Suara Anandam thn 2001
MAKNA HARI RAYA: Spiritualitas vs Konsumerisme
Dalam perspektif negara Indonesia, sebuah agama harus memiliki syarat-syarat tertentu misalnya: memiliki kitab suci, memiliki nabi, memiliki tempat ibadah, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui “hidupnya” suatu agama, dapat dilihat dari pelaksanaan ritus yang mencerminkan ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, ritus itu kita kenal dengan istilah hari raya. Biasanya perayaan hari raya didasarkan pada perhitungan kalender dan umumnya dirayakan satu tahun sekali, khusus Hindu ada hari raya yang dirayakan lebih dari satu kali dalam setahun. Umat Islam merayakan Idul Fitri, Natal dirayakan oleh umat Nasrani, Waisak dirayakan oleh umat Buddha sedangkan umat Hindu merayakan Tahun Baru Saka (Nyepi) tiap satu tahun sekali. Setiap hari raya tersebut memiliki makna tersendiri dengan latar belakang budaya yang melandasinya.
Tiap kali merayakan hari raya, masing-masing orang memiliki landasan dan pengalaman yang berbeda-beda satu sama lain. Landasan dan pengalaman itu merupakan hasil perenungan yang mendalam mengenai hubungan Tuhan dengan mahkluk pencipta-Nya, seperti yang diungkapkan oleh Yudit, mahasiswi Farmasi UGM,” Buat aku, hari raya itu adalah momen penting yang tidak harus dirayakan melalui sesuatu yang baru seperti baju baru, apa-apa baru, tetapi harus bisa membawa perubahan dalam diri kita yaitu bisa meningkatkan iman kita.” Hal senada juga diungkapkan oleh Riris, mahasiswi Teknik Kimia UGM, dan Mbak Win, seorang PRT. Yudit juga menambahkan bahwa selama ini setiap hari raya tiba (sebenarnya setiap hari juga) dia menjadi lebih memahami tentang ajaran agamanya dan melihat ke belakang apa saja yang telah dilakukannya, apakah semua itu telah menunjukkan perubahan dari tahun ke tahun atau tidak.
Perubahan yang dimaksud tentunya perubahan moralitas yang bertendensi kepada makin terjalinnya perdamaian dan pemahaman pluralitas bangsa. Agaknya harapan orang-orang semacam Yudit masih jauh dari kenyataan, pasalnya kekerasan yang berbau sentimen agama masih saja menjadi komoditas yang mewarnai hidup berbangsa dan bernegara, pengeboman gereja pada saat malam Natal misalnya.
Di kalangan masyarakat kebanyakan momentum hari raya belum dipahami secara benar sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran rohani. Hal tersebut barangkali disebabkan adanya pergeseran makna akibat arus globalisasi dan kapitalisme yang sedang merajalela saat ini. Menjadi sebuah dilema tersendiri tatkala hari raya menjelang, tiba-tiba saja semua barang kebutuhan pokok melonjak drastis sampai 100% bahkan lebih. Belum lagi jika berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan, tak ayal akan dijumpai gerombolan orang yang berdesak-desakan mengantri di kassa sambil menenteng beberapa potong pakaian. Menurut pengakuan Ibu Ahmad, seorang ibu rumah tangga berusia 52 tahun, kebutuhan selama bulan ramadhan meningkat tajam daripada bulan-bulan lainnya yang disebabkan oleh bermacam-macam menu yang dihidangkan untuk buka dan sahur seperti kolak, kurma, vitamin, dll. Masih menurut pengakuannya, meskipun biaya yang dikeluarkan tidak sedikit namun hal ini tidak mengurangi keceriannya untuk melakukan ibadah, “Yang penting bisa kumpul keluarga” begitu komentarnya.
Kebutuhan untuk bersilahturahmi bersama keluarga agaknya menjadi alasan terbesar bagi seseorang untuk merayakan hari raya. Budaya mudik sebenarnya merupakan jawaban atas kerinduan untuk berhari raya bersama keluarga di kampung. Dewiq, warga KMHD yang juga kru SA, sering bolak-balik pulang ke Bali “hanya” untuk merayakan Galungan bersama keluarga dan rekan-rekannya di kampung halamannya,”Biar terasa rame en biar lebih meriah, kalo di Jogja kan biasa-biasa aja” begitu komentar singkatnya. Frekwensi mudik ini semakin tinggi bagi mahasiswa Hindu asal Bali yang “masih sangat patuh” terhadap adat istiadatnya, ketika otonan maupun odalan ataupun upacara yang lain ia bela-belain untuk mudik.
