Monday, June 11, 2007

>Cinta Itu Memberi


Suara Anandam Lembar ׀ Edisi 7 ׀ Desember 2004

Cinta Itu Memberi

Bersyukur! Ya, itu patut diucapkan. Tak disangka, tak dinyana, ketika mudik ke Bali pada liburan Lebaran kemarin, saya dapat berdiskusi langsung dengan Sang Penutur Kejernihan, Gede Prama, dalam sebuah forum dharma tula. Selama ini, saya mengenal beliau dari buku-bukunya dan sesekali melihatnya di layar kaca. Gaya bertuturnya yang santun, lugas dan mengandung filosofis yang tinggi mampu menyihir hadirin, termasuk saya, saat itu, untuk masuk ke dalam alam meditatif-intelektual. Saya katakan demikian karena apa yang diutarakannya merupakan buah refleksi yang cerdas dari pengalaman-pengalaman hidupnya, baik yang pahit maupun yang manis. Dari sana, ia mengajak semua orang untuk memaknai kehidupan dengan selalu berpikir positif. Bersyukur, dalam keadaan apapun!
Saat itu, Gede Prama membawakan topik “Gandhi di Jalan Siwa-Buddha”. Menurutnya, Mahatma Gandhi telah memberikan teladan yang luar biasa tentang kepemimpinan kepada umat manusia. Bahwa moralitas yang dibangun dari disiplin diri mampu menuntun manusia menuju jalan cinta-kasih tanpa pamrih. “Meditasi tidak akan optimal hasilnya tanpa didahului moralitas yang baik” pesan Sang Bhagawan Manajemen itu. Gede Prama memberikan contoh ketika India telah memperoleh kemerdekaan, Nehru menyerahkan kursi perdana menteri kepada Gandhi. Tapi Gandhi justru menolaknya. Bagi Gandhi, ia berjuang tidak untuk mendapatkan kekuasaan melainkan untuk menapaki jalan kebenaran dalam nafas ahimsa.
*****
Tanggal 10 Oktober 2004, di Klaten, diselenggarakan seminar nasional tentang representasi profil Hindu di abad 21. Aula kabupaten Klaten, yang digunakan sebagai tempat kegiatan, disesaki oleh umat yang merindukan suasana keterbukaan dalam dialog dengan “kaum pemegang otoritas keagamaan”. Ya, agar umat merasa terayomi dan kian semangat menjalankan swadharmanya masing-masing. Saya sempat berbincang dengan salah seorang panitia, yang juga tokoh umat di Klaten. Ia mengatakan bahwa Klaten, yang umatnya banyak yang tak terpelajar, saja mampu membuat acara bertaraf nasional dengan melibatkan pemuda, pemudi, ibu-ibu dan juga bapak-bapak, seharusnya Yogyakarta mampu berbuat lebih dari itu. “Betul juga!” saya pikir. Saya kemudian melakukan kilas balik memori. Selama sembilan semester ini saya tinggal di Yogyakarta, tak pernah ada kegiatan yang melibatkan semua komponen Hindu. Toh, kalaupun ada, mungkin hanya kegiatan Utsawa Dharma Gita Propinsi DIY dan kepanitiaan Nyepi daerah.
Saya kemudian bercermin pada diri sendiri. Apa saya yang kurang gaul ya? Apa saya kurang aktif ber-KMHD? Tidak juga. Saya pernah berpeluh keringat selama ber-KMHD. Menafasi media yang Anda baca ini, salah satunya. Lalu, saya bertanya kepada rekan-rekan saya yang lain, baik yang seangkatan maupun yang beberapa tahun lebih tua daripada saya. Hasilnya, ternyata, sama saja. Berarti pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan saya di atas terjawab sudah.
Ada apa dengan Jogja? Mengapa Jogja kok mbalelo? Pertanyaan ini pernah diucapkan oleh rekan-rekan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI). Patut Anda ketahui bahwa selama beberapa tahun ini, KMHDI berupaya menjadikan Yogyakarta dan Jawa Tengah agar masuk ke dalam jaringan organisasi mereka. Di Jawa, hanya kedua daerah inilah KMHDI belum bercokol. Sembari berkelakar saya menjawab, “Kalau Bali bisa lolos dari misi dakwah Wali Songo. mengapa Jogja tidak demikian, lolos dari jaringan KMHDI”. Mereka berpendapat bahwa komunikasi antarunsur Hindu di Yogyakarta nggak kompak. Antara yang muda dengan yang tua, antarsesama komponen muda, maupun antarsesama yang tua.
Apa benar demikian? Saya tidak tahu pasti. Tapi yang jelas, kegiatan dharma tula, yang mengundang Ida Pedanda Made Gunung, dapat menepis tudingan itu. Saudara Gede Sambrag menuliskan soal kiprah kaum muda di Yogyakarta dalam Raditya edisi Desember 2004. Ini menguatkan bahwa mahasiswa Hindu di Yogyakarta cukup solid. Tentu saja hal itu harus diuji seiring dengan bergulirnya waktu..
Bagaimana dengan “bapak-bapak”? Mereka, tentu saja, memiliki komunitas masing-masing. Ya, tempek-tempek dan PHDI. Lalu bagaimana hubungan yang tua dengan yang muda? Saya punya pengalaman yang menarik. Di akhir sebuah wawancara (hasil wawancara selengkapnya dapat Anda simak di majalah Media Hindu edisi 12, Nopember-Desember 2004) dengan salah seorang tokoh, anggaplah demikian, yang berkantor di Departemen Agama Propinsi DIY, saya menanyakan soal maraknya media Hindu alternatif di Yogyakarta (tentang ini lihat Media Hindu edisi 10, Juli-Agustus 2004). Beliau menganjurkan bahwa seharusnya mereka (para pegiat media Hindu alternatif) sowan dulu kepada “bapak-bapak” agar isi tulisannya “tidak neko-neko”. Saya pikir rekan-rekan pegiat media itu telah sowan. Sowan kan komunikasi. Komunikasi tidak harus dimaknai sebagai pertemuan tatap muka. Kalau toh ingin bertemu langsung tentu bisa menghubungi alamat, nomor telpon ataupun e-mail yang dicantumkan di tiap-tiap media, tidak malah nggrundel dalam hati. Singkatnya, mental birokrat yang minta dilayani, agaknya, masih mencoraki pola hubungan kerja “bapak-bapak”. Padahal, Gandhi mewariskan gaya kepemimpinan yang dilandasi seva, pelayanan. Melayani adalah wujud cinta. Menurut Erich Frohmm, pakar psikologi-analisis, cinta itu merupakan sikap aktif yang menuntut sesorang untuk mau memberi, bukan malah meminta. Memberi berarti berbagi kebahagiaan.
Rekan-rekan pegiat media mewujudkan cinta mereka dengan mendedikasikan sebagian waktu, pikiran, tenaga, dan sedikit biaya, dalam bentuk lembaran-lembaran kertas ini. Nah, kalau cinta sudah ditebar begini tinggal bagaimana Anda menyikapinya? Kata sebuah iklan “Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan”.

No comments: