Melejitkan “Cerdas Kata” sebagai
Upaya Meningkatkan Kadar Intelektual Mahasiswa
Perjalanan panjang peradaban suatu bangsa melewati fase-fase kebudayaan yang teratur, bertahap dan berkelanjutan. Ada empat fase kebudayaan yang sangat mempengaruhi corak kebudayaan. Keempat fase tersebut adalah budaya berbicara, membaca, menulis dan menonton. Masyarakat kita, Indonesia dan juga masyarakat di negara-negara dunia ketiga pada umumnya, menjalani fase-fase itu secara sepotong-sepotong. Pada fase awal, budaya berbicara telah menjadi keseharian di masyarakat, dan telah mendarah daging. Budaya berbicara ini memberikan pijakan bagi perkembangan budaya selanjutnya, yaitu budaya membaca. Budaya membaca membuat masyarakat memperoleh pengetahuan yang tidak dapat diperolehnya dari budaya sebelumnya. Pengetahuan yang diperoleh, kemudian, dicoba untuk direproduksi dengan cara menuliskannya. Jadilah budaya menulis. Memasuki fase berikutnya, terjadi lompatan yang luar biasa dalam masyarakat kita. Budaya membaca dan menulis, yang sedang berkembang dan belum mantap, harus berhadapan dengan budaya baru yang lebih menjanjikan kesenangan dan kemudahan, yaitu budaya menonton. Akibatnya, masyarakat kita menjadi terlena dengan media baru yan dibawa oleh budaya menonton tersebut, yang sarat dengan teknologi digital yang memanjakan telinga dan mata. Lebih lanjut, masyarakat menjadi tergagap-gagap menghadapi perkembangan dunia yang semakin cepat. “Pendek kata, media dalam masyarakat etnik tradisional di negara berkembang adalah “media lisan”, “media telinga dan media mata” serta ”media pertunjukkan” (Kayam, 1997).
Imbas dari masyarakat yang gagap kebudayaan menyebabkan dunia pendidikan menjadi suram, tak terkecuali juga melanda kelompok intelektual yakni mahasiswa.. Akibatnya, proses pembelajaran di dunia akademik, yang sangat berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis, menjadi terhambat. Padahal menurut pakar pendidikan J. Drost (1990) bahwa semua calon mahasiswa harus telah mencapai Hochschulreife, yaitu kematangan baik intelektual maupun emosional untuk dapat menempuh studi akademik. Hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan calon mahasiswa dalam bernalar dan bertutur. “Ciri khas dari seorang yang ‘matang’ masuk perguruan tinggi adalah penguasaan bahasa Indonesia. Baik saat bertutur maupun saat menulis. Tata bahasa dan ejaan harus dikuasai secara mutlak. Logika bahasa mencirikan segala cara berkomunikasi calon mahasiswa” (Drost, 1990).
Tulisan ini hendak mengajak pembaca melihat budaya membaca dan menulis di kalangan kaum intelektual mahasiswa. Data yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada hasil penelitian Badan Penerbitan Pers Mahasiswa UGM “BALAIRUNG” bekerjasama dengan Harian Kompas pada tahun 2001.
Penelitian tersebut dilakukan terhadap mahasiswa di empat perguruan tinggi terbesar di Yogyakarta (lihat Tabel 1). Dari 56.743 jumlah mahasiswa di empat perguruan tinggi tersebut kemudian dipilih 219 mahasiswa sebagai sampel penelitian (lihat Tabel 2). Dari hasil penelitian terungkap bahwa kebiasaan membaca buku di kalangan mahasiswa, ternyata, cukup rendah yaitu 6,4% (lihat Tabel 3). Kebiasaan dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Dari kebiasaan inilah corak kebudayaan terbentuk. Menarik menyimak jenis buku yang dibaca (lihat Tabel 4) dengan jenis buku yang dibeli (lihat Tabel 5) mahasiswa. Komik merupakan jenis buku yang paling banyak digemari mahasiswa untuk dibaca (14,4%), ternyata, tidak demikian dengan keinginan mahasiswa untuk membelinya. Mahasiswa lebih cenderung membeli buku agama (18%) sedangkan komik hanya 5,8%. Berapa alokasi biaya hidup mahasiswa di Yogyakarta? Suvei Bank Indonesia yang diterbitkan Kompas pada Rabu, 8 Desember 2004 (lihat Tabel 6) menunjukkan bahwa alokasi untuk keperluan buku maupun sarana belajar dari tahun 2001-2003 tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu 7,14 (2001), 7,32 (2002), dan 7,5 (2003). Berapa rupiah dana untuk membeli buku? Mayoritas responden (53,8%) membelanjakan kurang dari Rp. 50.000,00 untuk membeli buku (lihat Tabel 7).
Tabel 1. Komposisi Kerangka Sampel
No
Perguruan Tinggi
Jumlah Mahasiswa (Angkatan 1997-2000)
1
UGM
26.862
2
UNY
19.102
3
UAJY
3.987
4
IAIN Suka
6.792
Jumlah
56.743
( Sumber : BALAIRUNG, 2001)
Tabel 2. Sampel Yang Dipilih
No
Perguruan Tinggi
Frekuensi
Presentase
1
UGM
117
53,4
2
UNY
73
33,3
3
UAJY
14
6,4
4
IAIN Suka
15
6,8
Jumlah
219
100
( Sumber : BALAIRUNG, 2001)
Tabel 3. Tujuan Membaca Buku
No
Tujuan Baca Buku
Frekuensi
Persentase
1
Menambah wawasan dan informasi
122
52,2
2
Mendukung kuliah
52
22,2
3
Mengisi waktu luang
45
19,2
4
Kebiasaan
15
6,4
5
Mengikuti trend
0
0
Jumlah
234
100
(Sumber : BALAIRUNG, 2001)
Tabel 4. Jenis Buku Yang Dibaca
No
Jenis Buku yang Dibaca
Frekuensi
Presentase
1
Komik
39
14,4
2
Agama
36
13,3
3
Sosial budaya
34
12,6
4
Lain-lain (buku kuliah)
33
12,2
5
Seni dan sastra
31
11,5
6
Psikologi
31
11,5
7
Komputer dan elektronika
22
8,2
8
Politik
21
7,8
9
Ekonomi
17
6,3
10
Filsafat
6
2,2
Jumlah
270
100
(Sumber : BALAIRUNG, 2001)
Tabel 5. Jenis Buku Yang Dibeli
No
Jenis Buku yang Dibeli
Frekuensi
Presentase
1
Agama
37
18
2
Seni dan sastra
32
15,5
3
Lain-lain (buku kuliah)
32
15,5
4
Sosial budaya
20
9,7
5
Komputer dan elektronika
18
8,8
6
Psikologi
14
6,8
7
Politik
13
6,3
8
Komik
12
5,8
9
Ekonomi
12
5,8
10
Kesehatan
10
4,9
11
Filsafat
6
2,9
Jumlah
206
100
.(Sumber : BALAIRUNG, 2001)
Tabel 6. Belanja Pendidikan Mahasiswa DIY
Kelompok Biaya
Pengeluaran (%)
2001
2002
2003
Makan
27,88
28,64
29,37
Buku-buku/ sarana belajar
7,14
7,32
7,5
Transpor/ perawatan kendaraan
8,57
8,42
8,22
Kesehatan, perawatan diri
6,83
6,63
6,38
Pakaian
5,47
5,29
5,07
Hiburan
5,52
5,25
4,94
SPP
18,04
18,11
18,44
Indekos/ pondokan
17,79
17,57
17,41
Lain-lain
2,74
2,74
2,67
(Sumber : Suvei Bank Indonesia, 2004)
Tabel 7. Belanja Buku Mahasiswa
No
Jumlah Uang yang Dibelanjakan (Rp)
Frekuensi
Presentase
1
Kurang dari 50000
99
53,8
2
50000 – 100000
48
26,08
3
100 – 150000
25
1,6
4
150000 – 200000
6
3,26
5
Lebih dari 200000
5
2,72
6
Tidak menjawab
1
0,54
Jumlah
184
100
(Sumber : BALAIRUNG, 2001)
Apa yang menyebabkan budaya membaca mahasiswa memprihatinkan? Sistem pendidikan merupakan titik awal dari kenyataan tersebut. Menurut Harefa (2000) : bangsa kita selalu saja melihat ke belakang dalam menentukan tolak ukur keberhasilan dan selalu puas melihat kejayaan masa lampau tanpa pernah belajar dari masa lampau itu untuk kembali berpreastasi di masa depan.
Menurut Harefa (2002) : sekolah maupun universitas tidak pernah mengajarkan anak didiknya untuk berefleksi dari pengalaman hidup. Padahal, lewat aktivitas membaca dan menulis siswa dan mahasiswa mampu belajar dari penglaman hidupnya sehingga dapat menumbuhkan karakter dan kepercayaan diri. Tidak mudah terombang-ambing menghadapi kenyataan hidup. Namun, sayangnya, siswa dan mahasiswa dibanjiri oleh berbagai pengetahuan yang harus dihafalkan tanpa mengetahui makna dan tujuan belajar. Indoktrinasi terjadi karena pemerintah, selama ini, berperan sebagai komandan yang berhak untuk menentukan arah pendidikan bangsa. Institusi pendidikan hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan pemerintah yang mengenyampingkan peran orang tua. Akibatnya, siswa dan mahasiswa menjadi individu-individu yang tidak mempunyai karakter. Hal ini ditegaskan oleh Drost (1990) bahwa pendidikan tinggi didirikan untuk menciptakan manusia-manusia intelektual yang manusiawai, yang sanggup bekerja dan berpikir untuk masyarakat dan negaranya. Hal tersebut dapat tercapai apabila universitas memerankan fungsinya sebagai wadah untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa. “Apabila seorang sarjana waktu meninggalkan bangku kuliah belum memiliki wawasan hidup yang terbentuk, maka dapat dikatakan bahwa universitas yang bersangkutan telah gagal dalam tugasnya” (Drost, 1990).
Wawasan hidup yang luas dan kemampuan daya pikir yang kritis dapat diasah dengan menimba pengetahuan dari buku. Sayangnya, karena sistem indoktrinasi pendidikan tersebut, aktivitas membaca hanya digunakan sebagai sarana untuk menunaikan kewajiban belajar, yaitu menambah informasi bukan sebagai suatu kebutuhan yang membebaskan. Aktivitas membaca, oleh sebagian besar mahasiswa, dianggap sebagai aktivitas yang berat dan membosankan. Pasalnya, memang, membaca membutuhkan kesabaran, ketekunan, kesungguhan dan tentu saja kesenangan. Di era digital yang serba cepat ini diperlukan sebuah pemaknaan ulang tentang budaya membaca, yaitu dari sekedar belajar tentang (learning how to think) menjadi belajar menjadi (learning to be).
Bagaimana mengembangkan karakter mahasiswa? Gagasan UGM mengenai metode student-centered learning (SCL) patut disambut baik. Pasalnya, gagasan cemerlang tersebut menawarkan sebuah paradigma baru dalam belajar yang lebih menitikberatkan mahasiswa sebagai pelaku utama proses pembelajaran. Di sini, mahasiswa dituntut untuk lebih mengoptimalkan kemampuannya sehingga kualitas pendidikan di perguruan tinggi perlahan-lahan dapat diperbaiki. Untuk mengoptimalkan kemampuan mahasiswa diperlukan motivasi, selain penyediaan fasilitas oleh UGM, yang mampu mendorong mahasiswa untuk terus-menerus belajar tanpa harus terikat dengan institusi kampus. “Aku lebih cenderung berkata bahwa stimulus dan selera adalah faktor yang sangat berpengaruh pada pemikiran-pemikiran seseorang. Belajar tanpa selera tidak akan berhasil. Tanpa fighting spirit maka kita bukan apa-apa. Hanya dengan inilah kita dapat belajar dengan bersemangat” (Gie, 1983).
Setiap individu manusia memiliki potensi untuk berkembang. Menurut Gardner dalam Armstrong (2004) : di setiap individu manusia terdapat delapan macam kecerdasan (lihat Gambar 1). Namun, hanya ada satu atau dua kecerdasan yang paling menonjol dan menentukan jalan hidupnya. Pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menitikberatkan pada pengembangan dua kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik atau cerdas kata dan kecerdasan matematis-logis atau cerdas angka.
Gambar 1. “Peta Kecerdasan” Howar Gardner dalam Armstrong (2004)
Menurut Armstrong (2004) : yang dimaksud dengan cerdas kata adalah kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya, pendongeng, orator atau politisi) maupun tertulis (misalnya, sastrawan, penulis drama, editor, wartawan). Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa. Penggunaan bahasa ini antara lain mencakup retorika (penggunaan bahasa untuk memengaruhi orang lain melakukan tindakan tertentu), mnemonik/ hafalan (penggunaan bahasa untuk mengingat informasi), eksplanasi (penggunaan bahasa untuk memberi informasi), dan metabahasa (penggunaan bahasa untuk membahas bahasa itu sendiri).
“Cerdas kata” yang dimaksud di sini adalah kebiasaan mahasiswa dalam membaca dan selanjutnya akan berkembang, secara alamiah, menjadi kebiasaan menulis. Harefa (2000) menyayangkan aktivitas menulis mahasiswa yang terhenti setelah selesai menulis skripsi. Padahal, menurutnya, proses kreatif manusia dapat terus ditumbuhkembangkan dengan cara menuliskan gagasan-gagasannya. Pendek kata, ada asumsi bahwa selesai kuliah berarti berhenti menulis. Apa kaitan antara “cerdas kata” dengan kadar intelektual mahasiswa? Di sinilah letaknya. Seperti sudah disinggung di atas bahwa kegiatan akademik mahasiswa sangat berhubungan dengan aktivitas membaca. Kemampuan mahasiswa dalam menuangkan gagasan-gagasannya, tentu saja dalam tulisan, akan sangat membantu mahasiswa itu sendiri untuk lebih mengembangankan kemampuan dan kemauan berpikirnya. Ini sejalan dengan cita-cita UGM sebagai research university. Selanjutnya, penghargaan prestasi mahasiswa tidak hanya diukur dari prestasi akademiknya, yaitu berdasar indek prestasi (IP), melainkan juga dengan mempertimbangkan aktivitas akademik lainnya, termasuk menulis ilmiah, misalnya.
