Media Hindu Edisi 13 Januari-Februari 2005
Teologi Inklusif Sang Mahatma
Judul : Gandhi on Christianity
Penulis : Robert Ellsberg (editor)
Penerbit : LKiS, Yogyakarta 2004
Tebal : xiv + 223 halamanJudul : Gandhi on Christianity
Penulis : Robert Ellsberg (editor)
Penerbit : LKiS, Yogyakarta 2004
“…saat kekecewaan mulai tampak di wajahku, dan saat aku tidak melihat cahaya terang di cakrawala, aku kembali pada Bhagawad Gita dan menemukan ayat yang menghiburku Aku segera tersenyum di tengah-tengah kesedihan yang meliputiku,” tulis Mohandas Karamchand Gandhi suatu ketika.
Siapa yang tak mengenal keteladanan Bapak Kemerdekaan India itu? Gandhi telah membuktikan kepada dunia bahwa cinta kasih adalah sebuah alat yang luar biasa untuk melawan ketidakadilan.. Sebuah sikap yang tidak lahir begitu saja. Ya, Gandhi telah melakukan proses pergulatan spiritual dan intelektual sepanjang hayatnya. Pergulatan yang membutuhkan kesabaran, kedewasaan dan seringkali kepedihan.
Sebuah kisah pergulatan Gandhi dengan agama Kristen dipaparkan dalam buku ini. Sebenarnya, beberapa tahun yang lalu, buku ini pernah diterbitkan oleh Penerbit Paramita dengan judul “Gandhi dalam Dialog Hindu-Kristen”.
Kisah perjumpaan Gandhi dengan agama Kristen dimulai ketika ia belajar hukum di London pada tahun 1887. Di sana ia banyak berkenalan dengan orang Kristen, sebagian diantaranya adalah vegetarian. Orang-orang Kristen berusaha mendekati Gandhi dengan tujuan agar Gandhi mau dikonversi menjadi Kristen. Mereka memperkenalkan kebudayaan Kristen kepada Gandhi dengan cara mengajak Gandhi menghadiri kegiatan di gereja, pelayanan kepada orang miskin maupun mempelajari Injil. Dari sekian banyak buku tentang Kristen yang dipelajarinya, Gandhi sangat terkesan dengan Khotbah di Atas Bukit. Ia banyak menemukan spirit hidup dan ketentraman tatkala membaca ulasan-ulasan Yesus karena apa yang selama ini diperjuangkannya seakan-akan direstui oleh pesan-pesan Yesus tadi. Bagi Gandhi, Yesus adalah satu dari sekian banyak guru spiritualnya di dunia yang tempatnya sejajar dengan Muhammad, Buddha, Rama, Krisna, Zoroaster maupun Guru Nanak. Yesus merupakan sosok yang luar biasa dalam mewartakan cinta kasih dan pengorbanan. “Yesus tidak mengajarkan hukum balas dendam. Justru sebaliknya cinta kasih. Buddha dan Yesus menunjukkan dengan jelas kelembutan dan cinta kasih di belakang setiap tindakannya. Mereka tidak akan mengangkat senjata melawan musuh-musuh mereka, tetapi dengan senang hati akan menyerahkan diri mereka sendiri daripada menyerahkan kebenaran yang telah mereka percayai” demikian kekaguman Gandhi.
Gandhi mendapat banyak tawaran dari sahabat-sahabat Kristennya agar ia meninggalkan agamanya dan memeluk agama Kristen yang menjanjikan keselamatan. “Seandainya ini adalah ajaran Kristen yang diakui oleh semua orang Kristen, aku tidak dapat menerimanya. Aku tidak mencari penebusan atas konsekuensi dosaku. Aku ingin ditebus dari dosa-dosa itu sendiri atau dari setiap pikiran dosa” tulis Gandhi Hal yang paling memberatkan bagi Gandhi adalah ketika untuk menjadi Kristen seseorang harus makan daging dan minum anggur serta mengganti pakaiannya seperti orang Barat. Gandhi tidak dapat menerima dogma bahwa seseorang bisa masuk surga atau memperoleh keselamatan hanya dengan menjadi Kristen. Bagi Gandhi tak ada agama yang paling sempurna di dunia ini, pasti ada cacatnya. Beralih agama bukanlah solusi terbaik. “….aku menemukan penghiburan dalam Bhagawad Gita, penghiburan yang bahkan tidak aku dapatkan dalam Khotbah di Atas Bukit,” tulis Gandhi.
Gandhi adalah orang pertama yang bersikeras membedakan antara Injil Kristus dengan kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut Gandhi, bangsa Eropa telah melakukan ekspansi kekuasaan ke Asia dan Afrika dengan mengatasnamakan Tuhan. Berdalih mewartakan kebenaran, justru sebaliknya, mereka adalah pemuja kekayaan yang mewakili semangat setan dan mengucap Tuhan hanya sebatas bibir. Para misionaris, yang umumnya orang Barat, dalam melaksanakan tugasnya, banyak menggunakan cara yang tidak manusiawi dan merendahkan harkat dan martabat Gandhi sebagai seorang Hindu-India. Arogansi para misionaris yang mengklaim kebenaran tunggal dan tak ada keselamatan di luar gereja sungguh merupakan sebuah pandangan yang kerdil. Apalagi dengan mempropaganda keburukan agama Hindu, menghina nenek moyang dengan adat istiadatnya, sungguh disesalkan Gandhi. Gandhi sangat menyayangkan pemahaman Kristen di Barat yang jauh menyimpang dari “Khotbah di Atas Bukit”. “….bahwa dimanapun suatu keyakinan tidak dapat terwujud sempurna dalam tindakan,” ungkap Gandhi.
Beberapa dekade yang lalu, bahkan hingga kini, hubungan antaragama diwarnai berbagai ketegangan dan saling mencurigai, yang berujung pada aksi kekerasan. Karen Amstrong, seorang mantan biarawati Katholik, menuliskan bagaimana konflik antaragama itu terus-menerus direproduksi dalam rahim agama-agama Ibrahim. Paparannya yang lugas tertuang dalam buku-bukunya, “Sejarah Tuhan” dan “Berperang Atas Nama Tuhan”. Ia jengah dengan konflik antaragama yang tak kunjung tuntas. Maka, ia, akhirnya, memilih menjadi freelence monotheism yang diungkapkannya dalam bukunya “Autobiografi Spiritual”.
Pertentangan antaragama, selama ini, bagi Gandhi, disebabkan adanya kemiskinan intelektual dalam menginterpretasikan teks, terkadang diikuti pula dengan kemiskinan hati, bahkan seringkali salah menginterpretasikannya. Bagi Gandhi hubungan antaragama harus dilandasi semangat toleransi yang berwujud pada tindakan religius dan rela berkorban. Toleransi tidak dapat dibangun dengan mengabaikan perbedaan, apalagi dibangun di atas penderitaan. Gandhi membentuk sikap toleransinya dengan berusaha berpikir terbuka dan menerima kebenaran dari semua agama tanpa berusaha mencela agama manapun. “Hanya ada satu kebenaran dan agama yang sempurna. Tetapi menjadi banyak ketika dipahami melalui media manusia karena manusianya tidak sempurna” tegas Gandhi. Satu teladan nyata yang dilakukan Gandhi adalah kemauannya mempelajari berbagai kitab suci untuk memperkaya perspektif perjuangannya dalam menegakkan satyagraha (kebenaran) dan ahimsa (nirkekerasan).
Secara tegas, Gandhi menolak dialog antaragama yang hanya berdasarkan intelektualitas. Karena dialog yang demikian hanya akan menghasilkan pihak yang menang dan kalah, ada yang kecewa dan gembira. Ia lebih menyukai dialog antaragama berdasarkan pengalaman religius. Dari dialog seperti itu akan mampu dibangun sebuah “rasa” bahwa agama diciptakan untuk menyejahterakan manusia, bukan untuk saling bermusuhan. Sarva dharma samanatva. Menghormati semua agama. Gandhi berpendapat bahwa dialog antaragama bukan sebagai ajang untuk mencari kesalahan-kesalahan agama lain dan hanya membenarkan agamanya sendiri. Keberhasilan dialog antaragama terwujud bila yang Hindu semakin taat kehinduannya, yang Kristen makin kuat kekristenannya, yang Islam makin kokoh keislamannya, yang Buddha makin sempurna kebuddhaannya, begitu juga dengan yang lainnya. “…..kita seharusnya memperlakukan semua agama sama seperti kita memperlakukan handai taulan dan sanak keluarga terdekat kita dan seharusnya kita tidak membeda-bedakan mereka…..” tulis Gandhi
Setelah mempelajari berbagai agama selama bertahun-tahun, Gandhi sampai pada kesimpulan bahwa semua agama benar, semua agama memiliki kesalahan di dalamnya, dan semua agama hampir sama berartinya seperti agama Hindu bagi dirinya. Kebenaran, bagi Gandhi seperti yang dituturkannya dalam autobiografinya “The Story of My Experiment with Truth”, adalah sesuatu yang masih terus berlanjut dan berproses dan akan berhenti ketika hidupnya berakhir. “…jika aku menjadi korban dari peluru seorang pembunuh, aku mungkin melepaskan nyawaku dengan kenangan yang akan ditulis sebagai seorang pendusta, jika bibirku mengucapkan kata marah atau penghinaan pada penyerangku di saat terakhirku,” tulis Gandhi seakan tahu tragedi yang akan menjemput ajalnya.
No comments:
Post a Comment