Lain halnya dengan mahasiswa Hindu yang sudah lama tinggal di bumi Jawa. Egytha misalnya, ia yang lama tinggal di Semarang mengaku bahwa kalau berhari raya cukup pergi ke pura bersama keluarga dan itu sudah cukup baginya. Hal menarik terjadi ketika mahasiswa Hindu asal Bali di perantauan (Malang, Jogja, Surabaya, Bandung bahkan di luar negeri) yang tidak sempat pulang kampung, maka untuk mengobati rasa rindunya mereka mengadakan ngelawar bersama dan tempatnya bisa dimana saja. Salah satu tempat yang sering dijadikan ajang ngelawar bersama adalah sebuah rumah kontrakan di Pogung Lor dimana sering dijadikan ajang nongkrong para petinggi KMHD UGM. Selain ngelawar, membuat penjor juga dapat mengobati kerinduan pulang kampung seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan Asrama Bali Saraswati. Terjadi interaksi yang harmonis tatkala mereka membuat ataupun memasang penjor, para tukang becak yang sering mangkal di depan asrama yang letaknya di jalan Mawar, Baciro, sering ikut membantu secara sukarela.
Pemahaman yang kurang mendalam tampaknya berpengaruh pada perilaku dan kebiasaan seseorang. Siwaratri misalnya, dimaknai sebagai malam peleburan dosa. Akibatnya banyak orang yang setelah melakukan jagra, puasa dan meditasi semalam suntuk menganggap bahwa dirinya telah kembali suci karena dosa-dosanya telah terhapus. Pemahaman seperti ini agaknya tidak saja terjadi pada umat Hindu, umat lainpun juga demikian. Pemahaman yang mekanistik telah menyebabkan adanya perubahan konsep manusia dalam memandang dunia. Rene Descartes, ilmuwan fisika pencetus awal paham tersebut, memandang dunia sebagai mesin layaknya sebuah arloji yang apabila komponennya rusak maka dapat diperbaiki dengan mengganti komponen yang rusak tersebut dengan komponen baru. Pemahaman demikian tentunya akan menyesatkan umat manusia dalam menjalani hidupnya pasalnya hidup merupakan suatu rangkaian proses yang melibatkan banyak komponen dan tidak dapat dipergantikan begitu saja. Begitu pula memahami spiritualitas, diperlukan suatu sikap mental yang dewasa dalam mensikapi persoalan hidup. Tak bijak kiranya melemparkan tanggung jawab kepada “pihak luar”.
Menikmati hari raya boleh saja dilakukan dengan segala macam kegiatan namun semua itu tak terlepas dari kondisi bangsa saat ini yang sedang amburadul. Apapun boleh dilakukan asalkan memberi faedah peningkatan spiritualitas umat yang tercermin pada kehidupan bangsanya. Sudahkah terwujud hal demikian? Sebuah pertanyaan yang sulit terjawab, memang.
MAKNA HARI RAYA: Spiritualitas vs Konsumerisme
Dalam perspektif negara Indonesia, sebuah agama harus memiliki syarat-syarat tertentu misalnya: memiliki kitab suci, memiliki nabi, memiliki tempat ibadah, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui “hidupnya” suatu agama, dapat dilihat dari pelaksanaan ritus yang mencerminkan ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, ritus itu kita kenal dengan istilah hari raya. Biasanya perayaan hari raya didasarkan pada perhitungan kalender dan umumnya dirayakan satu tahun sekali, khusus Hindu ada hari raya yang dirayakan lebih dari satu kali dalam setahun. Umat Islam merayakan Idul Fitri, Natal dirayakan oleh umat Nasrani, Waisak dirayakan oleh umat Buddha sedangkan umat Hindu merayakan Tahun Baru Saka (Nyepi) tiap satu tahun sekali. Setiap hari raya tersebut memiliki makna tersendiri dengan latar belakang budaya yang melandasinya.
Tiap kali merayakan hari raya, masing-masing orang memiliki landasan dan pengalaman yang berbeda-beda satu sama lain. Landasan dan pengalaman itu merupakan hasil perenungan yang mendalam mengenai hubungan Tuhan dengan mahkluk pencipta-Nya, seperti yang diungkapkan oleh Yudit, mahasiswi Farmasi UGM,” Buat aku, hari raya itu adalah momen penting yang tidak harus dirayakan melalui sesuatu yang baru seperti baju baru, apa-apa baru, tetapi harus bisa membawa perubahan dalam diri kita yaitu bisa meningkatkan iman kita.” Hal senada juga diungkapkan oleh Riris, mahasiswi Teknik Kimia UGM, dan Mbak Win, seorang PRT. Yudit juga menambahkan bahwa selama ini setiap hari raya tiba (sebenarnya setiap hari juga) dia menjadi lebih memahami tentang ajaran agamanya dan melihat ke belakang apa saja yang telah dilakukannya, apakah semua itu telah menunjukkan perubahan dari tahun ke tahun atau tidak.
Perubahan yang dimaksud tentunya perubahan moralitas yang bertendensi kepada makin terjalinnya perdamaian dan pemahaman pluralitas bangsa. Agaknya harapan orang-orang semacam Yudit masih jauh dari kenyataan, pasalnya kekerasan yang berbau sentimen agama masih saja menjadi komoditas yang mewarnai hidup berbangsa dan bernegara, pengeboman gereja pada saat malam Natal misalnya.
Di kalangan masyarakat kebanyakan momentum hari raya belum dipahami secara benar sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran rohani. Hal tersebut barangkali disebabkan adanya pergeseran makna akibat arus globalisasi dan kapitalisme yang sedang merajalela saat ini. Menjadi sebuah dilema tersendiri tatkala hari raya menjelang, tiba-tiba saja semua barang kebutuhan pokok melonjak drastis sampai 100% bahkan lebih. Belum lagi jika berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan, tak ayal akan dijumpai gerombolan orang yang berdesak-desakan mengantri di kassa sambil menenteng beberapa potong pakaian. Menurut pengakuan Ibu Ahmad, seorang ibu rumah tangga berusia 52 tahun, kebutuhan selama bulan ramadhan meningkat tajam daripada bulan-bulan lainnya yang disebabkan oleh bermacam-macam menu yang dihidangkan untuk buka dan sahur seperti kolak, kurma, vitamin, dll. Masih menurut pengakuannya, meskipun biaya yang dikeluarkan tidak sedikit namun hal ini tidak mengurangi keceriannya untuk melakukan ibadah, “Yang penting bisa kumpul keluarga” begitu komentarnya.
Kebutuhan untuk bersilahturahmi bersama keluarga agaknya menjadi alasan terbesar bagi seseorang untuk merayakan hari raya. Budaya mudik sebenarnya merupakan jawaban atas kerinduan untuk berhari raya bersama keluarga di kampung. Dewiq, warga KMHD yang juga kru SA, sering bolak-balik pulang ke Bali “hanya” untuk merayakan Galungan bersama keluarga dan rekan-rekannya di kampung halamannya,”Biar terasa rame en biar lebih meriah, kalo di Jogja kan biasa-biasa aja” begitu komentar singkatnya. Frekwensi mudik ini semakin tinggi bagi mahasiswa Hindu asal Bali yang “masih sangat patuh” terhadap adat istiadatnya, ketika otonan maupun odalan ataupun upacara yang lain ia bela-belain untuk mudik.
Lain halnya dengan mahasiswa Hindu yang sudah lama tinggal di bumi Jawa. Egytha misalnya, ia yang lama tinggal di Semarang mengaku bahwa kalau berhari raya cukup pergi ke pura bersama keluarga dan itu sudah cukup baginya. Hal menarik terjadi ketika mahasiswa Hindu asal Bali di perantauan (Malang, Jogja, Surabaya, Bandung bahkan di luar negeri) yang tidak sempat pulang kampung, maka untuk mengobati rasa rindunya mereka mengadakan ngelawar bersama dan tempatnya bisa dimana saja. Salah satu tempat yang sering dijadikan ajang ngelawar bersama adalah sebuah rumah kontrakan di Pogung Lor dimana sering dijadikan ajang nongkrong para petinggi KMHD UGM. Selain ngelawar, membuat penjor juga dapat mengobati kerinduan pulang kampung seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan Asrama Bali Saraswati. Terjadi interaksi yang harmonis tatkala mereka membuat ataupun memasang penjor, para tukang becak yang sering mangkal di depan asrama yang letaknya di jalan Mawar, Baciro, sering ikut membantu secara sukarela.
Pemahaman yang kurang mendalam tampaknya berpengaruh pada perilaku dan kebiasaan seseorang. Siwaratri misalnya, dimaknai sebagai malam peleburan dosa. Akibatnya banyak orang yang setelah melakukan jagra, puasa dan meditasi semalam suntuk menganggap bahwa dirinya telah kembali suci karena dosa-dosanya telah terhapus. Pemahaman seperti ini agaknya tidak saja terjadi pada umat Hindu, umat lainpun juga demikian. Pemahaman yang mekanistik telah menyebabkan adanya perubahan konsep manusia dalam memandang dunia. Rene Descartes, ilmuwan fisika pencetus awal paham tersebut, memandang dunia sebagai mesin layaknya sebuah arloji yang apabila komponennya rusak maka dapat diperbaiki dengan mengganti komponen yang rusak tersebut dengan komponen baru. Pemahaman demikian tentunya akan menyesatkan umat manusia dalam menjalani hidupnya pasalnya hidup merupakan suatu rangkaian proses yang melibatkan banyak komponen dan tidak dapat dipergantikan begitu saja. Begitu pula memahami spiritualitas, diperlukan suatu sikap mental yang dewasa dalam mensikapi persoalan hidup. Tak bijak kiranya melemparkan tanggung jawab kepada “pihak luar”.
Menikmati hari raya boleh saja dilakukan dengan segala macam kegiatan namun semua itu tak terlepas dari kondisi bangsa saat ini yang sedang amburadul. Apapun boleh dilakukan asalkan memberi faedah peningkatan spiritualitas umat yang tercermin pada kehidupan bangsanya. Sudahkah terwujud hal demikian? Sebuah pertanyaan yang sulit terjawab, memang.
No comments:
Post a Comment