Bagaimana melejitkan “cerdas kata” agar kadar intelektual mahasiswa berkembang? Hernowo (2002) : mengungkapkan bahwa hal pertama yang dilakukan adalah mengubah paradigma. Artinya, mahasiswa harus memaknai ulang bahwa membaca adalah aktivitas yang menyenangkan. Selanjutnya adalah membangun persepsi bahwa kegiatan membaca itu tak ubahnya seperti makan. “Membaca harus diartikan sebagai aktivitas menyuplai sari-sari pengetahuan ke dalam otak. Hal tersebut dapat dilakukan seperti ngemil makanan, sedikit demi sedikit “ (Hernowo, 2004). Membaca buku mampu menghasilkan gagasan-gagasan cemerlang yang menggerakkan syaraf-syaraf otak bekerja. Tetapi, menurut Hernowo, tidak semua intelektual mampu melahirkan gagasan cemerlang. Hal ini terjadi ketika banyak intelektual terjebak dalam makna-makna teoritis tanpa mengacu pada realitas yang ada. Di sinilah perlunya mahasiswa terjun ke masyarakat.“Tugas intelektual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong elemen-elemen dalam lapisan masyarakat untuk bergerak dan berontak terhadap situasinya.” (Gie, 1983). Hal tersebut akan dapat terwujud apabila mahasiswa memiliki pengetahuan yang multidisiplin, pengetahuan di luar disiplin ilmu yang dipelajarinya di kampus. “Hanya mereka yang dapat menempuh jalan hidup yang rupa-rupanya menyimpang dari disiplin yang mereka pelajari sewaktu di universitas yang dapat menjadi seorang intelektual” Drost (1990).
Intelektualitas menuntut kemampuan mahasiswa menghasilkan gagasan-gagasan baru yang cemerlang dan bermanfaat bagi masyarakat. Hal tersebut akan lebih berarti apabila mahasiswa mampu menuangkannya dalam tulisan. Menulis merupakan aktivitas yang jauh berbeda dengan berbicara. Menulis berarti mengungkapkan pikiran dan perasaan lewat untaian kata-kata yang sistematis dan logis. Di sinilah “cerdas kata” dan “cerdas angka” memainkan perannya. Artinya, menulis adalah perpanjangan tangan dari membaca dimana pengetahuan yang diperoleh dari aktivitas membaca sangat berperan dalam mewarnai isi dan gaya tulisan mahasiswa. Pendek kata, dengan aktivitas membaca dan menulis, mahasiswa dapat mengasah kemampuan intelektualnya. Lebih luas lagi, mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat, saat ini dan esok, diharapkan mampu menggerakkan masyarakat untuk berbudaya membaca, lebih-lebih menulis. Dengan melejitkan “cerdas kata” segala potensi yang ada dalam setiap mahasiswa dapat ditumbuhkembangkan sesuai dengan tujuan awal perguruan tinggi didirikan, yaitu membentuk mahasiswa yang berkarakter dan memiliki pandangan hidup yang mantap sehingga siap berkarya di tengah-tengah masyarakat.
Referensi
---------, 2001, Scripta Manent, Jurnal Balairung, Edisi 37 Tahun XV, Yogyakarta.
---------, 2004, Survei Bank Indonesia : Belanja Pendidikan Mahasiswa DIY, Kompas edisi Jogja, Rabu, 8 Desember 2004 hal. C.
Armstrong, T., 2004, Sekolah Para Juara : Menerapkan Multiple Inteligences di Dunia Pendidikan, Kaifa, Bandung.
Drost, J., 1990, Untuk Apa Perguruan Tinggi Didirikan?, dalam Prisma Edisi 1990, LP3ES, Jakarta.
Gie, S. H., 1983, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, Jakarta.
Harefa, A., 2000, Menjadi Manusia Pembelajar, Kompas, Jakarta.
Harefa, A., 2002, Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, Gramedia, Jakarta.
Hernowo, 2002, Mengikat Makna, Cetakan ke-3, Kaifa, Bandung.
Hernowo, 2004, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Cetakan ke-2, Kaifa, Bandung.
Kayam, U., 1997, Budaya Media dan Interaksinya dengan Budaya-budaya Etnik di Negara-negara sedang Berkembang dalam Lifestyle Ecstacy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Cetakan kedua 2004, Jalasutra, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment