Monday, June 11, 2007

>rehabilitasi korban narkoba

Majalah “Kabare Kagama” Edisi 160/XXXIII/Februari 2006.

Pengalaman paling mengesankan. Gw berada di antara org2 yg addicted kelakuannya aneh2, bahkan ada yg setengah gila.serasa berada di antara para napi d sel tahanan. Bahaya setiap saat dtg menerkam.ihhh……….gw disuruh nginep ma kyai. Biar lbh tajam laporan gw. ntar gw ikut gile.ampun! matur nuwun nggih kyai yg dah menerima gw ma ariel dg ramah………


Narkoba, si Pembawa Bencana


Perempuan korban Narkoba bisa jadi kanibal! Pernyataan ini bukan mengada-ada lho. Kalau tak percaya tanyakan saja pada KH RHA Anas Priharsaya (60), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Islami di Kulon Progo yang khusus menangani para pengguna dan korban Narkoba. Mengapa demikian? Menurut Anas para wanita korban Narkoba kalau sudah ketagihan akan menghisap darah menstruasinya sendiri. Celakanya, mereka juga kerap menggigit dan melukai orang yang berada di sekitarnya. Memang begitulah kalau sudah menjadi korban Narkoba, akal sehat jadi tersumbat.
Dewasa ini peredaran Narkoba luar biasa pesat. Tak cuma di perkotaan, kampung-kampung di pelosok desa pun tak luput dirambah. Dari segi pengguna juga cukup membuat kita miris. Kalau dulu para pengguna Narkoba sangatlah terbatas pada kalangan orang-orang berduit. Namun, sekarang ini, dari kuli bangunan hingga pejabat negara jadi pengguna Narkoba. Celakanya lagi, anak-anak usia sekolah dasar sudah ada yang menjadi pengguna Narkoba! Bagaimana dengan mahasiswa?
Data yang dikeluarkan oleh Dit Reskrim Polda DIY menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2003-2005 terjadi 606 kali kejadian dengan melibatkan 682 tersangka, 655 laki-laki dan 27 perempuan (lihat tabel).
tahun
frekwensi kejadian
tersangka (orang)
jenis kelamin
laki-laki
perempuan
2003
207
245
239
6
2004
195
205
195
10
2005
204
232
221
11
jumlah
606
682
655
27







(Sumber Dit Reskrim Polda DIY)

Dari jumlah tersangka yang tertangkap tersebut, ternyata, kelompok umur yang rentan menjadi pengguna Narkoba adalah kelompok umur 19-40 tahun. Berdasarkan profesi mahasiswa merupakan kelompok pengguna Narkoba terbesar di DIY disusul oleh kaum marginal (buruh, petani, anak-anak jalanan, pengangguran, dan lain-lain), wiraswasta, pelajar, pegawai negeri sipil, dan TNI/POLRI. Ternyata, para calon intelektual negeri ini tak luput dari obat setan itu, justru menjadi “pimpinan puncak”.
Melihat kenyataan ini, tampaknya UGM tak mau berpangku tangan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang peduli terhadap persoalan masyarakat, UGM mendirikan Unit Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (UP2N). Lembaga ini dirintis UGM pada tahun 2001 namun baru ditetapkan secara hukum setahun kemudian. Lembaga ini mempunyai tiga kegiatan utama yaitu: riset, konseling, dan training. Menurut Beben Rubiyanto, Sekretaris UP2N-UGM, penanggulangan penyalahgunaan Narkoba harus melibatkan semua pihak. Pihak-pihak yang dimaksud adalah pemerintah, lembaga pendidikan, instansi swasta, dan masyarakat luas. “Koordinasi antarjejaring sangat penting dilakukan,” ujar Beben. Pasalnya, persoalan penyalahgunaan Narkoba seperti lingkaran setan yang tak berujung-pangkal. “Kalau sudah terjerumus ke dalam Narkoba susah keluar,” tegasnya. “Nggak sedikit mahasiswa UGM yang menjadi pengguna Narkoba, lho,” ujar Beben sembari menyebut sebuah fakultas di mana mahasiswa yang dimaksud tengah belajar.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh UP2N UGM penyebab penyalahgunaan Narkoba merupakan interaksi dari berbagai faktor, antara lain individu, lingkungan, dan Narkoba itu sendiri. Dari ketiganya, faktor individu memegang peranan penting. Karenanya, penyadaran kepada kelompok-kelompok yang rentan menyalahgunakan Narkoba harus terus digalakkan. Misalnya, kepada para remaja yang tergolong kelompok yang berisiko tinggi.
Selain melakukan advokasi kepada kelompok yang rentan menyalahgunakan Narkoba, UP2N-UGM juga mengadakan konseling bagi pengguna Narkoba. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan solusi bagi para pengguna yang ingin sembuh dari ketergantungan Narkoba. Bagi yang sudah sembuh diadakan training. Ini bertujuan untuk memberdayakan mantan pengguna agar tidak kembali mengonsumsi Narkoba. Dalam training ini mantan pengguna Narkoba juga diberi bekal keterampilan guna mendampingi para pengguna yang ingin sembuh dari ketergantungan Narkoba.
Kegiatan UP2N-UGM ini lebih difokuskan kepada penanganan para pengguna Narkoba, bukan korban Narkoba. Pasalnya, UGM belum memiliki Rumah Sakit Khusus untuk merehabilitasi korban Narkoba. Lalu sebenarnya apa beda pengguna dan korban Narkoba? Menurut Anas Priharsaya keduanya dapat dibedakan berdasarkan kondisi fisiknya. Kalau pengguna Narkoba keadaan fisiknya masih baik, seperti orang kebanyakan. Tetapi lain halnya dengan korban Narkoba. Korban Narkoba yang ditangani oleh Anas umumnya dalam keadaan fisik yang rusak, bahkan ada yang lumpuh.
Bagaimana tahapan seseorang bisa terjerumus ke dalam penyalahgunaan Narkoba? Menurut Beben tahap penggunaan penyalahgunaan Narkoba biasanya diawali dengan merokok. “Dari kebiasaan menghisap tembakau inilah terbuka jalan untuk menghisap ganja,” terang Beben. Agaknya, ini merupakan peringatan dini yang patut diperhatikan oleh para perokok! Setelah itu timbul perasaan ingin tahu (coba-coba) bagaimana nikmatnya Narkoba. Dari sekadar ingin tahu lalu berubah menjadi hiburan. Lantas menjadi kebiasaan. Dan, akhirnya mencapai tahap ketergantungan. Nah, kalau sudah mencapai tahap paling akut disebut chaotic, bisa mengalami kelumpuhan dan kerusakan organ tubuh bagian dalam.
Kalau sudah begini perlu terapi yang komprehensif untuk menanganinya. Tak sekadar terapi medis, melainkan juga terapi agama seperti yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Islami di Dusun Padakan, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Pesantren tersebut mulai menangani korban Narkoba sejak tahun 1980. “Awalnya karena terpaksa,” papar Anas Priharsaya memulai kisahnya. Kala itu ia didatangi para orangtua yang menginginkan anak-anak mereka yang nakal agar dididik menjadi anak yang baik. Namun, kian lama yang datang kepadanya tak cuma anak-anak nakal tapi juga para pengguna dan korban Narkoba. Akhirnya dengan kemampuan seadanya, Anas memulainya dengan terapi agama. Hasilnya? “Alhamdulillah, banyak yang berhasil,” ungkap Anas bangga.
Terapi agama yang digunakan adalah dzikir. “Mereka saya ajak berdzikir Asma’ul Husna,” terang Anas. Namun, metode ini dinilai kurang optimal. Lalu, sejak tahun 2000 digunakan pula metode medis. “Jadi, sekarang digunakan metode medis dan agama,” ujar Anas. Metode medis digunakan pada tahap awal penanganan korban Narkoba. Setelah kondisi fisiknya dirasa cukup baik, dimulailah terapi agama. Selain dzikir, sholat dan membaca Al-Quran menjadi menu wajib.
Keampuhan Anas dalam menangani korban Narkoba sudah tak diragukan lagi. Maka tak heran banyak orang dari berbagai pelosok daerah datang kepadanya. Bahkan, setiap hari Minggu Anas selalu kedatangan tamu yang jumlahnya ratusan. Tamu yang datang umumnya rombongan pelajar. Yang datang tak cuma yang Muslim. Ada juga yang Kristen. Meski demikian metode dzikir juga tetap dilakukan. Hanya caranya berbeda, “Dzikir diam,” kata Anas. Sekitar satu jam para tamunya diajak berdzikir. “Mulai jam 09.30 hingga 10.30,” jelas Anas. Dalam dzikir itu Anas mengajak tamunya untuk merenungkan kembali perbuatan yang telah dilakukan dengan mengagungkan asma Allah sehingga kesadaran diri bisa diraih.
Tujuan terapi yang dilakukan Anas tak cuma membuat pasiennya sembuh secara medis melainkan sembuh pula secara agama alias tobat. Tak bisa dipastikan berapa lama waktu yang diperlukan. “Yang paling menentukan adalah peran keluarga,” terang R Deddy Arliadi, Ketua Bidang Teknik, Sarana, dan Logistik yang juga menantu Anas. Keluarga menjadi kunci keberhasilan bagi si korban untuk keluar dari jerat Narkoba. Pihak keluarga harus menanamkan kembali kepercayaan kepada anggota keluarganya itu. “Jangan mengungkit-ungkit kembali kejadian yang telah lalu,” pesan Deddy. Ia mencontohkan pernah ada kejadian di mana pihak keluarga korban Narkoba yang datang menjenguk justru dipukuli oleh si korban itu lantaran pihak keluarga mengungkit kembali lembaran kelamnya. Kalau sudah begini sia-sialah yang telah dilakukan selama ini. “Ya, harus dimulai dari awal lagi,” kata Deddy. Soal kesembuhan, katanya, pihaknya tak bisa menjamin hingga 100%. “Paling maksimal 75%,” terangnya. Ini lantaran pesantren Al-Islami hanya berperan sebagai fasilitator. Semuanya kembali berpulang kepada peran aktif keluarga.
Saat ditemui Kabare Kagama di pengujung Januari lalu pesantren Al-Islami tengah menangani 42 orang korban Narkoba, tiga di antaranya perempuan. Kesabaran dan ketekunan Anas selama bertahun—tahun dalam menangani korban Narkoba bukannya tanpa batu sandungan. Kendalanya klasik, soal pendanaan. Selama ini pendanaan berasal dari usaha peternakan ayam potong yang dikelola pondok pesantren. “Kami mengelola empat unit peternakan ayam. Masing-masing sepuluh ribu ekor,” jelas Anas. Sebenarnya, Anas bukannya tak menampik uluran bantuan dari pihak luar. Selama ini banyak instansi yang berjanji membantunya, tetapi hasilnya nihil. “Kalau zaman Orde Baru lalu kami masih mendapat bantuan pemerintah. Tetapi sejak otonomi daerah berjalan, kami malah tak mendapat perhatian,” sesal Deddy. Alhasil, untuk mencukupi kebutuhan pesantren setiap pasien yang dirawat dikenai biaya. Tapi tak semua demikian. Dari 42 pasien yang ada, 20 di antaranya dirawat secara cuma-cuma. Sedangkan dokter yang menangani secara medis “dibayar” dengan harga kekeluargaan. Pasalnya, dokter tersebut tak lain adalah putri kandung Anas sendiri.
Apa yang dilakukan oleh Anas dengan komunitas pesantrennya merupakan peran serta instansi swasta seperti yang dimaksud Beben di atas. Lalu bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah membentuk suatu lembaga khusus di bawah koordinasi POLRI yang diberi nama Badan Narkotika Nasional (BNN). Namun, kinerja BNN agaknya layak untuk dipertanyakan kembali. Ini terbukti ada saja oknum aparat TNI/POLRI yang terlibat dalam peredaran Narkoba.
Sebenarnya, Narkoba bukan barang baru di Indonesia. Buku “Opium to Java” karya James Rush menggambarkan awal kemunculan Narkoba di Nusantara pada abad ke-19 yang didominasi oleh orang-orang Belanda. Meski sudah seratus tahun Narkoba bercokol di Tanah Air tetapi mengapa penyalahgunaannya sulit diberantas? Mari kita bantu pemerintah dengan tidak mengonsumsi Narkoba. Nyoba Narkoba? Jangan deh, nggak ada gunanya!


No comments: