Monday, June 11, 2007

>media alternatif Hindu


Media Hindu ׀ Edisi 10 ׀ Juli-Agustus 2004


Menggagas Media Alternatif yang Mencerdaskan



"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan musnah dari peradaban dan dari manusia".

Sebuah ungkapan yang heroik, mungkin, dari seorang pujangga Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Membaca karyanya yang tertuang dalam Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) mengingatkan betapa pentingnya peran media dalam upaya mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat.

Mengapa penting? Media, dalam hal ini jurnalisme, sebenarnya memiliki fungsi utama mengontrol peran penguasa negara dan penguasa modal terhadap masyarakat. Dalam konteks Hindu, jurnalisme memainkan peran dalam mengontrol penguasa negara, penguasa agama (PHDI, KMHDI, Peradah, KMHD dan organisasi-organisasi lain yang sejenis) terhadap umat Hindu.

Ada dua media yang selama ini memainkan peran tersebut, yaitu Raditya (majalah Hindu pertama yang terbit perdana tahun 1997, siklus terbit sebulan sekali) dan Media Hindu (terbit perdana Januari 2003, siklus terbit dua bulanan). Sebagai catatan, sepengetahuan penulis, sebelum kehadiran Raditya, I Nyoman Tika pernah menerbitkan buletin Purnama di Bandung namun seiring dengan perkembangan zaman, kini Purnama tidak terbit lagi.

Kedua media tersebut berusaha dan berupaya memainkan perannya dalam mengontrol perkembangan Hindu, beserta segala instrumennya, di tingkat nasional. Melihat perkembangan wacana kehinduan yang semakin cepat, beragam dan luas agaknya kedua media tersebut memiliki keterbatasan untuk menampung semua informasi yang ada. Akibatnya, masih banyak wacana atau berita lokal yang tidak atau belum mampu terakomodasi oleh kedua media tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya media alternatif yang mampu berbicara dalam tingkat lokal mengenai segala pernak-pernik kehinduan yang luput dari perhatian kedua media besar tersebut.

Tulisan singkat ini mencoba mengajak pembaca melihat lebih dekat perkembangan tiga media alternatif di Yogyakarta. Ketiga media tersebut adalah Lontar, Suara Anandam Lembar dan Sanatana Dharma.

Yogyakarta, sebagai basis kaum terpelajar, agaknya mampu merangsang segelintir orang untuk menggagas dan membuat sebuah media yang mampu menjawab dahaga umat Hindu akan informasi. Perlu disadari bahwa dari ribuan mahasiswa Hindu yang ada di Yogyakarta, hanya sebagain kecil saja yang mengakses kedua media Hindu nasional di atas, lebih sedikit lagi yang mengakses secara rutin tiap kali terbitannya.

Di awal 2002, Yogya Gandhi Vidyapith Asharam (YGVA) berinisiatif untuk membuat newsletter yang kemudian diberi nama Lontar. Hal yang mendasari diterbitkannya Lontar adalah adanya waktu luang dari umat Hindu, yang umumnya mahasiswa, ketika menunggu waktu untuk sembahyang. Umumnya mahasiswa enggan untuk mendengarkan dharma wacana dan lebih memilih ngobrol dengan rekan di sebelahnya. Mengapa diberi nama Lontar? Seringkali orang menghubungkan lontar dengan kumpulan naska-naskah kuno. Sah-sah saja orang beranggapan demikian, tetapi penamaan Lontar dimaksudkan sebagai ekspresi keberanian untuk melontarkan segala macam ide, uneg-uneg maupun gagasan dalam bentuk tulisan.

Dilihat dari lembaga pengelolanya, wacana yang diusung memang berkaitan dengan ajaran-ajaran Mahatma Gandhi yang bertitik tolak pada ahimsa dan satya. Namun, tak menutup kemungkinan untuk memasukkan berbagai jenis informasi lain. Hal tersebut dapat dilihat dari rubrikasi yang ditawarkan. Hal unik yang terdapat pada Lontar adalah bentuknya. Mengapa? Ukurannya yang mungil memang tak lazim dibandingkan dengan newsletter pada umumnya. Berbahan kertas F4 (16,7x21,9 mm) photo copy bolak-balik, setiap lembar dibagi menjadi delapan kolom yang sedemikian rupa sehingga dapat dilipat.

Setiap Purnama, Lontar menyapa umat Hindu di tiga pura yang sering dikunjungi umat Hindu dengan oplah 150-250 eksemplar. Lontar juga terbit pada hari-hari khusus seperti hari raya Galungan, Saraswati dan Nyepi. Khusus untuk edisi Nyepi, Lontar didistribusikan pada saat upacara Tawur Agung di Candi Prambanan dengan oplah 1000 eksemplar pada tahun 2002 dan 2000 eksemplar pada tahun 2003. Seiring dengan kesibukan tiap-tiap personal YGVA, maka terhitung sejak Purnama September 2003 Lontar sudah tidak menyapa pembacanya lagi. Padahal, menurut banyak sumber, kehadiran Lontar telah memberi penyegaran terhadap topeng Hindu yang terkesan ogah mentradisikan membaca apalagi menulis.

Selama lebih dari satu tahun, sejak Lontar menjadi almarhum, umat Hindu di Yogyakarta disegarkan kembali oleh kehadiran Suara Anandam Lembar (SA Lembar). SA Lembar menggebrak kegaringan media Hindu alternatif dengan menerbitkan koran di awal tahun 2004. Digawangi oleh mahasiswa-mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM), SA Lembar mencoba menggali berbagai persoalan seputar Hindu dengan gaya jurnalistik yang sederhana. Dengan melakukan reportase di lapangan, isu-isu yang ditawarkan menjadi lebih membumi. SA Lembar memilih terbit tiap Tilem setiap bulannya dengan oplah 500 eksemplar bukannya tanpa alasan. SA Lembar tak mau dicap pencaplok, pamali kata orang Sunda, apabila suatu ketika Lontar hidup kembali.

Berupaya menggantikan Lontar, SA Lembar menyapa umat Hindu pada saat Tawur Agung 2004 di Candi Prambanan dengan oplah 1500 eksemplar. Tema yang diangkatpun tak jauh-jauh soal Nyepi yang tanpa ogoh-ogoh. Mengapa ada embel-embel Lembar di belakang kata Suara Anandam? Sebenarnya, Pers Mahasiswa Hindu UGM, sebagai badan semi otonom KMHD UGM, juga memiliki media lain dalam bentuk buletin. Namun, karena siklus terbitnya yang tak tentu, ditambah lagi persoalan dana dan sumber daya manusianya, maka untuk menyehatkan dunia tulis-menulis di kalangan pegiat muda Hindu dipilihlah media yang lebih sederhana dan murah berupa koran delapan halaman berbahan kertas F4.

Menyoal SA buletin, terbit terakhir kali untuk edisi Oktober-Maret 2004 dengan mengusung tema “ GENERASI MUDA HINDU MERANGKAI IDEALISME”. SA buletin terbilang cukup fantastis. Pasalnya, terbit dengan 64 halaman beroplah 500 eksemplar dan didistribusikan ke beberapa KMHD di beberapa universitas di Lampung, Jawa dan Bali dan kesemuanya itu gratis.

Tak berselang lama semenjak SA Lembar hadir, khalayak Hindu Jogja disuguhi pula sebuah buletin karya Narayan Smerti Ashram. Tepatnya pada Februari 2004, Sanatana Dharma (SD), demikian nama media alternatif tersebut, hadir dengan wacana-wacana yang khas. Apanya yang khas?

Narayan Smerti Ashram adalah sebuah komunitas yang mendasarkan pada ajaran-ajaran Krisna dalam Bhagawadgita. Orang kebanyakan memanggil mereka dengan sebutan Hare Krisna, maka SD hadir sebagai media sosialisasi pemikiran dan kegiatan mereka kepada umat Hindu pada umumnya. SD terbit tiap bulannya di dua pura yang paling banyak dikunjungi umat yaitu Pura Jagatnatha dan Pura Widya Dharma. Setiap Purnama, tak kurang dari 300 eksemplar SD dibagikan secara cuma-cuma.

Apa yang dapat dipelajari dari ketiga media alternatif tersebut? Agaknya, kehadiran ketiga media alternatif tersebut mampu memberi nilai lebih kepada umat yang datang ke pura. Umat tak hanya khusyuk menyapa Hyang Widhi atau pula bertegur sapa dengan kerabat atau rekan melainkan pula memperoleh informasi seputar Hindu, meski dari secarik kertas.

Bagaimana mengelola media alternatif? Ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, menjadikan belajar agama sebagai sesuatu yang menyenangkan. Kedua, diperlukan biaya yang murah dan kemasan yang sederhana agar makin banyak umat yang tertarik dan mengakses. Ketiga, diperlukan kerjasama dari semua komponen Hindu.

Saatnyalah kita berbagi peran. Tak selamanya tanggung jawab keumatan harus diletakkan pada pundak bapak-bapak PHDI. Tugas yang berat akan terasa makin ringan jika kita merelakan hati untuk berbagi peran dan tanggung jawab. Kelak, diharapkan akan lahir penulis-penulis Hindu yang cerdas dan tangguh. Jika demikian, maka mari kita dukung Brahmacarya dan Rwa Bhinneda di Malang, Ganesha Vidya di Lampung, Saraswati di Unud, Lambordara di Bandung ataupun media-media lain yang tengah memperjuangkan eksistensinya.