Suara Anandam. Pengennya she nulis panjang. Ide di kepala udah byk tp ga tahu cara menguraikannya. Terasa berat bgt. Maklum br awal belajar nulis………….
MER……DK… ATAU MA……………
“Tujuh belas Agustus tahun empat lima itulah hari kemerdekaan kita………………………………”
Demikian sepenggal lirik lagu Hari Merdeka yang mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan bangsa merebut kemerdekaan. Sebenarnya apa sih yang terbesit dalam benak kita tatkala meneriakkan yel-yel merdeka? Tapi yang jelas orang selalu meneriakkan kata “merdeka” dengan suara lantang dan gembira, entah mereka sadari ataupun tidak. Dalam benak kebanyakan orang, merdeka berarti lepas dari rongrongan penjajah bebas seperti burung di angkasa.
Teriakan merdeka pada masa pra-proklamasi dibarengi dengan angkat senjata dan diwarnai oleh kekerasan namun saat ini kita hidup dalam era baru, pasca-proklamasi, yang tidak memerlukan senjata. Merdeka berarti bebas melakukan apa saja yang dikehendaki tapi benarkah bangsa kita sudah bebas dari penjajahan, sudah merdeka? O….penjajahan sekarang lebih kejam. Why? Lihat saja, saat ini kita sedang “dicuci otak” dengan produk- produk industri bangsa asing. Tengoklah bagaimana Coca Cola, KFC, Sinchan, Teletubies, Nike, Yamaha, Levi’s dan sekutunya telah menjadikan hampir seluruh penduduk negeri ini menjadi “manusia modern”, manusia yang menginternasional.
Arus globalisasi telah merubah pola pikir manusia dari pemahaman yang tradisional menuju paradigma internasional dimana tingkat konsumsi manusia telah melewati pagar-pagar geografis. Bagaimana kita mau berpikir tentang identitas bangsa di lain pihak kebudayaan kita sudah tidak original lagi.
Tatkala kita mengkonsumsi produk “internasional” tersebut tak sadar kita telah membawanya kedalam alam bawah sadar. Sejenak saja kita tak menyentuhnya maka kitapun jadi seperti kehilangan nyawa. Berarti keterikatan telah menjajah pikiran kita telah mencandui kita namun selama tidak terikat olehnya maka kita bisa berkata “aku merdeka” seperti dalam Bhagawadgita II.64 “Tetapi orang yang teguh iman walau hidup di tengah-tengah benda duniawi tetap menguasai nafsunya, bebas dari suka dan benci mencapai kedamaian dalam jiwanya”
Bangsa Indonesia telah membuktikan pada dunia bahwa kemerdekaan, kedaulatan dan martabat bangsa harus diperjuangkan. Perjuangan itu tak lepas dari semangat nasionalisme, sesuatu yang telah meletakkan bangsa pada persamaan perspektif tentang kenegaraan.
“Nasionalisme yang dirintis para pendiri Republik Indonesia bukan nasionalisme Hittler atau Dai Nippon dulu, yang perangainya mengorbankan rakyat demi keagungan palsu negara. Nasionalisme kita diemban konstitutif oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan sila Kemanusiaan yang adil dan Beradab” ( Mangunwijaya, Y.B).
MER……DK… ATAU MA……………
“Tujuh belas Agustus tahun empat lima itulah hari kemerdekaan kita………………………………”
Demikian sepenggal lirik lagu Hari Merdeka yang mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan bangsa merebut kemerdekaan. Sebenarnya apa sih yang terbesit dalam benak kita tatkala meneriakkan yel-yel merdeka? Tapi yang jelas orang selalu meneriakkan kata “merdeka” dengan suara lantang dan gembira, entah mereka sadari ataupun tidak. Dalam benak kebanyakan orang, merdeka berarti lepas dari rongrongan penjajah bebas seperti burung di angkasa.
Teriakan merdeka pada masa pra-proklamasi dibarengi dengan angkat senjata dan diwarnai oleh kekerasan namun saat ini kita hidup dalam era baru, pasca-proklamasi, yang tidak memerlukan senjata. Merdeka berarti bebas melakukan apa saja yang dikehendaki tapi benarkah bangsa kita sudah bebas dari penjajahan, sudah merdeka? O….penjajahan sekarang lebih kejam. Why? Lihat saja, saat ini kita sedang “dicuci otak” dengan produk- produk industri bangsa asing. Tengoklah bagaimana Coca Cola, KFC, Sinchan, Teletubies, Nike, Yamaha, Levi’s dan sekutunya telah menjadikan hampir seluruh penduduk negeri ini menjadi “manusia modern”, manusia yang menginternasional.
Arus globalisasi telah merubah pola pikir manusia dari pemahaman yang tradisional menuju paradigma internasional dimana tingkat konsumsi manusia telah melewati pagar-pagar geografis. Bagaimana kita mau berpikir tentang identitas bangsa di lain pihak kebudayaan kita sudah tidak original lagi.
Tatkala kita mengkonsumsi produk “internasional” tersebut tak sadar kita telah membawanya kedalam alam bawah sadar. Sejenak saja kita tak menyentuhnya maka kitapun jadi seperti kehilangan nyawa. Berarti keterikatan telah menjajah pikiran kita telah mencandui kita namun selama tidak terikat olehnya maka kita bisa berkata “aku merdeka” seperti dalam Bhagawadgita II.64 “Tetapi orang yang teguh iman walau hidup di tengah-tengah benda duniawi tetap menguasai nafsunya, bebas dari suka dan benci mencapai kedamaian dalam jiwanya”
Bangsa Indonesia telah membuktikan pada dunia bahwa kemerdekaan, kedaulatan dan martabat bangsa harus diperjuangkan. Perjuangan itu tak lepas dari semangat nasionalisme, sesuatu yang telah meletakkan bangsa pada persamaan perspektif tentang kenegaraan.
“Nasionalisme yang dirintis para pendiri Republik Indonesia bukan nasionalisme Hittler atau Dai Nippon dulu, yang perangainya mengorbankan rakyat demi keagungan palsu negara. Nasionalisme kita diemban konstitutif oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan sila Kemanusiaan yang adil dan Beradab” ( Mangunwijaya, Y.B).
No comments:
Post a Comment