamanya, menuturkan bahwa bironya tak hanya melayani permintaan dari semata-mata kalangan muslim. Selain melayani peziarah ke tempat-tempat favorit seperti makam Walisongo di Jawa, Borobudur, dan Prambanan, bironya juga kerap mengantarkan peziarah ke Sendangsono, ke Bali, atau ke tempat-tempat lain yang dianggap menyimpan berkah. Selain menyiapkan pelayanan kolektif dengan jumlah besar, tak jarang pula ia menerima keluarga ataupun perorangan, dengan beragam fasilitas: mulai dari jasa transportasi, akomodasi, jadwal perjalanan, dokumentasi, sampai pemandu wisata. “Yang terpenting,” menurut Sholah, “adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya demi kenyamanan perjalanan peziarah.”
Wisata-ziarah memang telah menjadi ritual yang turun-temurun, tak pernah lekang oleh tikaman zaman. Justru, tampaknya, makin banyak diminati, terutama pada hari-hari bersejarah dan liburan. Kemudahan perjalanan dan kenyamanan beribadah, selain mengais berkah, menjadi pemicu hasrat peziarah untuk mengunjungi tempat-tempat suci.
Yohanes (70), pengelola Sendang Jatiningsih di Kulon Progo, Yogyakarta, bertutur bahwa pada hari-hari biasa tempat ziarah tersebut dikunjungi sekira 50-an orang. Namun, pada hari libur, seperti Imlek kemarin, pengunjung bertambah dua kali lipat daripada biasanya. Tempat ziarah Katolik yang dibangun pada tahun 1980-an itu, secara rutin, dikunjungi oleh para peziarah pada bulan Oktober dan Mei. Pasalnya, bulan-bulan itu merupakan bulan Rosario, yang dianggap suci oleh umat Katolik. Umumnya, peziarah menggelar doa demi menggapai ketenteraman dan keselamatan hidup.
Tempat ziarah yang terletak di tepi Sungai Progo itu baru dua bulan terakhir dikelola secara “profesional” oleh warga sekitar. Sebelumnya, pemudalah yang mengelolanya. Namun, sayangnya, pendapatan yang diperoleh dari karcis pengunjung sering raib. Setelah dikelola para orang tua, pendapatan bisa “ditertibkan”, dan malah bisa dipakai untuk melakukan pembenahan di beberapa tempat. Dari papan rencana pembangunan, tampak bahwa dibutuhkan biaya yang tak sedikit untuk membangun beberapa fasilitas guna menambah kenyamanan peziarah. Yohanes berharap agar jumlah peziarah, yang selama ini masih didominasi oleh warga Yogyakarta, Magelang, dan sekitarnya, bisa makin meluas, sehingga tambah ramai.
Pembenahan dan penambahan fasilitas di sana-sini mungkin menjadi tema umum pengelolaan tempat-tempat bersejarah. Beberapa candi di Borobudur dikabarkan mengalami pelapukan, sehingga membutuhkan pembenahan dengan dana yang tak sedikit. Pengelolanya harus berpikir keras untuk senantiasa bisa menampilkan Borobudur yang “klasik, religius, kokoh, dan nyaman”. Tujuannya adalah satu: mendatangkan banyak orang dari segala penjuru dunia untuk semakin menikmati wisata-ziarah di salah satu bangunan ajaib di dunia itu.
Meski demikian, tak sedikit orang menoleh ke tempat-tempat bersejarah di belahan dunia lain untuk mengetuk-ngetuk pintu spiritualitasnya. Aneka alasan pun ditampilkan oleh pelancong domestik yang menggemari berziarah ke tempat-tempat di negara lain. Selain, tentunya, tak ada kendala finansial dan bisa menambah gengsi sosial, berwisata-ziarah ke luar negeri lebih mampu mempertebal dinding spiritualitas, karena lebih bebas menjalani ritual peribadatan, tanpa harus banyak merasakan pembatasan dan gangguan seperti di negeri sendiri.
Simpulan itu dilontarkan oleh Suryanto (28), mahasiswa S-2 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ia pernah mengunjungi beberapa tempat suci di India pada tahun 2002, di antaranya Urindagawa (tempat kelahiran Krisna), Kuil Jaganatpuri, dan Sungai Suci Yamuna. Ia menuturkan, di India peziarah lebih bebas menjalani sembahyang sebanyak yang ia maui sehariannya. Berbeda halnya dengan berziarah di candi-candi di Jawa, ia tidak diperkenankan untuk sembahyang oleh petugas candi. Tambahan lagi, di setiap kuil di India terdapat orang suci (Sanyasin) yang tinggal di kuil dan memberikan pelayanan spiritual bagi yang membutuhkan. Oleh karenanya, wisata-ziarah ke luar negeri lebih mampu memberikan kenyamanan bagi peziarah ketimbang di sini.
Dengan situasi semacam itu, ia melihat wajar jika peziarah dari Indonesia ke luar negeri tiap tahunnya mengalami peningkatan. Lelaki vegetarian ini sadar, untuk memperoleh kesucian dengan menziarahi tempat-tempat suci sebagaimana menjadi ajaran Hindu memang tak harus ke India. Namun, ada nilai spiritual dan pengalaman wisata yang lebih yang bisa didapat dari India ketimbang di negeri sendiri.
Syihabuddin & Igen Arya Wijaya

No comments: