Tulisan ini gw kembangkan dr esai gw” Perguruan Tinggi Menempa Jiwa Kepemimpinan Mahasiswa” yg nyabet juara III pd Annual Essay Competition DUE-Like Program PPKB UGM 2004. ga nyangka waktu itu bs menang. Yg ngasi tahu malah si Udin, tmn kul, yg baca Kedaulatan Rakyat. Tlsan ini gw kembangin khusus untuk penerbitan majalah Suara Anandam thn 2005.
MENYEMAI MANUSIA UNGGUL DI KAMPUS BIRU
“The end of education is building up of character” (M. K. Gandhi)
Kata jamak orang, masa berseragam abu-abu adalah masa yang paling penuh kenangan. Berbagai judul buku, film, maupun sinetron menjadi saksi kenangan itu. Saksi atas segala kisah romantis nan tragis anak manusia yang beranjak dewasa. Tapi,… ah sudahlah! Masa itu telah berlalu, terbang bersama sang waktu. Kini, tapak-tapak perjalanan hidup masih terlalu panjang untuk kita jejaki.
Lepas dari sekolah, sekarang belajar di kampus jadi mahasiswa. Sosok yang keren bagi sebagian masyarakat kita. Dari berseragam, sekarang bebas memilih busana. Tentu tak hanya itu bedanya. Yang pasti, cara belajar di perguruan tinggi berbeda dengan cara belajar di sekolah dasar maupun di sekolah menengah. Pendidikan di sekolah dasar hingga sekolah menengah menitikberatkan peran guru sebagai pelaku utama dalam proses belajar-mengajar.
Lain halnya di perguruan tinggi. Di sini, mahasiswa merupakan pelaku utama dalam proses pembelajaran, dosen hanya berfungsi sebagai fasilitator. Di sinilah diperlukan kemandirian mahasiswa. Untuk itu kematangan intelektual dan emosional sangat mutlak diperlukan. Ini tercermin pada kemampuan mahasiswa dalam bernalar dan bertutur. Hal ini ditegaskan oleh pakar pendidikan Pater Drost bahwa ciri khas dari seseorang yang matang masuk perguruan tinggi adalah penguasaan bahasa Indonesia, baik saat bertutur maupun saat menulis. Tata bahasa dan ejaan harus dikuasai secara mutlak. Logika bahasa mencirikan segala cara berkomunikasi calon mahasiswa.
Namun, agaknya, pendapat Drost tersebut belum tercermin dalam diri para pelajar dan mahasiswa Indonesia. Pasalnya, sistem pendidikan yang sentralistik menyebabkan para pelajar dipaksa untuk mempelajari berbagai hal yang tidak dimengertinya Akibatnya, apa yang dipelajarinya di sekolah seolah-olah hanyalah sesuatu yang asing dalam kehidupan mereka sehari-hari. Celakanya, mereka kemudian tumbuh menjadi manusia-manusia yang tidak berkarakter. Di sinilah titik pangkal runyamnya manusia Indonesia. Sudah jamak diketahui bahwa pelajar Indonesia memiliki kemampuan yang hebat dalam hal kognitif tetapi lemah dalam analisis dan bertutur, baik lisan maupun tertulis. Dus, ini tentu menghambat gaya komunikasi. Lebih jauh, hambatan ini akan mengganggu pertumbuhan jiwa kepemimpinan. Tragisnya, pelajar-pelajar inilah yang nantinya akan mengisi bangku-bangku kuliah di perguruan tinggi-perguruan tinggi terbaik di negeri ini, termasuk di Kampus Biru UGM.
Mahasiswa dan dinamika kampus
Sejatinya, pendidikan di perguruan tinggi (utamanya di universitas) menyiapkan manusia berjiwa petualang terhadap ilmu pengetahuan. Buku, perpustakaan, laboratorium, organisasi kemahasiswaan, dan lain-lain, diadakan untuk memenuhi dahaga ilmu pengetahuan bagi para petulang itu. Untuk itu aktivitas membaca, menulis, berdiskusi, dan penelitian sudah harus menjadi santapan sehari-hari bagi mahasiswa. Inilah nantinya yang akan menumbuhkan mahasiswa yang memiliki pengetahuan luas dan karakter kuat. Selanjutnya, mahasiswa diharapkan dapat berpikir dan bertindak secara holistik, melintasi disiplin ilmu yang dipelajarinya secara formal, dan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya serta mengembangkan karakternya untuk bersama-sama menggerakkan masyarakat untuk berkarya. Inilah yang disebut sebagai pendidikan multidisipliner yang sedang digiatkan UGM tiga tahun terakhir ini.
Menjadi manusia petualang yang gemar belajar tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang ”berdarah-darah”. Penuh pengorbanan. Namun, saat ini, perguruan tinggi tak ubahnya seperti lembaga-lembaga kejuruan yang menampung segala jenis mahasiswa dan membekalinya dengan pengetahuan praktis yang sesuai dengan selera pasar. Akibatnya, muncul pemikiran pragmatis di kalangan mahasiswa dalam belajar. Mereka cenderung mengutamakan hasil dan mengabaikan proses belajar. Impian mereka hanya sebatas ingin cepat lulus, nilai tinggi, cepat kerja, dan cepat kaya. Alhasil, sisi-sisi kemanusiaan mahasiswa seringkali terabaikan. Lantas, kesadaran interaksi dalam ruang sosial-masyarakat pun terlupakan.
Harapan rakyat begitu besar ditumpukan kepada pundak mahasiswa untuk membangun negeri ini ke arah yang lebih baik. Di lain pihak, mahasiswa memiliki sisi-sisi kehidupan pribadi, yang seringkali berbenturan dengan kepentingan rakyat. Maka dari itu diperlukan suatu sinergis yang mampu mempertemukan dua kepentingan yang berbeda tersebut. Soe Hok Gie saja, yang aktivis itu, mengakui bahwa seidealis apapaun mahasiswa itu, ia masih memiliki kehidupan sebagai pribadi. Marah, tawa, benci, gembira, putus asa, tangis, cinta, duka. Karena, plesetan sebuah lagu, “mahasiswa juga manusia”. Maka, selain “menyetubuhi” kegiatan intelektual yang serius (membaca, berdiskusi, menulis, dan penelitian) juga harus diimbangi dengan kegiatan yang mampu menetralkan emosional. Bernyanyi, bermusik, naik gunung, nonton film, olahraga, bahkan cerita-cerita cabul sekalipun sah-sah saja dilakukan.
Ruang pertumbuhan jiwa kepemimpinan mahasiswa
Hasil penelitian Howard Gardner terungkap bahwa setiap individu manusia, ternyata, memiliki delapan kecerdasan. Pendidikan formal, baik di perguruan tinggi maupun di sekolah menengah, selama ini, lebih menekankan pada kemampuan cerdas kata dan cerdas angka. Padahal masih ada enam kecerdasan lain yang harus dikembangkan, yaitu: cerdas musik, cerdas ruang, cerdas alam, cerdas tubuh, cerdas diri, dan cerdas bergaul. Dua kecerdasan terakhir inilah yang disebut sebagai kecerdasan emosional.
Dari kedelapan kecerdasan tersebut, kata Gardner, hanya satu atau dua kecerdasan saja yang menonjol dan memengaruhi. Inilah sebabnya pribadi-pribadi di dalam setiap organisasi begitu beragam. Nah, tugas pemimpin organisasi adalah merangkai pusparagam pribadi yang unik tersebut ke dalam sebuah wadah yang mampu mengakomodasi kepentingan mereka. Untuk itu, seorang pemimpin tak cuma berotak encer, kecerdasan emosional pun tak boleh luput. Kecerdasan emosional sangat berperan dalam proses pertumbuhan jiwa kepemimpinan. Bagaimana mengembangakan jiwa kepemimpinan melalui karunia kecerdasan tersebut?
Setiap manusia, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, akses informasi, tantangan hidup, pengalaman, dan gaya komunikasi. Persoalan mendasar mengenai kepemimpinan adalah kemampuan mahasiswa untuk mengenal diri sendiri. Sebelum mahasiswa menjadi pemimpin di suatu kelompok atau di masyarakat, mahasiswa harus mampu menganalisis kekuatan dan kelemahan diri. Kemudian mahasiswa mampu melihat tantangan dan hambatan yang berasal dari luar dirinya.
Kepemimpinan di era modern mengarah kepada kepemimpinan yang visioner, yaitu kepemimpinan yang menyejajarkan pemimpin dengan orang yang dipimpinnya. Hal ini berbeda dengan gaya kepemimpinan yang otoritarian yang memosisikan pemimpin sebagai atasan dan yang dipimpin sebagai bawahan. Dalam kepemimpinan visioner diperlukan sosok pemimpin yang berpengetahuan luas sehingga mampu merumuskan visi dan menggerakkan passi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Visi berhubungan dengan pikiran (IQ), yaitu cerdas kata dan cerdas angka. Passi berhubungan dengan emosional (EQ), yaitu cerdas diri dan cerdas bergaul. Visi dan passi ini memiliki hubungan yang sangat erat dan saling mendukung. Dalam menjalankan fungsi kepemimpinan, seringkali seseorang menemui kebuntuan dalam berpikir. Di sinilah passi hadir sebagai pemacu semangat untuk kembali menggerakkan pikiran dan mencapai tujuan awal.
Menyitir Ahmad Wahib tentang pentingnya memadukan IQ dan EQ, ia bahkan membuat empat tipe perpaduan IQ dan EQ. Bila kemampuan akademis rendah sedangkan sikap kreatif juga rendah maka akan menghasilkan tingkat kreatifitas yang ”poor creativity”. Bila kemampuan akademis tinggi sedangkan sikap kreatif rendah maka akan menghasilkan tingkat kreatifitas yang ”guided creativity”. Bila kemampuan akademis rendah sedangkan sikap kreatif tinggi maka akan menghasilkan tingkat kreatifitas yang ”undeveloped creativity”. Bila kemampuan akademis tinggi sedangkan sikap kreatif juga tinggi maka akan menghasilkan tingkat kreatifitas yang ”developed creativity”. Tingkat kreatifitas yang terakhir inilah yang harus dicapai oleh segenap mahasiswa. Tugas yang berat adalah menjaga agar daya ekspresif dan intuitif tetap dalam pengakuan intelektualitas serta menjaga kemampuan intelektualitas agar tidak kehilangan daya ekpresif dan intuitif.
Perguruan tinggi menawarkan banyak ruang bagi mahasiswa untuk belajar menjadi memimpin yang ”developed creativity”. Sesuai dengan tujuan awal didirikannya perguruan tinggi, maka, untuk itu, mahasiswa diberi kebebasan dalam menentukan pilihan hidup. Pilihan hidup yang bertanggung jawab dengan landasan intelektual dan emosional yang cukup matang sehingga mahasiswa berani bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang diambilnya. Banyak pengalaman dalam mengambil resiko memberi kemampuan untuk menjaga keseimbangan diri, kesehatan mental dan hasilnya, tentu saja, kualitas yang berkelanjutan.
Organisasi kemahasiswaan, baik yang ekstrakampus, intrakampus maupun kelompok studi, memberikan peluang dan tantangan kepada mahasiswa untuk mengasah dan membuktikan kredibilitas mahasiswa terhadap proses pembelajaran yang dijalaninya. Di sana, mahasiswa berupaya memperdayakan segala potensi dan kemampuannya untuk menjadi agen pembangunan yang siap berkompetisi di era globalisasi. Kompetisi di era globalisasi membutuhkan individu-individu yang memiliki kemampuan memimpin yang telah terasah. Kepemimpinan visioner yang menitikberatkan pada perubahan yang cepat, terus-menerus tanpa henti, kreativitas yang tinggi, mampu mengendalikan visi dan passi, mampu memotivasi diri sendiri dan orang lain. Pemimpin yang demikian hanya dapat terwujud pada individu yang mau membuka diri untuk terus belajar, belajar dan belajar.
MENYEMAI MANUSIA UNGGUL DI KAMPUS BIRU
“The end of education is building up of character” (M. K. Gandhi)
Kata jamak orang, masa berseragam abu-abu adalah masa yang paling penuh kenangan. Berbagai judul buku, film, maupun sinetron menjadi saksi kenangan itu. Saksi atas segala kisah romantis nan tragis anak manusia yang beranjak dewasa. Tapi,… ah sudahlah! Masa itu telah berlalu, terbang bersama sang waktu. Kini, tapak-tapak perjalanan hidup masih terlalu panjang untuk kita jejaki.
Lepas dari sekolah, sekarang belajar di kampus jadi mahasiswa. Sosok yang keren bagi sebagian masyarakat kita. Dari berseragam, sekarang bebas memilih busana. Tentu tak hanya itu bedanya. Yang pasti, cara belajar di perguruan tinggi berbeda dengan cara belajar di sekolah dasar maupun di sekolah menengah. Pendidikan di sekolah dasar hingga sekolah menengah menitikberatkan peran guru sebagai pelaku utama dalam proses belajar-mengajar.
Lain halnya di perguruan tinggi. Di sini, mahasiswa merupakan pelaku utama dalam proses pembelajaran, dosen hanya berfungsi sebagai fasilitator. Di sinilah diperlukan kemandirian mahasiswa. Untuk itu kematangan intelektual dan emosional sangat mutlak diperlukan. Ini tercermin pada kemampuan mahasiswa dalam bernalar dan bertutur. Hal ini ditegaskan oleh pakar pendidikan Pater Drost bahwa ciri khas dari seseorang yang matang masuk perguruan tinggi adalah penguasaan bahasa Indonesia, baik saat bertutur maupun saat menulis. Tata bahasa dan ejaan harus dikuasai secara mutlak. Logika bahasa mencirikan segala cara berkomunikasi calon mahasiswa.
Namun, agaknya, pendapat Drost tersebut belum tercermin dalam diri para pelajar dan mahasiswa Indonesia. Pasalnya, sistem pendidikan yang sentralistik menyebabkan para pelajar dipaksa untuk mempelajari berbagai hal yang tidak dimengertinya Akibatnya, apa yang dipelajarinya di sekolah seolah-olah hanyalah sesuatu yang asing dalam kehidupan mereka sehari-hari. Celakanya, mereka kemudian tumbuh menjadi manusia-manusia yang tidak berkarakter. Di sinilah titik pangkal runyamnya manusia Indonesia. Sudah jamak diketahui bahwa pelajar Indonesia memiliki kemampuan yang hebat dalam hal kognitif tetapi lemah dalam analisis dan bertutur, baik lisan maupun tertulis. Dus, ini tentu menghambat gaya komunikasi. Lebih jauh, hambatan ini akan mengganggu pertumbuhan jiwa kepemimpinan. Tragisnya, pelajar-pelajar inilah yang nantinya akan mengisi bangku-bangku kuliah di perguruan tinggi-perguruan tinggi terbaik di negeri ini, termasuk di Kampus Biru UGM.
Mahasiswa dan dinamika kampus
Sejatinya, pendidikan di perguruan tinggi (utamanya di universitas) menyiapkan manusia berjiwa petualang terhadap ilmu pengetahuan. Buku, perpustakaan, laboratorium, organisasi kemahasiswaan, dan lain-lain, diadakan untuk memenuhi dahaga ilmu pengetahuan bagi para petulang itu. Untuk itu aktivitas membaca, menulis, berdiskusi, dan penelitian sudah harus menjadi santapan sehari-hari bagi mahasiswa. Inilah nantinya yang akan menumbuhkan mahasiswa yang memiliki pengetahuan luas dan karakter kuat. Selanjutnya, mahasiswa diharapkan dapat berpikir dan bertindak secara holistik, melintasi disiplin ilmu yang dipelajarinya secara formal, dan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya serta mengembangkan karakternya untuk bersama-sama menggerakkan masyarakat untuk berkarya. Inilah yang disebut sebagai pendidikan multidisipliner yang sedang digiatkan UGM tiga tahun terakhir ini.
Menjadi manusia petualang yang gemar belajar tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang ”berdarah-darah”. Penuh pengorbanan. Namun, saat ini, perguruan tinggi tak ubahnya seperti lembaga-lembaga kejuruan yang menampung segala jenis mahasiswa dan membekalinya dengan pengetahuan praktis yang sesuai dengan selera pasar. Akibatnya, muncul pemikiran pragmatis di kalangan mahasiswa dalam belajar. Mereka cenderung mengutamakan hasil dan mengabaikan proses belajar. Impian mereka hanya sebatas ingin cepat lulus, nilai tinggi, cepat kerja, dan cepat kaya. Alhasil, sisi-sisi kemanusiaan mahasiswa seringkali terabaikan. Lantas, kesadaran interaksi dalam ruang sosial-masyarakat pun terlupakan.
Harapan rakyat begitu besar ditumpukan kepada pundak mahasiswa untuk membangun negeri ini ke arah yang lebih baik. Di lain pihak, mahasiswa memiliki sisi-sisi kehidupan pribadi, yang seringkali berbenturan dengan kepentingan rakyat. Maka dari itu diperlukan suatu sinergis yang mampu mempertemukan dua kepentingan yang berbeda tersebut. Soe Hok Gie saja, yang aktivis itu, mengakui bahwa seidealis apapaun mahasiswa itu, ia masih memiliki kehidupan sebagai pribadi. Marah, tawa, benci, gembira, putus asa, tangis, cinta, duka. Karena, plesetan sebuah lagu, “mahasiswa juga manusia”. Maka, selain “menyetubuhi” kegiatan intelektual yang serius (membaca, berdiskusi, menulis, dan penelitian) juga harus diimbangi dengan kegiatan yang mampu menetralkan emosional. Bernyanyi, bermusik, naik gunung, nonton film, olahraga, bahkan cerita-cerita cabul sekalipun sah-sah saja dilakukan.
Ruang pertumbuhan jiwa kepemimpinan mahasiswa
Hasil penelitian Howard Gardner terungkap bahwa setiap individu manusia, ternyata, memiliki delapan kecerdasan. Pendidikan formal, baik di perguruan tinggi maupun di sekolah menengah, selama ini, lebih menekankan pada kemampuan cerdas kata dan cerdas angka. Padahal masih ada enam kecerdasan lain yang harus dikembangkan, yaitu: cerdas musik, cerdas ruang, cerdas alam, cerdas tubuh, cerdas diri, dan cerdas bergaul. Dua kecerdasan terakhir inilah yang disebut sebagai kecerdasan emosional.
Dari kedelapan kecerdasan tersebut, kata Gardner, hanya satu atau dua kecerdasan saja yang menonjol dan memengaruhi. Inilah sebabnya pribadi-pribadi di dalam setiap organisasi begitu beragam. Nah, tugas pemimpin organisasi adalah merangkai pusparagam pribadi yang unik tersebut ke dalam sebuah wadah yang mampu mengakomodasi kepentingan mereka. Untuk itu, seorang pemimpin tak cuma berotak encer, kecerdasan emosional pun tak boleh luput. Kecerdasan emosional sangat berperan dalam proses pertumbuhan jiwa kepemimpinan. Bagaimana mengembangakan jiwa kepemimpinan melalui karunia kecerdasan tersebut?
Setiap manusia, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, akses informasi, tantangan hidup, pengalaman, dan gaya komunikasi. Persoalan mendasar mengenai kepemimpinan adalah kemampuan mahasiswa untuk mengenal diri sendiri. Sebelum mahasiswa menjadi pemimpin di suatu kelompok atau di masyarakat, mahasiswa harus mampu menganalisis kekuatan dan kelemahan diri. Kemudian mahasiswa mampu melihat tantangan dan hambatan yang berasal dari luar dirinya.
Kepemimpinan di era modern mengarah kepada kepemimpinan yang visioner, yaitu kepemimpinan yang menyejajarkan pemimpin dengan orang yang dipimpinnya. Hal ini berbeda dengan gaya kepemimpinan yang otoritarian yang memosisikan pemimpin sebagai atasan dan yang dipimpin sebagai bawahan. Dalam kepemimpinan visioner diperlukan sosok pemimpin yang berpengetahuan luas sehingga mampu merumuskan visi dan menggerakkan passi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Visi berhubungan dengan pikiran (IQ), yaitu cerdas kata dan cerdas angka. Passi berhubungan dengan emosional (EQ), yaitu cerdas diri dan cerdas bergaul. Visi dan passi ini memiliki hubungan yang sangat erat dan saling mendukung. Dalam menjalankan fungsi kepemimpinan, seringkali seseorang menemui kebuntuan dalam berpikir. Di sinilah passi hadir sebagai pemacu semangat untuk kembali menggerakkan pikiran dan mencapai tujuan awal.
Menyitir Ahmad Wahib tentang pentingnya memadukan IQ dan EQ, ia bahkan membuat empat tipe perpaduan IQ dan EQ. Bila kemampuan akademis rendah sedangkan sikap kreatif juga rendah maka akan menghasilkan tingkat kreatifitas yang ”poor creativity”. Bila kemampuan akademis tinggi sedangkan sikap kreatif rendah maka akan menghasilkan tingkat kreatifitas yang ”guided creativity”. Bila kemampuan akademis rendah sedangkan sikap kreatif tinggi maka akan menghasilkan tingkat kreatifitas yang ”undeveloped creativity”. Bila kemampuan akademis tinggi sedangkan sikap kreatif juga tinggi maka akan menghasilkan tingkat kreatifitas yang ”developed creativity”. Tingkat kreatifitas yang terakhir inilah yang harus dicapai oleh segenap mahasiswa. Tugas yang berat adalah menjaga agar daya ekspresif dan intuitif tetap dalam pengakuan intelektualitas serta menjaga kemampuan intelektualitas agar tidak kehilangan daya ekpresif dan intuitif.
Perguruan tinggi menawarkan banyak ruang bagi mahasiswa untuk belajar menjadi memimpin yang ”developed creativity”. Sesuai dengan tujuan awal didirikannya perguruan tinggi, maka, untuk itu, mahasiswa diberi kebebasan dalam menentukan pilihan hidup. Pilihan hidup yang bertanggung jawab dengan landasan intelektual dan emosional yang cukup matang sehingga mahasiswa berani bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang diambilnya. Banyak pengalaman dalam mengambil resiko memberi kemampuan untuk menjaga keseimbangan diri, kesehatan mental dan hasilnya, tentu saja, kualitas yang berkelanjutan.
Organisasi kemahasiswaan, baik yang ekstrakampus, intrakampus maupun kelompok studi, memberikan peluang dan tantangan kepada mahasiswa untuk mengasah dan membuktikan kredibilitas mahasiswa terhadap proses pembelajaran yang dijalaninya. Di sana, mahasiswa berupaya memperdayakan segala potensi dan kemampuannya untuk menjadi agen pembangunan yang siap berkompetisi di era globalisasi. Kompetisi di era globalisasi membutuhkan individu-individu yang memiliki kemampuan memimpin yang telah terasah. Kepemimpinan visioner yang menitikberatkan pada perubahan yang cepat, terus-menerus tanpa henti, kreativitas yang tinggi, mampu mengendalikan visi dan passi, mampu memotivasi diri sendiri dan orang lain. Pemimpin yang demikian hanya dapat terwujud pada individu yang mau membuka diri untuk terus belajar, belajar dan belajar.
No comments:
Post a Comment