Monday, June 11, 2007

>si Omez 3



Pagi-pagi sekali, saat itu 14 Oktober 2002, Omez tak biasanya bangun pagi mendahului sang mentari. Ia sibuk menggonta-ganti channel televisi. Dari stasiun TV yang satu kemudian beralih ke stasiun TV yang lain, dari Liputan 6, Fokus Pagi, Selamat Pagi Indonesia sampai Nuansa Pagi. Sepertinya ia sibuk mencari-cari informasi tertentu. Dan ketika ia menemukan berita yang dicarinya, ia begitu serius menyimak dan sesekali terdengar umpatan, “Sialan, kurang ajar. Pasti kerjaannya.............”. Sampai di situ ia belum puas kemudian ia bergegas menuju kios koran di pojokan gang tempat kosnya. Ia mencari-cari koran yang memuat berita yang baru saja ia saksikan di televisi. Tetapi ternyata pagi itu koran-koran belum memuat berita yang baru saja ia tonton di televisi. Ia berujar “Oh, iya ya. Kejadiannya tengah malam menjelang pagi. Pantas aja belum dimuat. Sial!!!”. Sedetik kemudian ia bergegas kembali ke kamarnya, memelototin kembali kotak ajaibnya dan ia mendapati sebuah tayangan yang mengerikan. Ia melihat degung-gedung hancur lebur, banyak orang bule yang dirawat di rumah sakit, ia juga menyaksikan tangis pilu wanita dan anak-anak. Omez termenung, termenung, dan termenung.
Sorenya, ia mengikuti rapat dadakan KMHD membahas kejadian yang telah ditonton Omez pagi tadi. Omez dengan lantang berucap “Aku benar-benar mengutuk kejadian itu. Pasti ada orang yang tidak senang dengan Bali. Kita harus segera bertindak”. Tomboz, yang sedari tadi sudah tak tahan, menambahi “Kita sebagai orang muda harus bersikap kritis mensikapi kejadian ini. Jangan berdiam diri seperti kerbau dicucuk hidungnya.”
Panjul, yang duduk berseberangan dengan Omez dan Tomboz, mencoba menenangkan keadaan “Saya tahu perasaan teman-teman. Tetapi kita harus bersikap dingin, jangan tergesa-gesa melakukan sesuatu. Harus menimbang ini itu.”
Hampir serempak dan tanpa komando, peserta rapat yang lain mengiyakan pendapat Panjul. Sejurus kemudian, Grandong berujar “Aku rasa, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat pernyataan pers bahwa kita sebagai warga KMHD mengecam tindakan pengeboman tersebut”. Hampir bersamaan Omez dan Tomboz menyahut “Setuju”. Kemudian Tomboz melanjutkan “Pernyataan sikap tersebut kita kirim kepada beberapa koran di Jogja dan Bali. Hal ini penting dilakukan agar pihak luar dapat menilai kita bahwa sebenarnya kita peduli akan tragedi tersebut. Langkah selanjutnya adalah membuat aksi simpatik di wilayah Jogja dan yang terakhir adalah mengadakan diskusi. Bagaimana menurut temen-temen?”
Yang lain agaknya setuju saja dan tak lama kemudian mereka merumuskan waktu, penaggung jawab, dan biaya kegiatan.
Hari yang telah disepakatipun tiba, pernyataan sikap udah beres, aksi simpatik membagi selebaran di bunderan udah kelar juga. Tinggal satu agenda yang belon dilakonin. Omez yang diserahi sebagai koordinator diskusi agaknya mengalami kesulitan mengumpulkan temen-temen. Padahal Omez sudah menyiapkan materi dan nara sumber. Tetapi kenyataannya hanya ditanggapi dingin oleh rekan-rekannya. Ia mengeluh dan suatu malam ketika tak ada laporan maupun tugas kuliah yang harus dikerjakan dan dikumpulkan esok harinya, Omez mengunjungi kamar kos Tomboz, sahabatnya. Sambil menikmati pisang goreng hangat yang baru saja dibeli di warung angkringan di sebelah kosnya, obrolanpun mengalir.
“Boz, aku nggak ngerti nih. Apa sih maunya temen-temen itu, kalo diajak kegiatan yang hura-hura semangat terus, tapi ketika diajak diskusi kok jarang ada yang berminat”, Omez mengawali percakapan.
“Entahlah, aku juga nggak ngerti. Aku sebenarnya ngiri melihat antusias temen-temen agama lain yang begitu getol membedah permasalahan terorisme. Pernah suatu hari aku melihat secarik kertas di meja kesekretariatan KMHD berisi undangan dari sebuah organisasi pergerakan mahasiswa Islam untuk hadir dalam sebuah diskusi sebagai pembicara. Aku pikir di kalangan kita nggak ada figur yang cocok dan berani menghadapi undangan seperti itu” komentar Tomboz sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Sebenarnya ketidakmampuan kita sendirilah untuk tidak jeli membaca keadaan. Kita nggak punya wacana untuk hal seperti itu. Lebih-lebih budaya membaca kita yang minim tentu saja mempengaruhi pemikiran dan wacana yang dibangun. Paling-paling dalam benak kita dampak pasca tragedi itu berimbas pad penghasilan orang tua kita yang tidak seperti biasanya, yang penting masih bisa hidup” gerutu Omez.
“Soal diskusi itu gimana Mez?” tanya Tomboz
“Aku sih akan tetap ngadaian dan berapapun yang hadir itu bukan masalah. Yang penting kita eksis dan memberi ruang untuk kegiatan yang kritis dan memerlukan intelektualitas untuk memecahkannya” Omez beroptimis.
Sambil menggeser tempat duduknya Tomboz berujar,“Nah, gitu dong jangan patah semangat. Aku yakin sebenarnya temen-temen itu mendukung dan pasti hadir. Hanya saja kalo untuk mengeluarkan pendapat agak sulit. Tetapi sekali lagi aku yakin mereka akan hadir untuk mendapatkan wawasan baru dari orang lebih tahu. Ngomong-ngomong, pembicaranya udah pasti khan?”
Jawab Omez dengan penuh keyakinan, “Tentu dong, malah bapaknya itu bersemangat sekali dan pengen diadain tidak hanya sekali ini saja”
“Nah kalo udah ada apinya, sekarang tinggal nyari kayunya” tomboz menimpali
Omez heran, “Apa maksudnya?”Tomboz tak menjawab pertanyaan Omez. Tomboz berdiri keluar kamar dan disusul Omez, mereka berdua berjalan beriringan menuju warung burjo di ujung jalan itu ketika lonceng jam dinding telah berdentang sebanyak dua belas kali.

No comments: